Unpredictable
6:59 AM
nabila chafa said today: The last post on 2013:
** dalam rangka lomba menulis cerpen bentang pustaka dan plot point :))
Unpredictable
“Dina, kamu
sudah print out proposal AKSEN kita?”
tanya Bima.
Aku menggeleng lemah. Aku tahu,
setelah ini ia pasti akan ceramah panjang lebar. Atau keputusanku untuk
menggeleng harusnya sudah aku perbaiki dengan senyuman yang menawan agar mulut
besar Bima itu bisa ditahan dengan kebohongan. Itu pikiran yang langsung aku terpikir
setelah gelengan kepalaku yang sukses membuat wajah Bima sudah menatapku tajam.
Lagi-lagi aku harus dipihak yang serba salah disituasi genting seperti ini.
“DINA!!! Kamu itu seharusnya
sudah print out itu proposal sejak kita dijajah Belanda. Mengertikah dikau
kalau situasi segenting ini kau masih bisa geleng-geleng kepala dengan enaknya.
Dimana waktu dua puluh empat jammu yang diberikan Tuhan? Huh? Kau tidak tahu sehari
penuh kemarin aku mutar-mutar kota
solo untuk nyari sponsor buat acara kita. Kau tidak sadar, huuh?” Ceramah
panjang dengan logat Batak lalang melintang terdengar di kepalaku. Kadang aku
meresapi satu per satu kata yang terucap dari bibir –super indahnya- yang lebih
banyak mengeluarkan sejuta air ludah sangking bersemangatnya.
Bima menyerah. Lalu pergi
meninggalkanku sendirian dengan setumpuk proposal lama di pangkuanku. Mataku
masih menatap awas di depan kelas IPS 3. Tempat
seseorang itu berada.
Ia kadang-kadang celingukan
mencari seseorang yang dicarinya. Tapi harus puas jika tatapan yang dia
harapkan tidak kunjung datang. Lalu sesekali mengecek arlojinya, gamang. Padahal
arloji itu berulang kali ia tatap sampai hafal setiap detail desainnya seprti
apa. Dia sungguh gila. Dengan kesemua kegiatan yang tidak masuk akal itu.
Celingukan-tatap arloji-mata menerawang jauh kedepan. Siklus yang tidak
berubah. Tidak bisakah kau ke dalam kelas menikmati alunan musik seperti yang
sering kulihat. Atau berlatih dengan bandmu untuk mempersiapkan pementasan
AKSEN. Dan, yang dilakukannya tetap masih sama sejak sepuluh menit yang lalu.
Dan segalanya menjadi berubah seketika.
Pemandangan dramatis yang tidak kuinginkan
terpampang di depan mata saat gadis itu datang. Pandangan matanya masih lurus
menatap tajam ke depan mengikuti arah gerak gadis itu berjalan. Melintasi
pelataran lapangan upacara dengan tertawa renyah bersama teman disampingnya.
Entah sedang menertawakan siapa. Tapi terlihat bahagia. Sama seperti orang yang
tengah menatapnya. Gadis itu mempunyai daya pikat tersendiri sampai-sampai
membuat kau terdiam membisu menikmati setiap scene langkah kakinya. Kau gila!
Kenapa dunia seakan-akan runtuh saat itu juga?
Rambut gadis itu tergerai lurus.
Sesekali ditiup oleh angin yang membuatnya seakan tokoh utama protagonist dalam sinetron. Matanya
menyipit karena efek sinar matahari. Lalu tak sengaja menatap kau –orang yang
sedari tadi terus mengawasinya.
Tidakkah kau seperti pengemis?
Deni namanya. Orang itu mendadak
salah tingkah. Kau tertangkap basah. Tugas kedua yang harus kau lakukan, kau
harus menghapus ingatan gadis itu, seolah-olah bukan kau yang sedang
mengawasinya dari tadi. Lagi-lagi kau gagal.
Jujur, bukan kau yang jago menjadi penguntit. Tapi aku…
Gadis itu seperti sudah tahu
bahwa kau sejak tadi mengawasinya. Ia mengulum senyum kepadamu. Kepada dia yang
detik berikutnya tengah berbunga-bunga. Untuk kesekian kalinya dalam hidupku
yang paling aku benci sejak menjadi temanmu adalah kau senang mendapatiku
sengsara. Kau bahagia sedang aku yang mengamatimu seperti zombie hidup seperti ini. Kau menahan senyummu di depan gadis itu.
