Mendefinisikan Kemerdekaan, Sebuah Renungan Mengheningkan Cipta

4:47 AM

Memulai tulisan ini tepat pada 17:59. Benar, tepat di malam (yang harusnya) Tirakatan.

Mengartikan kemerdekaan itu tanpa tekanan. Menurut saya pribadi. Sangat jauh jika dibanding tekanan yang dihadapi Barcelona hari-hari ini. Saya tidak bisa membayangkan sesakit apa rasanya menjadi fans Barcelona di waktu sekarang. Sudah jatuh tertimpa tangga dan dihunus panah yang menebus paru dan jantungnya di waktu bersamaan. Tidak enak betul rasanya. Muka bahkan tidak tahu mau ditaruh dimana.

Masih mending Manchester City yang kalah 1-3 dari klub yang terakhir melenggang di perempat Liga Champion 10 tahun lalu, Lyon.

Memerdekakan hati dari rasa yang bersifat iri dengki dan bahlul pada segala hal adalah koentji. Maka di malam di saat Indonesia merayakan kemerdekaannya, esok hari, refleksi yang bisa saya pribadi ambil adalah memerdekakan perasaan. Tidak iri dengki, tatkala (tiba-tiba tanpa hujan badai) Manchester United harus finish di 4 besar, misalnya. 

Terlebih, tidak dirundung sakit, sesakit-sakitnya, ketika JerrAx dengan gagah perkasa meninggalkan squad OG yang menang TI dua kali. Iya, karena gak tau kenapa aku sesakit itu ditinggal Jesse yang wajahnya gak bakal aku lihat di kompetisi major dota bahkan TI sekalipun (usap air mata). 

Argh, perasaanku seringkali bertaut mengenai orang lain. Itu sering kali. Ketika berjumpa dengan seorang teman adalah hal yang prestis yang tak bisa dijangkau di akhir-akhir ini. Sedangkan mengenal stranger lewat sosial media adalah hal mudah sampai membuat perasaan bak digampar orak arik, sangking rapuhnya. 

Bahkan alunan piano di intro awal "The Outside - Scova Notia" aku sudah merasakan sakit hati sesakit-sakitnya hanya mendengar mereka bersenandung. Rapuh sekali memang (terkadang) perasaan ini.

Tahun 2020 ini sudah diwarnai dengan kepiluan. Awalnya diri ini sudah bersemangat membawa semangat baru di tahun yang baru.Dengan semangat menggebu-nggebu. Sama seperti kita menyelesaikan soal trigonometri nomor 7 dan berpindah ke nomor selanjutnya. Merasa dengan bebas harus menentukan hal apa yang harus kita kerjakan setelah ini. 

Namun, hal tak kasat mata bernama corona mampu mengobrak-abrik hingga bersua dengan teman adalah hal yang luar biasa menggairahkan jika dilakukan. Padahal kebiasaan ini sudah jadi darah daging di sendi kehidupan kita. Tertaut hanya lewat daring sedikit mengobati, tapi pikiran di tahun ini pula membuatnya menjadi tak mudah. 

Satu dari sekian banyak faktor seperti kartu domino. Saling berkaitan dan terpaut bersamaan. Kalau kita tidak bisa bertemu dengan teman, ngga bisa haha-hihi, kemudian kapan jodoh ini datang jika keadaan sudah tertutup gara-gara bangsatnya corona(?). 

Terpuruk lagi ketika melihat orang bisa haha-hihi gandeng-gendong sedangkan kita geli. Uwoh!

Iya, yang paling ngeselin itu adalah pikiran mak nyut yang datang tak diminta (ya-iyalah). Tetiba harus kepikiran masalah jodoh, tiba-tiba kepikiran buat beli rumah (amin), tiba-tiba harus kepikiran buat deposito 30 juta dulu. Pikiran yang tiba-tiba ini yang kadang harus dibumihanguskan dari peradaban bumi ini, harusnya. Tapi sangat sayang nek harus hilang, bahkan kadang kepikiran ide bikin sesuatu, nulis sesuatu juga dari pikiran mak nyut.

Lalu, hingar bingar dunia maya hanya membuat semuanya tambah ruwet. Melarikan diri ke tontonan drama hanya akan jadi oase sesaat. Bahkan mengejar untuk menyelesaikan buku pun juga mengobati kepiluan dari pikiran mak nyut itu datang mengehentak. 

Maka hal tersial adalah menata hati. Aku juga tidak paham bagaimana the founding father  kita bisa dengan legowo mau memproklamasikan kemerdekaan tepat di tanggal 17 agustus di saat sebelumnya mereka harus ada acara culak-culik tokoh tua gara-gara ambisi "secepatnya" mumpung vaccum of power. Harus berani berdebat dengan golongan muda yang ambisius. Bahkan dari sejarah, bapak bangsa sudah mengajarkan bagaimana manajemen manusia (dengan pendekatan politis juga) mampu menerobos segala keruwetan. Menyatukan banyak golongan dan berbuah merdeka. 

Tapi aku? Memanajemen hati aja, sulitnya ampun-ampunan.

Kini, perasaan masing-masing manusia yang tinggal di bumi juga butuh didengar dan disimpati. Gaungnya agar terdengar di berbagai tempat di pelosok dunia sekalipun. Orang-orang ini ingin segala sesuatu mengikuti kemauan mereka. Berbeda pendapat dianggap adalah hal hina dan dijebloskan. Yah begitulah. 

Sangat disayangkan ketika orang yang berbeda pendapat harus dibungkam macam Jerinx sama Anji. Jauh dari edukasi ahli tapi berakhir nestapa. Aduh, aku ngomong apa sih ini. 

Sudahlah. Ruwet. Kalau mikirin negeri ini. Nggak dipikir aja udah ruwet apalagi kalau dipikir. 

Definisi kemerdekaanku? 

Écrire, c’est une façon de parler sans être interrompu. -Jules Renard

: menulis adalah cara berbicara tanpa terganggu!

Jadi, aku cuma pingin nulis ajah! 

Bye.

**

16/08/2020

18:35



You Might Also Like

1 Comments