Pages

Sunday, May 17, 2020

Mrucut Bak Menggegam Biji Wijen

Tuan, kemarin hamba berdialektika dengan beberapa sahabat. Hanya terhubung melalui panggilan telepon WhatsApp. Kami bertukar pesan hanya beberapa kali saja. Apalagi ini telepon pertama hamba bersama mereka di tengah pandemi yang makin hari makin gila.

Hamba berpikir, bahwasanya kemungkinan besar Tuan tak akan pernah merasa kesepian lagi. Sebab musababnya adalah hamba akan meneruskan kehaluan ini bertahan lebih lama. Tidak apa-apa ya, Tuan. Hamba memberi label di kolom Renjana untuk memudah pengarsipan kehaluan ini. Agar lebih sistematis dan praktis jika tiba-tiba gemuruh hati menyentak dan ingin disentuh dengan perasaan cinta bertepuk sebelah tangan-yang menyedihkan ini. 

Hamba siap berderai-derai air mata jika kelak mengalami penolakan yang menyakitkan.

Hamba siap!

Aduh, tapi sebentar. Hati hamba bak kramik Tiongkok buatan Dinasti Yuan yang tentu saja sungguh fragile, Tuan. 

Lagi-lagi mempertanyakan kesiapan itu seperti menunggu meteor datang ke desa Kwarasan. Kan sepertinya ya tidak mungkin ya, Tuan?

**

Tuan, pahamilah bahwa melepas rasa sayang itu akan berbenturan dengan realita yang tidak sepadan. Tapi janji ya Tuan, Tuan jangan sampai membocorkan rahasia tulisan ini kepada elite global. Eh, maksud hamba kepadanya, yang tentu saja tak akan melirik hamba yang nestapa ini.

Tuan, ingin sekali rasanya hamba menceritakan kembali sebuah kisah yang mungkin sudah tertutup kotoran dengki yang pernah membusuk bertahun-tahun silam. Ah sebenarnya tidak begitu lama, mungkin 2 atau 3 tahun yang lalu. 

**

Percayalah Tuan, bahwasanya rasa yang berkembang dan bergemuruh saat ini mungkin tidak ada artinya jika Tuan tanyakan 2 atau 3 tahun lalu. Okelah, hamba akui bahwa melirik mungkin ada. Tapi kan Tuan, hamba juga melirik makhluk indah ciptaan Gusti Mahamemiliki dunia dan jagad raya ini tidak hanya dia seorang. Hamba juga membidik pria lain juga. 

Jika tidak percaya hamba, Tuan bisa mengeceknya di laporan hati : Glorifikasi Rasa Sayang dari Tahun ke Tahun

Pada laporan itu, hamba mengarsipkan secara acak manusia-manusia terpilih yang hati hamba pilih dalam satu dekade terakhir. Tentu saja hamba tidak menyebutkan dia yang berinisial Fa, yang melengkapi nama pena hamba.

Laporan hari ini Tuan, dengarkanlah kembali meski ini akan menjadi sesuatu yang panjang dan tidak menyenangkan.

Pada hari itu siang begitu terik. Beberapa burung yang terbang di angkasa mungkin akan merasa kepanasan. Hal ini lantaran mereka memakai bulu-bulu yang berwarna gelap. Tak heran jika tak ada satu hilir mudik pun burung yang beterbangan. 

Sangking teriknya, kadang hamba harus berulang kali membeli es teh untuk lepas dahaga. Apalagi hamba sedang berkutat dengan beberapa berkas. Sejujurnya, hamba lupa tengah sibuk berkas ujian skripsi apa wisuda. Besar kemungkinan sepertinya berkas yang hamba urusi pada hari itu adalah berkas wisuda.

Hamba tahu, sangat tahu. Bahwasanya malamnya pada hari itu ada acara diskusi yang diadakan oleh sebuah komunitas yang diikuti oleh sahabat saya. Iya, sahabat yang kemarin malam kami telepon-teleponan. Komunitas atau perkumpulan itu mengundang si mas-nya untuk membahas tentang apa, bahkan hamba lupa. Kemungkinan besar perihal sosial masyarakat sepertinya Tuan. 

