Ng... Itu Kode?

5:57 AM

nabila chafa:
* dalam rangka mengikuti sayembara #SayembaraTulangRusukSusu dari bang @IndraWidjaya dan @Bukune...



Ng… Itu Kode?
By: Nabila Nurul Chasanati
Oke. 

Kadang aku membenci bagian dalam perjalanan hidupku yang entah aku juga tidak tahu bagaimana alurnya. Aku belum pernah menjalin sebuah hubungan sebelumnya. Sebelum dan sesudah dari ini semua. Tidak pernah. Dan aku tidak berani. Entahlah… 

Aku belum pernah merasakan ada seorang pria yang menggenggam jemari tanganku dan membuatnya tertunduk terpaku. Saling menatap lebih dalam lagi. Dan menemukan sejatinya hidup yang terisi sempurna. Benar-benar peristiwa yang aku ingin alami sendiri dengan kesadaran penuh, bahwa aku menginginkannya. Aku benci mengatakannya. Dari sejuta umat yang bernama manusia kenapa hanya aku yang tidak mengalaminya. Aku tak tahu dan tak mau tahu juga. 

Dan inilah kisahku, saat peristiwa itu benar-benar terjadi. Satu kejadian yang meruntuhkan peradaban kesendirianku seumur hidup. Tapi entahlah, tidak sesuai dengan apa yang kuharapkan juga. Tapi aku ingin orang itu sadar dan mengerti betapa aku ingin dia kembali. 

Sama seperti bahasa kriminal. Sebut saja namanya Rama. Ng… sebenarnya memang itu nama belakangnya. Dia adalah kakak kelasku di SMA. Orangnya lebih pendiam, tidak banyak aneh-aneh –kaum cowok yang nyaris sempurna dengan keluguannya--, seorang jenius Fisika –dan aku mengaguminya- dan yang membuat aku susah menelan ludah, dia adalah playmaker basket di SMA-ku. Saat itu jaman-jamannya DBL, sebuah pertandingan kejuaruan seleksi antar kota untuk menghadapi kejuaraan Nasional. Yaa, dia masuk tim inti dan dari apa yang aku curi dengar saat mencari informasi tentangnya adalah dia menjadi tim inti sejak kelas satu. Satu hal lagi yang membuat dia terlihat sempurna dalam cover tubuh yang lugu itu, dia jago untuk desain grafis. 

Dia adalah jenius yang dengan kesempurnaanya mampu meruntuhkan diriku seketika. 

Aku masih polos waktu itu. Baru saja menjadi murid baru di SMA setelah melepas warna putih biruku. Tetapi terlalu pintar untuk menemukan sosok yang bagiku sangat langka itu. Dan sungguh, itu adalah nyata. Bukan fiktif belaka yang ingin aku katakan. Dan ini juga bukan cerita sinetron-sinetron kebanyakan. Coba deh, bayangkan jika kalian hidup dan menyadari fakta yang benar-benar kategori the one and only itu? Apa yang akan kalian rasakan? Menyukainya bukan? Oh ya, kecuali satu hal. Dia benar-benar tidak berpolah petakilan sama seperti kebanyakan cowok sok di luar sana. Itu agak membuat dirinya tenggelam dari hingar bingar kepopuleran dan sejajar dengan makhluk awam di sekolah. Kadang membuat sosok menawannya kabur dari bayang-bayang keluguan dan bahkan tidak terpikirkan di benak orang. Itu masalahnya, mungkin.
Aku getol banget mendekatinya. Semampuku, tentunya. Karena yang sadar akan keberadaan makhluk unik yang seperti itu juga lumayan banyak. Aku bersaing dengan sesama angkatan kelas sepuluh, ada dua anak sainganku, yang aku ketahui. Lalu dari kakak kelasku sendiri, ada tiga orang waktu itu. Tapi anggap saja hanya satu orang kakak kelas yang benar-benar menyukainya. Dan juga, anggap saja hanya aku satu-satunya anak kelas satu yang juga getol banget saingan memperebutkannya. 

Oke, I’m freak. Sadar juga bahwa pasti lelaki itu, ng… Rama tidak akan melirikku karena polahku. Tapi sungguh, aku juga melakukannya dengan menjunjung dogma slow but sure. Tidak seperti kakak kelasku itu. Tapi secara persaingan, cewek itu memang menang telak. Dan cewek itu sebenarnya sudah mendapatkan hatinya, karena setiap basa-basi yang sering dia lontarkan pasti mendapatkan balasan dari Rama. Tentu saja, karena tingkahnya itu, aku ibaratkan seperti buntut bebek, kemana saja dia ikuti. Tidak sepertiku. Secara waktu dan kesempatan, aku tidak terlalu punya.

