NOVEL: Oyasumi Chapter 1. Namanya Deni.

12:54 AM

tumblr_lupdx3pal61qbeqcyo1_500_large

Pimm… Piiimmm…

Suara klakson saling bersahutan mewarnai jalanan di sekolah baruku. Bahu jalan sudah padat berbagai aneka mobil dan kendaraan bermotor lainnya yang mengantar murid-murid baru sekolah ini. Ya, saat ini aku bisa dikatakan –sedikit- dewasa. Walaupun masih dalam proses besar. Aku mengenakan seragam putih abu-abu, pertanda gerbang baru dunia remajaku benar-benar dimulai.

Namaku Dina Panawestri di sini. Aku berusia hampir 16 tahun dan aku bahagia. Saat ini beruntungnya aku bersekolah negeri tak kalah favorit di kotaku, Solo. Aku lahir di kota ini dan besar di pulau lain, tetap di Indonesia. Seminggu lebih aku pulang kampung ke tanah kelahiranku ini, tetapi maaf, seminggu ini aku masih saja kelupaan arah jalan. Aku penghafal jalan yang payah. Aku selalu mengandalkan transportasi bus kemana pun aku pergi, itupun karena paksaan dari Kakakku karena dia malas mengantar jemput aku. Dan pantas saja aku pun, aku hanya mengingat jalan pulang ke rumahku saja . Tidak lebih.

Pelataran lapangan upacara penuh dengan murid baru sepertiku. Mereka banyak yang diantar oleh orang tuanya. Keadaan menyedihkan ini terpampang di depan mataku. Andaikan Nusa Tenggara dan Solo itu bersebalahan, mungkin orang tuaku juga yang akan mengantarkanku di hari pertama masuk sekolah seperti ini. Bukannya sopir bus dan mbak-mbak cantik kondektur Batik Solo Trans yang membawaku dalam kehampaan dan kesunyian seperti ini.

Sebelum mengecek masuk, sudah terpampang jelas di papan pengumuman nama murid baru dan ditempatkan di kelas apa. Aku segera melangkahkan kakiku untuk memastikannya. Lalu lalang anak-anak memadati papan pengumuman itu. Kakak kelas yang berada di zona kerumunan itu terkadang membantu satu dua orang tua yang membutuhkan informasi letak kelas anaknya. Guru-guru pun berpatroli di setiap sudut juga siap untuk membantu.

208-07-76 adalah nomor pendaftaranku. Nomor itu aku pegang terus dan berusaha membaca dari jarak jauh aku akan di tempatkan di kelas berapa. Mataku bergerak naik turun menyortir nama dengan awalan huruf D. Deni Mahendra dan… Bingo! Namaku tercantum di kolom selanjutnya.

Kelas X-6! I’m coming!

Langkah kakiku membawaku sampai di titik ini. Semua bangku di belakang sudah penuh. Entah kenapa, hampir semua anak-anak baru yang sudah datang justru memperebutkan bangku-bangku di belakang. Ada juga hanya satu dua anak yang –terpaksa menuruti perintah orang tua- duduk di bangku depan.

Meja nomor dua dari depan. Dekat dengan jendela luar, sesungguhnya adalah surga tersendiri bagiku. Aku tipekal orang yang cepat bosan. Jadi pengalihan konsentrasi dengan memandang awan atau hanya melihat fashion show yang lewat di jalan sangat menyenangkan. Aku duduk di pojok dan langsung menyandarkan badan melihat kesibukan di luar ruang kelas.

“Boleh aku duduk di sini?” tanya seseorang. Aku menoleh mendapati ada seorang lelaki. Ia tengah mengajakku mempertimbangkan sesuatu yaitu persetujuan memakai bangku di dekatku. Dari tampang, dia memang cukup oke. Rahangnya keras, itu yang aku bisa diskripsikan karena pias wajahku akan ketahuan kalau aku mengamatinya terus.

Aku mengangguk menjawabnya.

“Namamu siapa?” tanya cowok itu. Sebelum aku sempat menjawab, dia sudah memperkenalkan namanya terlebih dahulu. “Aku Deni Mahendra. Panggilnya saja aku Deni.” Pintanya.

Ku ulurkan tangan kananku menyambut uluran tangannya. “Aku Dina.” Kataku singkat.

Dia hanya begitu saja. Kepalanya sudah diletakkan di atas meja. Tidak berniat untuk berkenalan dengan sesama murid baru lainnya. Aku melirik kearah kanan, depan, belakang, semua anak mulai berbasa-basi dengan acara kenalan dadakan mereka. Bertukar informasi atau entah bercerita tentang apa. Sedangkan dia, hanya berkenalan singkat padaku memberi tahu namanya dan dia tidur begitu saja.

