Sebuah Cerita | Pulang

2:34 AM


Ini kisah tentang bagaimana seorang Ayah-Ibu yang mengharapkan kehadiran anak mereka pulang ke rumah.

:::

Embusan angin dari arah barat meluluhlantakkan terbangan daun yang jatuh di tanah. Memainkan sedemikian rupa hingga menari-nari mengikuti arah angin. Membawanya hingga nanti jatuh ke tanah, jauh dari tempat jatuh sebelumnya. Hawa yang ditimbulkan membuat manusia-manusia yang berada tak jauh dari tarian angin itu mendadak menggigil. Diusap-usapnya kedua telapak tangan mereka mencari kehangatan. Syal tebal melilit di leher-leher mereka. Tak jauh dari tempatnya berada, perkemahan yang mereka dirikan tidak berdiri tegak. Melainkan mengikuti arah gerak angin.

“Ih, kenapa telepon di saat yang tidak tepat.” Gadis itu geram.

“Siapa Na?” tanya temannya. Dia menyesap hangat kopi buatannya sendiri tanpa berniat membaginya dengan kawan lainnya yang diruntuki kekesalan.

“Bapakku.” Jawabnya ketus.

Hujan datang tiba-tiba. Berawal dari tetes-tetes kecil, lambat laun jatuh hingga mendesak bumi untuk menerima kunjungannya. Kemudian tak tahan untuk disimpan, seluruh pasukan langit memborbardir dengan kekuatan penuhnya. Menghujani bumi tanpa ampun dalam waktu setengah jam.

Muka Nasitha keruh. Tentu saja. Sebelum agenda Diksar ini berlangsung, ia selalu ditelepon oleh ayahnya untuk segera pulang. Liburan semesteran sudah datang. Ia justru sibuk mempersiapkan acara Diksar ini berlangsung. Cuaca yang tidak mendukung. Tim yang kurang solid karena ditinggal oleh beberapa teman yang sedang KKN. Ia seakan-akan sendiri dalam menghadapi kenyataan. Ketakutan Diksar ini tidak akan sesukses Diksar sebelumnya. Cih, apalagi junior angkatan bawahnya yang hanya menjadi cecunguk budak prokeryang tidak punya inisiatif. Hanya ngeh kalau dia perintah.

Dalam persiapan Diksar ini ia hanya bisa menggantungkan pada satu orang. Sebenarnya ia merasa tidak nyaman jika ia bekerja lebih berat dibandingkan dirinya. Romdon namanya. Bapaknya sakit. Sakit lambung yang membawanya dirawat di rumah sakit selama tak lebih dari tiga hari. Tetapi sembuh kemudian, saat jengukan pertamanya di hari terakhir Bapaknya di rawat. Esok harinya, ia membantu mempersiapkan Diksar. Nasitha dibawa terenyuh oleh keloyalannya.

Nasitha sibuk mencari pinjaman alat untuk menyukseskan acara Diksarnya, suatu saat.

“Na, aku ijin.” Kata Romdon di suatu saat dia kerepotan untuk meminjam alat. “Sebentar.” Mukanya sudah keruh.

Nasitha menganggapnya dengan santai, sembari bergurau dia berkata, “Kamu tega, Don. Ninggalin aku sendirian.” Katanya.Romdon terenyuh. Benar juga. Tidak banyak personel yang ada di kampus untuk mempersiapkan Diksar.

Yowis.” Romdon akhirnya menyerah.

Nasitha tertegun, ia tidak menyangka kalau gurauannya dianggap serius oleh Romdon. Ia bingung harus menanggapinya dengan macam jawaban seperti apa. Tetapi, hati kecilnya merasa senang. Bagaimanapun dia ada teman untuk membantunya. Secara kematangan strategi dia tidak banyak memberi kewenangan pada angkatan bawah. Romdon adalah orang yang ia percayai dalam banyak hal. Kehadirannya sudah sangat membantu,setidaknya ada bahu untuk mendengarkan kefrustasian  menghadapi Diksar kali ini.