Ya sudahlaaah…

Tapi aku menyukainya. Sangat menyukainya. Sebenarnya, apa yang aku lakukan tetap saja sama. Tidak berubah, Ya, walaupun perubahan drastis yang aku lakukan masih kategori pendekatan. Tidak gencar seperti apa yang dilakukan kakak kelasku itu. Usahaku hanya sepele sebenarnya, tetapi terlalu sering aku lakukan. Seperti, berangkat sekolah tepat seperti jam dimana dia sering berangkat juga. Biar tidak disengaja aku bertemu di parkiran motor dan menyapanya. Hanya sapaan ‘Hei, kak…’ tapi lebih sering, bahkan aku usahakan agar setiap hari aku melakukannya. Dan itu juga menurutku masih kategori biasa. Pasti dia juga percaya bahwa ini hanya pertemuan yang tidak sengaja. Tanpa berpikir bahwa sebenarnya aku selalu berusaha berangkat ke sekolah tepat jam berangkatnya. Dan bagian dari kesengajaanku juga. Lalu, aku lebih sering mondar mandir di depan kelasnya. Seolah-olah dengan alibi aku pergi ke kantin dan memakai tangga timur agar dapat berjumpa dengannya dan menyapanya tepat saat dia juga akan keluar kelas. Kali ini usahaku terkadang berhasil kadang tidak. Karena dia juga bukan tipe orang yang selalu akan meninggalkan kelas saat jam istirahat tiba. 

Sebisa mungkin aku melakukan semua alibiku dan getol selalu melihat wajahnya setiap hari. Bukannya mau melambai juga, tetapi saat aku sehari tidak bertemu dengannya itu, rasanya ada yang kurang. Ada sesuatu yang … susah kujelaskan bahwa aku sangat merindukannya. Sungguh! 

Mungkin kali ini aku mengalami sebuah tantangan. Maksudku, dalam hidupku baru kali ini aku merasakan diriku semakin gila saja saat menyukai Rama. Karena entahlah, nama itu yang selalu aku ingat sebelum tidur untuk mendoakannya agar dia baik-baik saja dan nama yang selalu aku dengungkan setiap pagi untuk doa permohonanku agar aku bertemu dengannya nanti di sekolah. 

Usahaku masih sama seperti sebelumnya. Dan waktu untuk ujian semesteran pun datang juga. 

Surprise!

Aku mendapatinya sebagai teman satu bangkuku dalam ujian semesteran. Gila! Kupastikan segala hal yang aku persiapkan untuk ujian bisa luntur seketika jika takdir memasangkan kami berdua. Oke, sebenarnya yang bermasalah adalah aku bukan dia, I mean. Aku tak yakin sepanjang ujian aku masih bisa berkonsentrasi atau tidak. 

Sudahlah. Ini yang namanya takdir 

“Sudah belajar, dik?” tanyanya ramah saat dia tiba di bangkunya. Aku menggangguk lemah. Ya, sejujurnya yang aku jadikan konsentrasi berpikirku, seberapa kuatkah magnet yang ada di diri Rama sampai menjeratku? Ng… seandainya tidak begitu dalam, seharusnya aku tidak sekhawatir seperti ini. Berpikir negatif jika suatu waktu aku tidak mampu untuk mengerjakan soal ujianku. Alay? But it’s real. 

Terserah kalian mau berpikir seperti apa. Yang aku lakukan adalah mengerjakan cepat-cepat tetapi dengan benar lalu melamun memikirkan dia yang ada di sebelahku. Yaa, walaupun aku tidak yakin hasil dari kerjaku. Melihat kelelahannya dalam berpikir. Dan aku suka. Maksudnya menikmati sensasinya. Karena benar-benar rasanya sebuah tantangan dan aku tertantang. 

Berangsur-angsur terjadi dalam satu minggu penuh. Dan aku ingin waktu berhenti berdetak saja, rasanya. 

“Kak, hari ini hari terakhir.” Kataku mengingatkan. Aku ingin dia tahu kalau aku benar-benar merasa kehilangannya setelah seminggu ini kami menjalani tes. 

“Iya, tidak berasa, cepat sekali.” Sahutnya kalem. 

Lalu hilang seketika. Setelah tes, biasanya diadakan tes remidi untuk beberapa anak yang nilainya kurang. Oke, bagian yang selalu aku rindukan untuk tetap stay di sekolah, pupus sudah. Maksudku, Rama bahkan tidak pernah masuk sekolah mentang-mentang tidak ada remidi. Setidaknya aku rindu dengan hidung bangirnya itu. Tidakkah rasanya menyakitkan kalau tidak melihatnya sehari saja. 

