PENGUATAN PERAN PENDIDIKAN DALAM MEMBANGUNKAN KEMBALI KEBUDAYAAN AIR GUNA MEWUJUDKAN ERA INDONESIA EMAS
1:02 AM
Nabila Nurul Chasanati
Sudah menjadi tamparan keras bagi para pelaku pendidik saat melihat bagaimana sungai yang membelah kota saat ini begitu kotor dan terisi oleh sampah rumah tangga. Apa masyarakat saat ini tidak menghargai keberadaan sungai, jika keberadaannya saja dilihat sebelah mata. Bahkan tatkala saya melihat anak-anak SD yang melintasi jembatan, pun juga membuang sampahnya di sungai. Padahal pendidikan seusia mereka sudah diperkenalkan ajaran untuk tidak membuang sampah sembarang. Hanya pada tempat tertentu yang bertandakan tempat sampah. Tetapi hal itu masih terjadi? Coba cium sungai kita sekarang? Alih-alih mencium, cobalah lihatlah dengan mata terbuka tanpa menampikkan fakta tersebut. Apa yang anda bisa dapatkan di sungai kita saat ini?
Sungguh ironi keadaan sungai di kota-kota besar saat ini. Bahkan denda ratusan ribu rupiah bagi pelanggar peraturan untuk tidak membuang sampah di sungai pun masih saja banyak orang yang tidak mengindahkannya. Apalah arti dari peraturan jika masih banyak masyarakat yang melanggar. Bila kita menelisik lebih jauh area perikanan kita, pasti akan mendapati keadaan yang tidak jauh berbeda. Sudah ada peraturan bahwa menangkap ikan dilarang menggunakan bom, pun banyak orang yang melanggarnya. Ekosistem laut kita musnah, dan mereka tidak ingin menjadi pihak yang disalahkan. Lantas bagaimana peranan pendidikan dalam mewujudkan tataran masyarakat yang beradab, patut dipertanyakan. Apakah pendidikan hanya berorientasi pada market saja? Apa yang diajarkan hanya pelajaran-pelajaran fiktif? Sampai-sampai anak-anak jaman sekarang hanya mengacuhkan sebuah peradaban yang sesungguhnya sudah terbangun sebelum lahirnya Nusantara. Tetapi, fokus penulisan ini adalah membahas mengenai hilanngnya peradaban air. Saat ini, kita tidak mendapati fenomena bahwa budaya air masih eksis. Bila bisa saya katakan lewat stratifikasi sosial, budaya air menempati urutan terbawah. Kumpulan permasalahan yang dinomorterakhirkan untuk dipecahkan oleh pemerintah, masyarakat, alih-alih dunia pendidikan.
Kompleksnya peranan budaya air dalam membangun peradaban unggul, kenapa saat ini kita mengacuhkannya begitu saja?
Penekanan bahwa pentingnya budaya air ini tidak terlepas dari putusnya budaya air yang lama sudah terbangun. Bahkan sudah ada sebelum lahirnya Indonesia. Alih-alih sangking lamanya itulah, tidak tahu jaman kapan budaya air tidak ada lagi. Hilang di era siapa, tidak begitu kita rasakan.
Pembangunan di sektor perairan sudah dibangun era Raja Airlangga dengan membentuk bendungan. Lalu terdapat kontinuitas oleh Raja Kroncaryyadipa (± 1181M) dengan membentuk pejabat tertinggi yang menangani dan menguasai perairan yang disebut dengan senopati sarwajala. Walaupun saat itu, pejabat ini masih mengatasi permasalahan banjir, tetapi bayangpun birokrasi kerajaan waktu itu menganggap masalah perairan merupakan masalah serius. Air merupakan sumber daya alam yang luar biasa. Apalagi, pada abad 19, banyak perdagangan yang dilakukan lewat sungai.