Diliriknya tenda milik Romdon yang berjarak dua tenda di samping kanannya melalui celah tenda miliknya. Ia sebenarnya sudah merasa berhutang budi pada Romdon jika ada hal buruk terjadi. Aku mendengar dari juniornya di suatu pekan bahwa tanpa seijinnyaRomdon pulang ke Boyolali untuk menjenguk Bapaknya. Ia benar benar merasa tidak enak pada Romdon. Seolah-olah dia adalah orang yang menghalang-halangi bertemunya dia dengan Bapaknya.

Telepon masuk lagi.

“Kamu dimana? Pulang!” seru Abinya lewat telepon. Di pos satu memang sinyal menerima telepon cukup kencang. Tapi apes. Abinya selalu telepon, menerornya untuk memberi penjelasan ratusan kali kenapa ia tidak pulang ke rumahnya.

“Bi, aku di Gunung Lawu ini. Badai!” seru Nasitha tak kalah keras dibanding dengan derasnya hujan yang menghampiri Bumi sore ini.

“Ijin sama Ketua Pelaksananya. Sini, Abi mau bicara.” Jawab Abinya.

Mati!

Nasitha membulatkan bola matanya. Ia tercengang tidak percaya. Jangan sampai Abinya tahu kalau dia adalah Ketua Pelaksananya untuk Diksar tahun ini.

“Orangnya sudah di pos atas. Nggak ada di sini.” Ia berbohong.

Jeda dua detik. Nasitha waspada jika Abinya bertindak lebih heboh lagi melebihi memanggil ketua pelaksana Diksar.

“Abi lihat berita di televisi, ada 3 mahasiswa mati karena Diksar.” Cerocos Abinya.

Oh.

“Di Gunung Lawu juga.” Tambah Abinya memberi tahu.

Nasitha juga paham ada berita itu. Itulah kenapa beberapa Mapala yang mengadakan Diksar setelah kejadian itu dibatalkan. Padahal, antara Diksar Mapalanya dengan Diksar kampus di Jogja sudah dibagi tempat pelaksanaannya karena waktu yang bersamaan. Diksar miliknya mengambil rute Cemoro Sewu, berbeda dengan Kampus Jogja.

“Insya Allah, disini aman Bi.” Sanggahnya. Dalam hati kurang dari dua hari lagi, DiksarMapalanya akan selesai.

“Pokoknya kamu harus pulang!” Abinya mengatakan dengan tegas dan penuh penekanan. Nasitha memang bebal. Selama lebih dari dua Minggu sebelum dilaksanakan Diksar, Abi dan Uminya sudah mengingatkan untuk segera pulang. Seolah-olah, Abi-Uminya tahu betul jadwal libur kampus melebihi Wakil Dekan I Bidang Kurikulum.

“Iya Bi, setelah ini aku pulang.”

Telepon ditutup. Ia tersenyum kecut. Hari ini dia sudah bisa menghindar. Tidak tahu kalau besok. Ia berdoa, agar keberadaannya di Gunung Lawu ini yang besok pagi akan dimulai pendakian tidak benar-benar mendapatkan sinyal. Ia terlalu berdosa untuk mengatakan alasan yang tidak masuk akal.

***

Selesai Diksar, Abi-Uminya semakin gencar merecokinya untuk segera pulang. Biasanya ia hanya mendapatkan telepon sehari sekali, kali ini bisa dua hingga tiga kali. Mengganggu. Apalagi saat seperti ini adalah sibuk-sibuknya dia berjibaku dengan evaluasi Diksar kemarin. Ia terserang flu parah. Uminya bisa menduga dengan tepat saat suara anaknya berubah menjadi bindeng. Khawatirnya minta ampun.

