Sebuah Permulaan!
**
Kampus dan aku adalah metafora.
Tepat ketika aku mengetikkan satu kata demi kata dalam tulisan ini, di satu aplikasi laptop saya bekerja. Mendendangkan lagu dari Randy Pandugo yang berjudul Hampir Sempurna. Dalam bait bait yang tercipta ini aku ingin sedikit merangkam rasa kegalauan yang menumpuk dan berkelindan hingga aku tak sanggup untuk menyelesaikannya dengan sempurna.
Aku sendiri. Pada suatu momentum dan hanya diri ini yang mengerti. Pada proses penciptaan dan takdir yang membuatku bisa melewatinya. Bukan dengan mulus tetapi dengan terbata-bata dan masih mengeja keaslian dunia ini. Rasanya ingin ada yang digenggam di tangan ini. Tetapi aku hanya mengepal sendiri. Dalam kesendirian hanya menggenggam angin yang datang menyapa. Tanpa suara hanya sulit membaca klisenya hal yang aku keluhkan.
Beberapa minggu yang lalu, mungkin hidup membuatku harus naik turun seperti roller coaster. Sayang aku hanya memeluk diriku sendiri. Tidak banyak orang yang berada di sampingku. Setidaknya ada. Meskipun mereka tidak bekerja dengan baik. Toh, mungkin halnya jika aku yang berada di posisi yang sebaliknya, aku mungkin akan bersembunyi. Pada sesuatu yang tidak ingin kueja dengan sempurna bagaimana teman-teman di sekililingku menghadapi dunia ini. Aku juga terlalu menutup mata pada kepelikan hidup mereka.
Semua terselesaikan dengan repalan tangan. Bersama hujan yang membawaku menjadi basah. Pada keringnya musim panas yang membawaku begitu berair karena keringat. Aku melaluinya dengan segala proses yang tidak pernah berakhir. Berharap, akhir itu segera aku temui. Setidaknya aku ingin membuang muka pada tempat yang membesarkanku selama 4 tahun terakhir ini.
**
Kampus dan aku adalah metafora.
Aku masih ingat dengan baju putih-putih aku 4,5 tahun yang lalu, dengan polosnya aku mengikuti ospek jurusan, fakultas dengan tertib. Aku tidak mengharapkan apa-apa. Padahal waktu itu, salah satu doa yang terselip di sujudku adalah segera meninggalkan tempat ini. Maksudku kampus yang beberapa hari ini aku datangi. Karena apa? Aku merasa salah jurusan pada pengumuman aku diterima di ilmu sejarah. Apa yang kamu harapkan dari belajar sejarah. Selain menjadi pembual yang memperdebatkan keaslian sejarah. Jadi begitu~
Tetapi aku berasa mendekte Tuhan dengan segala permintaanku di awal. Aku ingin masuk jurusan tertentu di perguruan tinggi tertentu. Itu tidak berhasil. Mungkin saja, ini ulah doa ibuku yang diijabah agar aku masih berada di Solo. Dan aku lakukan itu. Aku mulai beradaptasi dengan baik. Mempunyai teman-teman yang berbeda dari SMA. Semuanya saling menyayangi, saling mencintai dan menganggapnya seperti keluarga sendiri. Itu yang membuatku betah. Aku tidak peduli dengan pelajaran yang terima. Toh tidak satu pun yang masuk dalam nalar berpikir di logikaku. Meskipun demikian, aku menikmatinya. Beberapa aku benci dengan mata kuliahnya. Itu tergantung dari dosen yang mengajar. Untuk dosen cuek dan selalu menjelaskan sesuatu yang benar-benar tidak aku tahu, itu keren. Maksudku, aku suka dengan Tundjung W. Sutirto menjelaskan tentang seni pertunjukkan. Atau Widi yang membedah buku--yang salah satu pernyataannya masih aku ingat, 'Indonesia tidak benar-benar memiliki budaya' alasannya semua yang ada di Indonesia adalah impor. Aku setuju bagian itu. Atau Sutanto yang menjelaskan filsafatnya bahkan berpikir mengajak mahasiswanya membaca The Insecure City tentang Beirut. Selebihnya aku tidak menyukainya.
