Cerpen: Membeli Matahari
9:26 PM
Oleh: Nabila Nurul Chasanati
Pagi-pagi ibuku sudah menanak nasi seperti biasa. Pukul 6 tepat bunyi dari magic jar terdengar, Ting! menggeser lampu warna merah dengan hijau. Tanda nasi sudah tanak. Di saat itu pula, cucian para pelanggan menumpuk di kursi dekat dengan pencucian. Akhir-akhir ini, rejeki sedang banyak-banyaknya. Alhamdulillah. Ibu banyak mendapat pelanggan untuk mencuci pakaiannya. Jadi, sebelum aku berangkat sekolah, ibuku sudah berkutat dengan cucian baju milik pelanggan.
“Sebelah perempatan itu dengar-dengar mau dibuat apartemen, bu.” Kata Bapak. Pagi-pagi sudah membicarakan topik yang akhir-akhir ini sering aku dengar dari teman sekolah. Tak jauh dari rumahku akan dibangun apartemen besar. Kata mereka sampai berlantai 15. Solo Grand Mall saja yang berlantai 6 saja sudah sangat tinggi bagiku. Apalagi ini yang berlantai 15.
“Gak tau proyek apa, Pak. Tapi udah mulai bangun dua minnguan ini. Bapak nggak ikut proyek di sana apa?” tanya ibu.
Banyak tetangga yang direkrut untuk membantu proyek apartemen ini. Pekerjanya saja sampai didatangkan dari Tawangmangu[1], sangking banyaknya orang yang dibutuhkan.
“Kepingin bu, tapi siapa yang jagain bengkelnya si Marwan, kalau bukan Bapak.” Tandasnya sambil menyesap seduhan kopi.
Aku bersiap-siap dengan buku pelajaran yang sudah aku siapkan kemarin malam. Meskipun belum sempat aku memasukkannya ke dalam tas. Bapak leyeh-leyeh[2] sambil menghabiskan kopinya sebelum berangkat ke bengkel. Aku beranjak menemui bapak dahulu meminta uang saku. Diberinya dua ribu rupiah, cukup untuk membeli satu bungkus nasi dengan es teh kucir dan satu gorengan. Masih ada sisa uang tujuh ratus rupiah dari uang saku kemarin, ada tambahan uang jajan untukku membeli Cilok[3] sepulang sekolah.
Sebelum aku menghampiri ibu untuk bersalaman, ibu berseru. Beradu dengan suara kran air yang menyala deras. “Tantri, kalau sudah selesei langsung pulang. Ojo dolan![4]” pesan ibu, mengingatkan. Aku kesal mendengarnya. Di sisi lain, aku bersyukur ibu mendapat banyak pelanggan, tetapi di sisi lain aku yang harus dikorbankan karena ujung-ujungnya akulah yang nanti akan menyetrika sebagian besar baju yang dicuci ibu hari ini.
“Ya bu.” Sahutku pendek. “Tantri berangkat dulu.” Pamitku.
Saat aku keluar dan berjalan melewati proyek apartemen, aku sudah dibuat terpesona oleh peralatan yang besar-besar. Rangkaian besi yang tinggi. Terdapat banner besar bergambar desain hasil akhir dari rangkaian proyek ini.
“Besar ya, Tan.” Kata Susanti. Dia menjejeri langkahku. Rumahnya tak begitu jauh dari proyek yang saat ini kami lewati. Masuk di gang dekat dengan pabrik percetakan buku kemudian masuk gang lagi. Dahulu, saat pertama kali mencari rumahnya aku hampir kesusahan menemukannya. Lebih banyak gang yang berakar gang lagi. Tempatnya agak mblusuk[5] memang. Kalau bukan karena PR Matematika, aku tidak akan mencari rumahnya.
“Bapakmu nggak kerja di proyek, San?” tanyaku.
“Nggak. Bapak nolak terus pas dapat tawaran proyek ini.”
“Kenapa?” keningku berkerut penuh pertanyaan. “Kerjanya sekitar 6 bulanan lebih lho…” tambahku.
“Buat apa dapat penghasilan 6 bulanan. Tapi awake dewe kudu rekasa[6].”
Keningku semakin berkerut karena mendapati kebingungan mendengar jawaban Susanti.
“… ning lor ana[7] hotel Aston. Tinggi banget sampai 8 lantai. Terus posisi rumahmu yang bersebelahan sama pabrik sepatu, belum mengko[8] ditambah apartemen yang lagi proyek ini. Coba pikiren!”
Aku masih bingung dengan tanggapan Susanti. Aku sudah berpikir. Terus apa masalahnya?
“Awake dewe ngrasa sesek pengap terus ra ana srengenge.[9]” jawabnya. Menjawab tanda tanya besarku.
Benar juga.
Kota selalu bergerak dengan dinamika waktu berjalan. Semakin lama, kota tumbuh dengan peradaban kapitalnya sendiri. Menggeser masyarakat yang sudah bertahan lama di dalamnya. Terciptanya banyak pemukiman yang keseluruhannya tidak pernah diterima oleh akal, terciptalah. Manusia hanya seonggok daging bernyawa yang tidak memahami perasaan nasib orang. Itulah definisi manusia saat ini.
**
“Aduh, ketutup gedung. Nggak bisa jemur ini, Tan.” Gerutu ibuku.
