Pages

  • Home
  • Tumblr
  • linked
facebook linkedin twitter youtube

Rumah Dialektika

    • About Me
    • Renjana
    • Cerita Pendek
    • Opini

    2020 sebentar lagi berakhir. Sedikit aku ingin merefleksikan apa yang sedang terjadi di tahun penuh ujian ini. 

    First thing first, kita masih bersyukur melewati cobaan di tahun pandemi ini dengan sedikit tersenyum. Kecut memang, tak apa. Terpenting adalah kita masih baik-baik saja. Masih bernapas dan menghelanya dengan sempurna. 

    Januari, 2020.

    Kilas balik yang terjadi di awal tahun adalah pertemanan. Selesai bekerja di perusahaan penerbitan, aku rehat selama 2 bulan. Aku banyak menghabiskan untuk bercengkrama dengan beberapa teman. Memotivasi salah seorang teman yang masih berjuang di skripsian. Kemudian merencanakan perjalanan. Ya, aku, imaf dan yayak sempat merencanakan perjalanan singkat di Jogja, ke rumah Yayak, niatnya.

    Februari, 2020.

    Awal. Tepat tanggal 3 Februari akhirnya terealisasi juga liburan mini kita. Akhirnya ke penginapan jadinya bukan di rumah yayak yang sedang membangun. Jadi gitu. Kita mempunyai ruang dan waktu yang istimewa. Alhamdulillah. Mengingat 2020, maka aku akan mengingat bulan Januari - Februari sebagai bulan dimana aku banyak menjejaring pertemanan sehatku.

    Dan, bulan ini pula aku masuk ke perusahaan baru. Selamat tinggal yang lama. Alhamdulillah, Allah kabulkan sesuai permintaanku. Aku menginginkan perusahaan yang menerima karakter seterbuka aku. Eh jebul, dikasihnya benar-benar yang terbuka. Perusahaan yang kinerjanya benar-benar diukur pakai angka, haha, karena dilihat dari traffic. 

    Jadi begitulah.

    Maret, 2020.

    Awal Maret sudah diumumkan bahwa ada 2 pasian Covid-19 pertama di Depok. Kemudian di tanggal 15 Maret Solo sudah ditemukan pasien lanjutnya. Selanjutnya, kami Kejadian Luar Biasa Covid-19. Meliburkan sekolah, dan perkantoran pun terpaksa WFH.

    Untung aku masih belum wfh. Masih suka ngantor. Suka ngdrama bareng teman-teman kantor. Ujan juga lagi datang deras-derasnya. Alhamdulillah. 

    April, 2020 - Desember 2020

    Yeay, kerja di rumah dan apa yang kamu harapkan, hah?

    Jeda waktu yang sangat lama ini aku banyak-banyam instropeksi diri. Banyak orang yang harus di PHK gara-gara pandemi. Kemudian, aku sadar pentingnya uang dana darurat. Saat ini pun masih aku kumpulkan. Alhamdulillah udah di angka 11 jutaan. Kemudian, aku belajar soal reksadana saham. Baru nyoba main di saham, baru 3 bulan terakhir. Alhamdulillah, nggak banyak return-nya tapi menjanjikan. 

    Banyak drama yang aku tonton, banyak pula aku bosan di rumah. Banyak buku yang baca, banyak pula aku ngalamunnya.

    Bersyukurnya, kita masih baik-baik saja. Dan semoga saja seterusnya seperti itu.

    Bapak - Ibu alhamdulillah sehat. Meski ibu tumbang di awal November. Bapak tumbang di awal desember, tapi kita baik-baik saja. Kita melewatinya dengan syukur alhamdulillah. Benar deh, bener-bener alhamdulillah terus. Ucap syukur terus.

    Kini,

    Sekarang aku sudah berbesar hati. 2020 ajang aku melupakan masa laluku. Hal-hal yang aku nggak suka, semacam organisasi berbelit macam perusahaan lamaku. Dijauhkan dari orang-orang munafik. Baik di depan, nggak tau dibelakang. Alhamdulillah, punya circle pertemanan terbaik. Punya orang tua yang suopportive. Punya keuangan sehat. Punya adik-adik lucu menggemaskan yang sering aku mintain tolong.

    Alhamdulillah, bener-bener alhamdulillah. 

    2021 di depan mata. Tentu aku mengharapkan akan datangnya jodoh eh coret untuk waktu dan ketentuan yang berlaku. Hehe. Semoga aja. Tapi entahlah, masih suka stag. Benar-benar menginginkan kehidupan seperti ini terus, jujur. Waduh, aku merasa nggak berkembang gitu, dan berada di tempurung.

    Apakah kamu sudah siap di tahun 2021? Tentu. Bismillah yok, bismillah.

    Untuk 2021 yang semakin kaya raya, sehat jaya, makmur, bermanfaat dan kamu datang ke sini aja. Iya kamu, aminkan dong. Hahaha.

    (*)

    Minggu 27 Desember 2020
    17:43

    Kilas Balik 2020


    Continue Reading

    Terkadang setiap apa yang kita temui di depan mata, tidak selamanya itu hal baik. Kadang kita tidak siap. Menelan mentah-mentah omong kosong orang. 

    Membuang muka saat di sapa. Bersikap manis tapi sebenarnya ada maunya. Atau berpura-pura ramah dan melakukan yang tidak masuk akal. 

    Kamu ingin dikategorikan yang mana?Aku ingin mengisahkan seseorang yang tidak percaya diri. Dia selalu bersembunyi pada waktu. 

    Berharap waktu menelannya bulat-bulat. Dia tidak suka kegaduhan yang diciptakan semesta. 