Seolah-olah bukan kaulah pelaku sebenarnya. Tetapi detik selanjutnya saat gadis
itu pergi, kau salah tingkah. Lagi-lagi…
Pemandangan tiga menit dua puluh
Sembilan detik tadi terpampang jelas di hadapanku. Setiap adegannya dibuat
sebegitu indah dan dramatis. Tanpa perlu naskah scenario, aku yakin kau lulus di kelas drama Pak Agus minggu lalu. Jika
kau lebih memperhatikan keseimbangan cara pandangmu, tak mungkin kau gagal.
Aku jahat. Tapi entahlah, aku
harus merasa jengkel, kecewa, atau harus bagaimana. Aku teman satu bangkumu.
Tetapi kau biarkan perasaanku ini berkecamuk dan membuat aliansi untuk
menentangnya. Sekali lagi aku tegaskan. Aku tidak suka. Lalu, pantaskah aku
bertanya pada diriku bahwa Anida Erma, nama gadis itu tengah merebut
perasaanku?
Tidakkah kau gunakan logikamu untuk berpikir satu kode dariku?
Sekawanan serangga hinggap di
deretan taman di depan kelas. Deni masih duduk di sana. Entah kunjungan orang
macam apa yang sedang ditunggunya. Pandangannya telah berubah. Anida sudah lama
pergi sekitar lima menit yang lalu masuk ke dalam kelasnya. Ia masih bergeming
di tempatnya berada. Kadang matanya menelusuri langit yang –entahlah- sangat
cerah pagi ini. Atau bahkan angin yang membuat kesadarannya seperti terhempas.
Melayang. Mengikuti ombak angin sampai membawanya kemana.
Aku masih duduk di tempat yang
sama. Di depan kau berada. Lebih tepatnya di depan ruang Osis yang berada tepat
dengan kelas kita. Berjibaku dengan kegiatanku untuk terus menatapmu dalam
keheningan. Pelataran lapangan upacara yang memisahkan tempat kita berada Dari pandangan mata yang jauh kau bisa temukan
aku. Mengira-ngira sentuhan klimaks apa yang akan kau berikan padaku nanti. Aku
percaya pada sebuah kebahagiaan. Tetapi bukan aku, -aku sadar- tetapi kamu.
Seperti orang gila yang
menginginkan kuntilanak daripada wajah senangmu itu. Aku terjerat. Masuk
perangkap tikusmu.
ää
Dina…
Deni… Kita itu sesungguhnya cocok ya? Coba deh, kamu pikir Den!
“Kamu sudah makan, Den?” tanyaku
seraya meletakkan tas di meja. Kau berjibaku mengerjakan tugas akuntansi yang
mau tak mau membuatmu meneliti angka-angka yang sangat kau benci itu. Aku tahu
kau tidak menyukai akuntansi. Hei, aku adalah teman sebangkumu. Kamu tidur jam
berapa pun aku tahu.
Kau menggeleng lemah. Itu berarti
kau tak ingin kuganggu. Acara selanjutnya adalah aku terpekur sendirian
menatapmu dari samping. Kau terlalu serius. Masih menggaris di buku tulismu.
Kau lucu, jika ku tatap dari samping seperti ini.
Adegan seperti itu harus rusak
gara-gara si biang kerok.
“Dinaaa…” seru salah seorang dari
bibir pintu kelas.
Sarah yang berada di bangku depan
dan juga yang merasa terganggu langsung mengerucutkan bibir padaku. Lalu
memerintahkan agar Bima masuk ke kelas saja daripada mengganggu ketentraman
suasana hati anak kelas yang rontok karena mendapati tugas akuntansi yang belum
mereka kerjakan.
Wajahku sudah siap dengan
seringai macan jika Bima memainkan seringai serigalanya. Keningku sudah
berlipat-lipat karena tertekuk adalah bentuk adaptasi saat mendapati Bima sudah
berada di radius tiga puluh sentimeter dariku. Ia tetap saja mengacuhkan
tatapanku yang sangat tidak bisa diajak berkompromi di pagi ini. Parahnya, dia
itu tebal muka.
“Sudah kau print out kan? Jangan
bilang kemarin hujan dan kau lupa print?
Atau kau jangan-jangan…” Semua prasangka buruk Bima langsung aku bungkam dengan
menyodorkan hasil print out proposal acara AKSEN akhir tahun.
Dia menyeringai senang. Lalu
tumpukan stofmap yang dibawanya langsung disodorkan ke arahku. Dengan hati yang
senang gembira ia menjelaskan detail tugas yang aku terima kali ini. Aku
terperangah takjub.
