Pages

Sunday, June 21, 2020

Menyoal Budaya Patriarki dari Perempuan di Titik Nol

Hei Tuan,

Lama sekali hamba menulis antara 3 buku yang ingin dibahas. Banyak drama yang terjadi dalam hidup hamba. Antara harus ke tambal ban, atau malas membuat tulisan panjang ini lagi.

Sekedar mengulas apa yang hamba tulis sebelumnya, Pertama, membahas Dan Brown, kemudian Haruki Murakami (sebagai kontradiksi dari alur Dan Brown, tentu saja), kemudian kali ini penulis yang berada dari benahan bumi yang lain.

Nawal el-Shadawi.

Membaca budaya patriarki yang menakutkan, dihadirkan  dengan gamblang oleh Nawal. Penulis Perempuan di Titik Nol ini menjelaskan tanpa isak titik kebahagiaan sedikitpun, bagaimana sang tokoh bernama Firdaus harus hidup dalam neraka dunia yang begitu kejam itu.

Nawal lahir dan berkembang di dunia Arab Mesir yang yah, begitu keras menerapkan budaya patriarki. Tuan, hamba memang belum pernah menginjakkan jejak langkah kaki ke Mesir, namun lewat gambaran secercah nokhtah yang digoreskan Nawal, hamba dibuat mengerti. Bahwa budaya manapun tak pernah bisa lepas dari patriarki itu sendiri. Oke, kita tidak akan membahas sindiran teman baik hamba yang mengatakan, bil, di Minang itu bahkan bukan patriarki. Kemudian aku bisa bungkam, kita bisa bicarakan pada apa yang terjadi di dunia ini dari dulu hingga sekarang, sampai alasan kenapa feminis itu eksis. Oke.

Semesta yang dibuat Nawal dalam membuat tokoh Firdaus, mungkin sama dengan kebanyakan. Dia lahir menjadi perempuan lugu. Dari lingukp organisasi terkecil bernama keluarga, Firdaus bahkan merasakan ketidakadilan. Bagaimana seorang ayah (yang harusnya cinta pertamanya) berlagak menjadi seorang raja dihadapan istri dan anaknya. Seperti membasuh kaki ayahnya ketika sang ibu tidak bisa melayani. Bah! Padahal ekonominya miskin.

Firdaus remaja dia menginginkan kuliah di Al-Azhar yang masyhur itu untuk menimba ilmu. Dia ingin mengikuti jejak sang paman. Namun harapannya dipatahkan, hanya karena dia seorang perempuan.

Perlakuan lingkungan Firdaus selanjutnya apakah begitu baik? Tidak, Ketika ia berada di rumah pamannya, ia seperti tak ada bedanya seperti sampah. Dia kerap kali melecehkan Firdaus secara seksual. Padahal, dia adalah orang terpandang dalam hal agama, katakanlah begitu.

Ketika Firdaus hanya menggenggam ijazah sekolah SMA dan melamar pekerjaan di sebuah perusahaan dengan gaji kecil, dia mengenal Ibrahim. Hamba pikir, apakah sosok Ibrahim inilah yang diciptakan sang penulis untuk membuat hidup Firdaus jauh dari kata neraka? Ternyata tidak Tuan, saat mereka menjalin asmara tapi harus selesai hubungannya karena tak dinyana, Ibrahim akan menikah dengan seorang perempuan yang sudah disiapkan untuknya.

Ah, malang betul nasib perempuan Firdaus ini, Tuan.

Bahkan ketika dia menikah dengan pria berumur 50 tahun. Pria tua itu berperangai kasar dan kikir. Ia diperlakukan sewenang-wenang. Memukulnya dengan sepatu adalah satu dari sekian banyak kekejian yang dilakukan suaminya. Budaya patriarki seolah mengesahkan kenormalan jika seorang suami memperlakukan kasar pada istrinya sendiri. Adalah absolut bagi seorang istri untuk patuh secara sempurna pada suaminya.

Hampir setiap bab, hampir setiap untaian yang ditulis Nawal, tak ada secercah rasa bahagia pun yang Firdaus dapatkan. Ia melepas profesinya karena terlalu disakiti oleh seorang laki-laki. Dan memelacurkan dirinya. Narasi yang dibentuk sungguh hebat, daripada aku tidak ada harganya di depan laki-laki, dengan memelacurkan diri ia seenaknya bisa menghargai dirinya.

Dunia pelacurlah yang membuatnya bisa membeli flat mewah atas jerih payahnya. Hingga cerita ini akan berakhir Tuan, katakanlah menjadi pelacur adalah kebanggan yang ada pada diri Firdaus. Dia tertekan, dia diinjak-injak oleh lingkungan budayanya (kala itu), dia tidak memiliki posisi untuk memilih mana yang terbaik untuknya.

Bahkan di akhir cerita, Firdaus memilih untuk mati di tangan hukum karena membunuh seorang germo yang memaksanya. Saat Presiden memberikannya grasi sebagai kunci menyelamatkan nyawanya, Firdaus memilih mati. Daripada hidup dipenuhi dengan laki-laki, cara terbaik memang dengan mati agar dia tidak harus mengalami kejinya diperlakukan tidak adil dalam budaya patriarki.

Nawal menggambarkan melalui tokoh Firdaus, bahwa identitas perempuan hanyalah objek yang dapat ditindas dan diperlakukan sewenang-wenang.

Ah Tuan, hamba seolah tak sanggup untuk mengunci hal ini menjadi kalimat pamungkas. Mungkin besok, suatu saat nanti, atau kapan lagi, janji yang akan hamba ikrarkan. Mengenai kenapa perempuan melawan lewat gerakan atau paham feminis yang ditentang habis-habisan oleh kyai bersorban atau perempuan berkerudung lebar bak taplak meja.

Itu nanti, hari ini hanya ulasan mengenai karya Nawal el Shadawi yang membentuk refleksi, ah, sepertinya zaman Rasul tak sekejam itu. Padahal, Arab dan Mesir mempunyai irisan pada budaya yang sama.

Bah, lagi-lagi hamba tak mau menuding!

***
21/06/2020
17:46
maghrib, malam ini gerhana matahari cincin!

Menyoal Budaya Patriarki dari Perempuan di Titik Nol

No comments:

Post a Comment