    Dia lebih suka bersembunyi dan menciptakan suasanannya sendiri. Seperti jalanan kampung pada pukul 9 malam yang senyap tiada orang. 

    Bahkan, dia bisa saja berteman dengan hantu di kamar mandi.

    Suatu ketika dia menghadapi realita hidup yang membingungkan. 

    Hidupnya bak seperti bola pingpong. Digiring kesana kemari tanpa arah, hanya terpelanting lewat arus. Aku hanya tak ingin kau seperti dia. Alasannya sederhana. 

    Dia pembawa sial. Jadi, dia menyuruh semua orang menjauhinya. Tanpa pikir panjang sebenarnya banyak orang yang tidak menyukai untuk dekat orang seperti dia. 

    Perkembangan teknologi dengan akses tak terbatas menguntungkan dirinya. 

    Meskipun dunia penuh hingar bingar, mereka toh tidak pernah terhubung untuk berbicara. Dunia serba teks. 

    Untaian kalimat singkat saja lebih manis daripada membawakannya dengan petikan gitar. Ia tenggelam dalam kebosanan.

    Dia hanya mampu berbicara pada bonekanya. Dia pula yang tidak ingin memaksakan semesta untuk mendengarnya, dia hanya butuh berbicara.  

    Dan berharap menemukan seseorang untuk bisa diajaknya bicara.

    *) mini cerita

    *

    17:28
    lockdown hari ke bla-bla-bla
    hampir 10 bulan kerja di rumah aja
    20/12/2020




    Sudut Pandang Pertemuan

    Continue Reading
    Suasana siang ini hanya diisi dengan cerita temanku. Oke, untuk hal yang penuh dana, temanku ini menceritakan hal indah yang dialaminya.

    Begini cerita singkatnya. 

    Memandang garis pantai terhampar di hadapannya. Dia tak sendirian. Ada sosok laki-laki yang berada di dekatnya. Tangan gadis dan laki-laki yang duduk bersebelahan itu saling tertaut.

    Tentu saja, laki-laki ini membisikkan kalimat rayuan yang memabukkan. 

    Oh Darling,
    Dont be afraid to let me in
    We'll stick together now
    Doesnt where we've been
    Oh honey
    Hold me close and Hold me tight

    Berdendang lagu Oh honey, Luke James Shaffer. Saling memandang langit biru. Melihat bocah bocah saling berkejaran di bibir pantai. Suasananya cukup membuat tenang hari ini. 

    Namun suatu ketika, ketika menghadapi masalah pelik. Entah kesibukan yang menerjang atau perubahan suasana hati yang berubah sewaktu waktu. Sepasang ini hanya perlu bicara dengan keterterdiaman. Cukup alunan musik yang menjelaskan segala hal. 

    Memang semua masalah tak akan mampu terselesaikan dengan baik dengan cara ini. Tapi segala sesuatunya butuh jeda. Agar suasana menjadi baik. 

    Sutu ketika, mereka tidak akan pernah menemukan birunya langit, atau lengangnya laut di kedalaman, seperti saat mereka bersama seperti ini. Mereka hanya perlu denyut napas. 

    Debat jantung masih ada. Hanya itu yg bisa dipastikan. Tidak semuanya berjalan baik baik saja sesuai kemauan kita. 

    Ah, aku bicara apa. Jika menciptakan ketidakmungkinan itu terbuka lebar. Maka pasangan itu hanya mempercayai secuil kemungkinan. 

    Saling menggenggam mimpi masing masing. Dengan tangan saling bertautan. Kembali memuat replay musik kesukaan mereka. 

    Kali ini Hollow Coves mengalun, Evermore. 

    (*) 

    18.48
    13.12.2020 
    Habis selesai nyelesein novel 260 hlm dalam waktu singkat

    Continue Reading
    Tepat 3 Desember kemarin aku bertambah usia. Alhamdulillah, Allah titipan anugerah terindah sampai di titik ini masih bisa menarik napas dengan baik. Melihat adikku yang berjibaku mencari giveaway. Bapak yang masih bekerja. Ibuk yang baru saja naik pangkat. Alhamdulillah, Allah Maha Baik sekali. 

    Tidak ada yang spesial. Hanya saja doaku begitu eksplisit dan konkret. Berkaca sama apa yang dihadapi Yayak yang pas 2019 menginginkan 2020 lebih slow, eh diijabah beneran. Bener bener slow. Maka aku harus membuat doanya begitu konkret. 

    2021 aku pandang sebagai ladang rejeki. Sehampar lapangan Kwarasan yang menyatakan bahwa aku harus bekerja keras lagi. Tidak mudah. Tidaklah mudah. 

    Optimisku berkelindan membawa semua tubrukan. Banyak hal yang tumpang tindih yang harus aku urai satu per satu. Tapi yang jelas, 1) Aku ingin kaya. Itu jelas, amin ya Allah. Mumpung hujan, zona terbaik doa dikabulkan. 2) Bapak Ibuk Adek dan Aku sehat selalu. Bismillah ya Allah. Tahun 2021 sudah ada vaksin covid-19. Sudah ada harapan akan berakhirnya pandemi. 3) Kebebasan pada perkara jodoh selesai. Nah ini konflik terpendam dan begitu mengagitasi pikiran.

    Maka kusimpulkan kita menyongsong harapan indah yang akan terukur sempurna karena Kehendak-Nya.

    Untuk 2021 yang lebih kaya raya, bermanfaat, sehat dan berwibawa. 

    (*) 

    6 Desember 2020
    20.17
    Adek memburu harapan
    Dan mendapatkan kado bagus dari uungs ♥️


    Continue Reading

    Kuah soto ada yang bening, seperti sup. Bukan, lebih cocok orang menamainya timlo. Ada bihun di atasnya, bertabur potongan wortel, dan irisan kentang goreng. Cocok menemani pagi kita yang terkena hujan.

