Dalam karyanya, Mark Manson mengajari kita menyederhanalan hidup dengan menawarkan 9 hal yang ia tulis dalam bukunya. Iya, kita tengah membahas buku "the subtle art of not giving a f*ck".
Seni dalam Bodo Amat, buku ini sebenarnya terlalu kompleks untuk diulas hanya dalam satu postingan saja. Tapi aku akan berusaha semaksimalan mungkin yang aku stabilo ketika membacanya. Dan relate dalam apa yang sedang aku risaukan.
Aku masih ingat dengan beberapa ambisi teman yang punya gagasan revolusioner, ketika masa kuliah dulu. Tapi, tahapan krisis menjadi manusia setelah selesai kuliah adalah benturan dunia pascakampus. Terkadang, kita memiliki obsesi merubah sesuatu yang bombastis, padahal kita hanya butiran sampah yang bahkan sampah pun lebih ada maknanya dibanding diri kita.Euh, itu analogi yang sangat tidak tepat sesngguhnya, tapi tak apalah. Namun, pahamilah bahwa, obsesi merubah dunia tidak hanya bergerak di satu dua komunitas, misal mengentaskan kemiskinan, membuat melek akan pengetahuan, atau yang lain sebagainya. Karena toh, menurutku pribadi, itu jauh dari cita-cita sebuah kesempurnaan. Dan kini kita tengah merajutnya.
Mark Manson menampar kita pada obsesi-obsesi manusia saat ini. Melihat manusia lain hidupnya jauh bahagia, dan kamu terperosok pada jurang kecemasan. Lihat di feed instagram, punya kulit lebih putih, lebih glowing, suami ganteng, dan pamer makanan bisnis temannya. Secara tidak sadar akan membuah kecemasan. Ntah, kata cemas itu sendiri cocok atau tidak, tapi setidaknya ada satu detik dari sekian ratusan jam kita habiskan di internet dong, pastinya.
Oh tidak, cemas sendiri justru akan bermuara pada kemarahan. Kareana tadi, kita hanya seonggok sampah yang mentang-mentang ingin merubah dunia. Ups, salah. Tapi katakanlah demikian.
Sebagai manusia yang wal jahiliyah ini kadang, kita berhasrat dan berlomba-lomba menampilkan sisi baik diri kita. Semakin mengejar banyaknya pengalaman positif. Tapi pada dasarnya pengalaman positif itu sebenarnya pengalaman negatif itu sendiri. Kata Mark.
Sepakat!
Bahkan secara paradoks penerimaan seseorang mengenai pengalaman negatif justru merupakan pengalaman positif. Kalau kata filsuf eksistensialisme, Albert Camus : Kamu tidak akan pernah bahagia jika terus mencari apa yang terkandung di dalam kebahagiaan. Kamu tidak akan pernah hidup jika terus mencari arti kebahagiaan.
Jadi jangan berusaha!
Bab awal, Mark sudah menampar kita dengan kontradiksi dari apa yang dunia ini kerjakan. Iya, jangan berusaha menjadi sempurna. Karena premis di awal tadi, seperti ketika saat mahasiswa dan diberi tampuk sebagai lidah rakyat dan mengubah dunia dengan otoritas kita pada saat itu, pada hakikatnya kemampuan kita terbatas. Sadarlah, mungkin kita hanya seonggok sampah tapi kita tidak mengakuinya saja. Jadi begitu!
Kita itu hakikatnya yaa gini-gini aja. Jangan kasih beban berlebih pada hidupmu kalau kamu tidak mampu. Kan yang terpenting, kelola diri kita menjadi lebih baik.
Kita perlu menyadari bahwa hidup adalah proses penderitaan. Setiap kita melihat orang kaya, Pak Jokowi katakanlah, dia pemimpin, dia membangun sistem kronco-kronco oligharki yang mengerikan, tapi toh dia memiliki konfliknya sendiri. Dia bertarung memenangkan kursi dewan untuk meluluskan UU minerba yang saat ini tertutup oleh Rancangan UU HIP. Ups, out of topic. Atau bahkan anak dari direktur bank misalnya yang membangun bisnis dan ekosistemnya, dia pasti akan merasa menderita akan tuntutan sosial di lingkungannya. Dude, semua orang itu menderita.
