Novel Oyasumi Chapter 2. Dasar artis amatiran!
8:04 AM“Kenapa harus olahraga sih? Aku malas banget.” Katanya sambil mengolet.
Tadi jam pelajaran Pkn kosong dan Deni hanya bisa menjalankan aktivitas hariannya. Tertidur. Aku semakin bingung, sebenarnya kalau malam itu dia ngapain coba? Apa jaga pos ronda?
“Den, jam olahraga ini! Kamu ganti baju, gih!” kataku mengingatkan. Dia yang baru saja memindahkan kepala dari menghadap ke jendela sekarang beralih menatapku. Dengan mata yang berkunang-kunang, tentunya.
“Aku ijin aja.” Katanya datar. Matanya tertutup lagi. Dasar!!
“Kamu tahu sendiri kan, Pak Sam itu seperti apa.” Gertakku. Mengingatkan bahwa guru olahraga kami memang sangat istimewa. Dia terkenal luar biasa disiplin, tidak boleh ada yang terlambat di jam pelajarannya, dia selalu membawa bambu kecil yang selalu ada di tangan. Dapat memukul sewaktu-waktu punggung muridnya kalau ada yang berani membantah. Lebih tepatnya bisa didefinisikan kalau guru olahraga kami ini memang mendidik muridnya berbasisi militer dan sedikit amatiran, tentunya.
“Sebentar, satu menit lagi.” Katanya dengan mata yang masih terpejam.
Dia itu mau mati?? Tujuh menit lagi, kami harus berada di lapangan. Kalau tidak…. Kalau tidak bisa ditebak akan mati dipenggorengan. Lari-lari mengelilingi lapangan sekolah tiga kali, lebih baik langsung mengajukan diri untuk pingsan saja. Lagipula sebagian anak kelas sudah meninggalkan kelas dan sudah pergi ke lapangan. Sedangkan Deni… Ganti baju saja belum.
Menghadapi Pak Sam itu rumusnya hanya satu. Menurutinya. Tidak perlu macam-macam.
Entah ini demi pertemanan atau apa. Menjadi teman Deni itu juga kecelakaan. Kalau saja saat awal masuk sekolah itu dia mendapatkan tempat duduk dahulu, mana mungkin aku bisa bertemu dengannya. Atau aku hanya menyalahkan, kenapa dari anak satu kelas dia menjatuhkan bangku di sebelahku. Apakah takdir itu indah? Tidak juga.
Berulang kali aku melirik jam tanganku. Kurang tiga menit lagi. Duh, kenapa orang ganti baju saja lama sekali? Dia tidak sedang menggunakan kavaleri kan? Kenapa ganti bajunya bisa lebih lama dari rata-rata waktu yang dibutuhkan cewek untuk berdandan.
Lima detik kemudian, Deni keluar dengan baju olahraga yang menempel di badan. Aku lega. Karena dia mengusirku untuk berganti baju, bukannya melanjutkan perjalanan mimpinya. Siapa tahu saat tadi ijinnya mau ganti baju justru ia tertidur lagi. Itu yang aku khawatirkan.
Opsi tentang memilih terlambat atau tidak mengikuti jam pelajarannya Pak Sam itu, aku lebih memilih terlambat saja. Walaupun kau beralasan sakit, tetap saja pertemuan selanjutnya kau harus mengganti jammu yang hilang itu di pertemuan mendatang.
“Ayo!” katanya memimpin. Aku hanya mengikutinya saja dari belakang.
***
“Mampus aku…” makiku pada diri sendiri.
Pak Sam sudah berdiri di antara dua lapangan. Memberi komando tentang kedua belah lapangan. Lapangan barat adalah lapangan basket dan timurnya adalah lapangan voli. Lagi-lagi sama seperti minggu lalu, beliau mengampu dua kelas. Pak Hanif, guru olahraga untuk kelas sepuluh tiga sedang ijin.
Deni sudah melangkah maju. Kesalahan besar. Seharusnya aku yang harus maju terlebih dahulu untuk berbasa-basi meminta maaf karena keterlambatan. Tapi, sebelum aku bertindak dia sudah menghampiri Pak Sam yang lagaknya memang mengacuhkan kedatangan kami berdua. Sial.
“Pak, maaf kami terlambat…” kataku memulai. Deni menatapku dengan tatapan tidak suka. Karena aku sudah melanggar adat kesopanan yang berlaku bagi dirinya.
Pak Sam mengernyitkan keningnya dan menatap kami bergantian. “Alasan?” tanyanya to the point.
“Tadi teman saya sakit pak.” Seru Deni. Aku menoleh ke arahnya. Sakit apanya?
Pak Sam mengamatiku. Dari ujung kepala sampai sepatu. Tidak ada tanda-tanda kalau aku terluka atau apa. Dia berbalik menatap Deni yang dari tadi hanya nyengir. Kali ini dengan tatapan yang sangat menusuk. Sampai aku harus mengalihkan pandanganku. Berharap kalau Pak Sam merasa dirinya tidak sedang dibodohi dan mempercayai kami sepenuhnya.