Tidak jauh-jauh mengambil contoh, sungai Bengawan Solo dimanfaatkan oleh pedagang Cina pada abad 15-17 M yang banyak melakukan transaksi perdagangan sepanjang sungai ini. Bengawan Solo waktu itu memerankan peranan cukup penting dalam memajukan peradaban masyarakat. Sungai tidak hanya dinilai sebagai tempat pelayaran perdagangan, bila ditelisik lebih jauh banyak pertukaran budaya di dalamnya. Penguatan komunikasi sosial masyarakat, hal inilah masyarakat tanpa tidak sadar “terdidik” bahwa keberadaan sungai memang sangat strategis.
Bila kita melihat bagaimana sekarang, sungai selalu tampak dibelakang rumah kita. Hanya dijadikan sebagai tempat pembuang kotoran, mungkin kita lupa atau bisa jadi kitalah yang memutus peradaban yang sudah dibangun jauh-jauh hari lewat sungai. Lantas, apakah tidak ada hubungannya dengan peranan pendidikan. Seperti yang saya kemukakan dari awal, ini merupakan tamparan keras bagi sistem pendidikan, pendidik khususnya. Apa dunia pendidikan diam saja dalam fenomena hal ini. Nilai-nilai yang putusnya peradaban ini di dalam masyarakat, tetapi tidak langsung putus begitu saja lewat peranan pendidikan. Saya ingat pelajaran yang diajarkan dalam PPKn sewaktu SD, banyak nilai-nilai yang diajarkan di dalamnya. Pun, walaupun kurikulum berganti dengan mengikuti jaman, tetapi bila kita masih melihat masyarakat kita sendiri mengotori sungai, apakah kita hanya diam saja? Apa hanya menunggu peran pemerintah dalam mengembalikan kembali kurikulum yang dahulu kala karena melihat fenomena ini. Tentu saja tidak berlebihan seperti itu. Memang benar, bila kurikulum harus mengikuti perkembangan jaman, tetapi jika jaman sekarang saja sungai tidak ada harganya bagaimana ke depannya?
Meminjam pernyataan Indrawan Yepe, “Pendidikan itu untuk membangun karakter anak-anak dan menumbuhkan kepedulian mereka serta membangunkan potensi mereka.” Bahwa ternyata substansi dari pendidikan itu lebih mengakar dan berarti lebih. Untuk mendidik anak-anak ternyata begitu mulianya sampai-sampai target yang dibidik adalah pembangunan karakter dan menumbuhkan kepedulian diri.
Mengingat kembali bahwa tujuan pendidikan Indonesia merupakan implementasi empat pilar pendidikan yang dicanangkan oleh UNESCO. Keempat pilar ini adalah: 1) learning to know (belajar untuk mengetahui), 2) learning to do (belajar untuk melakukan sesuatu), 3) learning to be (belajar untuk menjadi seseorang) dan 4) learning to live together (belajar untuk menjalani kehidupan bersama).
Bisa dikatakan lewat pendidikanlah, akan tercipta masyarakat terdidik. Dari sinilah tertanam nilai-nilai pembelajaran yang membentuk karakter anak didik untuk nantinya bisa hidup di tengah-tengah masyarakat. Kemudian, membentuk komunitas masyarakat luas dengan suatu karakter yang khas. Lalu dari alur inilah menciptakan budaya masyarakat yang lama kelamaan dapat diturunkan oleh generasi penerus. Begitu luasnya kita memandang suatu peranan pendidikan dalam menciptakan generasi emas. Bisa kita tarik kesimpulan, bagaimana penanaman nilai-nilai untuk membangkitkan budaya air kita selipkan dalam peranan pendidikan. Tidak ada salahnya, karena tujuan pendidikan poin kedua adalah learning to do. Pendidikan merupakan pengamalan dari ilmu dan diimplementasikan nyata.
Pendidikan merupakan salah satu sarana untuk membentuk karakter anak didik. Pendidikan ada, tidak hanya mengajarkan pada pelajaran-pelajaran fiktif saja. Agar lebih berbudaya, lebih beradab. Dengan kemampuan yang diterimanya inilah, berguna untuk membentuk suatu komunitas besar yang di dalamnya bisa mendorong kembali terciptanya masyarakat yang mencintai budaya air. Pendidikan mempunyai tujuan akhir—seperti tujuan pendidikan nasional Indonesia—untuk learning to live together. Pendidikan membentuk suatu komunitas masyarakat agar lebih terdidik dengan tetap memperhatikan lingkungan sekitar. Mempunyai daya kepekaan dalam mengatasi permasalahan tersebut.
