Pages

  • Home
  • Tumblr
  • linked
facebook linkedin twitter youtube

Rumah Dialektika

    • About Me
    • Renjana
    • Cerita Pendek
    • Opini

    Kuah soto ada yang bening, seperti sup. Bukan, lebih cocok orang menamainya timlo. Ada bihun di atasnya, bertabur potongan wortel, dan irisan kentang goreng. Cocok menemani pagi kita yang terkena hujan.

    Hei, dalam keheningan aku menyeruput soto hangat ini, tiba tiba aku kepikiran kamu. Tepat ketika arah pandang mataku tertuju pada tempat sambal berada. Yang aku ingat dari kamu adalah selera makan yang tidak menyukai hal yang pedas. Padahal pedas adalah nikmat loh. Surga di dunia ini ada banyak. Salah satunya adalah pedasnya cabai. 

    Satu suapan soto yang gurih ini aku tiba-tiba teringat dengan semangkuk bakso yang kaya akan gurih msg. Micin adalah sumber kekuatan untuk menghadapi hari. Yah, setidaknya setiap hari selalu berarti hal yang payah. 

    Kemudian aku kecap gurihnya sesendok nasi dan kuah soto selanjutnya. 

    Mendadak aku teringat pada pohon rambutan di depan rumah kos itu. Teringat kamu yang tidak punya kerjaan selain mengambil rambutan itu untukku. Jujur, ada banyak orang yang mampir ke kos kamu waktu itu. Tidak hanya aku. Tapi jika kamu memetikkannya untukku, bisakah aku punya rasa kepercayaan diri berharap sedikit pada rasamu?

    Soto yang terhidang di depanku lambat laun berubah menjadi pedas. Perpaduan antara rasa sambal dan panasnya kuah soto. Ah, tiba-tiba aku berpikir soal rasa sakit hatiku. Iya. Bukan sesuatu hal yang baru jika kamu dan deretan penggemarmu adalah sekelompok orang yang paling aku benci keberadaannya. Mereka hanya membuatku semakin panas.

    Duhai hati, kenapa bisa sesakit ini? Argh

    Kuseruput teh panas untuk meredakan porak-poranda pikiranku ketika berpikir tentangmu.

    Ketika ada tempe mendoan panas terhidang di atas meja makan. Warung ini kupikir-pikir terlalu pagi membuka jualannya. Di warung tak kudapati pelanggan lain selain aku. Beberapa menit yang lalu ada dua bapak-bapak tua yang mengambil meja paling depan. Tapi sudah tak ada lagi. Aku terlalu lama larut dalam menikmati soto pagi dan pikiran berlebihan ini.

    Kupandangi bakwan di meja makan bersama dengan tempe mendoan. Aku tetiba teringat soal obrolan denganmu mengenai program sosial. Kamu terlalu bersemangat menceritakan padaku kala itu. Pun, padatnya aktivitasmu tak membuat kamu lupa untuk meluangkan waktu untuk anak-anakmu. 

    Kamu sudah terlalu tua jika menghabiskan waktu sendirian saja. Sebetulnya aku ingin menawarkan diri jadi pendampingmu. Ah, cukup di mimpi aja dulu. Terlalu nafsu jika berharap jadi nyata. Pun, sejelasnya memang susah untuk jadi nyata. 

    Sudah sendok keberapa ini, mangkuk sotoku sudah tinggal setengah. Kupandangi ibu yang sudah berusia tetapi masih mengais rejeki dengan berjualan gorengan ini. Gorengan buatannya bahkan sudah nyemplung di mangkuk sotoku. Sudah sepuh tapi masih giat bekerja. Aku iri. Aku bekerja dari rumah saja, gaji UMR, plus banyak hari liburnya aja masih mengeluh. Soal ina-itu dan lain sebagainya. 

    Dari pintu depan warung soto ini, kulihat langit biru diarak oleh awan-awan. Hari ini cerah setelah semalaman hujan. Meninggalkan banyak embun kesejukan. Harusnya pagi ini teduh sendu tapi soto dan pikiran berlebihanku membuat semuanya menjadi sama saja. 

