Pages

  • Home
  • Tumblr
  • linked
facebook linkedin twitter youtube

Rumah Dialektika

    • About Me
    • Renjana
    • Cerita Pendek
    • Opini

    Ini kisah tentang bagaimana seorang Ayah-Ibu yang mengharapkan kehadiran anak mereka pulang ke rumah.

    :::

    Embusan angin dari arah barat meluluhlantakkan terbangan daun yang jatuh di tanah. Memainkan sedemikian rupa hingga menari-nari mengikuti arah angin. Membawanya hingga nanti jatuh ke tanah, jauh dari tempat jatuh sebelumnya. Hawa yang ditimbulkan membuat manusia-manusia yang berada tak jauh dari tarian angin itu mendadak menggigil. Diusap-usapnya kedua telapak tangan mereka mencari kehangatan. Syal tebal melilit di leher-leher mereka. Tak jauh dari tempatnya berada, perkemahan yang mereka dirikan tidak berdiri tegak. Melainkan mengikuti arah gerak angin.

    “Ih, kenapa telepon di saat yang tidak tepat.” Gadis itu geram.

    “Siapa Na?” tanya temannya. Dia menyesap hangat kopi buatannya sendiri tanpa berniat membaginya dengan kawan lainnya yang diruntuki kekesalan.

    “Bapakku.” Jawabnya ketus.

    Hujan datang tiba-tiba. Berawal dari tetes-tetes kecil, lambat laun jatuh hingga mendesak bumi untuk menerima kunjungannya. Kemudian tak tahan untuk disimpan, seluruh pasukan langit memborbardir dengan kekuatan penuhnya. Menghujani bumi tanpa ampun dalam waktu setengah jam.

    Muka Nasitha keruh. Tentu saja. Sebelum agenda Diksar ini berlangsung, ia selalu ditelepon oleh ayahnya untuk segera pulang. Liburan semesteran sudah datang. Ia justru sibuk mempersiapkan acara Diksar ini berlangsung. Cuaca yang tidak mendukung. Tim yang kurang solid karena ditinggal oleh beberapa teman yang sedang KKN. Ia seakan-akan sendiri dalam menghadapi kenyataan. Ketakutan Diksar ini tidak akan sesukses Diksar sebelumnya. Cih, apalagi junior angkatan bawahnya yang hanya menjadi cecunguk budak prokeryang tidak punya inisiatif. Hanya ngeh kalau dia perintah.

    Dalam persiapan Diksar ini ia hanya bisa menggantungkan pada satu orang. Sebenarnya ia merasa tidak nyaman jika ia bekerja lebih berat dibandingkan dirinya. Romdon namanya. Bapaknya sakit. Sakit lambung yang membawanya dirawat di rumah sakit selama tak lebih dari tiga hari. Tetapi sembuh kemudian, saat jengukan pertamanya di hari terakhir Bapaknya di rawat. Esok harinya, ia membantu mempersiapkan Diksar. Nasitha dibawa terenyuh oleh keloyalannya.

    Nasitha sibuk mencari pinjaman alat untuk menyukseskan acara Diksarnya, suatu saat.

    “Na, aku ijin.” Kata Romdon di suatu saat dia kerepotan untuk meminjam alat. “Sebentar.” Mukanya sudah keruh.

    Nasitha menganggapnya dengan santai, sembari bergurau dia berkata, “Kamu tega, Don. Ninggalin aku sendirian.” Katanya.Romdon terenyuh. Benar juga. Tidak banyak personel yang ada di kampus untuk mempersiapkan Diksar.

    “Yowis.” Romdon akhirnya menyerah.

    Nasitha tertegun, ia tidak menyangka kalau gurauannya dianggap serius oleh Romdon. Ia bingung harus menanggapinya dengan macam jawaban seperti apa. Tetapi, hati kecilnya merasa senang. Bagaimanapun dia ada teman untuk membantunya. Secara kematangan strategi dia tidak banyak memberi kewenangan pada angkatan bawah. Romdon adalah orang yang ia percayai dalam banyak hal. Kehadirannya sudah sangat membantu,setidaknya ada bahu untuk mendengarkan kefrustasian  menghadapi Diksar kali ini.