Apalah artinya pembangunan yang dibentuk oleh nenek moyang kita, Raja Airlangga melakukan pembangunan dari budaya air dan dari sinilah lahirlah budaya-budaya air yang dilanjutkan oleh pecahan dua kerajaan besar semasa itu. Pun, terdapat menteri pemegang kekuasaan tertinggi dalam era Raja Kroncaryyadipa yaitu Senopati Sarwajala. Pembangunan peradaban mereka memang berbeda era antara Indonesia lama dengan kondisi kita saat ini. Masa itu birokrasi kerajaan memberikan kebijakan yang luar biasa berartinya dalam pembangunan peradaban. Perbedaannya dengan sekarang adalah kompleksnya permasalahan dari hulu hingga hilir. Semua permasalahan seakan bertumpu pada sektor ekonomi saja. Efek ekonomi ini nanti seperti kartu domino yang dianggap mempunyai efek besar dalam kehidupan. Tetapi, jika dilihat menyeluruh pembangunan peradaban cerdas saat ini hanya bertumpu pada sektor pendidikan. Kebijakan sudah memberikan tempat seluas-luasnya terhadap pembangunan era masyarakat yang berkarakter lewat pendidikan.
Seperti apa yang saya jelaskan diatas, bahwa ujung dari peran pendidikan ini adalah mewujudkan masyarakat berkarakter. Yang secara menyeluruh dengan bertahap membangun masyarakat Indonesia berkarakter—bisa saya katakan generasi Indonesia Emas. Apa kita masih bertumpu tangan terhadap pemerintah sebagai pemegang birokrasi? Justru peran pendidikan juga tak kalah dari kartu sektor ekonomi—dimana tidak kita munafikkan, orientasi pembangunan pemerintah selalu bertumpu pada sektor ekonomi---. Bahkan embrionya berada dalam pendidikan. Lewat pendidikan, dapat mewujudkan pembangunan pemerintah, penguatan ekonomi nasional, ketahanan budaya, dan lain sebagainya.
Sebagai calon-calon orang yang akan membentuk komunitas masyarakat berkarakter inilah, kita tidak boleh melihat sebelah mata kondisi sungai kita. Tidak perlu muluk-muluk untuk mewujudkan caranya. Berawal dari langkah sederhana yang kita lakukan. Dimulai dari tidak membuang sampah di sungai. Lewat pribadi kita sendiri, menegur kawan, orang tua, atau orang terdekat kita untuk melakukan hal yang sama. Dari sanalah, muncullah komunitas-komunitas masyarakat yang tergerak untuk melakukan pemberdayaan sungai. Pemanfaatan kembali fungsi sungai, entah dalam segi ekonomi dengan adanya perdagangan, sosial, budaya. Dan kelamaan sektor perairan dengan mengedepankan tatanan pendidikan berasimilasi dalam budaya masyarakat bisa jadi membentuk karakter kuat yang terus tertanam dan tumbuh dalam diri masyarakat untuk tetap terus memberdayakan dan menguatkan kembali.
Semua hal itulah saling bersinergi untuk mewujudkan sebuah tatanan masyarakat berbudaya. Itu baru dalam hal budaya air saja. Coba kita telisik lebih jauh, banyak peranan budaya-budaya lokal yang terkadang kita lihat sebelah mata yang memiliki dampak yang luar biasa. Tidak hanya akan menjadi mimpi, jika masyarakat dengan kesadaran sendiri itulah menciptakan suatu tatanan Negara yang mewujudkan cita-cita. Bukan hal yang tidak mungkin, lewat sinergisitas peranan pendidikan dalam mengembalikan budaya air mampu mewujudkan Indonesia Emas? Who knows?
0 Comments