    Awan yang berjarak itu, apakah dia akan terbang mendatangimu di kota besar itu. Ataukah membawa ke pantai tempat kamu sering menghabiskan waktu untuk berlibur. Jika mampu, bisa tidak membawa pesanku. Argh, tapi aku yakin tak bisa tersampaikan. 

    Sendok terakhir sotoku sudah di depan mata. Teh panas masih mengepul panas. Meniup uap yang berarak meninggalkan tempat. Selesai sudah satu mangkuk soto genap beserta gorengannya. Apakah di lambung mereka akan tercerna dengan baik? Ah sudahlah, percaya saja sama sistem pencernaan dimana cara Tuhan untuk melunakkan soto dan gorengan itu menjadi energi berlebih.

    Lebihan energinya bisa kumanfaatkan untuk berpikir seperti saat ini aku memikirkanmu. Kuseruput teh panas yang berubah hangat. Sekali sesap. Menenggalamkan bau soto di Liang mulut. 

    "Abang ganteng yang di sana, masihkah kosong hatimu?"

    Ingin ku tanyakan pertanyaan super centil. Biar kamu mendadak ill feel. Aku kadang tidak mengerti dengan kamu yang begitu tidak menyukai perempuan genit kayak aku. 

    Sudah ah. Tinggal bayar. Bu Patmi yang jualan soto dan gorengan sudah menagih 8000-ku.

    (*)

    Minggu, 29 November 2020
    17:17

    Continue Reading

    Aku mau bikin opini soal 'How Democracies Die', buku yang lagi hype buat hari ini. Karangan pakar politik dari Universitas Harvard Amerika, Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt, pada 2018. Tapi kok belum sanggup buat ngomong, takut salah, takut ilmunya gak nyampe dan lain-lain.

    Tapi kesel juga sama keadaan saat ini. Mau ngomongin karangan dua pakar politik dari Harvard aja mungkin kondisinya lagi related banget sama manajemen konflik yang dipertontonkan pemerintah akhir-akhir ini. Bikin muak. Semuanya saling tuding, saling nyalahkan, pendekatan 'baik-baik' yang jadi nilai khas adat Timur seolah hilang, semuanya pakai otot ajaa mikirnya, heuh.

    Ah daripada itu, aku mending berbagi opini soal kenapa isu atau topik tertentu bisa hype banget. Dan bagaimana peran media massa. 

    Kenapa aku bikin, karena aku merasa resah aja, kenapa sih setiap berita FPI selalu naik aja. Selalu yang buruknya yang naik. Citranya seperti jelek mandraguna. Padahal sebagai 'orang yang beragama' mereka harusnya lebih santun dan lain sebagainya.

    Jadi, jawabnya adalah : kita berbicara mengenai algoritma. Ya, apalagi di dalam membuat konten digital yang semuanya ada teknik SEO-nya. Bagaimana konten atau artikel itu bisa mendapat posisi teratas di dalam search engine. Yah, lagi-lagi kita berbicara mengenai mayoritas.

    Framing yang dibawa media massa soal isu tertentu bisa bakal naik dan diterima pembaca luas serta menduduki posisi tertinggi di search engine, dibuktikan dengan traffic beritanya naik, semakin membuat pembuat konten akan memproduksi hal yang sama lewat angle yang berbeda.

    Dan lagi-lagi, hal ini dimenangkan oleh FPI.

    Ambil contoh hal yang lagi naik-naiknya adalah gontok-gontokkan antara Pemerintah dan FPI saat ini. Apapun yang lagi dilakukan FPI bakal naik. Kita bicara apapun! Padahal kalau mau apple to apple, --hm, mau sebut ormasnya gak ya, galau akutuh-- sekarang FPI jadi sorotan karena mereka bikin kerumunan. Semenjak pulangnya pemimpin tertinggi mereka sampai maraton acara-acara yang menyedot kerumunan. Sebenarnya, di waktu yang sama pula, ada juga kok organisasi islam besar di negeri ini yang membuat acara yang menyedot kerumunan tapi gak ada nilai beritanya. Padahal jelas-jelas dua-dua organisasi massa ini membuat kerumunan loh. Yang satu media darling, dan yang satunya tidak mendapat sorotan publik.