    Diliriknya tenda milik Romdon yang berjarak dua tenda di samping kanannya melalui celah tenda miliknya. Ia sebenarnya sudah merasa berhutang budi pada Romdon jika ada hal buruk terjadi. Aku mendengar dari juniornya di suatu pekan bahwa tanpa seijinnyaRomdon pulang ke Boyolali untuk menjenguk Bapaknya. Ia benar benar merasa tidak enak pada Romdon. Seolah-olah dia adalah orang yang menghalang-halangi bertemunya dia dengan Bapaknya.

    Telepon masuk lagi.

    “Kamu dimana? Pulang!” seru Abinya lewat telepon. Di pos satu memang sinyal menerima telepon cukup kencang. Tapi apes. Abinya selalu telepon, menerornya untuk memberi penjelasan ratusan kali kenapa ia tidak pulang ke rumahnya.

    “Bi, aku di Gunung Lawu ini. Badai!” seru Nasitha tak kalah keras dibanding dengan derasnya hujan yang menghampiri Bumi sore ini.

    “Ijin sama Ketua Pelaksananya. Sini, Abi mau bicara.” Jawab Abinya.

    Mati!

    Nasitha membulatkan bola matanya. Ia tercengang tidak percaya. Jangan sampai Abinya tahu kalau dia adalah Ketua Pelaksananya untuk Diksar tahun ini.

    “Orangnya sudah di pos atas. Nggak ada di sini.” Ia berbohong.

    Jeda dua detik. Nasitha waspada jika Abinya bertindak lebih heboh lagi melebihi memanggil ketua pelaksana Diksar.

    “Abi lihat berita di televisi, ada 3 mahasiswa mati karena Diksar.” Cerocos Abinya.

    Oh.

    “Di Gunung Lawu juga.” Tambah Abinya memberi tahu.

    Nasitha juga paham ada berita itu. Itulah kenapa beberapa Mapala yang mengadakan Diksar setelah kejadian itu dibatalkan. Padahal, antara Diksar Mapalanya dengan Diksar kampus di Jogja sudah dibagi tempat pelaksanaannya karena waktu yang bersamaan. Diksar miliknya mengambil rute Cemoro Sewu, berbeda dengan Kampus Jogja.

    “Insya Allah, disini aman Bi.” Sanggahnya. Dalam hati kurang dari dua hari lagi, DiksarMapalanya akan selesai.

    “Pokoknya kamu harus pulang!” Abinya mengatakan dengan tegas dan penuh penekanan. Nasitha memang bebal. Selama lebih dari dua Minggu sebelum dilaksanakan Diksar, Abi dan Uminya sudah mengingatkan untuk segera pulang. Seolah-olah, Abi-Uminya tahu betul jadwal libur kampus melebihi Wakil Dekan I Bidang Kurikulum.

    “Iya Bi, setelah ini aku pulang.”

    Telepon ditutup. Ia tersenyum kecut. Hari ini dia sudah bisa menghindar. Tidak tahu kalau besok. Ia berdoa, agar keberadaannya di Gunung Lawu ini yang besok pagi akan dimulai pendakian tidak benar-benar mendapatkan sinyal. Ia terlalu berdosa untuk mengatakan alasan yang tidak masuk akal.

    ***

    Selesai Diksar, Abi-Uminya semakin gencar merecokinya untuk segera pulang. Biasanya ia hanya mendapatkan telepon sehari sekali, kali ini bisa dua hingga tiga kali. Mengganggu. Apalagi saat seperti ini adalah sibuk-sibuknya dia berjibaku dengan evaluasi Diksar kemarin. Ia terserang flu parah. Uminya bisa menduga dengan tepat saat suara anaknya berubah menjadi bindeng. Khawatirnya minta ampun.

    “Kapan pulang?” Tanya Uminya di sambungan telepon ketika selesai ia melaksanakan sholatMaghrib. Ia berjalan menuju Sekretariat Mapala Fakultas miliknya. Sudah tiga malam ini, dia tidur di sekre. Jika suatu waktu seniornya meminta penjelasan tentang jalannya Diksar yang baru saja dilaksanakan Minggu kemarin.

