Pages

Sunday, July 26, 2020

Kontemplasi Alam Berpikirku

Pikiranku berkontemplasi pada uraian-uraian pertanyaan yang sulit untuk dijawab. Atau setidaknya jawaban itu sederhana tapi aku membuatnya semakin rumit.

Apa ada dunia selain bumi? Jika ada, kenapa aku harus lahir di bumi? Apakah dunia kosmik di luar sana ada? Bagaimana eksistensinya?

Lalu, untuk apa kita lahir di muka bumi?

Dari milyaran penduduk, dari jutaan sperma yang dikeluarkan, kenapa harus terlahir sosok Nabila dan nama itu diberikan padaku?

Kenapa harus Bapak Muhammad Taufan dan Ibu Suparni yang menjadi orang tuaku? Bukannya aku tidak bersyukur, tapi kenapa Tuhan memberikan dua sosok ini menjadi orang tuaku?

Lantas, kalaupun aku bisa memilih, kenapa harus bersuku Jawa? Dan menjadi bagian dari kebangsaan Indonesia, alih-alih jika aku ingin menjadi warga Mayotte saja. Tinggal jauh lebih tropis dari khatulistiwa.

Lalu, kenapa harus Solo tempatku besar? Alih-alih jika harus memilih, aku ingin tinggal di Pontianak saja. Meski begitu, sangking kuatnya aku mengakar di Solo, sampai aku besar aku tidak ingin jauh-jauh dari Solo kalaupun harus memilih. Ah, lagi-lagi memilih.

Lalu, kenapa segala perbedaan setiap individu yang lahir, yang tinggal, yang bertumbuh kembang, yang memiliki prinsip, yang bernilai ini kenapa harus disetarakan? Alih-alih memandangnya sebagai suatu keistimewaan.

Ah...

Tiba-tiba aku teringat pada sosok Ibuku yang malunya minta ampun. Pada kedua adikku yang tinggal kelas 2 tahun. Iya. Adik pertama dan adik kedua, sama-sama tinggal kelas 2 tahun dan dia malu. Latar belakang Bapak dan Ibu seorang guru, dimana dia mengajari anak orang supaya pintar, tapi tidak sebanding dengan darah dagingnya sendiri.

Baru beberapa waktu belakangan, adik keduaku tiba-tiba menggerutu. Begini katanya, "aku benci banget sama tetangga depan. Masak pas aku SD dia tanya-tanya ke aku, kok bisa aku nunggak (read: tinggal kelas)?"

Jauh mengenal sistem, bahwa semua anak terlahir istimewa, namun lingkungan masyarakat bahkan budaya yang turun temurun mengatakan menjadi berbakat, baik, santun, punya tolak ukur yang sama yang dimiliki manusia lain adalah hal mutlak adanya.

Padahal sebagai manusia kita kadang jalan di tempat, alih-alih untuk maju, berpikir saja susah. Jadi aku bilang ke adikku, "Iya, aku juga benci tetangga depan rumah."

Kemudian kontemplasi pikiranku jauh lebih gila dari itu. Kenapa semua ingin kaya? Kenapa mereka yang miskin tidak berusaha? Apa yang terjadi pada mereka yang rentan?

Alih-alih menanyakan hal itu, mungkin jiwaku yang lain melemparkan jawaban pedas pada diriku yang bertanya, "Kamu tidak pernah merasakan yang dirasakan orang-orang itu, Bil. Jadi, diamlah!"

Ah, kadang kalau kita berpikir lebih, takut kalau itu bagian dari pikiran buruk yang tidak dibolehkan dalam agama.

Maksudku begini, jika memang teman baikku menawarkan sebuah filosofi yang bernama Filosofi Yu Jum, tentu kita tidak merasa harus berlomba-lomba untuk menjadi unggul. Sebenarnya apakah benar, hakikat manusia di bumi ini hanya pengrusak? Maka jawabnya sudah jelas, memang iya. Lalu kenapa kita harus mengkotak-kotakkan antara diri yang satu dengan diri yang lain.

Dia anak punk, dia jelek, dia buruk akhlaknya.

Dia anak masjid, dia baik, dan sudah jaminan surga.

Dia anak a, b, c, d, e, ------ z, dia begitu adanya.

Padahal bukankah sebagai manusia, kita harusnya saling membaikkan. Alih-alih harus membuat klaster atau status tiap masing-masing orang.

Lalu, jika dunia ini seragam, dan memiliki dosa yang sama, kenapa mereka tidak mau bahu-membahu pada apa yang terjadi pada bumi. Alih-alih yang mereka kerjakan hanya mendengar penceramah yang saling tuding kafir mengkafirkan dan seenak udel mereka, bahwa yang penceramah lakukan adalah bagian dari jaminan surga.

Ah, padahal faktanya kita sama-sama membuat kekacauan (katakanlah) dengan berton-ton sampah plastik yang butuh waktu panjang untuk mengurainya dimana kita tak bisa lepas darinya. Kita membuat dosa kita sendiri. Tiap hari semakin besar saja pengrusakan yang kita lakukan. Toh, hanya  memupuk dosa-dosa jariyah.

Ah, plus diriku yang suka  menggibah sinetron indosiar ini juga.

Lalu juga, kenapa jika ada seseorang yang memperkenalkan teori katakanlah dari orang barat, orang yang mengaku beragama bilang, "ah di muslim ada tokoh hebat a, b, c, d, z, kenapa harus tokoh kafir yang harus dijadikan contoh?". Begitu kata mereka.