Kamu mau berbohong? Seperti itulah kalimat yang menggambarkan tatapan mata Pak Sam. Tongkat bambu kecil itu dihentakkan di tangan kanannya. Kali ini kuda-kudanya siap dipasang. Aku mendesah, merasa tak kuat. Semoga ini bukan mimpi burukku tadi malam.
“Mana? Temanmu baik-baik saja.” Ujar Pak Sam. Dia menunjukku yang sehat sentosa ceria seperti tidak ada sakit yang sedang aku derita. Pembohong!
Deni batuk-batuk kecil. Lalu berdehem sambil menatap Pak Sam malu-malu. Sepertinya memang harus ada yang ia pertimbangkan sebelum dia menyanggah pertanyaan Pak Sam. Apanya yang harus ia sanggah coba? Memang benar aku tidak sakit apa-apa!
“Maaf Pak, tapi saat saya membantu teman ini memang keadaannya sangat mendesak sekali. Tidak bisa saya katakan.” Sahutnya dengan suara purau. Dia keukeuh mempertahankan alasannya, yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata itu. Hal itu membuat muka Pak Sam semakin berkedut aneh.
“Eh…”
Dia itu pintar akting. Lolos casting setelah ini. Berani taruhan!
Pak Sam masih bingung. Dia lagi-lagi menatapku meminta konfirmasi. Tapi aku juga sama-sama bingungnya dengan dia. “Katakan saja!” perintahnya. Tentu dengan muka asam gaya khasnya saat memerintah.
Sifat Pak Sam tak berubah. Dia selalu membutuhkan alasan kuat untuk sebuah pelanggaran yang dibuat muridnya. Klasik memang. Tapi memang seperti ini gurunya.
“Boleh aku katakan?” tanyanya meminta konfirmasi dariku. Aku jadi semakin bingung dengannya. Sungguh, saat ini aku benar-benar frustasi. Karena sama sekali tidak bisa menebak kemana arah pembicaraan Deni. Serius!
Aku ingin meneriaki tepat di gendang telinganya. Supaya lumpuh, kalau bisa. Apa yang perlu dikatakan coba? Katakanlah demi nama siapapun itu yang telah kau bohongi, teriakku sendiri dalam hati.
“Sebenarnya tadi dia agak tidak enak badan, gitu Pak. Seharian di pelajaran PKn dia lemas. Saat ganti baju olahraga, dia baru sadar kalau ini adalah hari pertamanya…”
WAAATTT??? HARI PERTAMA APANYA?
“Jadi, sebagai teman yang baik saya lari ke koperasi sekolah untuk beli pemba... Awww” Lanjutnya.
Sebelum dia melanjutkan kalimatnya, aku sudah menendang kakinya. Dia itu sinting! Memutarbalikkan fakta yang dia sendiri sejak pagi sudah bertingkah seperti cewek PMS.
“Ini juga buat kebaikan kamu. Agar Pak Sam tahu faktanya.” Katanya dengan suara tegas kepadaku. Dia menyipitkan mata sambil membungkuk mengelus kakinya yang sudah kuinjak dadakan tadi. Aku tahu injakan kakiku sangat sakit. Dia merintih merasa perih sampai melepas sepatunya segala, memastikan lukanya tidak separah seperti apa yang dibayangkannya.
Kali ini memang aku harus mengikuti scenario darinya. Pura-pura kalau aku ini sedang PMS dan alasan keterlambatan kami adalah kesalahan Deni yang kuminta untuk membelikanku pembalut. Sialan! Skenario macam apa itu?
“Tuh Pak, liat teman saya malu kalau saya mengatakan dia sedang PMS.” Kata Deni. Memberi peringatan kepada Pak Sam kalau kata-katanya itu bukan hanya sebuah bualan. Sialnya, sepertinya Pak Sam percaya begitu saja.
Pak Sam mengangguk-anggukan kepala, percaya. Duh, dasar… Kenapa guru garang macam Pak Sam harus percaya dengan apa yang dikatakan oleh pembohong besar seperti Deni?
“Pemanasan dan lari satu kali keliling sekolah!” Pak Sam memutuskan sebuah keadilan yang sangat berperi kemanusiaan. Pak Sam mungkin sudah pernah merasakan sakitnya orang terkena PMS. Untuk pasien PMS memang diistimewakan. Diskon besar-besaran. Lari keliling lapangan yang harusnya tiga kali sekarang berganti satu kali akibat ulah Deni. Kompensasi terbesar kepada penderita Menstruasi Syndrome serta teman yang berkorban demi si pasien. Deni maksudnya. Tentu saja berkat dia yang mau membelikanku pembalut. Asli, itu hanya bohong.
Setelah Pak Sam pergi setelah itu. Deni menatapku dengan wajah berbinar. Lalu meninggalkanku begitu saja. Memutari sekolah satu kali. Aku yakin sambil lari dia akan berteriak ‘BANZAI’ karena memang dia menang sudah membohongi Pak Sam begitu mudah.
Sialan!
***
1 Comments
yeay... akhirnya kau kembali, nabila :)
ReplyDeletehaha, sori bajak sendiri :(