    “Bentar, Mi. Masih belum selesai urusannya.” Katanya berkata jujur. Memang ia masih belum menyelesaikan beberapa hal lain tentang evaluasi kegiatannya.

    “Suaramu udah aneh gitu. Ini Umi udah jalan mau ke stasiun.” Tambah Abi. Satu sambungan telepon dipakai oleh kedua orangtuanya.

    Nasitha sudah gelagapan. Bingung harus membalas dengan jawaban seperti apa lagi. Semua stok kebohongan yang dimilikinya sudah habis.

    “OJO BIII...” sergahnya cepat saat menyatakan kalau mereka sudah bersiap siap menuju ke stasiun.

    Mati!

    “Aku wis apik iki.” Tambahnya. Selama tiga hari kemarin memang dia terserang flu parah yang menyebabkan suaranya menjadi aneh. Apalagi orang yang mendeteksi penyakitnya adalah Uminya sendiri.

    Kemudian Nasitha bercerita bahwa teman satu jurusannya yang merawat dia selama sakit. Kalau cerita yang ini, ia tidak berbohong. Selain alasan temannya, Roro menginap di Sekre adalah ia berselisih paham dengan ibu angkatnya yang menyebabkan sekreNasitha-lah yang menjadi tempatnya berlari. Selain di rumah, maksudnya.

    Romdon membersihkan sleeping bag yang akan dia kembalikan ke Mapala Garba. Suara telepon Nasitha yang berada di dalam sekre terdengar jelas. Mengingat ini sudah malam dan tak banyak manusia penghuni Gedung Sekre ini di malam hari.

    Telepon tutup. Dengan keputusan ia akan pulang tak lebih dari seminggu lagi. Umi dan Abinya akan mengancam akan ke Solo memastikan keadaan anak semata wayang mereka baik-baik saja.

    “Na, tadi Abimu yang telepon?” tanya Romdon. Ia meletakkan dua sleepingbagyang dibersihkan menggunakan kain itu ke dalam sekre. Nanti, selepas sholat isya dia dan Nasitha berencana untuk mengembalikannya.

    Tidak perlu ada jawaban, hanya anggukan malas Nasitha yang menjadi jawaban pertanyaan Romdon. Ia tengah sibuk membalas chat yang masuk saat waktunya disabotase oleh telepon masuk dari orang tuanya.

    “Emang kalau bicara sama Orangtuamu kamu sekasar itu?” tanya Romdon. Ia malas menyahut. Kepalanya sudah pening dalam artian yang sebenarnya. Hidungnya tersumbat karena flu. Ia tidak memerlukan banyak kata untuk membalas pertanyaan remahan dari Romdon.

    Jeda sepuluh detik. Romdon sibuk dengan melipat dua sleeping bag. 

    “Jangan suka seperti itu Na. Kamu masih beruntung masih punya Bapak. Daripada punya Bapak yang nyawanya mengambang. Mati gak, hidup juga enggak.”

    Jlep! 

    Itu sudah menegaskan kabar burung yang hanya didengardari juniornya. BapakRomdon dilarikan ke rumah sakit. Karena sering muntah darah. Apakah semengerikan itu keadaan ayahnya Romdon. Tiba-tiba ia merasa bersalah untuk kesekian kalinya. Romdon masih di sini bersamanya. Ia harusnya berada di sisi ayahnya saat ini.

    “Ayo ke Garba!” ajak Romdon. Ia sudah membawa sleeping bag ke dalam tas plastik besar. Nasitha patuh. Ia merapikan tas slempangnya. Memasukkan hp-nya ke dalam. Lalu mengikuti Romdon yang sudah berjalan ke arah parkiran belakang gedung 3.

    **

    Hp Nasitha sejak pagi sudah penuh chat Toni, sahabatnya Romdon. Chatitu hanya sapaan biasa. Tetapi berulang hingga lima kali.

     “Na”

    Ponselnya keburu habis baterainya. Chat Toni tak berbalas.

    Sorenya, saat ia mengecek hp miliknya. Toni bertanya dengan pertanyaan yang mengejutkan.
    “Apa Bapaknya Romdon meninggal?”

    Ia terpaku melihat layar ponselnya. Ia gemetar dalam diam. Lalu dilihatnya Romdon yang membersihkan beberapa alat yang harus dikembalikan ke Mapala Kampus lain.

