Ganasnya Iklan Terhadap Perkembangan Real Estate Kota Meminggirkan Nilai Sosial Budaya Sebagai Konsekuensi Pertumbuhan Ekonomi Neoliberal

5:37 PM

GANASNYA IKLAN TERHADAP PERKEMBANGAN REAL ESTATE  KOTA MEMINGGIRKAN NILAI SOSIAL BUDAYA SEBAGAI KONSEKUENSI PERTUMBUHAN EKONOMI NEOLIBERAL


I.       Pendahuluan

Berbicara mengenai perkembangan real estate sudah menjadi konsumsi masyarakat saat ini. Bagaimana kendali kapitalis sampai mengakar pada kebutuhan primer manusia, yaitu papan. Bagaimana tidak ketergantungan manusia akan kebutuhan rumah sangat luar biasa akibat pengaruh iklan? Jauh dari kata kebutuhan, tetapi keinginan untuk menempati sebuah hunian merupakan cerminan dari selera kelas menengah atas. Coba tengok setiap hari sabtu atau minggu, iklan penjualan properti  rumah hampir ditayangkan hampir setengah hari di televisi. Yang membuat saya juga merasa geram adalah pernah saya temukan iklan penjualan properti juga mengisi hampir setengah lebih halaman koran. Ternyata pengaruh iklan luar biasa ganasnya. Secara implisit masuk dalam ruang publik dan kita tidak sadar sudah untuk tidak terperangah mengonsumsinya. Bahkan sampai menjadikan trend ini semakin marak di masyarakat sebagai gaya hidup. Banyak tujuan yang ditawarkan yang salah satunya adalah investasi.

Perumahan real estate yang perusahaan jual menawarkan kehadiran arsitektur Eropa dengan pilihan gaya. Dalam iklannya pula menawarkan suguhan tempat menarik bagi penghuninya. Entah menawarkan alam pedesaan, tempat strategis yaitu mudah dijangkau, mempunyai keamanan yang mampu mengamankan 24 jam. Sungguh hal ini menghadirkan kota dalam sebuah kota. Mempunyai tempat privat tersendiri, dan susah dijangkau oleh kalangan kelas bawah. Mana bisa dikatakan terjangkau. Dengan salah satu iklan yaitu mampu mengamankan 24 jam saja sudah sangat cukup “mengamankan duit” orang berduit.

II.    Pembahasan

Kota yang dianggap sebagai tempat pertumbuhan dan berkembang yang mana di dalamnya terdapat ekonomi, sosial, dan budaya sekarang menggeser keberadaannya hingga pinggiran kota. Daerah yang sebelumnya bukan dikatakan “kota” sekarang menjadi identitas baru kekotaannya. Hal ini terjadi perkembangan kota selalu berkembang menyebar ke sekitaran daerah pusatnya. Tidak salah jika teori konsentris (Concentric Theory)  dari Ernest W. Burgess menyatakan bahwa kota mulai berkembang dari pusat kemudian meluas ke pinggiran.[1] Ekonomi neoliberal sudah membutakan mata masyarakat saat ini. Degradasi moral akibat pergeseran pola ekonomi mempengaruhi perkembangan kota.

Kota merupakan area strategis dalam mengembangkan sektor perekonomian. Potensi inilah yang nantinya menggeser daerah-daerah satelit kota untuk membentuk atau membangun hal yang sama. Secara konsep kota sudah tidak mengenal lagi ikatan sosial antar penghuninya.[2] Perkembangan inilah yang menyebabkan kota selalu berbenah dari waktu ke waktu. Memberi ruang rekreasi, didirikannya gedung-gedung perkantoran, rumah sakit, taman, bank dan masih banyak lagi.

Dari strategisnya inilah, tidak salah jika ide bisnis muncul menciptakan kota dalam kota. Dengan memperhitungkan strategis tempat yang dibangunnya itu karena dekat dengan sarana-sarana penunjang di dalam kota. Konsep real estate sayangnya hanya bisa dinikmati oleh kalangan kelas menengah-atas saja. Bentuk arsitektur yang banyak dibangun oleh desain kota-kota luar negeri, menjadikan daya tarik. Seakan kita bisa berjalan ke luar negeri tanpa meninggalkan negeri kita sendiri. Hal ini bisa diciptakan dari desain yang dibangun.