Ibu memanjat loteng rumah kami. Bapak membiarkan pekarangan yang hanya 1x3 meter itu untuk dijadikan tempat jemuran, setelah ibu punya niatan untuk membuka jasa mencuci baju. Sayangnya, tertutup oleh pabrik sepatu di sebelah kanan jalan, persis. Belum lagi Gedung Rumah Sakit yang berjarak 15 meter dari rumah kami. 10 Meter di utara rumah, terdapat hotel Aston. Tingginya sampai-sampai menutupi pemandangan langit. Rumah kami di dekat pemukiman padat penduduk. Jelasnya, dimana banyak gedung mewah bertingkat-tingkat akan membuat perkumuhan milik kami semakin memperjelas citra sebuah kota. Aku pernah membaca sebuah buku, kalau kota selalu dikelilingi oleh slum. Pemukiman kumuh tanpa kota merupakan barang yang mustahil adanya.
“Masih ada banyak bu, cuciannya?” tanyaku. Sedikit demi sedikit memanjat lewat tangga bambu buatan Ayah menuju atap rumah. Beradu dengan tingginya gedung-gedung yang mengitari rumah kami, kami pun harus memutar otak untuk mendapatkan sumber energi untuk mengeringkan baju-baju ini.
“Tiga ember lebih belum Ibu jemur, Tan. Gimana mau nyetrika, kalau cuciannya nggak garing[10].”
Setelah kejadian itu, ibu selalu mencuci lebih pagi lagi. Sekitar pukul 3 pagi, ibu sudah berkutat dengan cucian milik pelanggan. Dan akan selesai sekitar pukul lima atau enam pagi. Sebelum aku berangkat sekolah, rutinitasku selalu menjemur pakaian yang sudah dicuci Ibu. Untuk bisa mendapatkan cahaya matahari penuh, Ibu harus memutar otak. Agar kami bisa bertahan dari himpitan ekonomi. Agar kami bisa beradu dengan tingginya gedung-gedung yang menyabotase srengenge[11] masuk di atas rumah kami. Pagi hari selalu tertutup oleh pabrik sepatu yang berlantai tiga. Kalau sudah sore rumah sakit di pinggir jalan Ahmad Yani itu selalu menghalangi srengenge. Ibu biasa mendapat cahaya matahari penuh tanpa tertutup gedung saat pukul 10 sampai 2 siang. Berharap saja, jam-jam itu tidak turun hujan.
“Golek srengenge saiki angel yo, bu[12]?” tanya Bapak bergurau.
Tetapi, aku merasakan betul bagaimana sulitnya mendapat matahari. Kalau kata guru SD dahulu, klasifikasi sumber daya alam yang dapat diperbarui termasuk di dalamnya air, tanah, cahaya matahari, udara. Tetapi, entah kenapa, untuk mendapatkan semua itu harus membayar dengan harga yang mahal. Bapak perlu membangun rumah setinggi gedung-gedung itu. Agar mendapatkan hak yang sama untuk disinari matahari.
“Harusnya Bapak ikut proyek aja, biar pakaian bapak cepat garing kena srengenge.” Gerutu Ibu.
“Piye lho, bu[13]?” gelak tawa Bapak mendengar tanggapan ibu yang susah dibedakan antara sinis atau melucu. Tetapi terdengar lucu di telinga bapak, buktinya sekarang bapak terkekeh.
Kota. Matahari. Udara segar. Manusia. Sederhana. Tetapi menimbulkan masalah. Aku ingin hidup layak di kotaku. Kota yang melahirkanku. Kota yang aku cintai segenap jiwaku. Bukan karena bangunannya yang besar, mewah, nan tinggi. Toh mereka tak bernyawa. Saya warga kampung Benoran, makhluk bernyawa. Kenapa mahal sekali mendapatkan kehidupan layak. Hanya satu lho, yang aku dan ibu pinta.
Jangan rebut matahari kami!
**
[1] Daerah yang terletak kurang lebih 2 jam dari kota Solo. Daerah penghasil bahan kebutuhan pokok, masyarakatnya kebanyakan agraris. Tetapi banyak dari mereka yang bekerja menjadi buruh di kota Solo, karena Solo kekurangan sumber daya manusia dalam menangani sebuah proyek besar.
[2] Bersantai.
[3] Makanan khas Bandung yang sering dijual pedagang di depan sekolah tiap pagi atau setelah sepulang sekolah.
[4] Jangan Bermain!
[5] Tidak terjangkau.
[6] Tetapi kita merasa menderita.
[7] Di utara sana ada...
[8] nanti
[9] Kita itu sesak terus, udara pengap nggak ada matahari.
[10] Tidak kering
[11] Matahari.
[12] Cari sinar matahari sekarang susah ya, Bu?
[13] Gimana lho, bu?
6 Comments
bagus,
ReplyDeletekurang settingnya diperkuat kembali :)
sedih ya, liat ceritanya :)
ReplyDeleteefek dari kapitalisme yang berlebihan, sampai kampung saja kekurangan mentari :(
ReplyDeletepenokohannya dipertajam lagi kak :)
ReplyDeletekeseluruhan bagus kok :)
ReplyDeletewah bagus cerpennya
ReplyDeletemenggugah hati dan mengispirasi jiwa