JENANG SUMSUM DALAM TRADISI MROCOTI

9:13 PM

STUDI KASUS: DESA KWARASAN KECAMATAN GROGOL KABUPATEN SUKOHARJO

I. Pendahuluan 


Teori folklore dalam penelitian dikembangkan karena memakai konsep-konsep Jan Harold Brunvand (1965) dan James Danandjaja (2002). Folklor adalah sebagian kebudayaan suatu kolektif, yang tersebar dan diwariskan turun temurun di antara kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat bantu pengingat (mnemonic device). Folklor dikenal melalui ciri-cirinya yaitu:

a. penyebaran dan pewarisannya biasanya dilakukan secara lisan dari satu generasi ke generasi berikutnya,

b.folklor bersifat tradisional yang disebarkan dalam bentuk relatif atau bentuk standar dan disebarkan di antara kolektif tertentu dalam waktu yang cuup lama,

c. karena penyebaran dari mulut ke mulut, maka folklor timbul dalam berbagai versi dan varian,
d. folklor bersifat anonim dan biasanya mempunyai bentuk berumus atau berpola,

e. folklor mempunyai fungsi dalam kehidupan bersama dalam suatu kolektif,

f. folklor bersifat pralogis yaitu memilii logika sendiri yang tidak sesuai dengan logika umum serta menjadi milik bersama (collective) dari kolektif tertentu dalam bentuk yang lugu.[1]
 
Di Indonesia, folklor berbentuk (a) folklor lisan yang meliputi : bahasa rakyat, ungkapan tradisional, pertanyaan tradisional atau teka-teki, puisi rakyat, legenda, mitos, dongeng, nyanyian rakyat; (b) folklor sebagian lisan yang meliputi kepercayaan rakyat, dan permainan rakyat, dan (c) folklor bukan lisan yang meliputi bentuk material yaitu arsitektur rakyat dan makanan rakyat.

Dalam judul yang sudah dituliskan penulis yaitu menceritakan jenang sum-sum dalam tradisi mrocoti, penulis lebih menekankan pada dua aspek. Karena hal ini seakan bersinggung satu sama lain, yaitu mengenai aspek kepercayaan masyarakat yang masih melakukan tradisi mrocoti dan jenang sum-sum yang dipilih dalam tradisi ini.

Bisa dikatakan bahwa jenang sum-sum sebagai kuliner tradisional masuk dalam folklore bukan lisan. Jenang sum-sum merupakan folklor material bukan lisan terdiri dari konsep makanan, bahan makanan, cara memperoleh makanan, cara mengolah makanan, cara penyajian, dan fungsi makanan. Sesuatu disebut makanan atau bukan sangat ditentukan oleh kebudayaan kolektif masing-masing Dalam sudut ilmu pandang antropologi, folklor makanan merupakan fenomena kebudayaan.
Konsep makanan tradisional perlu dijelaskan karena dalam konstruk budaya Jawa terdapat istilah budaya tradisi dan budaya kraton. Hal tersebut menunjuk pada dua subkultur yang secara jelas dapat dibedakan, dengan meminjam istilah Redfild, tradisi besar dan tradisi kecil. Tradisi besar terdapat dalam istana dan di kota-kota (negara) sedang yang kedua di pedesaan (Kartodirdjo, 1986: 409).

Ciri-ciri utama pengenal folklor di antaranya penyebaran pewarisannya bersifat lisan, disebarkan relatif tetap atau dalam bentuk standar. Disebarkan di antara lokasi tertentu dalam waktu yang cukup lama, ada dalam bentuk versi-versi, bersifat anonim, menjadi milik bersama.[2] Bila ditilik dari ciri-ciri pengenal tersebut, maka makanan rakyat maupun makanan tradisional keraton termasuk ke dalam folklor. Dalam tulisan ini dipilih istilah makanan tradisional karena mempunyai cakupan makna yang lebih luas.