    Romdon sedang bercanda dengan juniornya. Tetapi senyumnya menghilang sesaat. Ketika ia toleh keberadaan Romdon yang sudah berbincang dengan orang lain. Lalu, lenyap. Romdon dibawa oleh orang lain yang tak ia kenal. Bukan anggota anak pecinta Alam. Satu juniornya yang bersama Romdon tadi berjalan kearahnya. Tadi saudara Romdon dari desa. Mengatakan sesuatu yang membenarkan isi chat Toni.

    Bapaknya Romdon meninggal.

    ***

    Lima kali evaluasi lima malam yang harus dihabiskan Nasitha untuk tidak tidur. Sakit demamnya memang menjadi. Tetapi perasaanya mulai lega. Janji untuk pulang ke Tulungagung semakin terealisasi.

    Saat ia melayat, ia bingung. Mengajaknya bicara mengatakan permohonan maafnya atau hanya melihat wajah melas Romdon. Romdon anak pertama dan dalam jangka waktu tak sampai putaran purnama, dia harus menjadi tulang punggung keluarga. Sedih rasanya melihat Romdon begitu terpukul. Nasitha memutuskan untuk diam.

    Romdon duduk di tengah ruangan. Ia kembali saat jasad Bapaknya sudah dikebumikan. Ia melihat Nasitha bersama dengan rombongan teman Mapala. Lalu ia berdiri menghampiri Nasitha yang melihat kaku ke arahnya.

    Berujar ringan. “Pulang, Na.”

    Disinilah ia berada. Di pinggir jalan, menunggu bus lintas provinsi yang biasa melewati depan kampusnya.

    Ia melambaikan tangan, menghadang dengan satu tangannya saat Bus bertuliskan MIRA berjalan dari jauh ke arahnya. Tas travelbag dijinjing oleh kondektur bus. Cukup membantunya. Ia melangkah masuk ke dalam bus. Berjubelan denganorang-orang yang memiliki jutaan alasan dalam kepergiannya. Yang jelas, tujuannya hanya satu, pulang.

    **

    Paranggupito, Sabtu 4-2-17 pukul 11.40

    :::

    Cerita di balik ini adalah suatu malam Nasitha menelpon aku kalau ayahnya Romdon meninggal. Kejadiannya di awal tahun 2017 tepat ketika aku sedang KKN di Paranggupito.  Dan tepat hari ini (16 November 2017) orang yang pertama kali aku lihat di kampus, selain Listusista adalah Romdon. Seharian menghabiskan waktu berdua. Kemudian, sedetik sebelumnya, Nasitha dengan alaynya mengirim lirik lagu Kesempurnaan Cinta. 

    Butuh waktu lama untuk mengposting cerita ini. 

    Romdon, adalah seseorang yang tegar. Waktu yang membuatnya menjadi seperti ini. Dan untuk kalian, jangan lupa untuk pulang. Itu pesanku.


    ----  N  a  b  i  l  a    C  h  a  f  a  -----
    16 November 2017, sehari selepas pulang dari Pare 
    di wifian dengan ditemani dua lelaki yang tidak aku kenal, depan gedung 3 FIB
    17:34 pm
    Continue Reading
    Kita tidak tahu sampai kapan kita ada di dunia. Ada berita duka yang menghampiriku di waktu yang bersamaan. Ini tentang keberadaan orang lain, orang asing yang ditakdirkan Tuhan untuk aku temui. Sederhananya, Selasa (12/9) ayahnya Uun meninggal dunia. Siapa Uun? Aku pernah membahasnya di sini.

    Kemudian, sorenya ibuku bercerita mengenai keadaan kakekku. Dia adalah satu-satunya "simbah" yang aku punya. Dan "simbah" dengan umur tertua. Hampir mencapai angka satu abad. Seseorang yang masa mudanya begitu sehat, tiap hari ke sawah, tiap sore berkeliling mengunjungi rumah anaknya dengan sepeda onthel, kini harus memburuk dengan diagonisis dokter yang mengatakan syaraf di kakinya sudah tidak berfungsi lagi. Tapi rasanya begitu sakit. Rasanya ingin nangis. Tapi, apakah menangis mampu menyelesaikan. Faktor umur apalagi. Tidak ada lagi pengobatan manapun yang mampu menyembuhkan. Sekarang, menjadi tugas anaklah untuk berbakti sebanyak-banyak di sisa waktu yang diberikan Tuhan pada kakekku.