    Hei, dalam keheningan aku menyeruput soto hangat ini, tiba tiba aku kepikiran kamu. Tepat ketika arah pandang mataku tertuju pada tempat sambal berada. Yang aku ingat dari kamu adalah selera makan yang tidak menyukai hal yang pedas. Padahal pedas adalah nikmat loh. Surga di dunia ini ada banyak. Salah satunya adalah pedasnya cabai. 

    Satu suapan soto yang gurih ini aku tiba-tiba teringat dengan semangkuk bakso yang kaya akan gurih msg. Micin adalah sumber kekuatan untuk menghadapi hari. Yah, setidaknya setiap hari selalu berarti hal yang payah. 

    Kemudian aku kecap gurihnya sesendok nasi dan kuah soto selanjutnya. 

    Mendadak aku teringat pada pohon rambutan di depan rumah kos itu. Teringat kamu yang tidak punya kerjaan selain mengambil rambutan itu untukku. Jujur, ada banyak orang yang mampir ke kos kamu waktu itu. Tidak hanya aku. Tapi jika kamu memetikkannya untukku, bisakah aku punya rasa kepercayaan diri berharap sedikit pada rasamu?

    Soto yang terhidang di depanku lambat laun berubah menjadi pedas. Perpaduan antara rasa sambal dan panasnya kuah soto. Ah, tiba-tiba aku berpikir soal rasa sakit hatiku. Iya. Bukan sesuatu hal yang baru jika kamu dan deretan penggemarmu adalah sekelompok orang yang paling aku benci keberadaannya. Mereka hanya membuatku semakin panas.

    Duhai hati, kenapa bisa sesakit ini? Argh

    Kuseruput teh panas untuk meredakan porak-poranda pikiranku ketika berpikir tentangmu.

    Ketika ada tempe mendoan panas terhidang di atas meja makan. Warung ini kupikir-pikir terlalu pagi membuka jualannya. Di warung tak kudapati pelanggan lain selain aku. Beberapa menit yang lalu ada dua bapak-bapak tua yang mengambil meja paling depan. Tapi sudah tak ada lagi. Aku terlalu lama larut dalam menikmati soto pagi dan pikiran berlebihan ini.

    Kupandangi bakwan di meja makan bersama dengan tempe mendoan. Aku tetiba teringat soal obrolan denganmu mengenai program sosial. Kamu terlalu bersemangat menceritakan padaku kala itu. Pun, padatnya aktivitasmu tak membuat kamu lupa untuk meluangkan waktu untuk anak-anakmu. 

    Kamu sudah terlalu tua jika menghabiskan waktu sendirian saja. Sebetulnya aku ingin menawarkan diri jadi pendampingmu. Ah, cukup di mimpi aja dulu. Terlalu nafsu jika berharap jadi nyata. Pun, sejelasnya memang susah untuk jadi nyata. 

    Sudah sendok keberapa ini, mangkuk sotoku sudah tinggal setengah. Kupandangi ibu yang sudah berusia tetapi masih mengais rejeki dengan berjualan gorengan ini. Gorengan buatannya bahkan sudah nyemplung di mangkuk sotoku. Sudah sepuh tapi masih giat bekerja. Aku iri. Aku bekerja dari rumah saja, gaji UMR, plus banyak hari liburnya aja masih mengeluh. Soal ina-itu dan lain sebagainya. 

    Dari pintu depan warung soto ini, kulihat langit biru diarak oleh awan-awan. Hari ini cerah setelah semalaman hujan. Meninggalkan banyak embun kesejukan. Harusnya pagi ini teduh sendu tapi soto dan pikiran berlebihanku membuat semuanya menjadi sama saja. 

    Awan yang berjarak itu, apakah dia akan terbang mendatangimu di kota besar itu. Ataukah membawa ke pantai tempat kamu sering menghabiskan waktu untuk berlibur. Jika mampu, bisa tidak membawa pesanku. Argh, tapi aku yakin tak bisa tersampaikan. 

    Sendok terakhir sotoku sudah di depan mata. Teh panas masih mengepul panas. Meniup uap yang berarak meninggalkan tempat. Selesai sudah satu mangkuk soto genap beserta gorengannya. Apakah di lambung mereka akan tercerna dengan baik? Ah sudahlah, percaya saja sama sistem pencernaan dimana cara Tuhan untuk melunakkan soto dan gorengan itu menjadi energi berlebih.

    Lebihan energinya bisa kumanfaatkan untuk berpikir seperti saat ini aku memikirkanmu. Kuseruput teh panas yang berubah hangat. Sekali sesap. Menenggalamkan bau soto di Liang mulut. 

    "Abang ganteng yang di sana, masihkah kosong hatimu?"

    Ingin ku tanyakan pertanyaan super centil. Biar kamu mendadak ill feel. Aku kadang tidak mengerti dengan kamu yang begitu tidak menyukai perempuan genit kayak aku. 

    Sudah ah. Tinggal bayar. Bu Patmi yang jualan soto dan gorengan sudah menagih 8000-ku.

    (*)

    Minggu, 29 November 2020
    17:17

    Continue Reading

    Aku mau bikin opini soal 'How Democracies Die', buku yang lagi hype buat hari ini. Karangan pakar politik dari Universitas Harvard Amerika, Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt, pada 2018. Tapi kok belum sanggup buat ngomong, takut salah, takut ilmunya gak nyampe dan lain-lain.