Dia terlalu otoriter dengan hanya
menjabat wakil ketua acara. Dan ini membuatku gila sebagai sekretaris. Bukan
itu, tapi tugasku tidak ada kesan yang berkaitan dengan kesekretariatan. Dan
itu mampu merontokkan martabatku menjadi orang yang benar-benar bodoh.
“Kau publikasi di kemeninfo Solo,
oke? Kau hanya membawa proposal yang baru saja kau print itu terus pengadaan
acara kita…”
“HEEEH?” tanyaku tak percaya.
“Jangan bilang kau tidak tahu
kemeninfo itu apa? Dimana?” tebaknya. Dan sukses membuatku harus mengangguk
berkali-kali seperti anak kecil yang tak tahu jalan pulang ke rumah itu
bagaimana caranya.
“Monumen pers…” sahutnya cepat.
Kelihatan frustasi.
“Aku harus kesana juga? Kapan?”
tanyaku seperti orang tolol tingkat dewa.
“Di saat seperti ini kau masih
menanyakan pertanyaan ‘kapan?’ huh? Tidakkah kau sadar jika acara kita sudah
semakin dekat. Hal-hal sepele seperti ini kau abaikan begitu saja. Nanti siang
sepulang sekolah kau harus kesana!!” jawabnya tak kalah panjang dari rel
kereta. Lagi-lagi dengan kata ganti ‘kau’ membuat telinga sedikit geli.
Untuk kesekian kalinya aku
menyesal jika bergabung dengan Osis tahun lalu.
“Perlu bantuan, Din?” tanya
sebangkuku.
“Ah, enggak-enggak, Den. Nanti
aku ke monument pers naik bus. Tapi kira-kira pakai bus jurusan apa, ya?” tanyaku
sendiri. Masih menimang-nimang segala sesuatunya terjadi.
“Diin..”
“Juna, kau tahu kalau sini sampai
Monumen Pers itu pakai bus jurusan apa?” tanyaku pada teman di belakangku.
“Pakai Bus Atmo sepertinya bisa.”
Jawabnya masih berjibaku dengan pekerjaan rumahnya yang dikerjakan di kelas.
Aku mengangguk-angguk paham. “Busnya
itu yang nanti lewat stasiun Solo Balapan, kan?” tanyaku lagi. Dia mengangguk
sebagai jawaban yang melegakan bagiku sejauh ini.
Setidaknya aku tidak akan
pusing-pusing dengan bus apa yang membawaku sampai rumah nanti. Jika Atmo
melewati Solo Balapan berarti dia juga
melewati jalur yang sama seperti Batik Solo Trans. Dan aku tidak repot-repot
memikirkan nasibku yang tidak tahu jalan pulang. Tiba-tiba ku tengokkan tubuhku
ke depan. Wajahku mengembang karena entahlah, tetapi aku mendadak senang.
Bingo.
Deni menatapku dari samping. Aku
mengamatinya balik. Lalu keningku berkedut dan tertekuk bertanya-tanya. “Ada
apa, Den? Kamu lapar ya? Belum makan? Ayo ke kantin, yuk!” tanyaku. Serentetan
kalimat tanya penuh perhatian dan membuatku cemas di akhir-akhir. Karena
sejujurnya aku bingung mendapati Deni dengan tatapan paling memelaskan yang
pernah aku lihat seperti ini sepanjang dua tahun aku menjadi teman sebangkunya.
“Virusnya Bima sudah masuk ke
tubuhmu, ya? Jangan bertanya dengan serentetan kalimat tanya yang berbeda.” Ia
gusar. Terlihat jelas dari tatapannya yang sedang memandangku.
Aku memandang sambil tertunduk.
Lalu ia menepuk punggungku pelan. “Nanti aku antar kamu sampai ke Monument
Pers. Jangan bingung-bingung harus pulang naik apa.” Katanya lembut. Gaya
khasnya. Entahlah, aku damai saja mendengarnya. Walapun kebahagiaan kecil ini
mungkin hanya bersifat se-men-ta-ra. Karena keramah-tamahannya selalu bisa
menyadarkanku tentang siapa aku. Harapanku tak akan mampu terbang setinggi
langit jika mengingat hatinya dikuasai atas nama Anida, orang yang
meluluhlantakkannya saat di kelas sepuluh. Orang yang mampu membuat tubuhnya
yang gempal menjadi turun drastis dua puluh kilo sejauh dia bercerita sampai
detik ini.
