Renjana
3:54 AM
Tuan ingin kuceritakan sebuah kisah pahit, asam, manis, seperti permen nano-nano. Dengarkanlah~
Suatu hari, sebelah hati berdekatan dengan relung jiwa genderang perang mulai bertabuh. Kesenyapan yang kemudian tersingkap jadi riuh. Gelombang dingin berubah menjadi buih panas yang menggelegar. Keadaannya begitu tiba-tiba. Seolah seluruh malaikat dari langit turun untuk mengamankan bumi dari kejaran iblis.
Oh tidak Tuan, mungkin kita sendiri yang tengah berperang dengan iblis sedangkan malaikat hanya sebagai penonton di stadion kaki langit. Melihat jeritan yang tak kunjung sempurna karena suara serak terbungkam hanya sampai di tengah tenggorokan.
Tuan, katakanlah saya sudah kehilangan ihwal supranatural dalam diri saya hanya sebuah mimpi datang. Ketika itu tak ada hujan, tak ada badai, tapi hati seolah mengajak berperang. Mimpi yang membuat gundah gulana tak berkesudahan. Memimpin ritme pada sebuah tanda tanya, oh ini kenapa?
**
Mimpi itu berkisah mengenai sebuah bangunan megah, bisa dikatakan sebuah kampus besar. Maafkan Tuan, hamba juga tidak pernah menemuinya di kehidupan nyata. Dimanakah gerangan tempat itu berada?
Bak seolah menjadi nyata karena di samping gedung itu banyak berjejer ruko yang memiliki bisnis dalam bidang koperasi, bank, dan simpan pinjam. Tuan, percayalah. Bahkan dalam mimpi itu hamba sempat menggesek sejumlah rupiah dari mesin ATM. Nama Bank-nya pun ada di kehidupan nyata,
Yang tidak nyata hanya nama Koperasi yang tertulis, Koone. Apalah itu, tapi ingatan hamba hanya sebatas itu saja.
Dari beberapa gedung itu, hamba berjalan. Entah riang, entah gembira, entah gugup. Di depan mata hamba, ada sosok lelaki yang hamba sudah gebet. Hahaha, lucu sekali. Bahkan kalau es bisa diterjemahkan sesuatu hal yang dingin, mungkin orang tersebut jauh lebih dingin. Dia hanya bersuara ketika ingin mengutarakan. Tak pernah diwakili dengan basa-basi kesopanan.
Konyolnya mimpi, hamba hanya mampu menggambarkan waktu itu, di kejadian itu, tanpa ada pratinjau konflik akan naik, seperti di dongeng-dongeng. Maafkan hamba.
Kemudian, ada seorang teman perempuan yang di dunia nyata, pernah hamba berkunjung ke rumahnya untuk menginap. Dia datang dong Tuan. Membawa kebahagiaan. Dalam mimpi tersebut dia tertawa riang memamerkan rumah yang sudah didesainnya. Alih-alih mendesain, dalam dunia nyata dia hanya lulusan Tata Kota, jauh dari desain-desain rumah.
Tapi itu toh hanya sebuah mimpi, kan Tuan. Oke, hamba lanjutkan.
Dari Desain rumah yang sebenarnya di dunia nyata tak pernah ada sambung-sambungnya dengan realita, hamba menganggapnya bagus, Tuan. Coba Tuan bayangkan, bagaimana rumah berpagar bambu, meliuk-liuk berkombinasi dengan kayu, tanpa tembok. Jika puting beliung tiba-tiba datang, bukankah sedetik saja masa umur rumah itu.
Namun percayalah Tuan, itu adalah rumah terbagus. Karena di dalamnya ada kolam ikan. Ah. Kesukaan sekali.
**
Rasa hati yang begitu kuat mendorong rasa kepemilikan rasa ini, Tuan. Pahamilah. Bahwa dari mimpi itu sosok yang hamba tak harapkan hadir, dia tiba-tiba datang. Mungkin dibawa sama badai sore tadi, Tuan.
Membawanya tanpa permisi. Kan harusnya lewat perantara ya, kan Tuan. Biar hati mampu menyiapkan rasa terlebih dahulu sebelum dihempas dan dinaikturunkan bak kelabilan.
***
Tuan, dalam kehidupan nyata sehari setelah saya mengalami mimpi itu, hamba merasa diombang-ambingkan. Eh tiba-tiba kekuatan dari mana hamba memulai obrolan. Terlalu kikuk, terlalu nyablak, dan mungkin tidak sopan.
Ah dasar, tolong hamba membenahi etika hamba yang sudah 2 bulan ini terkurung dalam sangkar. Butuh waktu tak sebentar untuk mengumpulkan tata dan krama dalam waktu cepat.
Sudahlah, ini cerita yang tidak akan berujung pada konflik atau klimaks yang Tuan harapkan. Tapi Tuan, bagaimana bisa hamba gundah tak kepalang hanya karena mimpi konyol bangunan rumah bambu yang akan ambruk terserang beliung itu.
Oh mungkin, sekiranya hamba butuh berenang untuk menenggelamkan keputusasaan ini.