    Tapi kesel juga sama keadaan saat ini. Mau ngomongin karangan dua pakar politik dari Harvard aja mungkin kondisinya lagi related banget sama manajemen konflik yang dipertontonkan pemerintah akhir-akhir ini. Bikin muak. Semuanya saling tuding, saling nyalahkan, pendekatan 'baik-baik' yang jadi nilai khas adat Timur seolah hilang, semuanya pakai otot ajaa mikirnya, heuh.

    Ah daripada itu, aku mending berbagi opini soal kenapa isu atau topik tertentu bisa hype banget. Dan bagaimana peran media massa. 

    Kenapa aku bikin, karena aku merasa resah aja, kenapa sih setiap berita FPI selalu naik aja. Selalu yang buruknya yang naik. Citranya seperti jelek mandraguna. Padahal sebagai 'orang yang beragama' mereka harusnya lebih santun dan lain sebagainya.

    Jadi, jawabnya adalah : kita berbicara mengenai algoritma. Ya, apalagi di dalam membuat konten digital yang semuanya ada teknik SEO-nya. Bagaimana konten atau artikel itu bisa mendapat posisi teratas di dalam search engine. Yah, lagi-lagi kita berbicara mengenai mayoritas.

    Framing yang dibawa media massa soal isu tertentu bisa bakal naik dan diterima pembaca luas serta menduduki posisi tertinggi di search engine, dibuktikan dengan traffic beritanya naik, semakin membuat pembuat konten akan memproduksi hal yang sama lewat angle yang berbeda.

    Dan lagi-lagi, hal ini dimenangkan oleh FPI.

    Ambil contoh hal yang lagi naik-naiknya adalah gontok-gontokkan antara Pemerintah dan FPI saat ini. Apapun yang lagi dilakukan FPI bakal naik. Kita bicara apapun! Padahal kalau mau apple to apple, --hm, mau sebut ormasnya gak ya, galau akutuh-- sekarang FPI jadi sorotan karena mereka bikin kerumunan. Semenjak pulangnya pemimpin tertinggi mereka sampai maraton acara-acara yang menyedot kerumunan. Sebenarnya, di waktu yang sama pula, ada juga kok organisasi islam besar di negeri ini yang membuat acara yang menyedot kerumunan tapi gak ada nilai beritanya. Padahal jelas-jelas dua-dua organisasi massa ini membuat kerumunan loh. Yang satu media darling, dan yang satunya tidak mendapat sorotan publik.

    Soalnya keterikatan 'benci'-nya publik pada FPI sudah mendarah daging bung, jadi kalau udah bawa perasaan ya susah. Inilah yang membuat radar pemberitaan soal FPI tinggi. Padahal kan ada tuh organisasi islam yang udah terkenal dan punya massa bisa ngalahin FPI tapi nggak ada nilai beritanya.

    Mau apple to apple sama kasus kerumunannya Gibran saat mendaftarkan Wali Kota Solo yang juga bikin kerumunan, kenapa diperbolehkan. Yah karena kalau kata Mabes Polri, beda hukumnya antara manusia sipil macam Rizieq sama Gibran. Kan tujuannya beda. Satu bikin pengajian Maulid yang satu kontestasi politik daerah yang mana ada Undang-undang soal Pilkada-nya. Ah, kalau komentarku sebagai orang bodoh ini : lha wong tujuannya sama-sama bikin kerumunan yaa sama aja dong. Gitu kalau orang bodoh kayak aku komentar.

    Engagement atau keterikatan publik soal isu-isu tertentu bisa dicap selamanya jelek. Wong sudah mendarah daging. Sebut aja, soal kenapa bikin berita soal Korea Utara selalu naik. Padahal kita aja tidak pernah tahu apa yang sebenarnya terjadi sama Kim Jong Un. Apa bener Kim begitu beringas? Nggak punya hati buat bunuh siapa saja lawannya?

    Ini (analisa) pengamatanku, kebanyakan media massa dari Indonesia lebih banyak mengutip sumber dari reuters. Kita nerjemahin beritanya dan di up lagi. Orang akan tertarik dengan Korut karena engagement dengan publik kita seolah kembali menegaskan citra yang sudah dibangun soal Korut. Negara tertutup, dipimpin presiden yang kejam, beringas, tidak mempunyai nilai kemanusiaan, rakyatnya menderita, bla-bla-bla. Padahal kita tidak tahu persis, bagaimana reuters mendapat berita dari mana. Dan bagaimana penilaian jujur rakyatnya sendiri soal pemerintahan mereka. (Aku berkeyakinan, apapun sistem negaranya, yang namanya kekuasaan ya seperti itulah. Hampir seluruh negara, nggak ada yang lagi baik-baik saja sama negaranya). Jadi, peluang untuk membuat 'menguntungkan kepentingan tertentu' bisa saa terbuka lebar kan?

    Sama juga, kayak pas pilpres AS kemarin, aku pantengin dari mulai kanal berita Fox news, MSNBC, guardian, apapun. Ada kok yang terang-terangan berafiliasi dukung salah satu calon tertentu. Kalau contohnya Amerika terlalu jauh, tengok apa yang terjadi di tahun 2014. Bagaimana stasiun tv Indonesia terbelah kubu antara tvone dan metro. 

    Lagi-lagi semua ada kepentingannya. Aku cuma mau ngajak sih, agar kita semua dijauhkan dari hal-hal yang mengedepankan perasaan belaka. Udahlah apa itu cebong kampret. Kalau salah, dibenerin dah. Aku gak paham sih, berasa kalau pemerintah kita lebih ke 'membiarkan' pertikaian antarsaudara ini terus terjadi. Sering jatuh menjatuhkan dan menjelekkan saudara sendiri. Ei, itu Space baru aja ngluncurin roket kemarin banget. Masak iya, iklim demokrasi negeri kita masih dipertontonkan ke hal-hal receh dan baper kayak gini.