Pembangunan real estate mempunyai efek yang luar biasa bagi daerahnya. Biasanya dibangun dipinggiran kota untuk memberikan ketenangan bagi pemiliknya akan keramaian dan hiruk pikuk kota. Perluasan kota inti sampai pada kota yang dibangun dalam kota inilah memperluas jaringan ekonomi. Seperti kartu domino, saat dijatuhkan satu akan menjatuhkan kartu-kartu dibelakangnya hingga menjatuhkan keseluruhan kartunya. Perluasan jaringan ekonomi yang dilakukan kota inti hingga kota penyokongnya ini memperluas terpinggirkannya sosial budaya yang dibangun oleh masyarakat.

Tidak salah jika Farabi Fakih[3] dalam artikelnya “Rumah Indonesia Indah: Imajinasi Postmodern dan Iklan Real Estate Indonesia” dalam kesimpulannya menyatakan bahwa dunia pasca Orde Baru  yang dianggap post modern adalah dunia dimana orang kelas menengah Jakarta ingin melarikan diri dari Indonesia. Fokus penulisan yang dilakukan oleh Farabi Fakih lebih menekankan pada kebingungan orang Indonesia pada identitas dirinya sendiri. Seakan semua tercampur-baur menjadi satu dalam hal arsitektur bangunan. Di satu sisi masih menonjolkan budaya lokalnya tetapi di sisi yang lain merupakan hasil impor dari barat. Majalah Tempo, 4 Agustus 1990 bahwa bangunan yang dibangun era postmodern adalah bangunan acak-acak yang bagiannya tidak sinkron satu sama lain.

Pasca Orde Baru, Farabi Fakih menyatakan bahwa gaya rumah sedang dinegosiasi yaitu sebuah gaya yang terus menerus berubah, justru karena itulah ia belum menentukan bentuk barunya. Dalam penilaiannya Kota Jakarta merupakan pintu masuk dunia global, sehingga sebagian besar dari ruang kotanya telah diekspropriasi[4] oleh neoliberalisme dan konglomerasi lokal. Dalam bagian penutupnya pula, Fakih memberi penjelasan bahwa akhir tahun 1980-an Jakarta mengalami salah satu perubahan yang paling besar mengenai tata ruangnya. Ratusan gedung pencakar langit mulai bermunculan, perumahan-perumahan dan kota-kota satelit eksklusif mendominasi peta. Dari munculnya banyak perumahan yang bisa dikatakan real estate inilah kebutuhan akan dirinya berkembang. Kebutuhan dari real estate sendiri sungguh kompleks dan beragam. Oleh karena itu, tidak heran di sekitarnya pun dibangun pusat perbelanjaan untuk menunjang kebutuhan perumahan. Di dalamnya juga disediakan tempat hiburan seperti permainan, bioskop dan hal lainnya. Belum lagi didirikan rumah sakit, café, hotel. Seperti efek yang beruntun dari didirikannya perumahan real estate ini dengan kemunculan berbagai produk kapitalis. Sebagian banyak, mal-mal besar yang menggeser jalanan.

Iklan memerankan permainan yang sangat ganas dalam membujuk dan menarik perhatian para konsumen. Iklan perumahan oleh Fakih mengalami perubahan yang sangat drastis tahun 1986-an, baik dalam segi kualitas ataupun kuantitas. Beranekaragamnya jenis iklan ini dengan memperkenalkan produknya, kebanyakan merupakan desain dari arsitektur barat. Sebagai contohnya, iklan perumahan kota Bunga, Puncak memilih tema Vila Praha. Dengan menghadirkan eksotisme arsitektur Eropa Timur. Tetapi hal ini sebenarnya hanya imaji yang dibentuk sedemikian rupa untuk menarik minat para calon pembeli. Hal ini bisa dikatakan sebagai bagian dari globalisasi, pengambilalihan budaya lokal dan disusupkan imaji-imaji global.

Sebenarnya Era Orde Baru, sudah dilakukan penggalian terhadap pencarian Keindonesian Asli. Sebelumnya saat masa Hindia-Belanda oleh Thomas Karsten, merupakan tonggak pertama kali proses penciptaan sebuah identitas Hindia-Belanda yaitu dengan pembangunan gedung-gedung. Sebut saja, Gedung Pusat ITB dan renovasi Pasar Tanah Abang. Dengan usaha penggalian esensi kebangsaan bisa dilihat dari pembangunan Bandar Udara Soekarno-Hatta (1985) yang menggali atas tradisionalisme kejawaannya.

