Narasi Ketidakadilan George Floyd dengan Novel Dystopia

1:08 AM

Hey Bil, dunia kejam ya.

Akhir-akhir ini kamu disajikan dengan fenomena yang menggetirkan. Bahwa perbedaan kelas itu memang ada. Alih-alih kelas, bahkan perbedaan warna kulit saja membuat protes di mana-mana. Agak menyayangkan, bahwa ternyata hanya segelintir orang sang pemelik dunia ini. Ketika sekelompok orang itu menuding masyarakat di luar hanya pemanis. Pemanis tatanan sosial agar seenak udel bisa dipermainkan.

Mungkin George Floyd hanya berdiri sendiri. Dia digetirkan oleh tindakan yang tindakan tidak pantas. Di negara yang menjunjung tinggi asas demokrasi. Bahkan contoh negara yang menjadi role model sebuah penegakan demokrasi itu sendiri.

Berawal tuduhan oleh seorang karyawan dimana George Floyd ingin membeli rokok di sebuah toko kelontong dengan uang palsu. 17 menit kemudian, sampai datanglah beberapa polisi yang datang dimana mereka menjempitnya, seolah-olah George Floyd adalah serangga mematikan. Lehernya dari belakang dijepit dan videonya menyebar. Kepolisian merekonstruksi kejadian tersebut hingga berakibat fatal.

The Gurardian mengatakan bahwa gara-gara tindakan ketiga polisi tersebut meletuslah beberapa demonstran. Mereka menuntut keadilan terhadap pria kulit hitam tak bersenjata yang meninggal dalam penahanan.

Yang bikin ngeri adalah kejadian di Minneapolis, kota terbesar di Minnesota membuat gelap seluruh dunia. Hal ini memicu berbagai demonstran di berbagai belahan dunia, katakanlah di negara Amerika Serikat sendiri. Sebut saja jumlah 50 negara bagian, 30 negara bagiannya pecah akan demonstrasi.

Kemarahan salah satu warga Texas yang kerja di Minneapolis, yang kini tidak punya pekerjaan akibat covid-19, kemudian ditindak sewenangnya oleh pihak penegakan hukum hanya karena tuduhan palsu itu memicu kemarahan global. Tengok beberapa negara lain seperti Selandia Baru, Australia, Inggris, Italia, Jerman dan masih banyak lagi.

Tuntutannya selalu klise, tapi selalu susah untuk dilakukan seluruh pemerintahan di dunia ini. Keadilan!

Sama keadaannya dengan banyaknya orang yang kehilangan pekerjaan di masa pandemi corona ini. Floyd adalah salah satunya. Semua paham bahwa kenyataan pandemi ini membuat semua orang menjadi tidak punya. Sistem membuatnya menjadi tidak berdaya. Menjadi tidak lagi bernyawa.

**

Sebelum peristiwa George Floyd meletus. Di awal masa pandemi, kita juga disuguhkan bagaimana rasisme di mana-mana meletus. Bagaimana warga chinese di Amerika diludahi dirasis-i hanya karena media membuat berita bombastis soal asal-usul virus corona yang berasal dari Wuhan. Warga kulit putih katakanlah harus meludahi masyarakat Asia, dimana bahkan warna kulit melayu pun mewakili dari kontinen Asia. Menyedihkan.

Sebaliknya, warga kulit putih atau hitam kena rasis saat berada di negara China. Negara ini seolah membalaskan dendam seperti perlakukan umat kulitnya yang membuat penyakit rasis itu menjadi ada.

Tidak jauh-jauh sampai di kontinen lainnya, bil. Pahamilah bahwa Indonesia sendiri menggejala rasis bukan hanya warna kulit. Sudah bergeser ke perbedaan politik, sedikit-sedikit mereka yang bersuara dibungkam oleh rezim. Tidak lagi warna kulit yang nyata, tapi masalah suku. Lebih-lebih masalah agama, sering sekali bergesekan.

Jadi kapan kita akan hidup berdampingan dengan damai?

Ngeri, semua gejala Rasis, dari ras, agama, suku, antar golongan, bisa menjadi gejala global dan terus menjangkiti. Lebih parah dari virus corona yang sekarang kita hadapi.

**

Are genres of speculative fiction that explore social and political structures.

Maka tak salah jika terjemahan arti dystopia selalu memperbincangkan masalah kelas. Tatanan struktur masyaralat. Para penulis-penulis novel dystopia (yang sudah aku baca) selalu menekankan pada permasalahan kelas akan selalu epic untuk diceritakan. Ceritanya memang fiksi, tapi saripatinya selalu sama. Selalu relate dengan apa yang sedang terjadi.

Sebut saja, Marie Lu yang menulis tentang serial Legend. Meskipun lebih mengambil sisi romantikanya, tapi setting novelnya adalah perbedaan kelas. Di negara yang diciptakan penulis adalah negara yang terdiri atas dua kelas. Adalah kelas militer yang menguasai pemerintahan dan kelas bawah, sebut saja kelas perampok, buruh, dan lain-lain.

Lagi, Veronica Roth membuat setting tulisannya terbagi atas 4 kelas yang harmonis, tapi harus rusak karena ternyata ada sekelompok kaum yang bisa masuk ke dalam 4 kelas tersebut. Mereka disebut divergent. Filmnya booming pada eranya.

Adalagi novel Red Riding, sebenarnya mirip dengan Marie Lu namun settingnya harus di planet mars. Membahasnya juga tentang konflik kelas.

Konflik ini semakin hari semakin nyata. Kita seolah dipertontonkan banyaknya kasus ketidakadilan. Sehingga lagi-lagi mazhab keadilan selalu diperdendangkan. Keadilan sendiri di Pancasila berada di nomor 2. Setelah kita mengimani agama sebagai sumber keyakinan, maka kemanusiaan yang adil dan beradab adalah PR kita selanjutnya.

Ingat bahwa keadilan sosial itu diatas persatuan!

***

Rabu, 03/06/2020
setelah libur 2 hari
menyelesaikan drama Find Me in Your Memory
dan membaca buku My Keeps sister, Jodi Picoult.

dan mari berderai-derai air mata lagi



You Might Also Like

1 Comments

  1. masalah rasisme kayaknya gk akan pernah abis ya. tapi ya semoga gk ada kejadian serem lagi setelah ini.

    ReplyDelete