Teror Bom Tradisi Yaqowiyyu Klaten 2011
9:39 PM
Bukan hal yang baru kasus mengenai pemboman di
berbagai tempat, khususnya di kota Solo sendiri. Tanggal 21 Januari 2011 benda
mencurigakan ditemukan oleh seorang anak kecil di lapangan yang tepat pada saat
itu digunakan sebagai tempat berlangsungnya upacara tradisi Ya Qowiyyu. Akibat kejadian itu, tim gegana dan polda setempat langsung
mengamankan daerah tersebut.
Kasus ditemukannya bom
ini penting untuk dianalisis secara lebih serius mengingat kejadian ini membuat
warga yang mengikuti prosesi upacara Ya Qowiyyu menjadi khawatir akan keselamatan jiwanya.
Meskipun bom yang ditemukan ini tidak meledak. Apabila bom ini mampu meledak,
berapa puluh ribu manusia kehilangan nyawanya. Kesadaran ini seolah membutakan
cara berpikir palaku akan kesalahan yang ia lakukan. Lantas apa sebenarnya yang
melatarbelakangi perbuatannya ini?
I.
Pengaruh Teror Bom bagi Tradisi Ya
Qowiyyu
Menilik dari kasus diatas, keterangan dari
warga dan panitia Ya Qowiyyu bahwa
bom ini secara spesifik tidak mempengaruhi jalannya upacara Ya Qowiyyu sendiri. Ironisnya, memang
ditemukan tujuh tersangka pelaku pembuat bom ini adalah orang-orang yang berada
di dalam ’Islam radikal’.[1]
Dari pengelola Masjid Besar Jatinom sendiri, menjelaskan sejarah dari
diadakannya tradisi Ya Qowiyyu yang
merupakan sebuah wadah dalam dakwah yang dilakukan Kyai Ageng Gribig. Perayaan
ini hanya dilakukan sekali selama setahun, yaitu pada bulan Sapar.[2]
Sumarta Sastra (1953) secara rinci menerangkan bahwa tradisi ini konon bermula
dari cerita tentang Kyai Ageng Gribig yang memberi kue apem kepada muridnya,
tetapi jumlahnya hanya sedikit sehingga agar adil kue apem tersebut dilemparkan ke muridnya untuk dibagi. Perayaan ini pula
sebagai wujud tanda syukur atas pemberian nikmat Allah SWT, rasa syukur inilah
diungkapkan dalam puji-pujian berupa kalimat dalam bahasa Arab Ya Qowiyyu yang
berarti Allah Maha Perkasa. Pemahaman kesejarahan ini yang tidak dimengerti
secara menyeluruh. Orang awam hanya memandang tradisi Ya Qowiyyu ini tidak memberikan manfaat dan bahkan memberi stigma negatif.[3]
Sehingga tradisi dalam masyarakat ini, hanya menghasilkan pengaruh negatif. Termasuk dalam hal
ini terjadi dalam tradisi Ya Qowiyyu, setelah melakukan beberapa analisa dan
wawancara dapat disimpulkan bahwa tradisi tesebut juga mempunyai perubahan
negatif terhadap masyarakat Jatinom.
Adanya ancaman bom pada acara peringatan Yaqowiyu,
masyarakat merasa tidak terlalu terganggu. Masyarakat tetap mendukung
terlaksananya upacara Ya Qowiyyu padai setiap tahunnya. Masyarakat tidak takut
bila ada ancaman bom lagi, karena mereka merasa bahwa melakukan upacara Ya Qowiyyu sebuah kepercayaan yang akan membawa berkah bagi
masyarakat. Secara umum dampak negatif terror bom dari adanya upacara Ya Qowiyyu terhadap masyarakat Jatinom memang sedikit
sekali. Tetapi,
hal ini harus disikapi lebih serius untuk menjaga ketentraman di masyarakat.
Agar kasus serupa tidak terjadi.
II.
Proses
Dialektika Budaya Untuk Pemahaman Masyarakat
Kepercayaan sebagai suatu kebudayaan
kompleks. Geertz menggambarkan dengan
menunjuk pada banyaknya variasi, pertentangan dalam kepercayaan serta
konflik-konflik nilai yang muncul akibat perbedaan golongan sosial yang olehnya
dirinci menjadi tiga tipe kebudayaan: abangan,
santri dan priyayi.[4]
Namun, secara keseluruhan perbedaan tiga tipe ini mewujudkan kehidupan
masyarakat plural. Tetapi agaknya masyarakat yang plural ini tidak menjadikan
hubungan bertambah baik. Banyak sekali komentar-komentar dengan memberikan stigma buruk terhadap salah satu
pihaknya. Ketidakdewasaan masyarakat inilah yang membangun hubungan
bermasyarakat yang tidak sehat. Masyarakat seolah diperdebatkan paham oleh
boleh atau tidaknya tindakan ini dilakukan di dalam satu kepercayaan keagamaan.