Deni mau berkorban apapun untuk
menaklukan hatinya Anida. Walaupun, sampai detik ini ia hanya mampu menatapnya
dari jauh. Dan sama sekali tak mempunyai keberanian seperti pejantan tangguh
sesungguhnya. Dua tahun ini, cintanya sudah mentok pada gadis itu. Jadi, apa
yang harus dilakukan oleh sahabatnya –seperti aku ini- jika mendapati hal
seperti itu terjadi dengan sahabatmu sendiri.
“Kenapa? Ada yang salah?” tanya
Deni mengoreksi.
Aku menggeleng lemah, lalu
mengulum senyum untuknya. “Makasiih Den…” sahutku.
Dia membalasnya dengan senyum
yang sumringah seperti biasa. Kenapa hal yang membahagiakan seperti saat ini,
aku harus takut jika harus kehilangan senyumnya. Kehilangan dirinya. Kenapa?
ää
“Den, kamu
tidak makan dulu?” tanyaku sedikit khawatir.
Kelas baru saja bubar beberapa
menit yang lalu, sedangkan yang dilakukan Deni masih sama. Mengutak-atik pensil
mekaniknya yang sepertinya tidak ada apa-apa dan terkadang berpikir keras
dengan buku catatannya.
“Sedang nulis apa?” tanyaku lagi.
Kali ini mendapat respon dengan muka tertekuknya Deni dengan coretan tulisan di
buku. Dia sedang menulis sesuatu dan entahlah. Membuat rasa penasaranku sudah
naik level tingkat planet Saturnus.
“Resolusiku di tahun 2014. Kenapa
Din?? Ini kan sudah masuk akhir tahun. Kamu tidak nulis resolusi juga?”
tanyanya. Rentetan pertanyaan yang mana bersumber dari satu hulu yaitu Bima.
Mana bisa Deni-ku terjangkit oleh virus yang membahayakan jagat manusia seperti
milik Bima itu. Tidak boleh.
“Kau sudah terjangkit virus Bima,
huh?” pertanyaanku sangat mirip walau ekspresi Bima dengan sekuat tenaga aku miripkan. Tetapi
gagal. Justru mendapat cibiran dari Deni.
“Kau kan teman sebangkuku. Jadi
wajar sajalah, aku terjangkit virusnya.” Katanya. Sembari mengikuti mimik Bima
yang kebatak-batakan dicampur dengan logat Solo.
“Tapi kau kan tidak kenal dekat
siapa Bima. Lalu kenapa kamu juga yang tertular?” tanyaku lagi mencoba
berdebat. Tapi tak mendapat respon. Ia lebih memilih melanjutkan acaranya
sendiri daripada membalas perdebatanku. Apa
ada yang salah dari pertanyaanku, Den?
Aku menunggunya. Masih di meja
belajar kami di kelas. Sekolah sudah sepi dan hanya diisi oleh hilir mudik
anak-anak yang masih berkepentingan di sekolah. Bukan seperti Deni ini misalnya
yang hanya membuang-buang waktuku pergi ke Monumen Pers tersita.
“Kau nulis apa sih, Den?” ulang
pertanyaanku lagi. Mimik wajahnya yang serius seperti itu membuat rasa
penasaranku sudah menjadi-jadi naik satu tingkat, Neptunus.
“Resolusi…” jawabnya singkat.
Sepertinya dia masih marah. Halo!! Apa yang membuatnya marah, coba?
“Iya, aku tahu kamu nulis
resolusi. Tapi resolusi tentang apa?” tanyaku setengah frustasi.
“Cinta.”
“Whhaatt!!!” pekikku tak percaya.
Deni sudah menatap tajam ke arahku karena kekagetannya. “Kamu nulis res…”
“Ayo berangkat!” potongnya cepat.
Padahal buku-bukunya masih tercecer di meja dan mungkin di laci mejanya juga
banyak buku. Dalam kondisi seperti itu dia langsung mengajakku berangkat.
Aku membantu memasukkan peralatan
alat tulisnya ke dalam tempat pensil sembari ia memasukkan buku-bukunya. “Sejak
kapan perintah-perintah orang tapi orang yang memerintah tidak siap seperti
ini.” Kataku. Dia beranjak berdiri lalu pergi.
Tak ada jawaban, tak ada kalimat
yang terucap. Langkah besar Deni menghilang di balik pintu kelas. Meninggalkanku
dibalik pertanyaan besar yang menggantung di pikiran. Ada apa, Den?