    Pagi tadi, sepanjang perjalanan akan ke tempatnya Yayak, aku berpikir banyak hal. Aku hari ini tidak bisa mampir untuk full merawat kakekku. Karena sedikit kemageranku karena hari pertama haid, dan janjian dengan Yayak (untuk membuat proposal sponshorsip Bakti Muda). Pola berpikirku adalah jika Tuhan mengambil orang tuaku mendadak. Seperti ayahnya Uun. Apakah aku sanggup berdiri tegak dan memandang langit? Seolah, ada hal mendadak yang terjadi dalam hidupmu dan mengubah segalanya. Sedetik hempasan saja. Ketika Tuhan dengan Kuasa-Nya mampu membuat keputusan yang menyakitkan untuk kita.

    Apakah kita cukup untuk siap?

    Jujur, dengan pola berpikirku yang masih dangkal maka aku akan jawab tidak sanggup. Aku tidak sanggup lagi bertahan. Betapa aku masih bergantung secara penuh pada kedua orang tuaku. Masalah keuangan, masalah pendidikan moral, pendidikan agama, masalah masa depan. Aku menggantungkan banyak hal tanpa orang tuaku sadari bahwa aku tidak mampu untuk tidak menyertakan mereka dalam mimpi besarku kelak.

    Ketika hal itu tidak sejalan?

    Aku tidak cukup mampu untuk bangkit. Aku pikir, Tuhan adalah Dzat yang paham betul apa yang terbaik bagi hamba-Nya. Jika memang aku harus dihadapkan pada masalah pelik akan kehilangan orang yang kita sayang adalah cara terbaik bagi Tuhan untuk mengujiku, maka aku akan bertahan. Setiap orang pasti memiliki turning point yang membuat dia harus menyadari posisinya. Mungkin aku tidak akan bertahan sekuat--apa yang dikatakan orang-orang, apa yang mereka doakan untukku agar aku bisa bertahan--tetapi aku rapuh. Tidak ada lagi yang diharapkan. Mimpi yang menjadi orang sukses, anak yang membanggakan, anak yang luar biasa agar orang tuaku paham bahwa kerja keras anak untuk ditunjukkan pada orang tuanya seolah memudar. Jikan kehendak dan kuasa Tuhan sudah mengambil kebahagiaan itu.

    Dalam postingan ini sesungguhnya aku hanya ingin mengungkapkan bahwa aku bukan anak yang sebaik-baik anak yang diciptakan Tuhan untuk menjadi luar biasa, hebat, keren, dan mampu untuk dibanggakan. Aku jauh dari hal itu. Kata mandiri jauh dari diriku. Ketika tiap kali aku bertahan, aku masih banyak yang aku sandarkan dalam hidup. Terutama pada kedua orang tuaku. Ketika mereka tiba-tiba tidak ada suatu saat nanti, aku tidak akan pernah bisa tahu apakah aku akan baik-baik saja. Aku pasti akan mengatakan, aku tidak sedang baik-baik saja.

    Aku menangis.

    Tentu, kenapa harus ada kelahiran jika nanti ada kematian. Sebaiknya Tuhan tidak perlu repot-repot menciptakan aku. Apakah jika suatu saat setiap orang meninggal, jiwa mereka tereinkarnasi dengan jiwa masa depan.

    Aku manusia egois, sok bisa, sok mampu, sok kuat, sok segalanya.
    Tuhan ampuni aku yang banyak kata sok dalam hidup.
    Aku bukan anak yang mampu membahagiakan orang tuaku dengan baik. Hukumlah aku atas ketidakmampuanku. Berikan aku cukup waktu untuk menghapus kata sok dalam hidupku.
    Dan, berikan aku rasa untuk bertahan, jika suatu saat Kau mengambil orang-orang disekitarku. Karena aku tidak tahu sampai kapan aku hidup, aku hanya mampu menebak, bahwa waktuku tidak akan lama lagi.