Sialan!

Lalu tidak ada cerita selanjutnya. Dan sialnya Rama dengan saingan terberatku itu masih langgeng-langgeng saja. Hampir satu bulan berjalan, dan aku harus menikmati ketersiksaan karena tidak melihat dia selama kurang lebih  dua minggu lebih karena libur semesteran. Ini gila! Aku online di media sosial, tapi dia tidak juga nongol. Kali ini aku menyerah. 

Setelah penderitaan itu berakhir, aku dikejutkan dengan selentingan kabar bahwa dia sudah jadian dengan kakak kelasku yang menjadi saingan terberatku untuk mendapatkan Rama itu. Sudahlah, aku ingin dunia berakhir sebenarnya. Galau akut aku jalani. Rasanya menyesakkan saja, di dada.

Walaupun sebenarnya dia bukan menjadi milikku. Kebiasaan yang tidak bisa aku lepas masih saja mengikutiku. Misalnya, masih keseringan berangkat tepat jam keberangatannya di sekolah. Masih menunggunya di taman belakang sekolah untuk memastikan dia pulang. Lalu masih mendukungnya secara heroik untuk pertandiangan basket di event sebesar DBL. Tapi sudahlah, memang usahaku benar-benar sia-sia saja. 

Aku menceritakan ini untuk membuka lembaran cerita masa lalu yang terkubur bersama puing-puing kegalauanku yang lain. Untuk cerita empat tahun yang lalu. Saat aku menceritakan ini kembali seperti mengorek masa laluku yang mengenaskan. Dan selalu saja begitu. Tak ada kisah yang berakhir semanis madu. Tapi, entahlah, aku menikmatinya saja. Malah terbilang lucu kala aku mengingatnya. 

Dia kuliah di kampus terbaik di Indonesia. Mengambil jurusan teknik sipil. Bukan bidang desain grafis atau apalah, mengingat bakatnya yang luar biasa. Dia juga eksis dengan basket kampusnya. Sampai sekarang Rama masih saja bersinar. Dan selalu membuatku ingin kembali mendambakan sosoknya. 

Aku tak tahu maksud Tulang Rusuk Susu yang sebenarnya yang sering didengung-dengungkan Om Indra Widjaya, tapi bagiku dia bagaikan sepasang sepatu terbaikku yang hilang. Langkahku juga tidak senyaman saat sepatu pasangannya itu tidak ada. Oke, ini berlebihan. Tapi jika suatu saat nanti, dia  kembali, aku ingin  menegaskan bahwa dia adalah orang yang membuat kegalauan akutku selalu kambuh. 

“Ram, orang yang tidak bisa move-on itu merepotkan sekali ya, contohnya nih, akuu…” 

Setidaknya kalimat itu mampu mewakili segala apa yang ada. Aku juga menyesal di bagian bahwa aku tidak mampu mengungkapkan perasaanku. Maksudku, apa dia juga tidak sadar akan kode yang selalu aku tandakan. Oh, kemungkinan dia selalu merasa ketidaksengajaan itu adalah sesuatu yang wajar. Tanpa pernah berpikir, bahwa ketidaksengajaan kami bertemu adalah skenario yang selalu aku buat. 

Untuk A*** Rama*** untuk kisah indah, yang hanya bertepuk sebelah tangan. Aku juga tidak yakin, bahwa kamu tulang rusuk permanenku. Seharusnya kamu mempelajari kode yang sering aku lakukan. Dan setidaknya pula, kau membalasnya dengan kode yang membuatku betah menjadi penggemarmu. Ng… Seharusnya juga, kita tidak akan saling memberi kode saat tak ada batasan diantara kita. Itu seharusnya.

Dan, pertanyaan akan kesendirian akan hidup datar dan hambarku terjawab sudah dengan sesosok yang nyolong masuk begitu saja dalam hidupku. Seperti sup, dan kau adalah bumbunya. Membuat masakan lezat tidak hanya hambar. Itu yang aku maksud tentang keberadaanmu diadukan supku. Sesosok Tulang Rusuk… Ng, seharusnya permanenku. Semoga. Dan itu doaku untukmu. Ng… terima kasih. 

Omong-omong, jika kau datang di depan mataku, aku memastikan bahwa kamu sudah bisa mempelajari kode dariku. Dan ng,… seharusnya pula kau tidak hanya sebagai tulang rusuk susuku. Hm… Amin.

 

You Might Also Like

0 Comments