Sungguh acara perkenalan yang mengesankan.

Tak lama kemudian wali kelasku datang. Membawa banyak sekali perhatian. Teman baru, Deni Mahendra. Teman sebangkuku. Entah ini merupakan surga atau neraka bagiku saat aku sebangku dengannya.

Kutatap wajahnya sekilas. Wajah yang semakin dekat semakin manis dengan kulit coklat matang sedikit kekuningan. Meskipun rahangnya keras dan kulit coklatnya itu sangat kontras dengan kepribadannya yang hangat. Itu penilaianku hari ini. Entah apa yang akan terjadi esok hari. Tapi setidaknya dari waktu satu jam lebih aku menjadi penghuni sekolah baru ini, dia satu-satunya orang yang mengajakku bicara. Dan satu-satunya kabar –gembira menurutku- yang bisa dibagi sepulang sekolah nanti bersama Ivan, kakakku.

***

Kamu mau ke kantin?” tanyaku basa-basi.

Dia masih sibuk mencatat beberapa rumus Fisika tentang kecepatan atau apalah itu, aku sendiri tak paham di buku tulisnya. Aku tahu dia sibuk. Jadi sebuah kesalahan besar jika aku menanyakan dia akan ke kantin atau tidak. Tidakkah kamu sadar Dina, bekal makanannya selalu tak pernah absen dia bawa. Seminggu lebih aku menjadi teman sebangkunya dan dia selalu membawa mukjizat Tuhan yang bernama bekal makanan yang ada di dalam tasnya.

Selalu klise. Nasi goreng dengan bawang goreng diatasnya. Serta telur ceplok di sisi pinggir. Sampai aku hafal di luar kepala. Dan Halo! Setidaknya dia bisa jadi teman yang baik untuk menemaniku ke kantin. Apa itu salah?

“Aku belum sarapan. Kamu mau nemenin aku sarapan, nggak?” aku mulai merajuk. Karena inilah satu-satunya jurus yang selama seminggu ini aku mengenalnya dan sangat berhasil. Dia sangat toleran terhadap sesama. Tak ada gangguang sejauh ini.

“Deen…” wajahku memelas.

“Apa sih berisik!” serunya. Aku mengernyit, keramahannya selama berbulan-bulan ini adalah tameng. Aku salah besar mendefinisikannya sebagai sesosok orang yang hangat. Salah besar!

“Ya udah, deh. Kalau nggak mau nemenin juga nggak papa. Gak usah merasa terpaksa juga.” Kataku kemudian. Aku mengambil dompet di tas dan beranjak berdiri, siap meninggalkan kelas.

Satu tangan sudah menyergapku untuk tidak beranjak. Dia menutup bekal makannya dan buku catatannya yang dikerjakan secara bersamaan itu. Dia mendongak menatapku dengan tatapan tajam, tanda dia marah karena aku ganggu. Ya, makan sendirian di waktu istirahat adalah ritual yang tidak bisa ditinggalkan. Parah. Untuk sesosok orang yang sudah menginjak bangku SMA itu sepertinya ada label ‘membawa bekal makan ke sekolah’ itu termasuk sesuatu yang sangat kekanakan. Tapi tidak berlaku bagi D-E-N-I.

Dengan wajah yang dibuat gamang dan serius yang akhirnya dia memenuhi keinginanku. Aku membantu mengambilkan tasnya yang terjatuh di lantai. Berharap niat baikku itu dapat memberinya maaf karena gangguan sarapannya. Dia tak menghiraukan. Seakan tindakanku barusan hanya angin semilir karena dia sudah keluar kelas dengan membawa bekal makanan.

Haish…

Aku masih tertinggal di belakang, sedangkan dia sudah keluar kelas menuju kantin. Kok rasanya menyebalkan sekali ya, dia?

Suara riuh rendah terdengar. Banyak orang yang sudah memadati setiap tempat di kantin. Aku bahkan harus berpikir ulang untuk membatalkan niatku untuk sarapan. “Tidak ada tempat yang kosong itu Den. Gimana?”

Aku hampir menubruk tubuh jangkungnya. Karena aku menatap ke bawah saat tali sepatu kananku lepas. Aku menepi dan membetulkan tali sepatuku sedangkan Deni celingukan sendiri mencari tempat kosong. Setelah selesai aku betulkan, aku sudah tidak mendapati Deni di sekitarku. Dia hilang dimana, coba?

“Lo sekarang agak berisi, ya?” tanya seseorang.

“Ya, enggaklah. Ini proposional tau, bukannya gendut.” Kilah seseorang yang menanggapi, tak terima.