    Mau sampai kapan?

    Kalau kita bisa menyaring lebih jernih, yok. Berpikir dua kali. Atau kroscek pemberitaan yang berimbang, biar akal terus sehat. Biar nggak main kubu-kubu-an.

    (Ah, tapi susah sih ya?)

    (*)

    Minggu 22/11/2020
    21:11
    Baca The Black Swan sampai hlm 41





    Continue Reading
    Hari ini kamu pergi dengan membawa rasa penasaran yang seolah mengakar di otakku. Kamu membawa baju serampangan dan yang melekat hanyalah kemeja yang kamu pakai untuk bekerja hari ini. Aku bingung, ingin ku sapa dengan tanya tapi harus tertelan lidah sendiri. Takut jika tanda tanyaku berubah menjadi kemurkaan.

    Motor yang kau kendarai melaju melesat jauh berburu pada waktu. Aku tak tahu, apa yang ada dipikiranmu. Kenapa kau lakukan hal itu. Bahkan hanya sesenggukan tangis yang sering tertelan mentah-mentah itu membuat hatimu sakit. Sesakit itukah?

    Cahaya panas membakar punggung kecilmu. Berbalut jaket tak layak jika mengendarai motor luar kota. Senekat itu tindakanmu. Caramu memainkan kemudi membuat orang yang melihatmu seolah takut. Berpapasan dengan mobil sampai menyalip truk truk besar, deret itulah yang menjadi  prestasi terbaikmu hari ini.

    Kemudian, tibalah kamu di pantai yang berpasir putih. Seolah deburan ombak tengah menyambutmu. Memainkan orkestra yang seolah dimainkan Leos Janacek, String Quartet No. 1 'Kreutzer Sonata'.

    Dilepaskannya sepatu yang mengikat kakimu. Sudah tentu butuh kerileksan. Kaki telanjang itu seolah membutuhkan noda kotor dari keparatnya dunia ini. Kemudian duduk, pandanganmu kabur melihat pecahan ombak. 

    Sepi, nyeri dan sakit hati hari ini kau lampiaskan begitu tuntas. Sembari berbisik pada angin yang akan dibawa Semesta menghilang, 'Kenapa aku seperti ini?'

    **

    Minggu, 15 November 2020
    14:52
    Mendengarkan String Quartet No. 1 'Kreutzer Sonata' by Leos Janacek



    Continue Reading

    Sore sudah membeku. Tidak seperti biasanya.

    Sehari-hari awan di sore hadir dengan membawa peluh dari asa perjuangan hari ini. Menitik deras dan meninggalkan bekas. 

    Seperti biasa, yang tersisa hari ini adalah dingin dari ketidakhadiran yang tidak pantas datang. Harusnya. Tapi bumi berjalan seperti biasa. Meghadirkan pagi dan temaram bersama petang. Rotasi yang tidak pernah putus. 

    Kehadiran seseorang sudah tentu mengisi kekosongan, seperti yang dirasakan Cahaya. Ia tidak sadar bahwa sore sudah membawanya tersadar. Bahwa penat hari-hari yang dijalaninya mungkin tidak seberapa. Tidak pantaskah manusia berkeluh kesah di saat rahmat Sang Semesta selalu hadir, bukan?

    Seperti yang aku bilang, sore itu biasa.

    Seperti yang seharusnya. Memesan paha bakar ditemani cah kangkung sembari menunggu teman di warung makan lesehan belakang kampus. Berdiskusi banyak hal soal proyek-proyek sosial. Mengeluarkan buku kecil berisi catatan ringkas dan merangkumnya. Apapun hasil diskusi sore itu, dia selalu meninggalkan jejak. Setiap kalimatnya bernyawa. Seolah mengungkapkan perasaan yang sebenarnya sore itu juga.

    Tapi toh, seperti yang aku bilang. Sore selalu hadir tidak biasanya. Terkadang, dia melewati dengan penat dan malas luar biasa. Menghela dan mengembuskan napas berkali-kali. Tidak terima dengan alur hidup yang dia rasakan hari itu. Sore juga menghadirkan kekecewaan. 

    Suatu waktu, pada sore hari, Cahaya berdiri di panggir kali. Menatap ufuk senja. Ah, anak senja yang melankolis itu juga ada dalam dirinya. Sesekali dia hanya menyesap es teh plastik dan menggenggamnya sambil bergumam. Lagi-lagi soal kesendirian dan keputusasaan. Lebih banyak soal kekecewaan. Paling banyaknya soal beban hidup yang dia jalani.

    Ah, kapan coba dia merasa bahagia di sore hari. Sangking setiap sore dia harus menjalaninya dengan perasaan yang campur aduk. 

    Mendesah dan terpikir kembali. Akankah besok dirinya sanggup berhadapan dengan sore? Atau setidaknya seculas senyum miris yang patut dia banggakan. Bahwa dia sudah melewati hari hingga sore hari.

    (*)

    Minggu 8/11/2020
    sore hari, 17:11

    Senandung Sore Hari


    Continue Reading

    Alhamdulillah temanku akhirnya sudah mendapatkan pekerjaannya. Tepat di tanggal 13 Oktober lalu, dia memberi kabar. Bukan itu yang jadi pokok pembahasan kita kali ini, tapi sederet ciri yang aku titipkan doa untuk diucapkannya selama perjalanan Safar itu.

    Agregasi daftar itu seolah jadi repetisi yang akan aku ulang dan selalu agar temanku itu tahu. 