    Soalnya keterikatan 'benci'-nya publik pada FPI sudah mendarah daging bung, jadi kalau udah bawa perasaan ya susah. Inilah yang membuat radar pemberitaan soal FPI tinggi. Padahal kan ada tuh organisasi islam yang udah terkenal dan punya massa bisa ngalahin FPI tapi nggak ada nilai beritanya.

    Mau apple to apple sama kasus kerumunannya Gibran saat mendaftarkan Wali Kota Solo yang juga bikin kerumunan, kenapa diperbolehkan. Yah karena kalau kata Mabes Polri, beda hukumnya antara manusia sipil macam Rizieq sama Gibran. Kan tujuannya beda. Satu bikin pengajian Maulid yang satu kontestasi politik daerah yang mana ada Undang-undang soal Pilkada-nya. Ah, kalau komentarku sebagai orang bodoh ini : lha wong tujuannya sama-sama bikin kerumunan yaa sama aja dong. Gitu kalau orang bodoh kayak aku komentar.

    Engagement atau keterikatan publik soal isu-isu tertentu bisa dicap selamanya jelek. Wong sudah mendarah daging. Sebut aja, soal kenapa bikin berita soal Korea Utara selalu naik. Padahal kita aja tidak pernah tahu apa yang sebenarnya terjadi sama Kim Jong Un. Apa bener Kim begitu beringas? Nggak punya hati buat bunuh siapa saja lawannya?

    Ini (analisa) pengamatanku, kebanyakan media massa dari Indonesia lebih banyak mengutip sumber dari reuters. Kita nerjemahin beritanya dan di up lagi. Orang akan tertarik dengan Korut karena engagement dengan publik kita seolah kembali menegaskan citra yang sudah dibangun soal Korut. Negara tertutup, dipimpin presiden yang kejam, beringas, tidak mempunyai nilai kemanusiaan, rakyatnya menderita, bla-bla-bla. Padahal kita tidak tahu persis, bagaimana reuters mendapat berita dari mana. Dan bagaimana penilaian jujur rakyatnya sendiri soal pemerintahan mereka. (Aku berkeyakinan, apapun sistem negaranya, yang namanya kekuasaan ya seperti itulah. Hampir seluruh negara, nggak ada yang lagi baik-baik saja sama negaranya). Jadi, peluang untuk membuat 'menguntungkan kepentingan tertentu' bisa saa terbuka lebar kan?

    Sama juga, kayak pas pilpres AS kemarin, aku pantengin dari mulai kanal berita Fox news, MSNBC, guardian, apapun. Ada kok yang terang-terangan berafiliasi dukung salah satu calon tertentu. Kalau contohnya Amerika terlalu jauh, tengok apa yang terjadi di tahun 2014. Bagaimana stasiun tv Indonesia terbelah kubu antara tvone dan metro. 

    Lagi-lagi semua ada kepentingannya. Aku cuma mau ngajak sih, agar kita semua dijauhkan dari hal-hal yang mengedepankan perasaan belaka. Udahlah apa itu cebong kampret. Kalau salah, dibenerin dah. Aku gak paham sih, berasa kalau pemerintah kita lebih ke 'membiarkan' pertikaian antarsaudara ini terus terjadi. Sering jatuh menjatuhkan dan menjelekkan saudara sendiri. Ei, itu Space baru aja ngluncurin roket kemarin banget. Masak iya, iklim demokrasi negeri kita masih dipertontonkan ke hal-hal receh dan baper kayak gini.

    Mau sampai kapan?

    Kalau kita bisa menyaring lebih jernih, yok. Berpikir dua kali. Atau kroscek pemberitaan yang berimbang, biar akal terus sehat. Biar nggak main kubu-kubu-an.

    (Ah, tapi susah sih ya?)

    (*)

    Minggu 22/11/2020
    21:11
    Baca The Black Swan sampai hlm 41





    Continue Reading
    Hari ini kamu pergi dengan membawa rasa penasaran yang seolah mengakar di otakku. Kamu membawa baju serampangan dan yang melekat hanyalah kemeja yang kamu pakai untuk bekerja hari ini. Aku bingung, ingin ku sapa dengan tanya tapi harus tertelan lidah sendiri. Takut jika tanda tanyaku berubah menjadi kemurkaan.