    ___________________________

    Its gloomy day,
    like this 
    .
    Without rain and tears
    .
    Its just happened
    ...



    Nabila Chafa
    14 September 2017
    22:27 pm


    Continue Reading
    nabila chafa :

    beberapa bulan yang lalu, aku sama temen-temenku *sebut saja mereka pengikut acara Blora the explorer* mengadakan acara touring *niatnya* dan berjalan *agak* sukses. Hahahaha :D

    Bentar gue ketawa dulu :p

    Kita berangkat dari Stasiun Balapan jam enam pagi. Dan tralalala, aku telat.

    Kali ini dengan tatapan tidak mengenakkan dari Magdalena alias adek puput. Maaaf.... 

    Terus, diperjalanan yang begitu deh rasanya naik kereta. Digaris bawahi bahwa saya punya teman yang belum pernah naik kereta. Digarisbawahi juga namanya Nanasitha. Maaf... :)

    Dan sesampainya di Jogja, lebih tepatnya di stasiun Lempuyangan kami berbelanja. dan tentu saja menunggu temen saya yang asli Jogja dan namanya adalah Nurul. Kami berjalan-jalan di sepanjang jalan Malioboro. Dan banyak membeli buah tangan *lebih tepatnya dua temenku* hem... hem...

    Dan inilah publikasi dari foto-foto kita selama berwisata :

    *ehem... ehem...* Tadaaaaa....
















    The last....

    *yang paling eksotis dari semua foto*



    Continue Reading
    nabila chafa : dedicated to my neigbour, friends, and motivater....


    Solo, 20 Februari 2014


    Long Distance Relationship~~~~~



    It has been a long time ago…


    I didn’t know how much I love him. Until now,  I can’t realize that the day come too fast than I thought. I sent message and call his phone repeatedly. But, he wasn’t give feedback. Why you as though disappear? I didn’t know either that this was going to happen. 


    I check my facebook account on this time. Perhaps, he told me why he was gone without permission. But not at all. No attention. No information. He’s really disappear. 


    Akari Toyoda give me some message again.  He’s my friend in Japan and Tokahiro’s too. 


    You must don’t worry, Tokahiro is alright. He’s busy for this moment. 


    He told me like that. But how much this time was so expensive without any his information ? I asked to find  Tokahiro’s out. It’s not for first time. How pathetic I am. 


    Akari give some message. Again…


    Something marvelious will happen, just observe it well :D 


    I phone ring. I hold on immediately. From International number and I miss so much when the number called me. 


    “Hi..”


    “Why you so…”


    “Could you accept my proposal?”


    I saw a Tokahiro’s photo in my message. He’s done.

    ____________________end_______________________

    *buat temenku yang satu ini, aku hanya mau ngupacin untuk berselamat long distance, karena memang susah. Karena rasanya juga terasa nyesek kalau dijalanin, jadi, just enjoy it yah, Rat! Ganbatte Kudasai :)
    *Aku tak paham sepenuhnya apa rasa itu? Apa sebenarnya yang dialami oleh kebanyakan orang yang *yah* harus menjalani hubungan jarak jauh, anyway gue juga bingung mengungkapkan, kenapa mereka mau mengharapkan sesuatu itu :( Just you know-lah, aku hanya bisa belajar dari kalian yang sedang menjalani hubugan yang seperti itu :)) selamat menikmati dan menjalani :))


    *) buat aku, sepertinya konsep LDR memang susah diterapkan di pribadiku ini, Karena apa? Aku lebih suka yang di depan mataku langsung dan merasakan sensasinya :) Jadi, yah *maav* kalau selama ini aku juga bingung dengan konsep orang kebanyakan yang betah untuk menjalani hubungan macam itu :))


    Enjoy ya, RATRI :p


    Continue Reading
    nabila chafa:
    Siapa ini?