    "Yak, kalau kamu ketemu lelaki sholeh, 

    yang mau menerima perempuan alfa seperti kita, 

    yang kadang ambisius ngerjain segala hal tapi kadang salah total di waktu bersamaan, 

    yang kalau sedang jatuh bukan butuh tepukan tapi pelukan, 

    yang ketika sedang sedih membutuhkan waktu sendirian dan butuh kode 'ada apa?' tanpa membutuhkan jawaban yang sesungguhnya, 

    yang waktunya full untuk berimajinasi sosok laki-laki yang mau diduakan ketika perempuannya tengah kegandrungan Hyun Bin, Lee Min Ho, atau Kim So Hyun sekalipun, 

    yang genre musik hanya bisa milik Hollow Coves, Iron & Wine, Ed Patrick, Wild, Nova Scotia, dan penyanyi indie Amerika lainnya,

    yang tidak marah jika sebelum tidur malam mendengaran suara Jason Palmer membahas politik, bentrokan, bahkan hal berat sekalipun,

    yang menerima perempuan penuh perhitungan macam dengan membuat budgeting financial planning dengan rumus yang njelimet sekalipun,

    yang mau menerima perempuannya ketika dia tidak tahu menahu sedikitpun soal avangers dan marvels, 

    yang lebih menyukai tontonan film asia dan bisa terbahak-bahak menonton sinetron india,

    yang memilih untuk beli rumah dan hanya menyelenggarakan ijab kabul saja tanpa resepsi pesta,

    yang besok mau bulan madu pergi ke Vietnam, nengokin sungai Mekong yang bakal jadi medan pertempuran China Amerika (kalau jadi),

    yang membebaskan perempuannya untuk menikmati waktu luang dengan membaca buku novel fantasi macam Percy Jackson, Brandon Mull atau yang horor sekalipun,

    yang bisa diajak diskusi soal fenomena ledakan penduduk, paham feminisme, pergerakan, sejarah, dan politik negeri,

    yang menyukai Haruki Murakami dan Dan Brown sekaligus tanpa memilih salah satunya,

    yang kadang setiap weekend suka mengomentari hasil EPL dan ngedebus soal performa MU,

    yang membebaskan perempuannya bakal memilih pengajian dan ustaz seperti apa untuk siraman rohaninya, macam Gus Baha atau Cak Nun,

    bagi kamu laki-laki yang mencintai BMW dibanding Mercedes, 

    deret doa itu doaku untuk dipertemukan sosok seperti yang di atas.

    Aku tahu sebenarnya tidak bakal terkabul sekaligus dalam satu waktu dan dalam sosok yang sama.

    Tapi, nggak ada salahnya mencoba. Jadi mari banyak-banyak shalawat saja. Merawat kewarasan ini bertahan lebih lama lagi!

    **
    20:35

    25.10.2020

    Habis bikin budgeting

    Sederet Daftar Doa yang Nggak Bakal Terkabul Sekaligus dalam Satu Orang




    Continue Reading
    Sayang, tidakkah kamu bermimpi untuk menyusuri pantai dengan kaki telanjang. Menikmati riak yang menepi dari gulungan ombak.

    Ombak tak pernah berhenti bergelombang entah sampai kapanpun. Terimakasih kita pada angin yang selalu semilir yang membuat aliran air seolah sejalan.

    Seperti mesin waktu yang sejalan dengan kerutan dahi.

    Sayang, pernahkah kamu berpikir bahwa akulah masa depanmu kelak. Melepas tawamu ketika memasuki pertambahan usiamu. Menjadi satu untuk selamanya hingga tak ada lagi waktu.

    Sembari mengurus hal remeh yang selalu menjadi perdebatan, tidakkah kita hanya melihat persatuan.

    Wahai sayang, tahukah betapa berartinya angka di penghujung tahun selalu membuat degup jantung seolah berteriak.

    'Ku sudah tak semuda lagi', pikir kita sama.

    Tapi jika takdir tak mempersatukan, apalah jadinya kesatuan jika berbuah cerai berai.

    Sayang, pernahkah berpikir jauh seperti aku memikirkan hal itu seperti jemariku yang menuliskan ini padamu.

    Sayang, temui aku dalam doamu. Di sepertiga malam, kita berdialog di sana!

    *

    18:26

    Selesai kerja di hari minggu

    Nunggu grandfinalrrq

    Temui Aku dalam Doa



    Continue Reading
    Sempat ku bermimpi, aku berlari bersama teman. Lari dari tekanan waktu yang membuat kita lepas. Kemudian tertawa. Senda gurau karena kekonyolan yang kita lakukan. 

    Ada adegan dalam mimpi yang tak terlewat. Aku dan temanku menikmati pesta di pinggir kolam renang. Mungkinkah di mimpiku aku menyesap wine merah. Kemudian sahut menyahut bercerita tanpa lelah. Diikuti ledakan tawa yang membuat senyum merekah indah 

    Setelah bangun, aku langsung mengatakan, "hei kita kemarin party pool."

    Dia justru membalas dengan curahan hatinya yang sudah 7 bulan tidak pulang ke rumah gara-gara pandemi.

    Dilanjut dengan masalah kantornya yang masih melegitimasi lulusan terbaik negeri ini.

    Tapi dalam mimpiku, 'hei kita bahkan bersenang-senang.'

    Realita yang kita hadapi memang semrawut. Menelan pil pahit dari kenyataan yang tak seindah untuk dibayangkan.

    Dunia harmonis, aman, tenang dan damai seolah terenggut dari genggaman tangan.

    Akhirnya, mimpi indah aku bersama temanku justru berakhir dengan keluh kesah yang memuakkan. Mengulang kembali hal-hal tidak indah dalam kenyataan dan berakhir dengan tertawa getir.