Setelah semua hal, aku lakukan dengan baik. Atau setidaknya begitu. Tidak bagi alasanku untuk segera mengakhiri penderitaan menjadi mahasiswa. Yaitu lulus. Hal pertama yang harus dilakukan dan menjadi momok adalah skripsi. Aku dan skripsi adalah satu kesatuan yang saling benci tetapi membutuhkan. Ibarat kata kamu tidak benar-benar mencintai pacarmu, selain kekayaannya. Nah, begitu pula denganku. Alasan aku bertahan dengan skripsi karena dengan mengerjakannyalah aku bisa lulus dari kampus ini. Untungnya dosenku dan aku bekerja sama dengan baik. Meskipun aku sedikit tidak menyukainya. Semoga dia mengerti! Aku selalu mendoakannya untuk baik-baik saja. Sebagai rasa syukurku, sudah membimbingku yang bodoh ini.
Ada banyak hal yang terjadi di dalam bulan-bulan aku menjelang sidang dan sampai revisian. Aku bukannya memilih untuk kabur, tetapi memilih untuk memilih. Susah memang mengungkapkannya melalui kalimat. Intinya aku tidak memperjuangkan apa yang sudah aku perjuangkan. Bagiku perjuangan itu harus dibagi sama rata-sama rasa. Dalam hal ini aku setuju dengan konsep sosialisme. Pembagianku memang tidak adil hingga pada keputusan terburuknya adalah ---yaah---. Ada teman yang menemaniku untuk ini. Terima kasih untuk Nasitha yang takdir mempertemukan kita bukan di bulan April untuk wisuda melainkan periode selanjutnya.
**
Cerita Akhir!
Pada akhirnya kamu menyusuri jalan masa depan yang ada di genggaman tanganmu. Mimpi kita untuk menjadi apa, terpampang di depan mata. Dari awal aku sudah merekonstruksi jalan berpikirku untuk lanjut S2 ketika lulus. Tetapi nyatanya aku lelah. Beruntungnya pada pembangunan rumah baru di sana --- hingga keuangan keluarga harus tercurahkan khusus untuk membangun. Sebenarnya, ibuku sudah membujukku untuk tetap lanjut. Mengingat umurku sudah 23. Hei, ini masih terlalu muda untuk dikhawatirkan. Ohya, yang dikhawatirkan ibuku sebenarnya aku tidak benar-benar menyukai seorang pria semenjak aku kuliah. Itu yang dikhawatirkan akan membuatku harus menunda menikah. Hmmm... Akhirnya lobi itu sudah berjalan dengan baik. Setidaknya, biarkan aku rehat sejenak. Aku ingin membangun tokoku sendiri. Bekerja sendiri. Tanpa banyak orang yang mendekte. Hm, selain pekerjaanku menulis di sebuah platform baca digital. Yah, beberapa bulan ini aku akan terikat kontrak untuk menyelesaikan ceritaku. Intinya aku sedang memperjuangkan Nalendra! Doakan aku~
Nasitha pernah bertanya, apakah aku tidak ingin kerja? Karena hanya aku yang tidak punya geliat untuk kerja. Maksudku, banyak orang yang mendaftar sana sini untuk mendapatkan pekerjaan. Sedangkan apa yang aku lakukan, selain membual di dalam ketikan Microsoft Word yang mencurahkan segala imajinasiku.
Jika ada yang bertanya, apakah aku ingin kerja kantoran? Maka aku akan jawab tidak. Semoga ibuku tidak membaca tulisan ini. Aku hanya ingin ibuku baik-baik saja dengan keputusanku. Aku punya masa depan yang aku ciptakan sendiri. Jika aku tidak memanfaatkan ilmuku (sejarah maksudnya) aku ingin menjadi penulis lepas, pedagang online dan sesekali membual di twitter. Masa depanku suatu ketika bukan menjadi kegalauan. Aku ingin merekonstruksi itu sesegera mungkin. Jika Tuhan menghendaki langkahku untuk lebih berguna lagi, maksudku dengan aku S2 dan menjadi dosen. Tidak masalah. Karena pada sejatinya aku ingin hidup dengan imajinasiku.
Itu saja. Aku harap, Nabila masa depan tidak segalau ini. Dan satu lagi, keinginanku yang ingin aku isi selama setahun untuk membuat masa depan ini adalah ikut sekolah skenario. Semoga Semesta mendukung keputusanku.
N-a-b-i-l-a--C-h-a-f-a-,
yang berharap baik baik saja ketika hujan turun~
ketika gemuruh datang di saat tibanya musim kemarau.
20 April 2018
22.14
|||