    Hahaha… Nana buat gambar yang –lumayan- mirip sama aslinya. Dia itu orang gila. Guess what? Kemarin pas hari Selasa, 24 Desember 2013 Isna main ke kosnya. Dan pampangan gambar yang ditempel pasti dong –everybody knows. Huhuhu J)) Yah, begitulah.
    Dan pada akhirnya dia hanya bisa ngeles njawab, kalo gambarnya itu adalah Kyuhyun. Dosa apa tuh gambar sampai dibohongi pula?? Ck..ck..ck…
    Yah, inilah resiko kalau ngefans sama kakak tingkat yang lumayan rada kece. Memang nasib kalau banyak pesaingnya. Hm.. hm..


    Untuk kau diluar sana yang menganggumi dan mencintai dari jauh seperti temanku Nasitha itu, pastikan kekuatan perasaan kalian kuat menanggungnya. Okey?

    Salam ce-mu-ngut!!

    Nabila 
    *kya, buat nana*
    Continue Reading
    Older
    Stories

    About Me!

    About Me!

    Arsip

    • ▼  2023 (1)
      • ▼  Jan 2023 (1)
        • My Last Dance
    • ►  2021 (34)
      • ►  Aug 2021 (1)
      • ►  Jul 2021 (3)
      • ►  Jun 2021 (3)
      • ►  May 2021 (4)
      • ►  Apr 2021 (8)
      • ►  Mar 2021 (6)
      • ►  Feb 2021 (4)
      • ►  Jan 2021 (5)
    • ►  2020 (64)
      • ►  Dec 2020 (4)
      • ►  Nov 2020 (4)
      • ►  Oct 2020 (4)
      • ►  Sep 2020 (4)
      • ►  Aug 2020 (5)
      • ►  Jul 2020 (6)
      • ►  Jun 2020 (6)
      • ►  May 2020 (5)
      • ►  Apr 2020 (9)
      • ►  Mar 2020 (6)
      • ►  Feb 2020 (9)
      • ►  Jan 2020 (2)
    • ►  2019 (12)
      • ►  Jul 2019 (1)
      • ►  May 2019 (4)
      • ►  Apr 2019 (1)
      • ►  Mar 2019 (2)
      • ►  Feb 2019 (3)
      • ►  Jan 2019 (1)
    • ►  2018 (6)
      • ►  May 2018 (2)
      • ►  Apr 2018 (1)
      • ►  Jan 2018 (3)
    • ►  2017 (9)
      • ►  Dec 2017 (1)
      • ►  Nov 2017 (2)
      • ►  Oct 2017 (1)
      • ►  Sep 2017 (5)
    • ►  2016 (3)
      • ►  Sep 2016 (1)
      • ►  Apr 2016 (1)
      • ►  Mar 2016 (1)
    • ►  2015 (7)
      • ►  May 2015 (6)
      • ►  Mar 2015 (1)
    • ►  2014 (25)
      • ►  Nov 2014 (1)
      • ►  Oct 2014 (2)
      • ►  Jun 2014 (1)
      • ►  May 2014 (2)
      • ►  Apr 2014 (6)
      • ►  Mar 2014 (3)
      • ►  Feb 2014 (7)
      • ►  Jan 2014 (3)
    • ►  2013 (12)
      • ►  Dec 2013 (7)
      • ►  Oct 2013 (2)
      • ►  May 2013 (1)
      • ►  Jan 2013 (2)
    • ►  2012 (12)
      • ►  Dec 2012 (3)
      • ►  Nov 2012 (2)
      • ►  Jun 2012 (2)
      • ►  May 2012 (2)
      • ►  Jan 2012 (3)
    • ►  2011 (14)
      • ►  Dec 2011 (3)
      • ►  Nov 2011 (11)

    Labels

    Artikel Ilmiah Bincang Buku Cerpen Curahan Hati :O Essay harapan baru Hati Bercerita :) History Our Victory Lirik Lagu little friendship Lomba menulis cerpen :) Memory on Smaga My Friends & I My Poem NOVEL opini Renjana Review Tontonan Story is my precious time Story of my life TravelLook!

    Follow Us

    • facebook
    • twitter
    • bloglovin
    • youtube
    • pinterest
    • instagram

    recent posts

    Powered by Blogger.

    Total Pageviews

    1 Minggu 1 Cerita

    1minggu1cerita

    Follow Me

    facebook Twitter instagram pinterest bloglovin google plus tumblr

    Created with by BeautyTemplates | Distributed By Gooyaabi Templates

    Back to top