Dan aku pun tetap menunggu…
12:42 AM
Oleh: nabila chafa
Cerita ini diburu deadline untuk Mbak Esty.. Walaupun banyak kritikan, tetapi semoga saja kalian menikmati apa yang sudah aku tulis ini.
Enjoy it :)
Oh ya, kalimat penutupnya itu aku ambil dari teman satu kelasku dulu. Ovryan B. Ayasisca. Aku suka banget, jadi aku cantumin untuk ending ceritanya.
~~~
Sumber: ratimegaa.blogspot.com
Dan aku pun tetap menunggu…
25 menit
lagi.
…
20 menit
lagi.
Aku
melirik arloji berulang kali. Gelisah. Tita belum menampakkan batang hidungnya
di hadapanku.
Mati!
Setidaknya
kalimat ini sangat cukup mewakili kebiadaban Tita yang memenjarakan aku di tengah-tengah
ruang tunggu nan pengap ini, bertemu dengan orang yang sangat excited bertarung. Hari ini adalah
presentasi lomba karya ilmiah. Tidak sedikit peserta yang berkomat-kamit
melafalkan susunan presentasi mereka. Dari sepuluh tim yang berhasil lolos
hingga babak presentasi akan dipilih enam tim yang akan berurutan memperebutkan
tempat gelar juara dan juara favorit. Demi Neptunus, Aries, Olympus sekalipun,
kenapa takdir tidak begitu mengharmonisasikan hidupku. Sekali ini sajaa…
AH…
Rasanya
ingin memutar waktu. Kenapa aku harus tertawan dalam aliansi konspirasi yang
dibuat Tita. Menyusahkan. Sangat! Amat! Menyusahkan!
Cewek itu
manis. Selalu berkuncir kuda. Selalu memakai kemeja kedodoran. Dengan jins
belel, yang tidak beradab. Sneakers warna
hitam. Sudah lusuh karena termakan sinar matahari dan usia. Dari atas rambut
hingga sepatunya, ia jelas cewek yang tidak tahu malu. Tak peduli dengan
penilaian orang, kesehariannya pun tidak berubah. Ceplas-ceplos tak tahu titik
koma tanpa ada lipatan lidah saat bicara. Ia sukses menuntaskan kalimatnya
dengan sekali tenggak.
Aneh…
Cewek abnormal seperti Tita menyukai hal-hal
berbau kepenulisan? Aku hampir memuntahkan minumannya, saat Tita dengan lancar
dan tanpa beban menyatakan keinginannya bergabung di UKM kepenulisan. Dari
jenis orang yang memandangnya lewat lubang sedotan, semua tahu, dia tidak ada
prestasi apapun di bidang kepenulisan. Ah, ini gara-gara si brengsek Rudi.
Kalau dia tidak menyukai cowok kutu buku, hobinya membuat rubrik artikel di
media, dan sering keliling daerah untuk mengikuti berbagai lomba karya tulis
ilmiah, dia tidak bakalan terjerumus dalam sebuah wadah keorganisasian dimana
dia tidak ada bakat di dalamnya.
“JJooooo…
Anjir, dapat C lagi.” Serunya. Seakan bangga dengan nilai C yang–absolutely, nilai yang tidak bisa membanggakan sejagad
manusia—didapatnya. Aku memutar mata. Selalu… dan selalu tak pernah punya malu.
“Nggak heran.”
Kataku pedas. Biarkan!
“Ini
mulut nggak kasihan sedikitpun apa sama temen sendiri. Eh lu tahu nggak, si
Rudy, my handsome boy….”
Kubuka
lembar demi lembar buku sejarah Eropaku, pura-pura tak menaruh minat pada
–lagi-lagi omong kosong Tita—pembicaraannya.
“Hm??”
gerutuku sambil lalu. Aku tergerak untuk menuju kantin sekedar untuk melarikan
diri dari cercaan Tita mengenai his
pretty boy or whatever-laaahh. Aku muak. Tapi dasar si Bengal, Tita. Dengan
kode yang kuberikan untuk menghindari deretan cerita tak punya malunya di depan
Rudy, dia masih saja nyerocos di
belakangku.