ää
“Din, diluar
panas. Kamu nggak takut kulitmu hitam?” tanyanya tadi di parkiran sekolah. Dia
tahu kalau aku tidak membawa jaket. Aku menggeleng. Sesekali mengulang adegan
tiap adegan yang kontras dan berkebalikan seperti tadi. Padahal beberapa menit
yang lalu entah kenapa dia ngambek bicara denganku. Tetapi tiba-tiba ia berpolah
seperti anak kecil dengan gaya khawatir seperti itu.
Terkadang, tingkah polahmu itu lucu.
Jalan Gajah Mada padat merayap.
Arah ke Stasiun Balapan ini harus penuh dengan berjubelan mobil dari berbagai
daerah yang bukan berplat AD. Motor Deni melaju lebih bisa diandalkan dibanding
dengan kecepatan rata-rata mobil yang hanya 20km/jam. Entah kenapa, aku harus
bersyukur ada Deni yang mau mengantarkanku sejauh ini.
Setelah memutar Bundaran dekat
dengan rumah dinas wakil wali kota Solo, Monumen Pers terlihat di seberang
jalan. Rumah dengan arsitektur kuno setengah modern itu langsung menyambut. Dindingnya
terbangun dengan batu alam berwarna hitam sampai lorong-lorongnya. Saat mataku menikmati
setiap detail bangunan, tak sengaja menabrak Deni yang melepaskan helmnya, aku
langsung menghampiri.
“Makasih Den. Sampai di sini aja.
Kamu kan juga harus latihan buat AKSEN minggu depan, kan?” ujarku.
“Tidak apa-apa, lagi pula juga
masih nanti sore.” Jawabnya santai.
“Iya sih Den, tapi lebih baik
kamu tiduran dulu di rumah sambil nunggu waktu sore buat latihan bandnya. Iya,
kan?” ujarku.
Ia menatapku tajam. Menelisik
dengan detail setiap pancaran mata yang terlihat di balik kornea mataku. Aku
menggigit bibir, takut. Lagi-lagi, sepertinya aku membuat kesalahan lagi.
“Cepat masuk sana. Aku tunggu disini
saja.” Perintahnya.
Aku tak berkutik untuk tidak membantahnya.
Entah kekuatan dari mana sampai membuatku kebingungan seperti ini. Mendapati
sosok seorang Deni yang berkepribadian aneh ini baru akhir-akhir ini terjadi. Segalanya
menjadi rumit.
Sebenarnya yang menjadi perempuan
itu aku atau Deni, sih? Kenapa tingkah polahnya seakan-akan dia sedang PMS. Beberapa
menit yang lalu marah, lalu baikan, lalu marah lagi. Kenapa kamu hari ini bisa
serumit ini Den?
ää
“Den, semangat
ya!!!” kataku penuh semangat. Sambil mengepalkan kedua tanganku ke udara
seperti sumo yang akan bertanding. Dia tersenyum. Setidaknya dengan senyum yang
diberikannya itu padaku memastikan jika kegugupannya bisa diredakan.
“Iya.” Sahutnya pendek. Tetap
saja jawaban satu kata itu menentramkan hatiku. Betapa tutur katamu yang polos
dan tingkahmu yang seperti anak kecil itu mampu mempengaruhi alam bawah sadarku
untuk tetap mendukungmu. Apapun yang terjadi, bukankah ada Dina Panawestri di
sini. Betul kan, Den?
Aku berbelok untuk memastikan
perlengkapan apapun yang belum disiapkan dan keluar dari belakang panggung.
“Dinnn…” panggilnya.
“Aku tahu kamu sibuk, tapi lihat
performku nanti ya! Walaupun aku hanya main gitar.” Pintanya polos. Ia tengah
merajuk sampai aku mengangguk-anggukkan setuju. Ia masih menungguku memberi
respon.
Aku tersenyum sambil mengacungkan
jari jempolku ke udara. Ku berikan senyum terbaikku saat itu juga. Sama seperti
senyum maha cerah yang dilontarkan padaku kali ini saat ia menunggu jawaban
kesanggupanku.
Senyum persahabatan yang hangat. Bukankah itu yang sedang dipinta oleh
takdir?
28 Desember 2013 pukul 09.24 Waktu Indonesia Bagian Solo di Balekambang
Solo, kau tampil. Buat aku terpukau dengan kesederhanaanmu.