“Gue nggak bilang gendut.” Tegas orang yang tadi mencibirnya. “Tapi lumayan. Nggak kurusan kayak kemarin-kemarin.”

Aku mengamati pemandangan itu beberapa detik. Ya, orang yang dari tadi dicemooh dengan sebutan ‘berisi’, ‘gendut’ dan apalah itu adalah soosk DENI. Ya, Deni. Aku baru tahu kalau dia itu secepat ini bisa berinteraksi dengan orang yang berbeda kelas.

Contoh aku, sebut saja aku. Aku hanya bisa mengenal dengan baik semua teman satu kelasku. Sedangkan Deni itu tidak. Kutegaskan sekali lagi, TIDAK. Dia hanya bisa berbasa-basi ria hanya denganku. Itupun kalau saja si Joni, ketua kelasku itu tidak meramah-tamahinya, mungkin hanya aku satu-satunya orang yang dikenal.

Dalam helaan napas yang sama. Dunia seakan-akan terguncang begitu saja. Kepribadian Deni yang berbeda. Lebih tepatnya, aku yang hanya melihatnya dalam satu sisi. Sisi bahwa dia itu adalah introvert. Bukan terbuka sama sepertiku.

Aku berbalik. Tetapi, panggilannya yang keras terdengar begitu garang saja di kepalaku. “Dinaa..”

Aku menoleh. Dia memberiku sedikit tempat untuk duduk di sebelahnya. Di dalam bangku panjang.

Lupakan kalau aku tadi menyuruhnya untuk menemani sarapan di kantin. Lupakan, kalau aku berpikir dia punya kepribadian ganda. Lupakan, kalau dia adalah sosok Deni yang tidak aku kenal lagi. Dengan Pede-nya dia mengajakku bergabung dengan semua gerombolan cowok di meja itu. Dan membiarkan aku di tengah-tengah buaya yang bernama lelaki itu sendirian, maksudku hanya aku yang berjenis kelamin berbeda dari mereka. Itu bukan pilihan yang baik. Lebih baik aku memilih opsi untuk kabur. Itu kalau dia memberikan opsi itu.

Aku menggeleng lemah. Opsi terkahir yang menjadi konsekuensiku adalah aku harus kelaparan sepanjang hari ini. Aku lebih baik terima.

“Gak papa, sini!” kata teman satunya.

Aku hanya tersenyum semanis madu dan meninggalkan kantin begitu saja. Tak lama kemudian, Pak Warto menjalankan tugasnya dengan amat baik. Bel masuk berbunyi dan aku hanya mendengus menahan napas selama perjalananku menuju kelas.

Aku menghampiri bangkuku yang masih sama. Tak berubah sejak aku menemukan kedamaian dengan menempatinya. Meja nomor dua dari depan dan di pojok dekat dengan jendela. Aku duduk lesu dan berbaring lemah dengan kepala yang aku letakkan di meja. Sambil memainkan poni rambutku yang berantakkan. Setidaknya cara ini sangat ampuh untuk menghilangkan rasa laparku sampai nanti siang. Deni dari koridor sudah lari terbirit-birit. Dia menoleh menatapku sekilas yang mengamatinya lewat jendela.

“Gak lapar?” tanyanya memecah keheningan. Sesaat setelah dia meletakkan pantatnya. Aku bergeming, seolah-olah aku tak mendengar sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya.

“Kamu mau makan bekalku, Din?” tawar Deni. Aku menggeleng lemah. Itu sebuah jawaban. Kuharap tidak ada lagi pertanyaan yang keluar darinya.

Aku tak mau jika porsi makannya sehari harus berkurang gara-gara bekalnya aku makan. Lagi pula Nasi goreng dengan taburan bawang goreng dan telur ceplok itu adalah makanan wajibnya. Aku bisa mengatakan wajib karena Halo! Kau juga bahkan hafal kebiasaannya.

Hening beberapa saat.

“Din?”

“Uhm?” jawabku sambil menengok kearahnya. Masih di posisiku semula dengan kepala yang berada di atas meja. Sambil sesekali bermain rambut. Bekal makanannya sudah tidak ada di meja. Dalam waktu sesingkat itu, aku yakin dia sudah menghabiskannya.

“Aku pinjam catatanmu.” Perintahnya kemudian. Aku mengerlingkan bola mata. Catatan yang mana?

“Fisika…” lanjutnya. Dia memang bisa saja menebak kemana arah pikiranku akan lari. Aku membongkar tas dan tidak menemukan. Saat kuraba laciku, bukannya menemukan buku, aku justru mendapat kotak bekal Deni. Aku menoleh sesaat ke arahnya.