“Tau
nggak, dia jadi panitia di acara lomba UKM-nyaa.. Ikutan yuk, Jo!” ajaknya. Whatt?? Aku lagi nggak salah dengar kan?
Langkah
kakiku terhenti. Aku terperangah sangking kagetnya. Ini lebih dari sekedar tipu
daya muslihatnya yang lain. Ah, masak.
Dia
menganggukkan kepalanya riang. Senyumnya tak mau hilang. Mana bisa aku tidak
luluh dengan muka polos bin ajaibnya, untuk tidak menolak permintaannya. Ah,
tetap saja aku yang kalah. Bagaimana ini?
Jika langit mampu
menjawab, bahwa tidak ada yang lain dari semua ini. Tanpa adanya penolakan
halus yang terlontar. Melampirkan semua kedustaan. Angin yang menerbangkan dedaunan
yang jatuh di hampir seluruh pelataran halaman panas ini. Membuatku tertekuk
lutut untuk tidak lepas dari jerat hidupnya. Memang hidupku tak lepas jauh dari
keinginannya. Tetapi ini konyol. “Oke.” Lalu badai angin panas pula, yang
menerbangkan daguku untuk menyanggupi permintaannya.
Ah… Sial.
Lagi-lagi terjebak!
“Jadi
kapan?”
“Apanya?”
tanyaku cepat. Kembali melangkahkan kaki.
“Kita
membuat judul karya ilmiah kita, membuat pendahuluan. Eh bentar, abstrak dulu ding. Teruuss, buat metode
penelitiannya, membuat isi penelitian kita. Kita perlu memikirkan semua itu. Deadline pengumpulan naskahnya tinggal
tiga minggu lagi, Jo.” Katanya tanpa jeda sedikitpun tanpa jeda dan sekali
tenggak.
Kepalaku
mendadak pening. Sepertinya aku harus membuat judul “Pengaruh Jawaban “OKE”
terhadap Permintaan Konyol TITA dan Implikasinya pada Keilmuan Semantik
Indonesia.”
Sial.
Otakku bahkan tidak bisa berpikir sama cepatnya dengan kecepatan bicara Tita.
Aku benci
orang memanggilku dengan nama lengkap sempurna. Bukannya tidak menghargai
pemberian nama orang tua atau semacamnya? Itu seolah-olah sedang memperjelek
citra burukku. Ah, aku sering menanyakan ini pada kedua orang tuaku. Tetapi
dengan banyak pembelaan dan dogma-dogma yang ditambahkan, aku hanya perlu
mendengarkannya saja. Karena nama adalah doa-lah, dan omong kosong lainnya. Kenapa
harus nama itu? Dari sekian banyak orang yang menjadi temenku—lebih tepatnya
saat mengenalkan diri dan menjadi teman fiktif, karena aku tidak benar-benar
memasukkan mereka menjadi dafar temanku—hanya Tita yang selalu memanggilku
dengan sangat keren. Entah kenapa, saat Tita yang memanggilku dengan dua huruf
“JO” seolah-olah nama itu cukup keren untuk menjadi nama panggilanku. Tidak
seperti mereka kebanyakan—teman tak terdaftar—banyak yang memakai imbuhan nada erangan
kecil di belakang atau di depan yang membuat telinga panas. Aargh…
Banyak
alasan, kenapa Tita mau bertahan menjadi teman—dalam arti sebenarnya—bagiku.
Karena cerewetnya dan tingkahnya tak tahu malu itulah yang membuat banyak teman
ceweknya menghindari. Karena masing-masing dari kami mempunyai masalah dalam
pertemanan, hanya kami pula yang bertahan. Tetapi, aku sudah cukup bahagia
hanya mengenal Tita di dunia ini. Tidak bagi Tita, karena tabiatnya yang tidak
tahan untuk tidak bicara, maka siapapun ia ajak bicara. Yeah, berbicara omong
kosong seperti biasanya. Dan, ia membutuhkan teman dalam hal itu.
“Variabel
apa yang akan kita pakai dalam masalah kearifan lokal ini?” tanyaku saat Tita
mengutak atik buku tebal yang tidak dipahami sebelumnya. Buku milik Clifford Geertz
dibiarkan berada di tangannya tanpa berniat melirik atau membacanya.