    Motor yang kau kendarai melaju melesat jauh berburu pada waktu. Aku tak tahu, apa yang ada dipikiranmu. Kenapa kau lakukan hal itu. Bahkan hanya sesenggukan tangis yang sering tertelan mentah-mentah itu membuat hatimu sakit. Sesakit itukah?

    Cahaya panas membakar punggung kecilmu. Berbalut jaket tak layak jika mengendarai motor luar kota. Senekat itu tindakanmu. Caramu memainkan kemudi membuat orang yang melihatmu seolah takut. Berpapasan dengan mobil sampai menyalip truk truk besar, deret itulah yang menjadi  prestasi terbaikmu hari ini.

    Kemudian, tibalah kamu di pantai yang berpasir putih. Seolah deburan ombak tengah menyambutmu. Memainkan orkestra yang seolah dimainkan Leos Janacek, String Quartet No. 1 'Kreutzer Sonata'.

    Dilepaskannya sepatu yang mengikat kakimu. Sudah tentu butuh kerileksan. Kaki telanjang itu seolah membutuhkan noda kotor dari keparatnya dunia ini. Kemudian duduk, pandanganmu kabur melihat pecahan ombak. 

    Sepi, nyeri dan sakit hati hari ini kau lampiaskan begitu tuntas. Sembari berbisik pada angin yang akan dibawa Semesta menghilang, 'Kenapa aku seperti ini?'

    **

    Minggu, 15 November 2020
    14:52
    Mendengarkan String Quartet No. 1 'Kreutzer Sonata' by Leos Janacek



    Continue Reading

    Sore sudah membeku. Tidak seperti biasanya.

    Sehari-hari awan di sore hadir dengan membawa peluh dari asa perjuangan hari ini. Menitik deras dan meninggalkan bekas. 

    Seperti biasa, yang tersisa hari ini adalah dingin dari ketidakhadiran yang tidak pantas datang. Harusnya. Tapi bumi berjalan seperti biasa. Meghadirkan pagi dan temaram bersama petang. Rotasi yang tidak pernah putus. 

    Kehadiran seseorang sudah tentu mengisi kekosongan, seperti yang dirasakan Cahaya. Ia tidak sadar bahwa sore sudah membawanya tersadar. Bahwa penat hari-hari yang dijalaninya mungkin tidak seberapa. Tidak pantaskah manusia berkeluh kesah di saat rahmat Sang Semesta selalu hadir, bukan?

    Seperti yang aku bilang, sore itu biasa.

    Seperti yang seharusnya. Memesan paha bakar ditemani cah kangkung sembari menunggu teman di warung makan lesehan belakang kampus. Berdiskusi banyak hal soal proyek-proyek sosial. Mengeluarkan buku kecil berisi catatan ringkas dan merangkumnya. Apapun hasil diskusi sore itu, dia selalu meninggalkan jejak. Setiap kalimatnya bernyawa. Seolah mengungkapkan perasaan yang sebenarnya sore itu juga.

    Tapi toh, seperti yang aku bilang. Sore selalu hadir tidak biasanya. Terkadang, dia melewati dengan penat dan malas luar biasa. Menghela dan mengembuskan napas berkali-kali. Tidak terima dengan alur hidup yang dia rasakan hari itu. Sore juga menghadirkan kekecewaan. 

    Suatu waktu, pada sore hari, Cahaya berdiri di panggir kali. Menatap ufuk senja. Ah, anak senja yang melankolis itu juga ada dalam dirinya. Sesekali dia hanya menyesap es teh plastik dan menggenggamnya sambil bergumam. Lagi-lagi soal kesendirian dan keputusasaan. Lebih banyak soal kekecewaan. Paling banyaknya soal beban hidup yang dia jalani.

    Ah, kapan coba dia merasa bahagia di sore hari. Sangking setiap sore dia harus menjalaninya dengan perasaan yang campur aduk. 