***
absurd momen seminggu ini
13 mei 2020
17:54
Keputusasaan itu berhasil membawa nama Renjana
berarti memiliki rasa hati yang kuat
-dan pesan yang tak terbalas entah yang kesekian-
Suatu hari, sebelah hati berdekatan dengan relung jiwa genderang perang mulai bertabuh. Kesenyapan yang kemudian tersingkap jadi riuh. Gelombang dingin berubah menjadi buih panas yang menggelegar. Keadaannya begitu tiba-tiba. Seolah seluruh malaikat dari langit turun untuk mengamankan bumi dari kejaran iblis.
Oh tidak Tuan, mungkin kita sendiri yang tengah berperang dengan iblis sedangkan malaikat hanya sebagai penonton di stadion kaki langit. Melihat jeritan yang tak kunjung sempurna karena suara serak terbungkam hanya sampai di tengah tenggorokan.
Tuan, katakanlah saya sudah kehilangan ihwal supranatural dalam diri saya hanya sebuah mimpi datang. Ketika itu tak ada hujan, tak ada badai, tapi hati seolah mengajak berperang. Mimpi yang membuat gundah gulana tak berkesudahan. Memimpin ritme pada sebuah tanda tanya, oh ini kenapa?
**
Mimpi itu berkisah mengenai sebuah bangunan megah, bisa dikatakan sebuah kampus besar. Maafkan Tuan, hamba juga tidak pernah menemuinya di kehidupan nyata. Dimanakah gerangan tempat itu berada?
Bak seolah menjadi nyata karena di samping gedung itu banyak berjejer ruko yang memiliki bisnis dalam bidang koperasi, bank, dan simpan pinjam. Tuan, percayalah. Bahkan dalam mimpi itu hamba sempat menggesek sejumlah rupiah dari mesin ATM. Nama Bank-nya pun ada di kehidupan nyata,
Yang tidak nyata hanya nama Koperasi yang tertulis, Koone. Apalah itu, tapi ingatan hamba hanya sebatas itu saja.
Dari beberapa gedung itu, hamba berjalan. Entah riang, entah gembira, entah gugup. Di depan mata hamba, ada sosok lelaki yang hamba sudah gebet. Hahaha, lucu sekali. Bahkan kalau es bisa diterjemahkan sesuatu hal yang dingin, mungkin orang tersebut jauh lebih dingin. Dia hanya bersuara ketika ingin mengutarakan. Tak pernah diwakili dengan basa-basi kesopanan.
Konyolnya mimpi, hamba hanya mampu menggambarkan waktu itu, di kejadian itu, tanpa ada pratinjau konflik akan naik, seperti di dongeng-dongeng. Maafkan hamba.
Kemudian, ada seorang teman perempuan yang di dunia nyata, pernah hamba berkunjung ke rumahnya untuk menginap. Dia datang dong Tuan. Membawa kebahagiaan. Dalam mimpi tersebut dia tertawa riang memamerkan rumah yang sudah didesainnya. Alih-alih mendesain, dalam dunia nyata dia hanya lulusan Tata Kota, jauh dari desain-desain rumah.
Tapi itu toh hanya sebuah mimpi, kan Tuan. Oke, hamba lanjutkan.
Dari Desain rumah yang sebenarnya di dunia nyata tak pernah ada sambung-sambungnya dengan realita, hamba menganggapnya bagus, Tuan. Coba Tuan bayangkan, bagaimana rumah berpagar bambu, meliuk-liuk berkombinasi dengan kayu, tanpa tembok. Jika puting beliung tiba-tiba datang, bukankah sedetik saja masa umur rumah itu.
Namun percayalah Tuan, itu adalah rumah terbagus. Karena di dalamnya ada kolam ikan. Ah. Kesukaan sekali.
**
Rasa hati yang begitu kuat mendorong rasa kepemilikan rasa ini, Tuan. Pahamilah. Bahwa dari mimpi itu sosok yang hamba tak harapkan hadir, dia tiba-tiba datang. Mungkin dibawa sama badai sore tadi, Tuan.
Membawanya tanpa permisi. Kan harusnya lewat perantara ya, kan Tuan. Biar hati mampu menyiapkan rasa terlebih dahulu sebelum dihempas dan dinaikturunkan bak kelabilan.
***
Tuan, dalam kehidupan nyata sehari setelah saya mengalami mimpi itu, hamba merasa diombang-ambingkan. Eh tiba-tiba kekuatan dari mana hamba memulai obrolan. Terlalu kikuk, terlalu nyablak, dan mungkin tidak sopan.
Ah dasar, tolong hamba membenahi etika hamba yang sudah 2 bulan ini terkurung dalam sangkar. Butuh waktu tak sebentar untuk mengumpulkan tata dan krama dalam waktu cepat.
Sudahlah, ini cerita yang tidak akan berujung pada konflik atau klimaks yang Tuan harapkan. Tapi Tuan, bagaimana bisa hamba gundah tak kepalang hanya karena mimpi konyol bangunan rumah bambu yang akan ambruk terserang beliung itu.
Oh mungkin, sekiranya hamba butuh berenang untuk menenggelamkan keputusasaan ini.
***
absurd momen seminggu ini
13 mei 2020
17:54
Keputusasaan itu berhasil membawa nama Renjana
berarti memiliki rasa hati yang kuat
-dan pesan yang tak terbalas entah yang kesekian-
Renjana |
0 Comments