Dia
menggeleng lemah. Aku mendesah
Sudahlah Tuhan, penderitaanku kali ini. Sudah cukup
melelahkan untuk kujalani.
“Jo, aku
yakin lo bisa selesaikan ini.” Katanya dengan binar mata. Aku melihatnya dengan
tampang tak percaya. Menyelesaikan ini semuanya sendiri bukan perkara mudah.
Harus dilakukan pembagian tugas dengannya juga. Membuat karangan ini adalah
masalah baginya, bukan untukku. Posisiku kan hanya sekedar membantu
menyelesaikan kebuntuan pikirannya.
Sungguh!
Aku benci ia mengatakan itu semua dengan mudahnya. Tetapi lagi-lagi aku harus
luluh olehnya. Entah, karena ia memanggil namaku terlalu manis, jadi aku iyakan
saja atau bagaimana. Ia membuat seolah segala sesuatunya begitu mudah, tapi
tidak bagiku. Ia membuatku untuk percaya padanya, agar yakin pada kemudahan
yang diberikan Tuhan padaku. Selalu begitu.
Memang
sesuai namaku. Selalu membawa keberuntungan.
“Jooo, hari ini pengumuman yang masuk 10
besar!” Serunya saat ia keluar dari kelas dan langsung lari terbirit
mendekatiku. Ah, rasanya pening saat banyak orang melihat kami yang begitu freak. Tapi terserahlah! Aku hidup bukan
untuk mendengarkan omong kosong yang mereka berikan. Tak kubiarkan sapuan angin
menerbangkan suara-suara sumbang mereka.
Aku
menjawab lemah. “Terus?”
“Ya
dilihat di web-nya dong. Siapa tahu kita lolos.” Jawabnya dengan mudahnya.
Seakan tidak punya beban sedikitpun mengatakannya. Aku yang membuat karya
ilmiahnya dari titik nol hingga selesai saja tidak yakin kalau masuk 10 besar. Sedangkan
yang dilakukan Tita hanya mengonceh tidak jelas, lebih banyak menyimpang dari
pokok bahasan tema yang aku tulis dalam karya ilmiah ini yaitu tentang kearifan
lokal.
“Nggak
yakin.”
“Jangan
bilang gitu duluuu…” serunya keras. Hampir merubuhkan gendang telingaku karena
ia berteriak dekat dengan daun telingaku. Apa ada tombol untuk mengurangi
volume suaranya itu? “Kita itu harus optimis.”
Katakan
sekali lagi! Kita??? Sebenarnya lebih tepatnya itu untukku, karena dia bahkan
tidak menyentuh lembar pekerjaan karya ilmiah ini sekalipun.
“Bentarrr…
ini lagi searching nama kita. Siapa
tahu kita lolos sepuluh besar. Lumayan lho, Jo hadiahnya.” Katanya tanpa
menoleh padaku. Ia serius berjibaku dengan laptop yang baru saja ia keluarkan
dan langsung fokus pada layar. Aku tak berminat untuk menganggunya.
Tak lama
kemudian, pekikan yang hampir meruntuhkan seluruh gedung perkuliahan keluar
dari bibir mungil Tita. Aku celingak-celinguk melihat keadaan sekitar.
Pandangan ingin menghakimi dari orang-orang yang lewat dan kurang kerjaan
memandang kami berdua. Peduli amat! Tita mengajariku untuk tidak peduli pada
tanggapan orang lain. Khususnya orang lain yang tidak berhak memberi komentar.
“Waahh,
kita lolos.” Katanya setengah berbalik memandangku dengan binar mata yang
melumpuhkan penglihatan lelaki manapun. Senyumku tersungging tipis membalas
sinar matanya.
“Joo,
kamu memang hebat. The one and only
di dunia ini… Aku… sempat nggak percaya.” Katanya sambil menyalamiku penuh
semangat. Ia hampir kehabisan kata-kata untuk mengungkapkan
ketidakpercayaannya. Hampir lima menit lebih, tangan kecil Tita berada di
genggaman tanganku. Hangat. Apa waktu bisa dihentikan untuk kesekian lama?
Biarkan aku merasakan remasan tangan ini lebih lama. Ah, tapi aku sadar, waktu
sama sepertiku dan Tita. Jauh lebih egois. Tak peduli pada kebahagiaan yang
dirasakan orang, dia akan melaju di detik-detik selanjutnya.