Tetapi orang menengah-atas yang tinggal di perumahan menjawab akan ketidaksesuainya pemikiran lebih baik ke Mall, daripada pergi ke tempat-tempat yang diusung untuk Orde Baru. Inilah yang mengacaukan ketidakindonesian mereka, dengan gaya hidup mengikuti globalisasi.

Paket kebijakan derugalitif sekitar tahun 1980-an oleh Orde Baru, menanamkan logika sirkuler membuat kondisi melemah. Kemunculan kelas menengah dengan kedekatannya dengan Negara menghasilkan serangkaian pergeseran yang diakomodasi oleh penguasa.[5]

III. Kesimpulan

Konsekuensi dari pertumbuhan ekonomi yang dibawa oleh global yang mengarah pada capital inilah yang memunculkan gaya hidup mewah. Perumahan real estate merupakan perwujudan dari hal tersebut. Masalah-masalah mengenai hal ini bahkan sampai masuk dalam degradasi budaya yang ada dalam masyarakat. Munculnya pusat perbelanjaan sebagai tempat penyokong adanya perumahan memunculkan budaya konsumtif. Belum lagi, meluas pada kurangnya pemberdayaan pasar tradisional. Pergeseran-pergeseran tersebut selalu ada dan berimbas pada tatanan sosial budaya apalagi ekonomi masyarakat.

Hanya gagasan kosong, jika kita selalu mengkritik ketegasan pemerintah dalam mengentaskan permasalahan ini. Bisa jadi, karena masyarakat pula yang sudah diperdayakan oleh era ini, seakan tutup mata pada permasalahan yang tidak benar-benar merasa rasakan. Atau hanya sekedar berbicara tanpa memberi solusi.

Benar kesimpulan terakhir kalimat dalam arikel yang ditulis Farabi Fakih, bahwa Indonesia yang merupakan Negara multikultural seakan kehilangan identitas dirinya dengan adanya globalisasi. Sehingga diperlukan pemikiran ulang mengenai imaji baru Indonesia yang bersifat multikultur dan inklusif ini. Sama seperti proyek Orde Baru dalam melakukan pencairan terhadap “Keindonesiaan Asli” yang dilakukan arsitek-arsitek Hindia Belanda.

Sebagai bangsa yang besar, kita setidaknya harus memiliki potensi pada diri kita untuk bisa ditonjolkan. Degradasi sosial budaya sudah membutakan mata kita bahwa kita kehilangan banyak potensi lokal yang dimiliki Negara multikultural ini. Kita tidak benar-benar kehilangan jati diri kita, dengan mempelajari dan meneruskan kepada generasi selanjutnya akan terjadi kontinuitas dalam penerusan nilai-nilai masyarakat. Kita hanya merasa tidak mau saja, tidak mau menggali akar budaya kita. Seolah mengatakan bahwa budaya kita sudah hilang. Justru, kita sendiri yang perlahan-lahan menghapuskannya.

Akhir kata, dari kesimpulan yang diberikan Farabi Fakih, penulis ingin mengajak untuk kembali menemukan identitas baru Indonesia saat ini. Berkembangnya kota dengan dinamikanya yang ada tidak seharusnya menggeser atau mendegradasi nilai-nilai sosial budaya yang sudah melekat erat dalam tatanan masyarakat itu sendiri. kita Kita harus awas diri dalam era keterbukaan seperti saat ini. Jangan sampai pihak luar memenangkan permainan era global ini.



[1] Theory Burgess di dapat oleh penulis semasa pelajaran Geografi SMA dalam Bab Pola Ruang Desa dan Kota

[2] Pendapat menurut Wirth, dalam presentasi Dr. Dyah Kumalasari, M.Pd.

[3] Penulis Rumah Indonesia Indah: Imajinasi Postmodern dan Iklan Real Estate Indonesia, hlm. 31.

[4] Exproriate: pengambil alihan.

[5] Op. Cit.,Farabi Fakih, Rumah Indah Indonesia, hlm.71.

You Might Also Like

0 Comments