Gak ada cerita, dongeng putri tidur yang tau tau pingsan dan dicium sang pangeran, kemudian BOOM! Bahagia selamanya, kan?
Menderita bisa diterjemahkan secara luas dan itu hak semua orang. Aku (dahulunya) mungkin akan berpikir bahwa orang rentan, orang yang terpinggirkan, yang miliki rumah hanya sepetak di pinggir kota, jauh menderita hidupnya, karena bisa dilihat dengan mata menyala, oh ternyata tidak esmeralda. Ternyata semua penderitaan itu sama. Karena itulah semua orang menderita. Semua orang yang hidup di dunia ini, maksudnya!
** tapi terkadang lucu, ketika aku melihat yang dulu selalu playing victims di tempat kerja lama. Karena bobroknya sistem yang ada. Haha.
Namun, percayalah bahwa mencapai kebahagiaan itu ada algoritmanya. Kita bisa mengelola. Kita bisa capai. Ketika masalah datang dan seolah-olah kita menderita, tapi kita bisa memilih memikirkan masalah sepele, (misal status Wasapnya dibaca atau tidak, atau dia menyembunyikan status orang itu atau bagaimana yang itu menurutku bukan masalah sama sekali seharusnya). Atau memikirkan hal-hal yang esensial yang perlu kita lakukan.
Semakin kesini, entitas masalah kita hanya berputar pada remeh temeh tidak perlu. Kan lebih baik, kita memikirkan ledakan penduduk yang akan terjadi 2030 yang akan datang, dan bagaimana kita yang manusia penuh dosa dan dusta ini menyikapinya, kan.
Toh pada kesimpulannya, kita hanya dihadapkan pada pilihan. Menanggung masalah dan menyelesaikan, kemudian memilih segalanya sempurna menurut versi kita. Memilih dalam jangkauan yang lebih luas, seperti memilih pertemanan yang sehat, memilih buku yang tepat untuk dibaca, atau apapun.
**
Bersyukur dengan pilihan dan lingkaran pertemanan yang hari ini mendoakanku berjodoh dengan anak direktur bank. Amin!
Gakpapa halu!
Shalawatin aja, gtu kata Yayak
11:16
30/06/2020
Seni dalam Bodo Amat, buku ini sebenarnya terlalu kompleks untuk diulas hanya dalam satu postingan saja. Tapi aku akan berusaha semaksimalan mungkin yang aku stabilo ketika membacanya. Dan relate dalam apa yang sedang aku risaukan.
Aku masih ingat dengan beberapa ambisi teman yang punya gagasan revolusioner, ketika masa kuliah dulu. Tapi, tahapan krisis menjadi manusia setelah selesai kuliah adalah benturan dunia pascakampus. Terkadang, kita memiliki obsesi merubah sesuatu yang bombastis, padahal kita hanya butiran sampah yang bahkan sampah pun lebih ada maknanya dibanding diri kita.
Mark Manson menampar kita pada obsesi-obsesi manusia saat ini. Melihat manusia lain hidupnya jauh bahagia, dan kamu terperosok pada jurang kecemasan. Lihat di feed instagram, punya kulit lebih putih, lebih glowing, suami ganteng, dan pamer makanan bisnis temannya. Secara tidak sadar akan membuah kecemasan. Ntah, kata cemas itu sendiri cocok atau tidak, tapi setidaknya ada satu detik dari sekian ratusan jam kita habiskan di internet dong, pastinya.
Oh tidak, cemas sendiri justru akan bermuara pada kemarahan. Kareana tadi, kita hanya seonggok sampah yang mentang-mentang ingin merubah dunia. Ups, salah. Tapi katakanlah demikian.
Sebagai manusia yang wal jahiliyah ini kadang, kita berhasrat dan berlomba-lomba menampilkan sisi baik diri kita. Semakin mengejar banyaknya pengalaman positif. Tapi pada dasarnya pengalaman positif itu sebenarnya pengalaman negatif itu sendiri. Kata Mark.
Sepakat!