Sedetik…
Dua
detik…
…
Bahkan
seakan mimpi, jika Tita masih berada di sampingku. Masih tetap genggaman tangan
yang tidak ingin ia lepaskan.
Tiga
detik.
Ia
menoleh kearahku cepat. “Sebentar. Kita masih berjuang untuk presentasi! Kita
tidak boleh bersenang-senang dulu.” Katanya sambil bersungut-sungut.
Dan
genggaman mungil itu terlepas. Tapi, senyumku untuk sampai nanti malam pun, tak
pernah padam.
“Kita
harus berjuang lagi!” katanya sambil menepuk bahuku pelan.
Jujur,
aku malas memakai kata ganti ‘kita’ sebagai subyek bahwa akulah yang harus
berjuang lagi. Bukan dia. Tetapi lagi-lagi, entahlah… aku sudah terpasung tidak
berdaya dengan segala permintaannya. Dan rasanya puas, kerja kerasku terbalas
dengan cengiran penuh kemenangan di wajahnya.
Dari
jauh, aku melihat kuncir kuda milik Tita bergoyang dengan kecepatan larinya
menuju kerumunan dan berhasil mencapai ke tempatku dengan napas pendek. “Sori
Jjooo…” katanya. “Aku tadi…”
“Sudah.
Hampir saja mendekati giliran kita yang akan presentasi.” Potongku. Tita
langsung menggeser posisi dudukku agar muat ia duduki. Sekilas, ia langsung
mengambil selembaran kertas yang aku pegang untuk contekan saat presentasi dan
berkomat-kamit seperti peserta yang lainnya.
Jantungku
yang sebelumnya tidak beraturan menunggu kedatangan Tita, saat ini pun semakin
kencang saja degupnya. Kulirik sekilas, tanpa berniat mengganggu
konsentrasinya. Dia menoleh untuk menatap tampangku. Tersenyum miris lalu
melanjutkan kembali
Salah
seorang panitia langsung mendekati kami dan memberitahu setelah ini adalah
giliran kami yang akan presentasi. Sebelum sesi presentasi kami tiba, aku patuh
pada perintah Tita untuk melanjutkan penjelasan yang akan disampaikan oleh Tita
nantinya. Aku setuju dengan usulannya.
“Siang
bapak-bapak…” sapa Tita ramah. Aku menyunggingkan senyum sinis. Ah, dia bisa
juga bertingkah sok menyenangkan. “Kali
ini pembahasan karya ilmiah kami mengambil topik judul peranan generasi muda
saat ini dalam menyelesaikan dialektika antara tradisi Jawa dengan Agama Islam.
Seperti yang sudah kita ketahui…”
Suara
Tita senyap sudah. Aku tak mau mendengar apapun lagi. Kecuali menangguminya
dari balik punggungnya yang kurus. Sampai berhenti berceloteh.
Jika
latar belakang dari semuanya ini tiada. Hanya aku dan dia yang berada dalam
satu set yang sama. Kucoba untuk
tidak peduli.
“Keterangan
selanjutnya akan dijelaskan oleh rekan saya…”
Dan
seketika itu, semua angan-angan itu buyar sudah. Tita mengarahkan dagunya
kepadaku. Aku maju selangkah dan mulai berkonsentrasi atas apa yang akan aku
jelaskan di depan tiga juri ini.
“Ngg, jika kita kalah, nggak papa kan, Ta?”
tanyaku langsung. Mata Tita langsung menyipit mendengar nada pesimis dariku. “Sejujurnya
aku tidak begitu yakin dengan presentasi kita tadi.” Tambahku. Tita justru
memberengut mendengar ucapanku barusan. Ya, aku memang salah. Tidak maksimal
dalam memberikan penjelasan.
“Kamu itu
perlu ikutan training keoptimisan,
Jo!” gertaknya. Aku membuang napas. Lelah. “Jo, menang atau tidaknya kita hari
ini, kita harus mengadakan gala dinner.” Ucap Tita tanpa beban. Aku hanya bisa
menjawab dengan desahan. Tita tersenyum simpul, karena ia membuatku benar-benar
kelelahan hari ini.