“Kapan pulang?” Tanya Uminya di sambungan telepon ketika selesai ia melaksanakan sholatMaghrib. Ia berjalan menuju Sekretariat Mapala Fakultas miliknya. Sudah tiga malam ini, dia tidur di sekre. Jika suatu waktu seniornya meminta penjelasan tentang jalannya Diksar yang baru saja dilaksanakan Minggu kemarin.

“Bentar, Mi. Masih belum selesai urusannya.” Katanya berkata jujur. Memang ia masih belum menyelesaikan beberapa hal lain tentang evaluasi kegiatannya.

“Suaramu udah aneh gitu. Ini Umi udah jalan mau ke stasiun.” Tambah Abi. Satu sambungan telepon dipakai oleh kedua orangtuanya.

Nasitha sudah gelagapan. Bingung harus membalas dengan jawaban seperti apa lagi. Semua stok kebohongan yang dimilikinya sudah habis.

“OJO BIII...” sergahnya cepat saat menyatakan kalau mereka sudah bersiap siap menuju ke stasiun.

Mati!

Aku wis apik iki.” Tambahnya. Selama tiga hari kemarin memang dia terserang flu parah yang menyebabkan suaranya menjadi aneh. Apalagi orang yang mendeteksi penyakitnya adalah Uminya sendiri.

Kemudian Nasitha bercerita bahwa teman satu jurusannya yang merawat dia selama sakit. Kalau cerita yang ini, ia tidak berbohong. Selain alasan temannya, Roro menginap di Sekre adalah ia berselisih paham dengan ibu angkatnya yang menyebabkan sekreNasitha-lah yang menjadi tempatnya berlari. Selain di rumah, maksudnya.

Romdon membersihkan sleeping bag yang akan dia kembalikan ke Mapala Garba. Suara telepon Nasitha yang berada di dalam sekre terdengar jelas. Mengingat ini sudah malam dan tak banyak manusia penghuni Gedung Sekre ini di malam hari.

Telepon tutup. Dengan keputusan ia akan pulang tak lebih dari seminggu lagi. Umi dan Abinya akan mengancam akan ke Solo memastikan keadaan anak semata wayang mereka baik-baik saja.

“Na, tadi Abimu yang telepon?” tanya Romdon. Ia meletakkan dua sleepingbagyang dibersihkan menggunakan kain itu ke dalam sekre. Nanti, selepas sholat isya dia dan Nasitha berencana untuk mengembalikannya.

Tidak perlu ada jawaban, hanya anggukan malas Nasitha yang menjadi jawaban pertanyaan Romdon. Ia tengah sibuk membalas chat yang masuk saat waktunya disabotase oleh telepon masuk dari orang tuanya.

“Emang kalau bicara sama Orangtuamu kamu sekasar itu?” tanya Romdon. Ia malas menyahut. Kepalanya sudah pening dalam artian yang sebenarnya. Hidungnya tersumbat karena flu. Ia tidak memerlukan banyak kata untuk membalas pertanyaan remahan dari Romdon.

Jeda sepuluh detik. Romdon sibuk dengan melipat dua sleeping bag. 

“Jangan suka seperti itu Na. Kamu masih beruntung masih punya Bapak. Daripada punya Bapak yang nyawanya mengambang. Mati gak, hidup juga enggak.”

Jlep! 

Itu sudah menegaskan kabar burung yang hanya didengardari juniornya. BapakRomdon dilarikan ke rumah sakit. Karena sering muntah darah. Apakah semengerikan itu keadaan ayahnya Romdon. Tiba-tiba ia merasa bersalah untuk kesekian kalinya. Romdon masih di sini bersamanya. Ia harusnya berada di sisi ayahnya saat ini.

“Ayo ke Garba!” ajak Romdon. Ia sudah membawa sleeping bag ke dalam tas plastik besar. Nasitha patuh. Ia merapikan tas slempangnya. Memasukkan hp-nya ke dalam. Lalu mengikuti Romdon yang sudah berjalan ke arah parkiran belakang gedung 3.