Dia sok sibuk dengan pekerjaannya. Lebih tepatnya, dia pura-pura menyibukkan diri.

Aku meraih buku catatanku yang terletak dibawah bekal makan Deni. Lalu kusodorkan kedua benda itu di depan matanya. Dia melirikku tajam.

“Kenapa?” tanyanya. “Aku mintanya buku catatanmu!” tambahnya.

Kok malah tanya?

“Kan itu juga bekalmu.” Kataku sambil menunjuk bekalnya yang kuletakkan di atas buku fisika yang tengah sedang ia kerjakan.

“Udah, itung-itung sedekah untuk kaum duafa.” Katanya sambil nyengir.

Kurang ajar. Duh…

“Terima aja.” Dia masih saja tetap memaksa. Aku sebenarnya ingin menegaskan kalau aku baik-baik saja jika aku melewati rasa laparku sampai di jam istirahat terakhir.

Aku benci dengan suara gemericik dari dalam perutku. Deni justru menyeringai saat mendengarnya. Sebegitu keras kah sampai dia dengan jelas dapat mendengarnya? Sumpah aku malu. Tidak tahu, muka ini akan ditaruh dimana. Laci juga boleh, kalau muat. Duuuh…

Dia mengambil bekalnya sendiri yang kutaruh di mejanya. Memang dia menyingkirkan begitu saja di tepi saat bekal makan itu aku kembalikan. Aku bingung dengan raut wajahnya. Entah, dia sedang tersenyum atau mencibir. Tak bisa dibedakan.

Dia mengunyah begitu saja bekal makannya. Lalu menatap wajahku sekilas. Pameer…

“Nih…” dia menyodorkan begitu saja, sisa bekalnya. “Biar kamu tidak merasa bersalah sudah menghabiskan bekalku. Paling tidak aku sudah mencoba memakannya beberapa suap.” Katanya santai. Seringai serigalanya tidak kunjung hilang. Dia malah dengan terang-terangan mengatakan supaya aku tidak perlu merasa bersalah. Halo!!! Kenapa dia bisa berpikir seperti itu, coba?

“Gak per…” saat aku mencoba berkilah. Tangan kanannya sudah menyuapiku satu sendok nasi goreng miliknya. Dia benar-benar gila! Selama ini aku duduk sebangku dengannya, dia tidak seagresif seperti ini. Kenapa dalam satu hari dia berubah seketika? Aku mengutuki diriku yang mencoba menawarinya makan di kantin tadi. Aku menyesal untuk tidak mengganggunya di waktu istirahat. Karena aktivitasnya hanya makan bekalnya dan tidur setelahnya. Sebagian besar waktu yang dihabiskannya hanya mencatat dan kalau guru pergi atau istirahat –setelah sarapan, exactly- dia melanjutkan acara tidurnya. Aku benar-benar menyesal.

“Enak kan?” tanyanya. Dia mengamatiku lagi. Aku tidak segera mengunyah makanannya. Nasi goreng itu tertinggal begitu saja di mulutku. “Eh, itu dikunyah!!!” perintahnya.

Aku menyipitkan mata. Apa masalahmu?? Aku ingin memuntahkannya! Seperti itulah arti kata yang ingin aku sampaikan lewat bahasa mataku itu.

“Dina! Dikunyah, ntar usus buntu lho!” katanya lagi. Masih dalam satu oktaf lebih tinggi daripada bahasa kesehariannya.

Oke. Aku bisa saja melamar pekerjaan di bagian manusia idiot setelah ini. Karena lebih dari lima detik makanan itu aku tampung begitu saja tanpa aku kunyah, dan aku harus memaksakan menuruti perintahnya. Deni menarik salah satu sudut bibirnya ke atas. Dia menang. Dan alasan menggunakan kata-kata penyakit usus buntu itu hanya omong kosongnya saja. Halo!!! Mana bisa dipercaya itu mulut? Apa ada orang yang kena usus buntu gara-gara tidak mengunyah makanannya?

Dasar aneh.

Tak lama kemudian, guru Kimia kami datang.

***

You Might Also Like

4 Comments

  1. kyaaa....

    Deni kenapa jadi cowok yang lemah gitu :(
    Tolong ya, deni-ku dicowokan kembali :)

    ReplyDelete
  2. duh, kakak kenapa deni jadi cowok lempeng gitu :(

    gak sabar pingin liat lanjutannya :)

    ReplyDelete
  3. thanks atas komentarnya, setelah ini saya akan postkan chapter 2 nya. Tungguh ajah yaaaahhh....

    Best Regrads

    ReplyDelete
  4. Deni.....

    *bajak nabila sendiri, mian

    ReplyDelete