“Hei Dina, coba deh cek jadwalnya
perform anak Teater di Angga. Ada yang bentrok.” Kata Bima yang berlari kecil
ke arahku. Dia itu memang benar-benar gila. Di era teknologi seperti ini dia
masih mengandalkan teknologi jaman dinasaurus yang sukanya teriak-teriak.
Well, di saat-saat situasi
genting –aku sedang mempersiapkan pemandangan maha luar biasa seperti ini- mau
tidak mau harus berbenturan dengan perintah Bima yang sepertinya sudah langsung
turun titah dari Raja Siliwangi. Orang bodoh dari mana coba, untuk membuat mulut
Bima membungkam jika tidak menepati permintaannya. Lagi pula Angga, bagian sie
acara yang pasti hidupnya tidak jauh-jauh dari belakang panggung. Paling tidak,
aku masih bisa memastikan tampilannya Deni sebelum ia benar-benar akan tampil
di atas panggung. Memberikan dia sedikit energy, setidaknya jika Anida tidak
muncul duluan.
“Angga, coba aku lihat jadwal
yang kamu pegang.” Perintahku padanya. Dari jarak sedemikian dekat dengan
panggung, aku tahu Deni sedang beraksi. Ia telah mengguncang dunia dengan gitar
akustiknya. Petikan suara gitar terdengar jelas berdampingan dengan suara
perempuan cewek yang menjadi vokalis di band yang digawanginya.
Entah aku ini sudah bodoh berapa
kali. Aku tidak menepati janji kecilku untuk melihat penampilan Deni. Ini
sebenarnya masalah yang lebih urgent daripada membahas bentrokan jadwal yang
seharusnya bukan menjadi kewajibanku untuk menyelesaikan. Hei, aku ini
sekretaris. Tugasku hanya membuat surat perijinan, proposal dan laporan
pertanggungjawaban di akhir.
Tetapi terkadang, takdir tidak pernah memuat sebuah pertemuan indah
padaku dan dia.
“Coba deh, acara dance anak cheers itu diajukan lagi…” kataku mengintrupsi kedua bocah yang
sangat berkepentingan dalam tatanan jadwal. Dan kalimat tadi terlontar dari aku
yang bertugas di sekretaris.
Dia keluar dari panggung untuk
kembali. Ia menatapku yang sedang berdebat dengan Bima –orang yang selalu
membuat hidupku seolah-olah hancur secara teratur. Bima memang tersangka di
semua situasi dan kondisi. Ia pasti marah. Setelah ini, pasti Obama akan
mengumumkan perang dunia ketiga pada dunia.
Aku berdiri tegak menghampirinya.
Basa-basi tidak penting sudah akan aku lontarkan. Tapi wajahnya yang
sangat-sangat marah terampang nyata yang seharusnya membuatku mundur. Setidaknya
kalimat ‘Hebat Deni, kau sudah menuntaskan petikan gitarmu yang mengguncang
dunia’ tapi tak sepatah katapun yang keluar saat dia menghindari jalanku.
Atau paling tidak aku bisa
mengucapkan ‘Den, maaf aku tidak bisa menonton performmu.’ Aku menyesal.
ää
“Deni…”
panggil seorang cewek. Dia mendongak menatap orang yang tengah memanggilnya. Aku
mengamati dari jauh pemandangan yang berulang kali aku temui ini. Drama yang
terlalu klise. Sebenarnya aku muak, tapi apa yang bisa aku lakukan untuk
memastikan kau tidak apa-apa setelah kejadian tadi.
Senyummu kaku. Tidak seperti
biasanya.
“Ya? Ada apa?” kau malah
pura-pura Alzheimer terhadap gadis yang memanggilmu dengan antusias itu. Den,
tidakkah kau lupa. Itu gadis yang membuat badanmu yang sebesar gajah bisa turun
sampai dua puluh kilo. Bukankah dia gadis yang selalu membuat matamu mengambang
bahagia?
“Kamu tadi hebat.” Gadis itu
memujimu. Terdengar jelas dengan dentuman suara Dj dengan dance anak cheers sedang
beraksi. Kau sunggingkan senyum manis di bibirmu, walau terlihat tipis.
“Thanks.” Jawaban singkat, padat
dan jelas keluar dari mulutmu.
Mataku tak pernah beralih dari
sosok klise yang selalu mengganggu emosiku naik turun itu. Lalu tatapan tajam
mata Deni menelusuri arah lain. Sampailah padaku.
