Mari Kita Lihat Sendunya Langit Sembari Kamu Bermain Basket

7:34 PM


Senja Hari Ini

Sayang, ketika daun bergesekkan dan berjatuhan, aku membayangkanmu. 

Mungkin, daun jatuh itu sudah suratan takdir membawa memori terbaik kita. Bisa kita simpan sejenak saja menunggu senja sebentar lagi turun

*

Hari Pertama Masuk Sekolah, Juni 2010


Bel masuk sekolah berdenting. Bapak penjaga sekolah yang berkumis tebal itu menjalankan tugasnya. Selepas upacara bendera, semuanya nampak ogah-ogahan. Sama sepertiku. 

Hari ini pertama kalinya menginjakkan kaki di sekolah menengah atas. Biasanya setelah upacara dan sambutan awal kepala sekolah dan pihak guru, akan ada perkenalan. Atau biasa dikenal MOS, ajang perundungan itu datang.

Upacara membosankan telah selesai. Dilanjutkan dengan materi yang akan diberikan guru. Sebelum itu, anak-anak baru kelas 10 diberi 'pelajaran' oleh kakak kelas. Kata teman sepantaran, kakak kelas yang bakal memberi 'pelajaran' berasal dari pasukan inti. Sebuah organisasi tersendiri yang aku tidak tahu persis apa manfaat mereka. 

Mendapatkan selebaran mengenai sekolah, guru, dan sampai seluk beluk keorganisasian sekolah sudah ada di buku yang aku dapat di hari sebelumnya. Hari dimana aku membayar untuk sejumlah biaya sekolah, seragam, dan lain sebagainya. Jadi setidaknya sebelum aku menginjakkan kaki untuk pertama kali di sekolah, aku sudah mempelajarinya.

Meski sudah diberi seragam, anak baru tetap memakai seragam dari SMP asal. Tak lupa juga beberapa hal yang diwajibkan untuk dibawa. Sebuah celah untuk melakukan perundungan, persis seperti kisah klasik novel teenlit. 

Anak-anak Pasukan Inti masuk ke kelas kami satu per satu. Mereka langsung teriak-teriak tidak jelas. Kemudian menggledah apa-apa saja yang menjadi kesalahan kami anak-anak baru. Untungnya aku berada di meja paling depan. Masih sedikit diberi nyawa tambahan gara-gara bakal lama untuk memeriksa. Apesnya, kamu yang langsung datang. 

Muncullah kamu. Perawakannya tinggi besar menjulang. Perawakan bak seperti militer. Rambutnya cepak. Sudah nampak cocok menyandang status sebagai prajurit. Hanya saja tatapannya tidak tegas, begitu sayu. Ada tahi lalat di sebelah pipi kirinya. Begitu nampak gara-gara kulitmu bersih.

Matamu langsung mengarah ke meja paling depan. Memeriksa teman sebangkuku kemudian aku. Ada kesalahan yang aku lakukan. Pensil faber castel milikku belum teraut. Sementara temanku sudah. Dengan nada bentakkan memekakkan telinga, kamu menyuruhku maju ke depan. 

Bersanding dengan anak-anak pembuat kesalahan lainnya. 

Setelah waktu 'geledah-menggledah' usai. Kamu adalah satu-satunya anak Pasukan Inti yang paling menyebalkan. Aku sudah memberikan cap itu ketika kamu langsung dengan mata sinisnya menatapku. Mondar-mandir meneriakkan kesalahan kami. Bahwa kami sebagai anak baru di sekolah 'bagus' ini harus disiplin, bla-bla-bla. Semuanya konyol dan hanya aku telan mentah-mentah tanpa tercerna masuk otakku.

Kemudian, si 'anak-anak tidak disiplin' kamu bawa ke lapangan basket belakang sekolah. Kamu dan gerombolanmu meneriaki kami lagi lebih lantang. Lebih keras. Lebih mengerikan. Mukamu masih terekam jelas dalam memori betapa menyebalkannya kamu saat itu. 