Jika dirunut dari asal-muasal diadakannya
tradisi Ya Qowiyyu, ini mempunyai
tujuan yang baik demi tercapainya dakwah yang dilakukan Kyai Ageng Gribig.
Dengan menyelaraskan kepercayaan yang sebelumnya sudah melekat di masyarakat
setempat dengan kemasan dakwah Islam. Secara keseluruhan, perkembangan Islam di
Indonesia ini sendiri tidak terlepas dari peranan akulturasi budaya. Peranan
budaya lokal sangat penting hingga terciptanya masyarakat plural saat ini.
Seiring perkembangan zaman, Islam hadir di
Jawa dihadapkan dengan masalah yang cukup kompleks yaitu modernitas,
globalisasi, kebudayaan lokal dan semua perkembangan kontemporer yang
menghampiri perkembangan zaman dewasa ini. Dalam konteks ini, respon
kelompok-kelompok atau organisasi Islam di Indonesia dan Jawa, khususnya sangat
bervariatif yaitu mulai dari yang konservatif, moderat, liberal, radikal hingga
fundamentalis.[5] Perbedaan inilah yang
terkadang menjadi pemicu perbedaan yang bersifat keras. Pembagian tipe
kebudayaan yang dilakukan Geertz, seolah menjadi cluster yang tidak bisa disatukan. Professor Bachtiar mengkritik
klasifikasi ketiga golongan (Abangan,
Santri dan Priyayi) ini. Beliau
lebih melihat agama sebagai suatu unit analitis yang berupa sistem normatif
terbatas yaitu sistem kepercayaan (a
system of beliefs) dan membedakan dari unit lain yang bernama adat.[6]
Satu tujuan yang sesungguhnya ingin dicapai, yaitu dakwah. Penyebaran Islam
berkembang dengan baiknya di tanah jawa dengan pendekatan sosial humanis, hal
ini dimaksudkan agar tidak menjadikan perpecahan yang begitu ekstrim antar
kelompok yang satu dengan yang lain.
Justru Islam hadir menjadi sebuah pemersatu antar kelompok atau
golongan.
Lantas, kenapa sesama umat Islam harus saling
mempermasalahkan boleh atau tidaknya tradisi ini dilakukan. Bahkan ada yang
sangat ekstrim mengatakan bahwa tradisi ini mengandung kemusyrikan. Tradisi Ya Qowiyyu hadir di dalam masyarakat
Jatinom untuk mengenang Kyai Ageng Gribig atas jasanya dalam menyebarkan agama
Islam di wilayah Jatinom. Perayaan ini ditandai dengan penyebaran apem yang
merupakan simbol dari pangapura.
Hakikatnya sangatlah sederhana, sebelum
kamu meminta maaf, maafkanlah orang-orang yang menyakitimu.[7]
Bukan hal-hal yang mengandung nilai kemusyrikan seperti pandangan banyak orang.
Titik masalahnya hanya kurang dibukanya pola pikir yang hanya satu pintu.
Justru, setiap tradisi ini berlangsung Pak Daryanto yang sebagai atur pambagyo harjo sering mengingatkan
bahwa kedatangan warga yang mengikuti prosesi upacara ini bukan untuk
mendapatkan apem apalagi berkah dari apemnya itu. Hanya saja, lebih ditekankan
pada niat untuk mencari keberkahan sesuai dengan niatan ikhlas lillahi ta’ala.[8]
Cara Kyai Ageng Gribig dalam menyelaraskan
budaya lokal dengan Islam itu sendiri mengena pada masyarakat yang pada masa
itu masih memeluk agama Islam. Sampai upacara tradisi Ya Qowiyyu dikenang
sebagai upacara untuk melestarikan nilai-nilai keIslaman dengan kemasan
kebudayaan lokal. Tinjauan mengenai tradisi bahwa kehidupan kebudayaan
berlaku dalam waktu, kebudayaan mempertahankan diri dengan jalan tradisi yaitu
pewarisan unsur-unsur kebudayaan dari suatu angkatan menuju angkatan
berikutnya, karena sesuatu tidak dengan tiba-tiba untuk menjadi suatu
kebudayaan.[9] Tanpa kehidupan
kebudayaan itu akan selalu diakhiri dengan kemusnahan. Tradisi merupakan syarat
kesinambungan seluruh kehidupan kebudayaan yang ada dalam waktu masa lalu, masa
kini, dan masa yang akan datang.