Kali ini, aku tak mampu
berkata-kata, saat jari manis Deni menggandeng Anida keluar dari kerumunan. Dan
dibuat sengaja di depan mataku persis. Ini adalah tontonan yang cukup berani
yang sejauh ini mampu ditampilkan oleh sosok seorang Deni. Dengan wajah bersemi
dan pipi merona bahagia, Anida menerima uluran hangat tangan Deni.
Tenggorokanku tercekat.
ää
“Namamu
siapa?” tanya cowok itu. Sebelum aku sempat menjawab, dia sudah memperkenalkan
namanya terlebih dahulu. “Aku Deni Mahendra. Panggilnya saja aku Deni.”
Pintanya.
Lalu kejadian itu berputar-putar dalam
benakku. Tak sanggup menahan tangis yang jatuh di pipiku. Sesekali aku bertahan
untuk tidak mengeluarkannya. Tapi apa daya, jika tidak bisa. Bukan karena aku
cemburu karena rasa sayangnya tidak bertepuk sebelah tangan. Tapi saat
mendapati tidak ada lagi sahabat satu-satunya yang kita miliki dan ada di
sekitar kita, bukankah itu lebih menyakitkan?
Tiga hari sudah semua itu
berakhir indah. Lebih tepatnya mengenaskan jika sudut pandangnya adalah aku.
“Din, ada yang nyari kamu
dibawah!” seru Kak Ivan. Aku menyapu air mataku lewat punggung tangan.
Aku tak menyahut. Aku takut kalau
suaraku terdengar purau. Mendapati adiknya menangis di malam pergantian tahun
seperti ini. Merenungkan diri dan entahlah sampai kapan hal ini terjadi. Aku
keluar kamar dan langsung mencapai teras depan.
Dia? Orang yang selama ini aku
rindukan dengan mata menyipit dan setelan kemeja lengkap, gaya khasnya yang
formal. Kenapa tiba-tiba dia ada di depan rumahku?
“Kau tidak menikmati malam
pergantian tahun? Dan langsung tidur gitu aja?” tanyanya. Ini lebih baik
daripada tiga atau empat pertanyaan yang langsung ia ajukan dalam sekali waktu.
Dia tahu kalau aku sudah mengenakan piyama dan bersiap untuk tidur.
Tak ada sahutan yang keluar dari mulutku
sebagai jawaban.
“Kau tidak seperti banyak orang
yang jalan-jalan di car free night
sambil liat kembang api di jalan Slamet Riyadi?” tanyanya lagi.
“Kenapa kau di sini? Bukankah
kamu sedang marah sama aku?”
Entahlah ini sopan atau tidak
jika pertanyaan itu jawabannya adalah pertanyaan yang berbeda. Tapi hal itu lebih sering terjadi jika
berhadapan dengan si biang kerok, Bima. Jadi, wajar jika aku tertular virusnya.
Tapi, gara-gara kata virus Bima itu awal mula sikap Menstruasi Syndrome itu terjangkit
oleh Deni. Sampai pada akhirnya, aku malas mengikuti alur berpikirku yang mulai
konyol ini.
“Apa aku saat ini terlihat sedang
marah denganmu?” tanyanya. Aku tak berkutik.
“Aku ganti baju dulu.” Sahutku
mengakhiri perdebatan.
Deni mengajakku ke pusat kota.
Dia memarkirkan di dekat dengan keraton kasunanan Surakarta yang juga semeriah
yang bisa dibayangkan. Dua pohon beringin yang rimbun dan tampak angker saat
Deni memasuki kompleks alun-alun utara tetap tidak menampakkan keangkerannya
karena keriuhan orang-orang yang memadati. Apalagi malam ini sudah seminggu
lebih diberlangsungkannya Sekaten sampai nanti pertengahan bulan Januari.
“Kenapa kita harus di sini?”
tanyaku. Kami berjalan menyusuri dari Bundaran Bank Indonesia di Gladak sampai
pertengahan jalan Slamet Riyadi. Dia itu benar-benar gila, tapi tak apalah.
Kakiku juga sudah pegal karena kelamaan mendekam di balik kamar dengan
kebisuan.
“Matamu bengkak.” Katanya
mengalihkan jawaban pertanyaanku.
“Seperti yang kamu lihat..”
“Kenapa?” tanyanya sambil mencuri
pandang ke arahku. Memastikan keadaanku baik-baik saja.
“Di jaman seperti ini kau masih
menanyakan pertanyaan ‘kenapa’ huh?” tanyaku balik tajam. Virus perkataan Bima
memang sangat ganas sampai tercetus begitu saja dari mulutku. Sebenarnya aku
ingin sadar, bahwa ini semua akibat keegoisanmu. Tidak memberi kesepakatan
untukku berbicara.