**

Hp Nasitha sejak pagi sudah penuh chat Toni, sahabatnya Romdon. Chatitu hanya sapaan biasa. Tetapi berulang hingga lima kali.

 “Na”

Ponselnya keburu habis baterainya. Chat Toni tak berbalas.

Sorenya, saat ia mengecek hp miliknya. Toni bertanya dengan pertanyaan yang mengejutkan.
“Apa Bapaknya Romdon meninggal?”

Ia terpaku melihat layar ponselnya. Ia gemetar dalam diam. Lalu dilihatnya Romdon yang membersihkan beberapa alat yang harus dikembalikan ke Mapala Kampus lain.

Romdon sedang bercanda dengan juniornya. Tetapi senyumnya menghilang sesaat. Ketika ia toleh keberadaan Romdon yang sudah berbincang dengan orang lain. Lalu, lenyap. Romdon dibawa oleh orang lain yang tak ia kenal. Bukan anggota anak pecinta Alam. Satu juniornya yang bersama Romdon tadi berjalan kearahnya. Tadi saudara Romdon dari desa. Mengatakan sesuatu yang membenarkan isi chat Toni.

Bapaknya Romdon meninggal.

***

Lima kali evaluasi lima malam yang harus dihabiskan Nasitha untuk tidak tidur. Sakit demamnya memang menjadi. Tetapi perasaanya mulai lega. Janji untuk pulang ke Tulungagung semakin terealisasi.

Saat ia melayat, ia bingung. Mengajaknya bicara mengatakan permohonan maafnya atau hanya melihat wajah melas Romdon. Romdon anak pertama dan dalam jangka waktu tak sampai putaran purnama, dia harus menjadi tulang punggung keluarga. Sedih rasanya melihat Romdon begitu terpukul. Nasitha memutuskan untuk diam.

Romdon duduk di tengah ruangan. Ia kembali saat jasad Bapaknya sudah dikebumikan. Ia melihat Nasitha bersama dengan rombongan teman Mapala. Lalu ia berdiri menghampiri Nasitha yang melihat kaku ke arahnya.

Berujar ringan. “Pulang, Na.”

Disinilah ia berada. Di pinggir jalan, menunggu bus lintas provinsi yang biasa melewati depan kampusnya.

Ia melambaikan tangan, menghadang dengan satu tangannya saat Bus bertuliskan MIRA berjalan dari jauh ke arahnya. Tas travelbag dijinjing oleh kondektur bus. Cukup membantunya. Ia melangkah masuk ke dalam bus. Berjubelan denganorang-orang yang memiliki jutaan alasan dalam kepergiannya. Yang jelas, tujuannya hanya satu, pulang.

**

Paranggupito, Sabtu 4-2-17 pukul 11.40

:::

Cerita di balik ini adalah suatu malam Nasitha menelpon aku kalau ayahnya Romdon meninggal. Kejadiannya di awal tahun 2017 tepat ketika aku sedang KKN di Paranggupito.  Dan tepat hari ini (16 November 2017) orang yang pertama kali aku lihat di kampus, selain Listusista adalah Romdon. Seharian menghabiskan waktu berdua. Kemudian, sedetik sebelumnya, Nasitha dengan alaynya mengirim lirik lagu Kesempurnaan Cinta. 

Butuh waktu lama untuk mengposting cerita ini. 

Romdon, adalah seseorang yang tegar. Waktu yang membuatnya menjadi seperti ini. Dan untuk kalian, jangan lupa untuk pulang. Itu pesanku.


----  N  a  b  i  l  a    C  h  a  f  a  -----
16 November 2017, sehari selepas pulang dari Pare 
di wifian dengan ditemani dua lelaki yang tidak aku kenal, depan gedung 3 FIB
17:34 pm

You Might Also Like

0 Comments