Filosofis Praktis Tentang Berpakaianku, Aku Tahu Kamu Bahkan Tak Peduli

1:59 AM

Bagaimana aku memakai pakaian? Mungkin tidak akan kalian pedulikan. Tapi aku akan menjawabnya dengan jawaban filosofis yang pernah ada.


Begini... 

Kita sepakat bahwa apa yang kita tampilkan selalu berkaitan mengenai citra diri kita. Sepakat atau tidak sepakat! Jadi, menurutku jangan pandang seseorang berdasarkan penampilannya, bagaikan bualan. Kenapa? Ya, setiap orang akan melihat tampilannya terlebih dahulu mendahului otaknya yang bekerja bukan? 

Misal ketika bertemu dengan orang baru atau teman lama yang kita refleks lihat adalah apa yang akan dia pakai, bukan? 

Oke baiklah, lupakan. 

Kita kembali pada mazhab yang aku anut saja, haha. 

Dekade ini bisa dikatakan tahun dimana "ghirah" atau semangat dalam mempelajari agama menjadi semangat komunal yang tidak hanya digiatkan oleh beberapa kelompok. Tapi masif. Masya Allah. Tabarakallah. 

Hal itu pula juga sejalan dengan meningkatnya brand berbasis "syariah", ya kan. You named it! Semua kosmetik berbau halal dan Syari. Tidak hanya itu sampo rambut juga. Yang paling kelihatan ya dalam segi penampilan. Yap, masalah baju pun juga tidak kalah mencuri perhatian.

Semangat ini bagus, tapi lama kelamaan aku berada di titik "jengah" dimana ada sedikit klaster yang berkaitan mengenai penyakit iman juga, Kadang! Apalagi hal ini dikatakan orang yang masih dalam posisi "semangat-semangatnya buat hijrah". 

Semangat untuk tampil "hijrah" ini lambat laun menjengkelkan. Bagaimana tidak, aku yang masih pakai celana, dan baju ala kadarnya itu kini mendapatkan stigma yang sedikit menjengkelkan saja. Tapi toh aku tidak peduli. Semakin aku peduli, maka aku semakin berpikir bukan. Yaa nggak mungkin juga sih, aku gak peduli. Buktinya aku membuat tulisan ini, haha. 

Kenapa menjengkelkan? Perempuan seperti aku- yang pakai jins, celana ketat, baju kedodoran, apalagi baju yang beberapa bagian sedikit sobek (dan bahkan aku juga gak peduli), apalagi selama 5 tahun lebih mungkin aku berpakaian tanpa menyetrika bajuku, dan aku dengan lantang mengatakan : aku tidak peduli!- ini dinilai masih memiliki iman yang lemah. Karena tidak memperlihatkan akhlak Syari sama sekali. Bahkan blass! 

Seolah-olah jawaban kasarnya yang bisa menjadi konklusi adalah pakaian itu juga menunjukkan kadar iman juga. Begitu mungkin bahasa yang sederhana. 

Tapi kan, kadar iman setiap orang siapa yang tahu? Ya kan. Kita toh bukan cenayang yang tahu segala hal. Hanya manusia yang super julidiun aja kan ya yang sok tahu. 

Pandangan orang dengan memandang rendah pada pakaian itu kadang juga kurang bijak (kalau boleh nyinyir). Sebenarnya ini aku rasakan betul, mengingat lingkungan pertemananku berada di orang-orang ngaji. Yang you know what I mean lah, semuanya serba memakai pakaian dengan label "syariah". 

Kenapa aku tidak mengikuti jejak mereka? 

Alasannya sederhana. Aku merasa tidak nyaman. Dan itu berasa seperti bukan aku. Tapi kan kamu bisa berubah? Iya betul. Setiap manusia bisa berubah. Tapi dalam akal dan algoritma berpikirku aku tidak merasakan sebuah urgensi aku harus mengenakan label yang sama. 

Bahkan aku terlalu liberal mengatakan label syariah yang akhir-akhir ini menjadi trend hanya "komoditas kapitalisme". Haha! Ekstrem memang. Yaa memang gitu kan faktanya. 

