Bertemu Malaikat Pada Suatu Pagi di Tahun 2003
4:54 AM
Tuan, sudahi saja kisah tentangnya. Di hari ketiga bulan Syawal di tengah pandemi corona ini, hamba ingin mengulik sebuah kisah. Tuan, percayalah, hamba mungkin akan menceritakan sebuah bedebah yang tidak berarti. Mungkin Tuan bisa berasumsi, bahwa kisah ini hanya lelucon belaka. Tapi percayalah, sama seperti Tuan percaya bahwa esok hari matahari masih akan tetap bersinar, bahwasanya hamba pernah bertemu degan malaikat.
Tuan, jangan tertawa terbahak terlebih dahulu.
**
Masih lekat dalam ingatan hamba mengenai perjanjian Pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka di Helsinki, Finlandia di tahun yang sama. Hamba mencatatnya dalam sebuah buku catatan kecil dengan lambang Partai Sarekat Islam Indonesia. Kebetulan, bapak hamba adalah pentolan dari salah satu anggotanya di cabang Surakarta.
Sepanjang tahun 2003 adalah tahun dimana semua keterpurukan terjadi dalam rumah tangga ayah dan ibuku. Bapak kebetulan menganggur. Tidak lagi kerja, karena krisis ekonomi pada tahun tersebut. Harga BBM naik berapa ratus rupiah tapi memukul mundur ekonomi. Tuan, ini bukan hanya bualan. Cek saja di arsip sejarah negeri ini, apa yang terjadi pada tahun tersebut agar Tuan mempercayai ucapan hamba.
Hamba berumur 9 tahun. Setiap pagi, setelah salat subuh, gerak langkah hamba selalu membeli lauk di jalan raya. Harga gorengan yang sebelumnya 300 rupiah kemudian berubah 500 rupiah, hamba paham betul. Bagaimana kenaikan harga 200 rupiah membuat hidup hamba begitu tersiksa. Ibu sudah harus bangun lebih pagi lagi, untuk kulakan di pasar kemudian menjualnya door to door alias dari rumah ke rumah, dari gang ke gang, untuk menjajakan ayam potong.
Benar memang, melalui itu semua memang tak terasa jika diceritakan di masa sekarang Tuan. Saya bisa kipas-kipas santai, meski di tengah pandemi corona yang membuat ekonomi dunia corat marut, puji syukurnya, keluarga hamba masih dalam kondisi aman terkendali. Bagaimana tidak, karena meski tidak bekerja pun, rupiah masih masuk ke dalam rekening.
Sepeda motor hanya 1 buah. Itu pun digunakan Ibuk untuk berjualan paginya. Sisanya ada sepeda onthel yang digunakan Bapak untuk membawaku ke sekolah. Tuan, umur adek bungsu hamba waktu itu masih berapa bulan. Kasihan, ia tak mendapat banyak kasih sayang dari Ibuknya karena harus berdagang tiap paginya. Bapak dan adek bungsu selalu membawa hamba ke sekolah setiap paginya.
Alih-alih membawa hamba tepat di depan sekolah, Bapak selalu menurunkan hamba di sebuah SMP Negeri. Hamba harus berjalan lagi kurang lebih 500 meter untuk bisa mencapai sekolah SD hamba. Alasan Bapak adalah agar adek bungsu tidak melulu terpapar dinginnya pagi. Benar Tuan, karena adek juga masih hitungan bulan, belum mencapai 1 tahun keberadaannya di keluarga kami.
**
Pagi itu seperti biasa, hamba diturunkan di SMP Negeri, dan bergerak dengan berjalan ringan, seperti biasa. Hamba ingat, pada waktu itu hamba tidak diberi uang saku. Tuan mungkin tidak percaya, hanya 1000 rupiah uang saku hamba waktu itu. Itu jauh dari kata tidak cukup. Itulah kenapa, hamba hanya membeli es kuncir 300 rupiah dan gorengan saja setiap istirahat sekolah, agar uang masih ada sisa yang bisa ditabung di celengan.
Tak jauh dari SMP Negeri itu, ada sebuah salon. Penampakan dari luar memang salon sekaligus alat peminjaman untuk keperluan pengantin, entah baju adat dan segala pernak-perniknya. Ada seorang mbak-mbak. Wajahnya yang tidak hamba ingat, sekilas seperti wanita muda. Terlalu jauh jika dikatakan seorang ibu-ibu. Dia tengah menyapu di halaman. Ketika aku melewati rumah itu, si mbak-nya justru menghampiriku. Memakai daster rumahan sambil memberiku uang 1000 rupiah. Itu harga uang sakuku pada hari itu.
Jujur Tuan, tak ada kata yang terucap pada lidah hamba. Karena tiba-tiba ada orang yang memberi hamba uang, dan mbak itu segera bergegas kembali ke tempatnya menyapu. Kami saling tidak mengeluarkan satu patahpun kata. Alih-alih sapaan yang menjadikannya sebuah kalimat hangat.
Tuan, kisah ini hamba ceritakan suatu waktu pada adek bungsu hamba. Sebenarnya dia merasa ini menjadi kisah yang tidak menarik. Maka hamba pun juga percaya. Yang membuat kisah ini begitu menarik adalah pada pagi hari selanjutnya, pada besok laginya, bahkan selamanya ketika hamba bersekolah di SD itu dan melewati jalan rumah itu, tidak hamba dapati wajah mbak itu.
**
Sulit dipercaya Tuan. Ini bukan lelucon, tapi lucu saja jika diingat. Mengingat kembali memori lama yang mungkin tak akan pernah terhapus, maka cerita inilah yang bisa hamba bagi. Ah, Tuan terlalu gundah gulana jika hamba mulai menceritakan tentang kisah yang bertepuk sebelah tangan melulu.
Bicara tentang si mas, yang hamba kagumi nih Tuan. Ingin rasanya memulai percakapan lagi. Tapi Tuan, masa selalu hamba yang memulai sih. Ah sudahlah. Ini belum terlalu larut untuk berbagi kisah lama, tapi tak apalah. Suatu ketika pangeran berkuda putih memakai setelan tuxedo benar-benar datang ke hidup hamba.
Tuan, percayalah lagi dengan yang hamba katakan. Kelak, jika kisah itu sudah ada, hamba tak lupa membaginya dengan Tuan.
Teruntuk Tuan Pemilik Rumah Dialektika ini,
Mon maaf lahir batin.
Bumbungkan gemuruh doa di langit ya, Tuan.
Siapa tahu, kisah itu segera datang.
***
H plus 3 lebaran,
26 Mei 2020
18:52
Bertemu Malaikat pada suatu pagi di tahun 2003 |
0 Comments