    Mendesah dan terpikir kembali. Akankah besok dirinya sanggup berhadapan dengan sore? Atau setidaknya seculas senyum miris yang patut dia banggakan. Bahwa dia sudah melewati hari hingga sore hari.

    (*)

    Minggu 8/11/2020
    sore hari, 17:11

    Senandung Sore Hari


    Continue Reading
    Newer
    Stories
    Older
    Stories

    About Me!

    About Me!

    Arsip

    • ►  2023 (1)
      • ►  Jan 2023 (1)
    • ►  2021 (34)
      • ►  Aug 2021 (1)
      • ►  Jul 2021 (3)
      • ►  Jun 2021 (3)
      • ►  May 2021 (4)
      • ►  Apr 2021 (8)
      • ►  Mar 2021 (6)
      • ►  Feb 2021 (4)
      • ►  Jan 2021 (5)
    • ▼  2020 (64)
      • ►  Dec 2020 (4)
      • ▼  Nov 2020 (4)
        • Perpaduan Soto dan Pikiran yang Berlebihan
        • Nggak Lagi Bahas Soal 'Bagaimana Demokrasi Mati'
        • Lari
        • Senandung Sore Hari
      • ►  Oct 2020 (4)
      • ►  Sep 2020 (4)
      • ►  Aug 2020 (5)
      • ►  Jul 2020 (6)
      • ►  Jun 2020 (6)
      • ►  May 2020 (5)
      • ►  Apr 2020 (9)
      • ►  Mar 2020 (6)
      • ►  Feb 2020 (9)
      • ►  Jan 2020 (2)
    • ►  2019 (12)
      • ►  Jul 2019 (1)
      • ►  May 2019 (4)
      • ►  Apr 2019 (1)
      • ►  Mar 2019 (2)
      • ►  Feb 2019 (3)
      • ►  Jan 2019 (1)
    • ►  2018 (6)
      • ►  May 2018 (2)
      • ►  Apr 2018 (1)
      • ►  Jan 2018 (3)
    • ►  2017 (9)
      • ►  Dec 2017 (1)
      • ►  Nov 2017 (2)
      • ►  Oct 2017 (1)
      • ►  Sep 2017 (5)
    • ►  2016 (3)
      • ►  Sep 2016 (1)
      • ►  Apr 2016 (1)
      • ►  Mar 2016 (1)
    • ►  2015 (7)
      • ►  May 2015 (6)
      • ►  Mar 2015 (1)
    • ►  2014 (25)
      • ►  Nov 2014 (1)
      • ►  Oct 2014 (2)
      • ►  Jun 2014 (1)
      • ►  May 2014 (2)
      • ►  Apr 2014 (6)
      • ►  Mar 2014 (3)
      • ►  Feb 2014 (7)
      • ►  Jan 2014 (3)
    • ►  2013 (12)
      • ►  Dec 2013 (7)
      • ►  Oct 2013 (2)
      • ►  May 2013 (1)
      • ►  Jan 2013 (2)
    • ►  2012 (12)
      • ►  Dec 2012 (3)
      • ►  Nov 2012 (2)
      • ►  Jun 2012 (2)
      • ►  May 2012 (2)
      • ►  Jan 2012 (3)
    • ►  2011 (14)
      • ►  Dec 2011 (3)
      • ►  Nov 2011 (11)

    Labels

    Artikel Ilmiah Bincang Buku Cerpen Curahan Hati :O Essay harapan baru Hati Bercerita :) History Our Victory Lirik Lagu little friendship Lomba menulis cerpen :) Memory on Smaga My Friends & I My Poem NOVEL opini Renjana Review Tontonan Story is my precious time Story of my life TravelLook!

    Follow Us

    • facebook
    • twitter
    • bloglovin
    • youtube
    • pinterest
    • instagram

    recent posts

    Powered by Blogger.

    Total Pageviews

    1 Minggu 1 Cerita

    1minggu1cerita

    Follow Me

    facebook Twitter instagram pinterest bloglovin google plus tumblr

    Created with by BeautyTemplates | Distributed By Gooyaabi Templates

    Back to top