Benar, dalam firmannya Allah memerintahkan untuk perempuan menutup rambut sampai dada, berpakaian tidak longgar, dan tidak menyerupai laki-laki. Aku memang tidak benar-benar mengikuti itu, jujur. Menutup dada? Iya aku lakukan mesti pakai kerudung tipis paris. Bahkan kadang memakai yang ketat, tapi aku tidak mepet badan juga keleus. Masih normal dan layaklah sebagaimana yang dianjurkan. Menyerupai laki-laki juga aku pikir tidak. 

Meskipun sudah memenuhi semua kaidah dan kriteria seperti itu. Aku memang menilai diriku berada di rata-rata. Tidak ingin mendapat nilai lebih dengan memanjangkan lebih panjang, memakai yang jauh lebih longgar macam abaya atau dress syariah, dan sering memakai celana. 

Masih dalam perdebatan juga, kalau memakai celana bisa dikategorikan sebagai "menyerupai laki-laki". Karena toh, laki-laki yang seperti apa? Karena laki-laki di Arab bahkan berpakaian seperti abaya, tidak pakai celana alias pakai rok, kan yaaa. Berarti kalau aku pakai dress syariah pun juga bisa dikatakan menyerupai laki-laki di Arab, kan ya. 

Aku gak mau memperdebatkan sebenarnya, hanya ngasih sedikit inside saja mengenai tafsir dari ayat tersebut. 

Aku memang terkesan agak ndableg, tapi aku punya landasan teori sendiri. Ya dong, dalam segala hal yang kita lakukan entah itu suka atau tidak suka terhadap sesuatu haru dikaji dulu berdasarkan falsafah hidup dan prinsip masing-masing. Sama dengan perkara sederhana seperti berpakaian ini.

*

Dalam 3 tahun dari tahun 2017 sampai 2020 ini, aku tidak pernah sekalipun membeli baju. Alasannya tidak masuk dalam mazhab hidupku. Haha. Aku berpendapat bahwa setiap kali aku membeli baju, harus ada baju di almariku yang harus keluar. Masalahnya itu!

Dari sejak kuliah aku tidak pernah membeli baju, Kalau pun beli berarti itu pas lebaran. Aku pakai apa? Baju kuliahnya ibuku. Atau semua isi lemarinya yang pantas aku pakai, aku pakai. Semuanya. Bahkan aku jago mix and match perpaduan semua baju ibuk itu dan pede luar biasa aku pakai di kampus. Dan alhamdulillah-nya teman tidak ada yang komplen.

Karena anak sejarah gtu loh. Dia gak akan macem-macem dengan memandang rendah apa yang kamu kenakan. Wong kita kuliah pakai sandal gunung aja, lolos kok. Plus pakai kaos oblong dengan celana sobek sobek di lutut. Sudah legenda. 

Saat kerja? Most of my pants = bapak. Iyaaa pakai celananya bapak jaman be-li-au awal kerja, dimana masih sangat kurus ya kan, dan beberapa celana yang sudah lama bapak tidak pakai. Maka jatahku untuk memakainya.

Prinsip hidupku adalah minimalist-hedonist epicurus. Perpaduan ekstrem memang. Haha. Tapi memang tepat dengan karakter orang yang tidak suka didekte kayak aku gini.

Nah, dalam berpakaian sendiri aku mengandalkan prinsip ekstrem minimalist. Yaaa apalagi ibuk tidak mau "membuang" baju lamanya dan baju lama bapak. Berharap nanti anaknya yang akan pakai. Betul. Sekali. Sekarang, aku korban dari fesyen lama kedua orang tuaku. 

Gak jadi masalah lah buat anak sejarah. 

Kita sudahi saja, kalian pasti capek membaca. Aku capek mengetiknya. Yah walaupun satu dua orang pengunjung, kenapa enggak buat nggrundel masalah ini. 

Jadikan apa yang kalian pakai mencerminkan kebahagiaan kalian! Berpakaianlah yang menyenangkan untuk diri kalian. Yang cantik, rapih, penuh pesona.

Itu aja!

**
April 08
20:30 ke 21:00

Dengan dipublikasikan di tanggal 9, tepat aku membuat berita ilmuan Harvard ditangkap karena bekerja sama membuat dan menciptakan corona. 

Besok. kerja. Wfh lagi. 
Nonton Lee dong wook di Wild Romance
Disambi bikin tulisan ini. 

You Might Also Like

0 Comments