Pelataran
sebuah fakultas ilmu budaya ini sangat panas. Aku dan Tita duduk dipinggir
merasakan angin panas mengelayuti bulu kuduk kami. Entah kenapa, suasana
seperti ini begitu hangat.
“Eh itu
Rudy…” tunjuk Tita tidak tahu diri. Ia menunjuk satu orang tetapi membuat
banyak orang yang melihat kebodohannya, seolah Rudy adalah the important guy yang tengah dicari Tita.
Aku
memutar bola mata melihat beberapa orang yang memandang jijik ke arah kami.
“Ta, jangan tunjuk-tunjuk kenapa!” kataku memberitahu. Tetapi tidak digubris
oleh Tita. Ia bahkan berlalu menghampiri cowok flamboyannya.
“Rudy?”
panggil Tita setengah mendesah-desah. Ah, guratan genit terpampang jelas di
raut wajahnya. Aku malas melihatnya seperti itu. Terasa memuakkan dan membuat
udara panas ini semakin membuatku gerah, tidak nyaman.
“Hei Ta.
Kamu disini?”
“Iya. Aku
kan lolos sampai tahap presentasi LKTI.” Katanya bangga. Haaah…
Tita
melirikku dari jauh setelah mengatakan kebanggaan singkatnya di depan Rudy.
“Hebatt..”
decak kagum Rudy. Tita semakin percaya diri saja saat Rudy memujinya seperti
itu. Toh, yang seharusnya dipuji hebat bukan dia, tetapi aku. Bukankah selama
ini aku yang berjuang seorang diri menyusun segala sesuatunya sampai terakhir
di tahap presentasi ini. Lupa? “Pengumumannya nanti jam 3 sore.” Kata Rudy
memberi tahu. Sebagai seorang panitia, selayaknya dia melayani peserta.
Rudy berbalik
bersama dengan teman-temannya. Masuk ke dalam sebuah auditorium khusus fakultas
Budaya ini. Aku dan Tita masih menunggu. Menunggu aksi Tita. Apakah ia sudah
bosan berada di pelataran ini atau ia harus menguntit di belakang Rudy. Melihat
kesibukan Rudy yang tak ada ujungnya sebagai panitia.
“Masuk
yuk JJo.”
Sudah aku
tebak. Pilihan dari sekian ribu pilihan yang tidak ingin aku ambil. Dia
bergerak sendiri, dari sorot mataku, aku menyampaikan pesan tersiratku agar aku
tetap tinggal di sini. Dia paham. Ah, lega.
“Jo? Kenapa sih, kamu membenci orang yang
memanggilmu Bejo?” tanya Tita suatu ketika.
Setelah
sekian banyak diam, otak Tita langsung memberiku pertanyaan seperti itu. Aku
hampir terkejut, terperangah. Ya, aku sejujurnya membeni namaku sendiri. Entah
kenapa. Selalu ada alasan sebenarnya, nada bicara mereka yang memanggilku
dengan nama itu seakan-akan tengah mencemooh dengan sempurnanya. Tita hadir
tanpa risih sedikitpun membawa ketidaksempurnaan dariku dengan menutupinya. Tanpa
pernah ada pertanyaan sebelumnya, ia menerimaku apa adanya.
“Maaf Jo,
bukannya mau ikut campur privasimu. Tapi aku ngrasa aneh aja.” Tambah Tita.
Wajahnya polos. Sneakers lusuhnya
dihentak-hentakkan di tanah. Membuat bumbungan debu kecil sampai mengenai kedua
celana jins kami berdua.
“Aku
merasa nama itu cukup menjijikkan.” Sahutku pelan setelah sepuluh detik
berlalu. Tita tergelak mendengar jawabanku. Ia mungkin berpikir kalau aku akan
mengacuhkan pertanyaannya.
“Kenapa?
Artinya bagus kok. Keberuntungan.” Tolak Tita mentah-mentah mengenai
pandanganku itu. Aku mendesah. Oh, dia cukup enak berkomentar tanpa tahu
bagaimana rasa sakitnya aku menyandang nama itu.
“Jo…”
sapanya. Setelah terdiam cukup lama.
Aku
menoleh. Menatapnya dengan keterdiaman. Mataku menyahut pelan ‘Ya’?