Bahkan secara paradoks penerimaan seseorang mengenai pengalaman negatif justru merupakan pengalaman positif. Kalau kata filsuf eksistensialisme, Albert Camus : Kamu tidak akan pernah bahagia jika terus mencari apa yang terkandung di dalam kebahagiaan. Kamu tidak akan pernah hidup jika terus mencari arti kebahagiaan.
Jadi jangan berusaha!
Bab awal, Mark sudah menampar kita dengan kontradiksi dari apa yang dunia ini kerjakan. Iya, jangan berusaha menjadi sempurna. Karena premis di awal tadi, seperti ketika saat mahasiswa dan diberi tampuk sebagai lidah rakyat dan mengubah dunia dengan otoritas kita pada saat itu, pada hakikatnya kemampuan kita terbatas. Sadarlah, mungkin kita hanya seonggok sampah tapi kita tidak mengakuinya saja. Jadi begitu!
Kita itu hakikatnya yaa gini-gini aja. Jangan kasih beban berlebih pada hidupmu kalau kamu tidak mampu. Kan yang terpenting, kelola diri kita menjadi lebih baik.
Kita perlu menyadari bahwa hidup adalah proses penderitaan. Setiap kita melihat orang kaya, Pak Jokowi katakanlah, dia pemimpin, dia membangun sistem kronco-kronco oligharki yang mengerikan, tapi toh dia memiliki konfliknya sendiri. Dia bertarung memenangkan kursi dewan untuk meluluskan UU minerba yang saat ini tertutup oleh Rancangan UU HIP. Ups, out of topic. Atau bahkan anak dari direktur bank misalnya yang membangun bisnis dan ekosistemnya, dia pasti akan merasa menderita akan tuntutan sosial di lingkungannya. Dude, semua orang itu menderita.
Gak ada cerita, dongeng putri tidur yang tau tau pingsan dan dicium sang pangeran, kemudian BOOM! Bahagia selamanya, kan?
Menderita bisa diterjemahkan secara luas dan itu hak semua orang. Aku (dahulunya) mungkin akan berpikir bahwa orang rentan, orang yang terpinggirkan, yang miliki rumah hanya sepetak di pinggir kota, jauh menderita hidupnya, karena bisa dilihat dengan mata menyala, oh ternyata tidak esmeralda. Ternyata semua penderitaan itu sama. Karena itulah semua orang menderita. Semua orang yang hidup di dunia ini, maksudnya!
** tapi terkadang lucu, ketika aku melihat yang dulu selalu playing victims di tempat kerja lama. Karena bobroknya sistem yang ada. Haha.
Namun, percayalah bahwa mencapai kebahagiaan itu ada algoritmanya. Kita bisa mengelola. Kita bisa capai. Ketika masalah datang dan seolah-olah kita menderita, tapi kita bisa memilih memikirkan masalah sepele, (misal status Wasapnya dibaca atau tidak, atau dia menyembunyikan status orang itu atau bagaimana yang itu menurutku bukan masalah sama sekali seharusnya). Atau memikirkan hal-hal yang esensial yang perlu kita lakukan.
Semakin kesini, entitas masalah kita hanya berputar pada remeh temeh tidak perlu. Kan lebih baik, kita memikirkan ledakan penduduk yang akan terjadi 2030 yang akan datang, dan bagaimana kita yang manusia penuh dosa dan dusta ini menyikapinya, kan.
Toh pada kesimpulannya, kita hanya dihadapkan pada pilihan. Menanggung masalah dan menyelesaikan, kemudian memilih segalanya sempurna menurut versi kita. Memilih dalam jangkauan yang lebih luas, seperti memilih pertemanan yang sehat, memilih buku yang tepat untuk dibaca, atau apapun.
Hidup adalah rangkaian masalah dan penderitaan, jadi nunggu jatuh tempo kita meninggal, kita harus memilih. Pada sodoran pilihan, mana yang terbaik yang bisa kita lakukan! - Aku -
**
Bersyukur dengan pilihan dan lingkaran pertemanan yang hari ini mendoakanku berjodoh dengan anak direktur bank. Amin!
Gakpapa halu!
Shalawatin aja, gtu kata Yayak
11:16
30/06/2020