“Aku minta maaf..” katanya dengan
suara bergetar. Tapi aku tak peduli.
“Lalu kenapa kau mengajakku ke
sini?” ulang pertanyaanku, masih sama. Berjalan jauh seperti ini dengan keadaan
yang sama sekali canggung membuatku lebih baik menangis meraung-raung di rumah.
“Aku sedang tidak ada teman. Dan
ingin membuat resolusi tahun besok menjadi kenyataan. Itu juga kalau bisa.”
Jawabnya dengan lancar.
Deni masih sama. Aku masih
satu-satunya teman yang dianggapnya berharga. Yang dianggapnya teman curhat
yang menyenangkan dalam sudut pandang dia, bukan aku yang harus jengkel
mendengarnya jika berhubungan dengan Anida.
“Dia sudah kamu tembak atau apa?”
tanyaku. Berusaha untuk memulihkan dengan mengungkit-ungkit sesuatu yang paling
disenanginya. Siapa lagi kalau bukan tentang Anida.
“Siapa?” tanyanya polos. Halo!!
Tidakkah dia sadar?
“Den, aku harus sabar jika ngobrol
sama kamu.” Sahutku jengkel. Dijawab dengan senyuman hangat miliknya. Senyuman
yang setidaknya ingin aku rasakan jika malam tahun 2013 yang terakhir ini
adalah saat terakhir aku harus melihatnya.
“Diin, hmm…” katanya berusaha
untuk mencari kata yang pas.
“Apa?” tanyaku malas.
“Kamu tahu gitarku, kan? Kemarin
AKSEN aku tak bisa mendapatkan totalitas dari pick gitarku yang hilang. Maafkan
aku…”
Aku mengernyit bingung. Aku juga
salah dibagian itu. Aku tidak menonton diperformnya itu.
“Aku juga minta maaf, tidak bisa
ngliat kamu juga.” Setidaknya itu adalah kalimat yang sudah gatal ingin aku
ucapkan.
“Pick gitarku hilang, bisa kah
kamu belikan? Hmmm… Itu bagian terpenting dari permainan gitar yang… hmmm…”
katanya dengan gugup. Aku terdiam tidak melanjutkan berjalan.
“Kita pergi ke Solo Grand Mall
atau Solo Square buat beli pick gitarmu itu, gimana?” tanya khawatir. Aku tahu,
jika gitar adalah nyawa keduanya. Dan berartinya sesuatu itu saat menyangkut
nyawa keduanya itu.
Deni berusaha mencegah. Bukan itu
yang dia maksud.”Bukan begitu Din, bukan itu. Aku mau kau memberikannya tanpa
membelikannya.” Katanya susah payah.
Halo!! Aku tidak punya pick
gitar. “Hei, Den kamu ini kenapa? Aku tidak punya.” Jawabku frustasi.
Aku menatapnya tajam. “Apa kau
berusaha menembakku, Den?” tanyaku sedikit bergurau. Seolah-olah membuat humor
yang sangat garing karena aku sungguh bingung dengan jalan pikirannya.
“Iya.” Jawabnya singkat.
Aku mundur teratur. Suara
menggema dari keramaian sudah menghitung mundur jam 00.00. Empaat…Tiga…Dua…
“Eh? Kau tidak bercanda, kan
Den?” tanyaku.
“Apa aku terlihat bercanda? Setiap
ada jam kosong kau tinggalkan aku sendirian. Menunggumu. Memberikan perform
yang terbaik buat acaramu. Apa itu kau kategorikan bercanda?”
Satu…
Kilatan kembang api mewarnai
pergantian tahun. Aku bingung dan menegang beberapa saat. Tangan hangatnya
kuraih. Aku tahu dia gugup. Dia menyembunyikan kegugupannya dengan menatap
kembang api. Sepertinya resolusi 2014 sudah terwujud beberapa detik tepat
pergantian tahun. Sepertinya tak perlu aku memandang ke arah kilat kembang api
jika kilat tatapannya begitu menyita penuh perhatianku. Aku bergeming dan tetap
terus memandangnya di samping.
“Dina… Deni… Kita itu
sesungguhnya cocok ya? Coba deh, kamu pikir Den!” tanyaku padanya. Dia hanya
tersenyum dengan senyuman yang aku khawatirkan akan sirna sama seperti kilatan
kembang api tahun baru.
Slamet Riyadi, benar-benar penuh
malam ini.
ää
0 Comments