Jiwaku yang lain ingin segera menimpali, "Bukankah kita manusia, dan kita makhluk Allah, (katakanlah demikian) yang sama-sama diciptakan pada status yang sama. Sebagai manusia!"

Padahal Allah meminta iblis dan setan untuk menyembah manusia loh, tapi kedua makhluk ini murka dan mengajukan protes.

"Aku kan dari api, sedangkan manusia kan dari tanah, kenapa harus menyembah tanah, secara status sosialnya kan bagusan dari api" begitu kata Iblis.

Bak buah simalakama, kadang kita pun juga suka mengejek suku lain, memonyet-monyetkan suku dan ras A, menghitam-hitamkan suku dan ras B, dan lain sebagainya. Kemudian, kemudian, kemudian, bertumbuhkembanglah soal standar kecantikan. Begitu seterusnya.

Kemudian, di umurku yang sudah harus memilih dan memilah ini, lagi-lagi kita dihadapkan pada banyaknya klaster. Dia pengajian A, B, C, D, Z. Kalau nggak sama satu pengajian, nggak boleh. Ah. Kenapa manusia ini begitu rumit. Bukankah sudah pas jika memakai satu agama sama dengan satu iman.

Tapi hidup manusia yang rumit tak mau memudahkan itu, esmeralda. Meski satu agama sekalipun, pertanyaan yang dipermasalahkan (misalnya), mazhabnya apa dulu? Haruskah keluar pertanyaan itu?

Sadar tidak sadar, untuk bisa bersanding dengan seseorang dalam mahligai pernikahan, kalau tidak satu pengajian = tidak mau. Ibarat sudah beda iman saja. Sepicik itukah manusia berpikir?

Lagi-lagi perkara kita berkumpul dan berkehendak, harus ada tendensinya.

Jauh dari yang namanya tendesi berpikir, wong kadang yang dilihat di mata saja sudah bisa menyimpulkan segalanya. Ah, dasar manusia itu makhluk unik. Sangking uniknya, sesama manusia saja aku harus menilai dan dibuat geleng-geleng kepala.

Misal dari cara manusia berpakaian. Yang syari, pakai cadar, dan ulala lainnya. Berarti imannya bagus, begitu kata mereka-mereka.

Wong, di masyarakat kita sendiri mudahnya mendapat label bahwa keimanan seseorang sudah bisa dilihat dari apa yang dipakai kan? Ah, kadang tuh, kita emang suka sok tau.

Aku tahu, keberadaan alam berpikirku yang dangkal dengan banyaknya pertanyaan tak akan pernah terpuaskan dengan satu jawaban pamungkas. Setidaknya demikian, jika dipikirkan terlalu lama akan menimbulkan efek domino.

Kututup kontemplasi berpikirku hari ini. Sama seperti jawaban penerimaan Ibuku pada kehadiran kami anak-anaknya di keluarga ini. "Alhamdulillah." Harus keluar kata itu lantaran Ibu harus melalui alur berpikir yang panjang. Tatkala, dia harus kondisi dan mental membandingkan kedua adikku dengan manusia berkebutuhan khusus lainnya. Lalu keluar ucapan penuh syukur itu.

Ibuk mengatakan satu kata syukur itu harus melalui tangis air mata. Pun, secara jelas, ketika Ibuk mendadak 'mak nyut' kepikiran nasib kedua adikku.

Tidak masalah jika setiap orang itu berbeda. Memang harusnya begitu. Kemudian Bapak menyahut paling kencang, ketika Ibuku depresi. "Memang kemampuan anaknya segitu, yaudah."

Ah, sama seperti yang lain. Bahwa setiap orang secara naluriah akan berpikir menghargai perbedaan, menghargai nilai, menghargai kemampuan, menghargai kapasitas masing-masing. Memiliki standar yang sama dengan manusia kebanyakan, tidak akan menyelesaikan. Wong, secara hakikat setiap orang berbeda.

Mungkin itulah jawaban yang tersirat. Tuhan menitipkan aku untuk tumbuh kembang, berprinsip, dan berkemampuan sampai menjadi bagian dari keluarga yang dibangun Bapak Taufan dan Ibu Suparni.

Hm.

Kontemplasi Alam Berpikirku


Sesederhana menanyakan eksistensi keberadaan kita di muka bumi yang sudah sekarat ini. Kemudian berlanjut mengenai apapun yang tiba-tiba dan mendadak terjadi. Maka benar, jika aku menciptakan fantasi dan imajinasi dalam alam berpikirku sendiri. Terlebih membuatku sedikit lebih waras.

Seperti bumi yang memiliki dua bulan kembar, berbicara pada kucing, kemudian tiba-tiba bisa turun hujan ikan salmon, gurita yang bisa ditemukan di kolam ikan belakang rumah, pelangi terang di malam hari, ah jika ketidakmungkinan itu nyata, maka nyatalah alam berpikirku.

Imajinasi yang kuciptakan nyata, maka tak heran aku belajar menghargai pemikiran orang. Setidaknya hal itu yang sedang aku latih agar menjadi warga bumi yang baik hati dan mulia. Bukankah demikian, tanpa memandang segala perbedaan, toh kita hanya numpang hidup sebagai warga bumi saja.

Sambil berpikir santai, bumi akan baik-baik saja kemudian hari. Memang seharusnya begitu.

**

19:47
26/07/2020

No comments:

Post a Comment