Hamba lelah. Sungguh. Jika ingin berteriak setelah menyelesaikan beberapa berkas wisuda, hamba ingin pulang ke rumah. Jika hamba memaksakan diri mengikuti acara diskusi itu, kemungkinan hamba tidak akan berkonsentrasi. Bukan karena terpesona Tuan, tapi kelelahan. Sungguh Tuan, hamba tidak bohong.

Kemudian, sahabat saya tiba-tiba mengancam. Entah ini ancaman yang sadis atau hanya gertakan. Bil, kalau kamu nggak mau ikut, kita gak temanan. Duh kok seram sekali ya Tuan. Hamba tahu itu bernada candaan. Tapi kok hati hamba gamang untuk menerima itu sebuah candaan. Mungkin itu suara hati yang tersirat sebagai guyonan saja. Hingga memiliki kesimpulan: mau tidak mau hamba harus datang. 

Maka Tuan, sampailah pada saat yang tidak berbahagia. Hamba datang. Meninggalkan teman satu jurusan di kosan Mojosongo sendirian. Hamba tahu, teman hamba sedang capek-capeknya setelah kulakan di BTC. 

Duh, alih-alih, punya rasa, hamba bahkan tidak menyimpan secuil pun fakta itu, Tuan. Sungguh. Hamba tahu, bahwa sahabat hamba inilah yang tengah dirundung asmara oleh si mas-nya. Hamba yakin. Bagaimana tidak jika dia harus melontarkan hal itu.

Dalih teman hamba kala itu : anak srimulat masa aku Bil, yang nemenin mas-nya?

Jadi, kedatangan hamba untuk menggenapi kekosongan agar menjadi genap. Agar teman hamba tidak merasa sendirian dalam menyambut si mas-nya. Begitulah Tuan. Jadi hamba ini hanya serep, hanya belokan. Tidak menjadi tujuan seseorang. 

Ya sudah, mau tidak mau hamba mendengarkan pagelaran diskusi itu berlangsung. Tidak ada gamelan, hanya suara gurauan, sambutan, dan tawa. Padahal mata hamba sudah ngantuk dan pundak hamba sudah berat ingin diringankan, apalagi punggung sudah tidak bisa menahan diri untuk duduk tegak menatap kemasyhuran si mas-nya.

Karena diskusinya tentang sosial masyarakat, hamba hanya menerawang. Karena jauh sekali dari hal yang hamba kerjakan. Momen yang hamba ingat adalah si mas-nya mendapat pelajaran ketika malam-malam dia mengalami kecelakaan, orang lain yang juga tertimpa musibah itu memiliki setumpuk nomor darurat penting. Kata si mas-nya itu hal kecil yang sering kita abaikan. Bahkan setelah 2 tahun berlalu, di kontak ponsel hamba juga tidak ada kontak nomor darurat. 

Jika menyimpulkan diskusi itu tidak ada gunanya, karena hamba tidak mempraktekkan, mungkin iya. Tapi jika memang benar-benar tak ada gunanya, ah kemungkinan Tuan salah. Hamba bisa sedikit bercakap mengenai apa yang sedang si mas-nya ini kerjakan. Lagian kan baru beberapa bulan lalu si mas-nya lulus dari program sarjananya.

Bagi hamba pribadi, pertemuan yang tidak memiliki rasa sama artinya seperti bak tak bisa menggenggam biji wijen. Bahkan segenggampun. Karena mrucut. Kalaupun ingin kembali ke memori kok sepertinya sayang.

Begitulah Tuan. 

Sebentar lagi waktu berbuka puasa. Hamba tak ingin mengecap makanan yang hamba santap dan merasa pahit karena diolesi kenangan. 

Tuan lelah? Okelah kalau begitu, cerita si mas-nya disudahi saja. Jujur Tuan, ingin rasanya menggenggam orang itu hanya sebatas teman ngobrol nyaman. Tapi mau apa yang bisa hamba harapkan. Jika semakin lama, bibit rasa itu tumbuh dan mekar menjadi pohon beringin yang rindang. Bisa buat pelindung dari teriknya panas untuk burung-burung yang berterbangan. Apakah ada kemungkinan kalau rasa itu dibesarkan bisa bermanfaat juga? Ah entahlah ya kan Tuan. 

***
Minggu, 17 Mei 2020
17:26
ngabuburitku

chat terakhir aku balas: yo nggak mungkin aku galak, nek ntar aku gak dapat jodoh gimana?

Renjana part 2

No comments:

Post a Comment