Hal inilah
yang menyebabkan kenapa keberadaan Islam di Indonesia ini sangatlah unik.
Berbeda dengan Islam Timur Tengah bahkan Eropa. Islam Indonesia menganut Islam
kultural dimana tolak ukurnya ada pada kearifan lokal di daerahnya. Kemajemukan
bangsa ini tidak dimiliki oleh bangsa-bangsa manapun di dunia. Inilah yang
menyebabkan, kapanpun varian Islam lokal akan lestari meskipun mengalami
perkembangan karena selalu berdasarkan pada akar budaya lokal itu sendiri.[10]
Tidak bisa secara eksplisit bahwa Islam kita harus menganut Islam Timur Tengah.
Islam kultural di Indonesia berdasarkan kearifan lokal yang ada. Tidak bisa
dicampuradukkan dengan Islam Timur Tengah yang sering kita lihat di media
massa, menggunakan kekuatan kemiliterannya dalam upaya menegakkan segala
sesuatunya.
Sebagaimana yang sudah diketahui, Islam
berdialektika dengan budaya lokal yang pada akhirnya membentuk beberapa varian
Islam yang khas, seperti Islam Jawa, Islam Madura dan lain sebagainya. Varian
Islam tersebut bukanlah Islam yang tercabut dari akar kemurniannya, tetapi
menjadi Islam yang telah mengalami akulturasi dengan budaya lokal. Tidaklah
aneh, bagaimana lewat budaya lokal inilah Islam tumbuh. Kyai Ageng Gribig tahu
persis daerah yang menjadi tempatnya berdakwah pada umumnya masih menganut
kepercayaan Hindu bahkan masih terkandung Animisme dan Dinamisme.
Pendekatan-pendekatan bersifat humanis
dilakukan sebagai metode dakwahnya. Inkulturasi dilakukan dalam bentuk
akomodasi dan adaptasi antara ajaran Islam dengan keberadaan budaya lokal
setempat. Dari proses ini dilakukan bertujuan untuk menjaga dan mempertahankan identitas budaya lokal itu sendiri.
Paisun (2010: 156) menegaskan keberadaan Islam itu sendiri tidak tercerabut
dari akar ideologisnya. Demikian pula dengan masuknya Islam di dalamnya.
Agama dan kebudayaan mempunyai dua persamaan.
Pertama, keduanya merupakan sistem
nilai dan simbol. Kedua, baik agama
ataupun kebudayaan mudah sekali terancam setiap kali ada perubahan. Agama dalam
perspektif ilmu sosial adalah sistem nilai yang memuat sejumlah konsepsi
mengenai kontruksi realitas yang berperan besar dalam menjelaskan struktur tata
normatif dan sosial dengan memahamkan dan menafsirkan lingkungan sekitar.
Sedangkan budaya merupakan ekspresi cipta, karya dan karsa manusia yang berisi
nilai dan pesan religiusitas, wawasan filosofis, dan kearifan lokal (local wisdom).[11] Persamaan ini juga seakan menjadi
tumpang tindih. Lagi-lagi masalah pengelompokkan (cluster) menjadi sebuah permasalahan krusial yang tidak berujung.
Seolah pemikiran yang hanya melihat satu sisi saja yang menjadi acuan bagi
mereka. Kebudayaan dan agama menjadi dua hal yang berbeda. Sehingga dialektika
antara agama dan budaya di mata masyarakat umum memunculkan penilaian subjektif-pejoratif. Sebagian
bersemangat untuk mensterilkan agama dari kemungkinan akulturasi budaya
setempat, sementara yang lain fokus pada pembangunan pola dialektika
antarkeduannya (Roibin, 2010: 1).
III. Kesimpulan
Kasus teror bom yang terjadi saat tradisi Ya Qowiyyu 21 Januari 2011 seharusnya
tidak akan terjadi bila antar kelompok menjunjung toleransi dengan
mengeyampingkan pemikiran pragmatisme. Masyarakat tidak perlu dihadapkan oleh
keresahan yang tidak berujung oleh kelompok tertentu. Kita meyakini bahwa
proses dialektika yang dibangun antara agama dan budaya mempunyai nilai
positif. Jika melihat dalam perspektif menyeluruh.