*

Oktober, 2016


Kurang kerjaan banget kadang aku. Organisasi seabrek ingin didatangi rapat, belum lagi tugas kuliah, masih bikin proposal bisnis. Aku didorong teman baikku untuk mengikuti pendanaan kewirausahaan yang dibiayai dari kampus. Kita tinggal bikin proposal kewirausahaan. Nanti setelah dibikin, dipresentasikan bersama prototipe bisnisnya, kemudian kalau lolos bakal didanai. 

Perasaan kalau menyangkut bisnis berbisnis memang aku tidak pernah ahli. Ah, biarlah. Daripada tidak dicoba. Lagian mau kapan, ajang ini hanya diselenggarakan setahun sekali. Tidak selalu ada. 

Pagi hari yang dinanti untuk presentasi bisnis datang. Aku sudah siap bersama dengan puluhan anak yang mengikuti ajang yang sama. Kita berkumpul di jalan masuk menuju aula. Saling berdesak-desakkan memperebutkan kursi yang sudah disediakan di dalam aula. Hal pertama yang kita lakukan adalah mengikuti pembekalan terlebih dahulu.

Lelaki yang wajahnya menyeramkan dan terpatri jelas dalam memori itu mendadak datang. Memakai kaos polo berwarna merah bata. Memakai jeans dan menyangklong tas ransel hitam. Dari kejauhan datang sendirian. Lelaki itu memang datang terlambat. Harus menduduki bangku di deret depan. 

Kamu memang tidak mengingatku. Mungkin gadis polos yang kamu teriaki ketika masuk SMA itu tidak memiliki sejarah yang layak masuk dalam memorimu.

Tapi ingatan wajah menyebalkanmu mendadak masuk. Menyeruak. Mengobrak-abrik bahwa hari ini aku tidak menaruh minat apapun pada apa yang aku lakukan. Persetan dengan proposal bisnis yang sebentar lagi aku presentasikan.

*

Kemarin,

Sial!

Tuhan menciptakan miliaran manusia, kenapa harus kamu sih.

*

Senja Hari Ini

Ketika SMA, aku terkadang menghabiskan waktu mengikuti pertandingan basket. Kamu dan tim kamu bertanding. Perawakan tinggi bak militer itu pasti cocok jadi pemain basket hebat. Beberapa kali kamu dan tim basket sekolah sering mewakili kota. Bertanding di kejuaraan provinsi. 

Kulit cerahmu tak menjadi hal yang menakutkan jika berhadapan dengan matahari. Ketika aku harus pulang sore demi mengikuti ekskul di sekolah, lebih sering mendapati kamu bermain basket sendirian.  Rasa-rasanya aku ingin duduk di pinggir untuk menamanimu. Di bawah guyuran hujan, di bawah sengatan matahari sore, di kondisi apapun. 

Meski terkadang berdua, meski terkadang sendirian, atau ketika kamu duduk sendirian di bawah ring untuk beristirahat karena kelelahan main basket. Tak perlu kamu tahu, ketika itu pula aku sering mengamatimu. Dari jauh. Dari tempat motorku terparkir. Alih-alih alasan parkir motorku hanya sebuah pengalih kondisi. Atau aku sering mendapatimu bersama gerombolan sahabatmu di kantin. Tawa selepas-lepasnya yang diikuti dengan senyum dari matamu. 

Hei, bisakah kita mencoba untuk saling menyapa dari awal. Sebelum berakhir pada takdir yang memuakkan ini. Takdir yang saling memisahkan. 

Kemudian memori berharap kembali dari awal. Ah, nampaknya sudah susah membuat kisah cantik dengan takdir yang sempurna. Termasuk kehadiran senyum hangatmu dan wajah memuakkan itu datang bersamaan.

Padahal kita bisa saling memandang langit senja yang sama. Lalu kamu bisa bebas bermain basket dan hanya aku yang menjadi penonton satu-satunya. Tentu saja, keahlian bermain basketmu itu yang sangat menghibur. Selain temperamen marah-marahmu yang tidak jelas ketika mengospekku dulu.

***

10.48
Kamis, 11.2.2021
Mari Kita Lihat Sendunya Langit Sembari Kamu Bermain Basket

You Might Also Like

0 Comments