Pages

Sunday, November 22, 2020

Nggak Lagi Bahas Soal 'Bagaimana Demokrasi Mati'


Aku mau bikin opini soal 'How Democracies Die', buku yang lagi hype buat hari ini. Karangan pakar politik dari Universitas Harvard Amerika, Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt, pada 2018. Tapi kok belum sanggup buat ngomong, takut salah, takut ilmunya gak nyampe dan lain-lain.

Tapi kesel juga sama keadaan saat ini. Mau ngomongin karangan dua pakar politik dari Harvard aja mungkin kondisinya lagi related banget sama manajemen konflik yang dipertontonkan pemerintah akhir-akhir ini. Bikin muak. Semuanya saling tuding, saling nyalahkan, pendekatan 'baik-baik' yang jadi nilai khas adat Timur seolah hilang, semuanya pakai otot ajaa mikirnya, heuh.

Ah daripada itu, aku mending berbagi opini soal kenapa isu atau topik tertentu bisa hype banget. Dan bagaimana peran media massa. 

Kenapa aku bikin, karena aku merasa resah aja, kenapa sih setiap berita FPI selalu naik aja. Selalu yang buruknya yang naik. Citranya seperti jelek mandraguna. Padahal sebagai 'orang yang beragama' mereka harusnya lebih santun dan lain sebagainya.

Jadi, jawabnya adalah : kita berbicara mengenai algoritma. Ya, apalagi di dalam membuat konten digital yang semuanya ada teknik SEO-nya. Bagaimana konten atau artikel itu bisa mendapat posisi teratas di dalam search engine. Yah, lagi-lagi kita berbicara mengenai mayoritas.

Framing yang dibawa media massa soal isu tertentu bisa bakal naik dan diterima pembaca luas serta menduduki posisi tertinggi di search engine, dibuktikan dengan traffic beritanya naik, semakin membuat pembuat konten akan memproduksi hal yang sama lewat angle yang berbeda.

Dan lagi-lagi, hal ini dimenangkan oleh FPI.

Ambil contoh hal yang lagi naik-naiknya adalah gontok-gontokkan antara Pemerintah dan FPI saat ini. Apapun yang lagi dilakukan FPI bakal naik. Kita bicara apapun! Padahal kalau mau apple to apple, --hm, mau sebut ormasnya gak ya, galau akutuh-- sekarang FPI jadi sorotan karena mereka bikin kerumunan. Semenjak pulangnya pemimpin tertinggi mereka sampai maraton acara-acara yang menyedot kerumunan. Sebenarnya, di waktu yang sama pula, ada juga kok organisasi islam besar di negeri ini yang membuat acara yang menyedot kerumunan tapi gak ada nilai beritanya. Padahal jelas-jelas dua-dua organisasi massa ini membuat kerumunan loh. Yang satu media darling, dan yang satunya tidak mendapat sorotan publik.

Soalnya keterikatan 'benci'-nya publik pada FPI sudah mendarah daging bung, jadi kalau udah bawa perasaan ya susah. Inilah yang membuat radar pemberitaan soal FPI tinggi. Padahal kan ada tuh organisasi islam yang udah terkenal dan punya massa bisa ngalahin FPI tapi nggak ada nilai beritanya.

Mau apple to apple sama kasus kerumunannya Gibran saat mendaftarkan Wali Kota Solo yang juga bikin kerumunan, kenapa diperbolehkan. Yah karena kalau kata Mabes Polri, beda hukumnya antara manusia sipil macam Rizieq sama Gibran. Kan tujuannya beda. Satu bikin pengajian Maulid yang satu kontestasi politik daerah yang mana ada Undang-undang soal Pilkada-nya. Ah, kalau komentarku sebagai orang bodoh ini : lha wong tujuannya sama-sama bikin kerumunan yaa sama aja dong. Gitu kalau orang bodoh kayak aku komentar.

Engagement atau keterikatan publik soal isu-isu tertentu bisa dicap selamanya jelek. Wong sudah mendarah daging. Sebut aja, soal kenapa bikin berita soal Korea Utara selalu naik. Padahal kita aja tidak pernah tahu apa yang sebenarnya terjadi sama Kim Jong Un. Apa bener Kim begitu beringas? Nggak punya hati buat bunuh siapa saja lawannya?

Ini (analisa) pengamatanku, kebanyakan media massa dari Indonesia lebih banyak mengutip sumber dari reuters. Kita nerjemahin beritanya dan di up lagi. Orang akan tertarik dengan Korut karena engagement dengan publik kita seolah kembali menegaskan citra yang sudah dibangun soal Korut. Negara tertutup, dipimpin presiden yang kejam, beringas, tidak mempunyai nilai kemanusiaan, rakyatnya menderita, bla-bla-bla. Padahal kita tidak tahu persis, bagaimana reuters mendapat berita dari mana. Dan bagaimana penilaian jujur rakyatnya sendiri soal pemerintahan mereka. (Aku berkeyakinan, apapun sistem negaranya, yang namanya kekuasaan ya seperti itulah. Hampir seluruh negara, nggak ada yang lagi baik-baik saja sama negaranya). Jadi, peluang untuk membuat 'menguntungkan kepentingan tertentu' bisa saa terbuka lebar kan?

Sama juga, kayak pas pilpres AS kemarin, aku pantengin dari mulai kanal berita Fox news, MSNBC, guardian, apapun. Ada kok yang terang-terangan berafiliasi dukung salah satu calon tertentu. Kalau contohnya Amerika terlalu jauh, tengok apa yang terjadi di tahun 2014. Bagaimana stasiun tv Indonesia terbelah kubu antara tvone dan metro. 

Lagi-lagi semua ada kepentingannya. Aku cuma mau ngajak sih, agar kita semua dijauhkan dari hal-hal yang mengedepankan perasaan belaka. Udahlah apa itu cebong kampret. Kalau salah, dibenerin dah. Aku gak paham sih, berasa kalau pemerintah kita lebih ke 'membiarkan' pertikaian antarsaudara ini terus terjadi. Sering jatuh menjatuhkan dan menjelekkan saudara sendiri. Ei, itu Space baru aja ngluncurin roket kemarin banget. Masak iya, iklim demokrasi negeri kita masih dipertontonkan ke hal-hal receh dan baper kayak gini.

Mau sampai kapan?

Kalau kita bisa menyaring lebih jernih, yok. Berpikir dua kali. Atau kroscek pemberitaan yang berimbang, biar akal terus sehat. Biar nggak main kubu-kubu-an.

(Ah, tapi susah sih ya?)

(*)

Minggu 22/11/2020
21:11
Baca The Black Swan sampai hlm 41





No comments:

Post a Comment