Pemikiran Geertz mengenai tipologi kebudayaan
di Jawa seolah mendikotomikan persatuan antar satu kelompok. Antara masyarakat
muslim santri dengan masyarakat
muslim abangan sehingga menegaskan
bahwa agama Islam di Jawa merupakan kumpulan ekspresi iman, doktrin, ritual
yang dipraktikkan masyarakat sesuai tradisi lokal. Bagaimanapun, keberagaman
yang dimiliki oleh masyarakat Jawa memberi dampak positif untuk lebih
menyelaraskan pemikiran yang mengedepankan dialektika antar keduanya. Hingga
tercipta masyarakat yang saling toleransi antar satu kepercayaan yang menjadi
watak budaya yang khas di masyarakat Jawa ini sendiri.
Tradisi Ya Qowiyyu
ini bukan hanya suatu upacara dalam melestarikan kebudayaan saja, tetapi
menekankan pada bentuk kegiatan sosial sesuai kemasan dakwah. Agar menguatkan
kembali nilai-nilai kearifan lokal di dalam masyarakat kita saat ini. Pemaknaan
ini harus lebih diuniversalisasi lagi kedepannya sehingga dialektika antara
budaya dan agama dapat terjembatani dengan baik di kedua belah pihak.
Sebagai mahasiswa, kita harus turun langsung
ke lapangan. Berdialog langsung bagaimana sebuah tradisi bermula sampai kepada
pola pemikiran yang dibangun oleh masyarakat setempat. Jadi, dalam melihat sisi
tradisi Ya Qowiyyu ini, kita melihat
keseluruhan makna sampai pada hakikat yang terdalam dari melalui dialog.
Apalagi banyak sekali wadah bagi generasi muda saat ini terutama mahasiswa
untuk terjun langsung di tengah-tengah masyarakat. Salah satu contohnya melalui
dunia pengajaran di bidang pengabdian masyarakat yang hampir setiap UKM
fakultas mengagendakan hal tersebut dan didukung oleh keterlibatan perguruan
tinggi mewajibkan mahasiswanya mengikuti KKN. Hal inilah partisipasi mahasiswa
dapat menambah dan mengembangkan pola pikir kita sebagai generasi muda terhadap
kearifan lokal yang sudah dijaga masyarakat melalui sebuah tradisi. Kita tidak
ingin dikotomi antara tradisi dengan agama menjadi hal yang krusial dan
bertahan lama. Sebuah terobosan menggunakan pendekatan dialog dan peran
keikutsertaan mahasiswa di dalamnya, akan jauh lebih efektif membangun
perspektif generasi muda agar lebih rasional untuk menilai. Jauh dari rasa
mendiskreditkan peranan antar kelompok, karena mahasiswa merupakan agent of change, diharapkan membawa
perubahan yang baik kedepannya.
[1]Menurut Kepolisian
Daerah Jateng, Irjen Pol Edward Aritonang dalam portal berita Antara News http://www.antaranews.com/berita/243392/tujuh-orang-jadi-tersangka-teror-bom-rakitan,
diakses pada tanggal 23 Oktober 2014 pukul 15.03 WIB.
[2] KM Sosro Sumarto, Ki Ageng
Gribig, (Yogyakarta: SM. Dwi Warno, 1912), hlm. 46. (tulisan Jawa)
[4] Geertz, Clifford, Abangan,
Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, (terj), (Jakarta: Pustaka Jaya,
1989), hlm 9.
[5] Andik Wahyun Muqoyyidin, Dialektika
Islam dan Budaya Lokal dalam Bidang Sosial Sebagai Salah Satu Wajah Islam Jawa,
(jurnal), (Jombang: Jurnal El Harakah Vol.14, No.1, Januari-Juni 2012),
hlm. 20.
[6] Bachtiar, Harsja W, 1973, The Religion of Java: A Commentary Review,
Majalah Ilmu-Ilmu Sastra, 5,1, hal. 85-118.
[7] Wawancara Pak Daryanto, Op.cit.
[8] Ibid.
[9] Sidi Gazalba, Antropologi Budaya II, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992). hlm. 147.
[10] Lihat,. Andik Wahyun Muqoyyidin, Dialektika Islam dan Budaya Lokal Jawa, (jurnal), (Jombang: Jurnal
Kebudayaan Islam Vol.11, No.1, Januari-Juni 2013), bagian Pendahuluan dan
Diskurusus Agama dan Budaya.
[11] Hendar Riyadi, Respon
Muhammadiyah alam Dialektika Agama, (Koran), (Pikiran Rakyat: 24 Februari
2003),
0 Comments