    Tak lagi menyenangkan untuk dihadapi.

    **

    Mimpi kedua yang baru 2 hari lalu aku alami.

    Mungkin jawaban. Dari ketidakmungkinan meraih seseorang di kehidupan nyata. Berakhir dari teguran Tuhan yang (mungkin) mengatakan, 'hei, dia sudah ada yang punya. Jangan berkhayal-lah!'

    Dalam mimpi itu aku juga bermimpi sama. Sama-sama berlari dengan senang hati. Namun dihadapkan realita bahwa laki-laki yang membuatku tersenyum adalah milik wanita lain. 

    Yang begitu jahat bak seorang penyihir. Ingin rasanya diriku yang menjadi protagonis membuatnya sadar bahwa perempuan itu tidak baik baginya.

    Ah, aku lupa. Di akhir justru dia menggandeng wanita itu tepat di depan mataku.

    Lalu aku terbangun. Sadar bahwa maknanya begitu dalam.

    Tuhan ingin agar aku melupakan dia dan berfokus pada masa repetisi yang tidak anggun sama sekali menghadapi pandemi yang membuat semua orang bak terkurung dalam tempurung.

    **

    Sisi hatiku yang lain menyuruhku untuk, 'udahlah, kirim al-fatihah saja pada dia yang tidak tahu siapa'. Jadi mari kita membayangkan saja sosok yang belum dipertemukan Tuhan ini.

    Seuntai rasa terima kasih dan harapanku sudah cukup menjelaskan. 

    "Hei kamu, terima kasih telah memilihku di antara milyaran manusia di bumi ini. Aku bukan sosok ideal. Aku mungkin akan menilai hal yang sama pula tentangmu. Tapi, mari kita mendewasa bersama. Saling bergunjing yang mengasyikkan."

    "Jika kamu sosok kaku, maka tepat memilihku. Aku humoris orangnya. Pamormu memang sudah menggeser sahabat dekatku, tapi mari kita menjadi orang yang menyenangkan satu sama lain. Tertawa terguling-guling untuk sesuatu hal konyol. Serius seperti politisi ketika melakukan lobi politiknya. Dan, menua bersama debu sampai mati. nantinya."

    **

    10/10/2020

    16:06

    Hujan, sambil memikirkanmu

    Aku Bermimpi, Memikirkanmu



    Continue Reading
    Seorang editor sebuah penerbit aplikasi dalam whatsApp Story tengah mencemaskan sesuatu. Pada suatu ketika aku melihatnya. Ia tidak tahu harus bertenggang rasa dengan cara apa pada lingkaran pertemanannya. Ia bingung. Dalam unggahannya ia menceritakan, "banyak dari circle pertemananku yang harus di PHK di tengah pandemi."

    Kemudian dia menyemangatinya, bahwa apa yang sedang orang-orang ini perjuangkan pasti akan berbuah manis. Sebuah kalimat pencambuk untuk orang-orang itu. Bahwa keadaan memang sedang tak baik-baik saja. 

    Dalam slide selanjutnya, sang editor melanjutkan untuk orang-orang yang hari ini beruntung jalan hidupnya. "Untuk kalian yang hari ini masih bisa kerja dan makan : syukuri, nikmati, berbagi dan mawas diri"

    Sebuah alarm reminder yang pada saat itu untuk diriku sendiri. 

    Ketakutan kita juga langsung ditempeleng bahwa pada awal bulan Oktober ini, Indonesia sudah berada dalam jurang resesi. Bank dunia memprediksi goncangan ekonomi berkisar di angka 2 persen. 

    Membangkitkan kembali gairah ekonomi memang hal yang sulit. Ini menampar siapa saja. Aku pun juga. 

    Sementara itu yang aku lakukan di dua bulan terakhir ini sudah diliputi rasa malas, entah kenapa. Kemudian memikirkan peningkatan skill dalam diriku untuk belajar data science, mumpung masih muda-single-dan-belum menikah, so why not. 

    Segala hal keegoisan itu mendadak menampar logikaku. Oh oke, masih banyak orang yang tidak seberuntung kita. Apa yang harus kita kerjakan. Kalau ada ruang-ruang berbagi di sana. Ayo manfaatkan. Untuk apa, di momen ini banyak tangan yang harus teraih dan tergapai. 

    Adanya pandemi atau tidaknya, sebenarnya status sosial, ketidaksetaraan, dan konflik-konflik kelas memang selalu ada. 

    Menjaga ruang sesempit apapun yang bisa kita raih, kenapa nggak. Ekspektasi pandemi ini akan berakhir segera, sepertinya butuh waktu panjang. Tapi, percaya bahwa setelah ada kesulitan pasti ada kemudahan adalah secercah harapan yang harus kita jaga asanya.

    **

    03/10/2020
    selamat datang oktober yang membuatku tertantang untuk menulis sepanjang waktu, hahaha

    Menjaga Asa


    Continue Reading
    Kekasih, jika di tempatmu hujan sampai petir berteriak begitu perih, sempatkah berpikir tentang ku?
    Jika tumpukan pekerjaan di kota itu membuatmu muak, sempatkah suara jeritku kau dengar merdu?

    Bila kau saja lelah untuk mengembuskan napas yang berat itu, sempatkah kerutanmu itu meninggi? Ataukah terbawa dengan hasrat membaramu? 

    Ketika kamu menyadari bahwa dunia bergerak dengan begitu munafik, lantas kapan kau luangkan waktu. Pelan-pelanlah, Kasih.

    Sudah lama kau tidak mencukur rambutmu sampai begitu panjang karena matamu selalu berjibaku. 