II. Pembahasan

Meminjam pengertian Konentjoroningrat yang mengatakan bahwa sebuah masyarakat merupakan sebuah suatu sistem adat istiadat.[3] Masyarakat Jawa dikenal sebagai masyarakat yang hidup dari tradisi dan budaya. Orang Jawa selalu dipenuhi dengan berbagai macam upacara atau ritual-ritual tertentu dari mulai dalam kandungan sampai meninggal dunia. Salah satu contohnya adalah tradisi Mrocoti. Perkembangan jaman tentu meminggirkan nilai-nilai tradisi yang dibawa oleh leluhur kita. Begitu juga yang sudah terjadi di Desa Kwarasan Grogol Sukoharjo, letaknya yang merupakan perbatasan antara Surakarta dengan Sukoharjo, yang secara administratif masuk kawasan Kabupaten Sukoharjo juga dirasakan betul oleh penulis yang tinggal di daerah tersebut. Uniknya seperti yang dikutip dalam pernyataan Imam Baehaqi bahwa dialektika yang berlangsung antara kebudayaan Jawa dengan kebudayaan lainnya tidak lantas membuat tercabut akar-akar kejawaan, namun watak Jawa yang toleran tersebut membuat lentur dan dapat beradaptasi pada hadirnya berbagai macam kebudayaan yang ’masuk’ ke dalam rahimnya.[4]
 
Dalam banyak literatur, penulis mendapatkan bahwa tradisi ini populer di Jawa Timur. Tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa di Jawa Tengah sendiri tidak melaksanakan tradisi ini. Penulis mendapati tradisi masih dilakukan dan tidak menggeser perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.

Desa Munyung Kelurahan Kwarasan Grogol Sukoharjo sebuah lokasi yang bisa dikatakan masuk wilayah Solo Baru. Desa ini tidak sedikit orang yang melaksanakan tradisi Mrocoti seperti di kebanyakan daerah yang masih kental dalam melaksanakan tradisi Jawa. Ibu Marni contohnya. Ia melakukan tradisi ini karena menghormati nilai-nilai yang diberikan oleh leluhurnya untuk tetap melestarikan tradisi ini. Dalam kepenulisan ini, penulis mengambil dua perspektif yaitu dari segi sebuah tradisi dan makanan dalam tradisi tersebut.
  1. Tradisi Mrocoti
Seperti yang sudah penulis sampaikan di atas, masyarakat Jawa selalu dipenuhi oleh upcara-upacara sepanjang hidupnya. Mulai dari dalam kandungan sampai orang tersebut meninggal dunia. Upacara ini ditemukan dalam masyarakat Jawa, salah satunya yaitu terkait kelahiran bayi. Siklus kehidupan ini sangat dihormati dan ditunggu-tunggu oleh setiap pasangan suami istri. Ketika keluarga dikaruniai jabang bayi, berbagai tradisipun akan diselenggarakan sebagai wujud rasa syukur. Upacara Mrocoti dilakukan oleh calon ibu yang sudah mencapai umur kurang lebih 9 bulan. Mrocoti dari kata procot, dalam bahasa Jawa artinya keluarnya segala sesuatu dari lubang dengan cepat.[5] Sang calon ibu berharap bahwa bayi yang dalam kandungannya cepat keluar dalam keadaan sehat wal afiat. Tujuan dari upacara procotan ini  meng­harap agar bayi yang akan lahir nantinya dapat keluar dengan mudah dan selamat, tanpa gangguan apapun. Untuk itulah, harapan-harapan tersebut tersimpan dalam tradisi mrocoti.

Sajian dalam tradisi mrocoti ini berupa jenang sum-sum. Jenang sum-sum terbuat dari tepung beras yang dimasak seperti bubur. Cara penyajiannya adalah dengan meletakkan dalam wadah dan diberi pisang utuh yang sudah dikuliti diatasnya kemudian dilumuri dengan jenang (lihat Gambar 1). Sehingga tampak pisang utuh tersebut tidak bisa dilihat karena tertutup dengan jenang. Sajian tersebut diletakkan dalam piring dan dibagi-bagikan kepada tetangga. Tradisi ini hampir mirip seperti bancakan.
 
clip_image001
Gambar 1. Jenang Sum-sum dalam tradisi Mrocoti
  1. Jenang Sum-sum dalam Tradisi Mrocoti
Di Jawa, filosofi jenang sum-sum sebagai obat penghilang rasa. Seperti yang disampaikan oleh Jumaidi[6], bubur sum-sum diartikan sebagai obat penghilang rasa lelah. Dalam tradisi masyarakat Jawa, jenang sum-sum adalah tombo kesel (obat capek). Setelah berbulan-bulan ibu mengandung anak dalam kandungannya, hal itu pasti membuat penat dan rasa lelah. Para orang tua paham betul akan hal itu, dengan dilakukannya tradisi mrocoti ini setidaknya mengurangi rasa sakit selama kehamilan.[7]
 
Makanan mempunyai fungsi simbolik yaitu dalam artian terdapat arti sosial, budaya, agama dan lain-lain.Dalam hal ini, tradisi mrocoti yang membagi-bagikan jenang sum-sum kepada tetangga mempunyai peran bahwa makanan dapat diartikan sebagai ungkapan ikatan sosial. Makanan bisa diartikan sebagai sarana solidaritas kelompok. Simbolisme inilah yang dibawa oleh jenang sum-sum dalam kaitannya dengan tradisi mrocoti.

