Cerita—Inspirasi—Mengabdi

11:07 PM




Waktu bergulir setiap hari. Setiap detik. Setiap menit. Bahkan akan berujung dengan pergantian tahun. Tetapi kesannya bahwa hidup ini hanya mengikuti aliran air. Tunduk pada sang matahari pagi. Hanya bergumul dengan waktu dan jam yang sama. Tidak adanya aktifitas yang menghasilkan dan berproduktif. Inilah hakikatnya hidup yang kita jalani. Hanya sebatas mengalir. Dari pagi sampai tenggelamnya senja.

Manusia hidup pasti ingin berguna bagi sesamanya. Masalah utamanya sekarang sebagai mahasiswa kadang berpikir bahwa tidak ada yang bisa diharapkan untuk menjadi sarjana kalau ujung-ujungnya menganggur—tidak bekerja. Bukankah bila dipikirkan ini merupakan suatu kegalauan yang tak ada ujungnya. Tetapi sebagai pribadi individu, bagaimana cara kita untuk ‘bertahan’ dalam era persaingan seperti ini. Masyarakat Ekonomi ASEAN sudah diberlakukan, proteksi-proteksi yang diberikan pemerintah pun juga minim. Mengingat bahwa suatu persaingan itu harus bersifat fair. Kita tidak bisa berkeluh kesah kepada pemerintah atas hal yang sudah diberlakukan semacam ini. Tidak ada lagi manja-manja dibawah naungan hukum undang-undang. Era persaingan sudah diberlakukan dan kita saat ini masih belum mampu menjawab pertanyaan akankah diri kita eksis. Akankah kita bisa bersaing?
Pemerintah dihadapkan oleh persoalan yang pelik. Sejarah mencatat bagaimana perkembangan negeri ini sampai di titik dinamika permasalahannya yang membuatnya semacam pelik. Turbulensi atas ketimpangan, ketidakseriusan, dan kelalaian dari pemerintah, akankah kita membiarkannya begitu saja. Karyaku untuk Indonesia dalam hal ini saya akan mengangkat bagaimana kita berkontribusi dalam memajukan peradaban Indonesia untuk lebih baik lagi kedepannya melalui semangat cerita. Cerita memang suatu karya sastra yang sederhana. Tetapi penuh makna bila dilihat dari perspektif yang berbeda. Cerita dapat menggambarkan suatu imajinasi liar yang berbeda dibandingkan dengan bentuk visual. Karena pembacanyalah yang hanya mampu  melukiskannya. Tetapi lewat cerita pula, kita mampu mendobrak semangat, menanamkan nilai-nilai kehidupan, menentukan sikap dan tindakan atau bahkan sebuah protes sosial.
Saya senang menulis. Bukan menulis hal-hal yang berat-berat, tetapi menulis cerita. Cerita yang mengalir sederhana mengenai kehidupan, secercah pemberi semangat akan rasa dan suasana. Saya hidupkan melalui untaian kata-kata dan menyesatkan diri ke dalam imajinasi yang saya bangun. Menciptakan kota yang bebas sampah, kota yang rapi, bahkan potongan rumput seolah dibuat sama rata tingginya, hanya bisa saya ungkapkan melalui cerita. Atau mengenai gelandangan di pinggir jalan dengan gerobak yang bertumpukan rongsokan, sedang mengais di tengah gerimis bulan Februari hanya bisa saya deskripsikan melalui cerita. Dapatkah cerita mampu menjadi kontribusi bagi negeri ini? Saya jawab: Iya.
Sesederhana cerita, mengalun lewat ketikan panjang, menjadi buah dari inspirasi masa depan. Saya ingin membuat kota yang layak huni menurut deskripsi saya, bisa saya tulis dengan melihat kenyataan yang tidak saya dapati di alam ‘nyata’ saya. Melalui menulis cerita kita memberikan kepemahaman yang berbeda dari realita yang ada. Toh, bukankah karya sastra jaman orde lama mampu menggerakkan masyarakat. Bahkan aparat pemerintahan saja sampai teriak-teriak untuk membungkamnya. Walaupun itu hanya cerita, yang kata orang hanya imajinasi saja. Dan hanya berisi omong kosong penulisnya saja.
Pramoedya Ananta Toer mampu membuktikan bahwa lewat cerita yang ia tuturkan bisa membuat ideology yang ia kaguminya menjadi semakin banyak basis massa yang mendukung. Lewat karyanya itu pula, ia harus dihadapkan oleh tindakan sewenang-wenang aparat sampai ia dibungkam dalam penjara. Lewat tuturan ceritanya itu pula ia tidak segan-segan mempropagandakan ajaran sosialis.
Sebagai mahasiswa Ilmu Sejarah, lewat sastra pula saya bisa mengkomunikasikan peristiwa yang terjadi di masa lalu dan terefleksikan oleh peristiwa masa kini. Sehingga hal itulah yang menjadikan nilai kesejarahan menjadi hidup dan punya sudut pandang yang berbeda. Hal itu pula yang mendorong salah satu budayawan yang sekaligus dosen sejarah di Yogyakarta, Kuntowijoyo dalam merefleksikan peristiwa sejarah menjadi bentuk karya sastra.



Masihkah jaman galau di era sekarang ini?? Banyak pilihan hidup yang mewajibkan kita memilih satu dari sekian banyak pilihan yang disodorkan. Ini memang tidak masuk akal. Tapi satu pilihan itu mampu menjawab berbagai ragam pertanyaan akan keeksistensi diri kita pribadi. Hanya orang malas yang masih merisaukan masalah masa depan mereka sendiri tanpa disertai sebuah action. Seakan masa depan yang tak terlihat itu bisa dijadikan factor kegalauan anak remaja saat ini. Bukan waktunya untuk menyalahkan diri sendiri karena ketidaksiapan kita dalam menghadapi persaingan yang ada. Semakin majunya jaman semakin kuat pula persaingan yang ditawarkan. Contohnya lapangan pekerjaan. Banyak orang berpikir, kalau ambil ilmu sejarah, mau jadi apa besok? Itukah yang sedang menjadi trend topic kegalauan seorang mahasiswa? Justru inilah momentum yang tepat untuk memulai membuat rencana strategis dan memantapkan akan pilihan yang kita sudah ambil.
 

You Might Also Like

0 Comments