“Sejelek
apapun nama kamu, nama siapapun itu. Artinya seumur hidup orang itu menyandang
nama doa yang diberikan orang tuanya. Sama sepertimu. Orang tuamu ingin kamu
agar keberuntungan selalu menyertaimu.” Katanya bijak. Ia tersenyum simpul.
Manis. Aku memutar mata, mencoba berpikir kembali kalimatnya itu.
“Cukup
terhibur?” tanya Tita.
Senyumku
mengembang. Dan dalam arakan langit di atas kami, dalam hati aku ingin katakan
‘YA’ dalam garis awan. Biar ia tahu rasanya, punya orang yang selalu mengenalmu
lebih jauh dan selalu menepuk pundakmu saat kamu merasa hidup tak seharusnya
seperti ini. Tita hadir membawa semua itu. Dengan kepolosan yang terpancar dari
wajahnya.
Pengumuman
sudah dilakukan. Juara tiga baru saja dibacakan oleh panitia. Kedua tangan Tita
membekap, penuh harap. Ah, aku bahkan tidak berharap lebih. Rasanya sudah cukup
hebat berada dalam sepuluh besar LKTI yang dipresentasikan. Mengalahkan 4ooan
lebih judul proposal masuk. Ini sudah sangat hebat, menurutku. Tapi, rasanya
berbeda dengan ekspektasi Tita. Dia orang yang hidupnya sangat yakin atas apa
yang dia lakukan.
“Juara
dua diraih oleh Anindita Putri dari Universitas Jember.” Seru salah seorang MC.
Dengan suara gegap gempita ia membacakan pemenang kedua. Tita semakin
mencengkram lenganku kuat.
“Jangan
terlalu berharap, Ta.” Kataku mengingatkan.
“Nah ini
juara yang ditunggu-tunggu yaitu pengumuman juara pertamanya.” Kata MC
berbasa-basi. Telingaku hanya akan mendengar nama yang dibacakan. Tak ada
basa-basi yang akan aku tangkap dari indra pendengarku. Begitu terbalik dari
Tita. Ia bahkan melihatku seolah-olah melihat hantu, sangking takutnya.
“Ini dia
juara pertamanya. Jeng… jeng… yaitu Bayu Saputra bersama timnya.” Seru MC.
Aku
menoleh ke arah Tita. “Tuh kan Ta, jangan terlalu berharap.”
Tita
tertunduk lesu. Ia melepas cengkraman di lenganku.
“Ta. Kamu
pernah bertanya, kenapa aku tidak menyukai namaku sendiri.” Kataku pada Tita.
Seakan memecah keheningan. Tatapan Tita hanya mengarah kepadaku. Tanpa berkedip
dengan muka lesunya. “Tak selamanya aku membawa doa yang diberikan orang tuaku
itu padaku. Buktinya nih, saat ini!”
Tita
geram. Terlihat jelas dengan bulatan matanya yang seolah menerkamku. “Kamu
tidak boleh seperti itu Jo! Pencapaian kita sampai titik ini adalah sebuah
keberuntungan tersendiri bagiku.” Tegasnya. Suaranya hampir memecah konsentrasi
orang-orang yang berada di depan kita. Untungnya, suara MC lebih menggema dan
tetap mengalahkan jeritan Tita.
Tita
keluar dari ruang auditorium ini. Aku terdiam. Ya, dia marah.
“Pulang bareng Ta?” sapa Rudy dari balik kaca
helmnya.
“Nggak.
Aku sama Jo saja.” Jawabnya pendek.
Dari
jauh, aku menatapnya dalam ketidakpercayaan. Dia tersenyum sambil melambaikan
tangan kanannya menyambutku yang keluar sendirian dari auditorium. Aku pikir
dia masih marah padaku. Tetapi melihat senyumnya yang sumringah seperti itu,
aku jadi sangsi kalau dia selalu mengagendakan kemarahan yang meluap-luap itu
lain kali waktu.
Aku
menghampirinya.
“Yuk
dinner!” ajaknya. Aku tersenyum sinis. Ah…
Kau hadir
dalam ketiadaan. Sederhana dalam ketidakmengertian. Gerakmu tiada pasti, namun
aku selalu di sini, menunggumu. Entah kenapa…
0 Comments