III. Penutup

Makanan tradisional dikategorikan sebagai bagian dari folklore yaitu folklore bukan lisan. Di dalam spesifikasi, makanan tradisional berdasarkan fungsinya makanan tidak hanya makanan untuk dimakan, tetapi mengandung hal khusus. Berdasarkan uraian penulis diatas, makanan tradisional seperti jenang sum-sum ternyata mempunyai arti tersendiri. Jenang secara filosofi orang Jawa dipercaya dapat menghilangkan rasa sakit atau lelah. Hal ini sangat cocok sekali dengan keadaan yang mendera ibu hamil pada umumnya. Sehingga pada bulan terakhir bayi berada dalam kandungannya, tradisi Jawa membuat tradisi mrocoti sebagai hal terakhir yang dirasakan oleh sang calon ibu. Agar nantinya, bayi yang dilahirkannya dalam keadaan sehat wal afiat, tidak kurang satu pun.

Meskipun pergeseran pola pikir masyarakat dan perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi sudah melesat pesat, tidak seharusnya kita sebagai masyarakat tidak lepas begitu saja. Folklore merupakan hasil kolektif masyarakat, jika dalam sebuah desa saja hanya satu dua orang yang masih melestarikan tradisi ini, bagaimana dengan langkah kedepannya. Folklore bagian dari leluhur. Bagian dari masyarakat, tidak seharusnya perkembangan jaman dan pola pikir dapat menggeser nilai-nilai luhur yang dibawa oleh nenek moyang kita.

Daftar Pustaka

Buku
Arif Budi Wurianto, Dr. Msi, 2008, Aspek Budaya Pada Tradisi Kuliner Tradisional Di Kota Malang Sebagai Identitas Sosial Budaya (Sebuah Tinjauan Folklore), Universitas Muhammadiyah Malang: tidak diterbitkan.

Dananjaja, James, 2002, Folklor Indonesia, Jakarta: Grafiti.

Ensrasworo, Suwardi, Dr., M.Hum, 2013, Folklore Nusantara: Bentuk & Fungsi, Yogyakarta: Penerbit Ombak.

Geerts, Clifford. (1986). “Agama di Jawa: Pertentangan dan Perpaduan”, dalam Roland Robertson (ed.). Sosiologi Agama. Tanpa Tempat Terbit: Aksara Persada.

Imam Baehaqi (ed.), 2002, Agama dan Relasi Sosial Menggali Kearifan Dialog, Yogyakarta: LKis.
Koentjoroningrat, 1996, Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Internet:
Pusaka Jawa Timuran, Mrocoti: Tradisi Jawa Timur, https://jawatimuran.wordpress.com/2012/10/15/mrocoti-upacara-tradisi-jawa-timur/ diakses pada 9 Mei 2015

Blogdetik.com, http://jogja.okezone.com/read/2012/10/15/511/704028/makna-bubur-sumsum-dalam-pelantikan-jokowi diakses pada tanggal 9 Mei 2015 pukul 16.17

Wawancara:
Wawancara dengan Ibu Marni, Sabtu 9 Mei 2015



[1] Teori James Danandjaja, Folklore Indonesia, (Grafiti, Jakarta: 2002)
[2] Op.Cit.,James Danandjaja, hlm 4.
[3] Koentjoroningrat, Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. (Gramedia Pustaka Utama, Jakarta: 1996). hlm 100.
[4] Imam Baehaqi (ed.), Agama dan Relasi Sosial Menggali Kearifan Dialog, (Yogyakarta: LKis, 2002), hlm 121
[5] Pusaka Jawa Timuran, Mrocoti: Tradisi Jawa Timur, https://jawatimuran.wordpress.com/2012/10/15/mrocoti-upacara-tradisi-jawa-timur/ diakses pada 9 Mei 2015
[6] Blogdetik.com, http://jogja.okezone.com/read/2012/10/15/511/704028/makna-bubur-sumsum-dalam-pelantikan-jokowi diakses pada tanggal 9 Mei 2015 pukul 16.17
[7] Wawancara dengan Ibu Marni, Sabtu 9 Mei 2015















































You Might Also Like

2 Comments