    Kasih, sempatkanlah malam ini ukir senyum manjamu pada langit. Aku yang jauh dari satu cakrawala tempatmu berharap kau lakukan itu.

    Bukan untuk menenangkanku. Tidak menginginkan kamu melakukan pengorbanan itu di hadapanku. Lakukanlah dengan pelan agar hatimu tidak begitu penat mengurus bagaimana dunia ini bekerja. 

    Pelan, saja kasih. 

    (*)

    Jumat, 25 september 2020

    Terdengar Ben Platt - Vienna mengalun menemani senduku


    Continue Reading
    Mungkin sekitar satu atau bahkan dua bulan terakhir ini, aku berada di titik malas untuk menulis. Yah, menulis di blog ini. Kemudian malas melakukan apapun. Entah, aku terkadang berkaca pada perjalanan hidup. Bahwa suatu momen aku punya rasa kepercayaan diri yang besar untuk melakukan sesuatu. Di sisi lain, ada kalanya aku berasa tidak ingin melakukan apapun. 

    Plus, aku juga ada perjanjian diri pada diriku masa lalu yang membuat aku bisa bertahan untuk menulis. Pencapaian yang ingin aku lakukan juga sesederhana setiap minggu bisa menulis secara rutin. 

    Minggu ini atau bahkan belakangan terakhir ini menulis adalah sesuatu hal yang tidak aku harapkan untuk aku lakukan. Wkwk. 

    Tapi tidak masalah untuk selalu bertahan dan membuat kekonsistenan. Yaah, padahal yang sedang aku galaukan hanya itu. 

    Di sisi lain, aku merayakan mendapat subsidi gaji yang langsung aku belikan buku the black swan ini. Terlambat sih, karena buku ini keluar 2008 lalu. Tapi, tak ada yang terlambat buat baca buku kan ya. 

    Buku ini mengajari ku bahwa kita tidak mengetahui sepenuhnya rahasia yang terpendam di dunia. Kita terkadang merasa tau segalanya. Tapi bagaimana jadinya jika suatu peristiwa atau kejadian yang tiba-tiba datang dan tidak kita harapkan terjadi. 

    Pembuka buku ini sudah menarik minat. Dan mampu menggambarkan filsafat keseluruhan. Tentang keyakinan masyarakat luas bahwa angsa itu berwarna putih. Pendapat tersebut gugur, ketika penjelajah dari Eropa datang ke Australia dan menemukan angsa hitam. 

    Jadi begitulah. Aku tidak tahu apa yang tengah aku bagikan ini bermanfaat atau tidak. Mungkin salah satu faktor perenungan yang membuatku malas menulis. Mungkin? Dua bulan terakhir pikiran hanya stag di beberapa bacaan dan pikiran berlebihan soal banyak hal. 

    Yah, ku pikir kita harus hidup sehidup-hidupnya dengan kemampuan yang kita miliki. Memperjuangkan hidup, membuat realita yang menarik, dan berselonjoran sambil menghitung berapa daun yang berjatuhan di depan rumah kita. Hahaha. 

    Semoga hari-hari kita selalu menyenangkan ♥️

    19/09/2020
    Sabtu
    (*)


    Continue Reading
    Dulu aku percaya, masa ada yang menderita alergi. Tapi nyatanya aku juga mengalaminya.

    Sempat saat ikut pesantren kilat ketika SMP, aku pernah bersebelahan dengan teman. Namanya Agrit. Dia cerita kalau dia alergi es. Ah masak, tapi dia melalui alergi itu baik baik saja.

    Iyaa, hanya benjol benjol merah tapi gak gatal sama sekali.

    Tahun 2017 aku mengalami hal yang sama. Iyaa. Aku baru tahu kalau aku juga terkena alergi-alergi semacam yang diderita orang-orang.

    Pada saat sebulan menjalani kursus bahasa Inggris TOEFL di Pare, Kediri aku sempat dilanda sakit demam. Pada umumnya, aku sakit yaa minum obat paracetamol untuk meredakan sakit. Tapi kali ini beda.

    Aku meminumnya di sore hari. Sambil belajar latihan ngerjain soal di depan warung. Sudah makan dan berniat minum obat panadol yang sudah aku beli di minimarket. Saat minum, sebenarnya bukannya langsung cepat sembuh, aku harus merasakan gatal luar biasa dan tubuh bertambah hangat.

    Setelah kursus bahasa inggris selesai di bulan November, aku sempat sakit demam lagi di Januari 2018. Kali ini aku meminum obat di malam hari. Dengan niat agar cepat bisa tidur. Dalam kandungan paracetamol kan ada sedikit efek ngantuk kan ya, jadi aku pikir setelah minum obat aku segera tidur nyenyak.

    Harapan tinggal harapan, bukannya tidur nyenyak, aku justru merasa gatal luar biasa dari kepala sampai kaki. Ngeri, dan kulit berasa bengkak. Mungkin aku mengalaminya selama kurang lebih 5 jam.

    Langsunglah, dengan kekuatan hendpon jadul aku cari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Aku baru tahu bahwa aku mengalami alergi obat. 

    Alergi bisa dikatakan ketahanan tubuh yang tidak mau terima zat zat luar. Sebagai bentuk pertahanan diri sekaligus protes yang ditunjukkan tubuh kita.

    Dari pengalaman itulah aku tahu, tubuhku tidak mau terima obat semacam paracetamol. Bahkan hingga saat ini jika aku harus mengalami sakit demam, pelarianku hanya tolak angin atau menyibukkan dengan sugesti pikiran pikiran positif.

    Sejauh ini semangkok bakso udah cukup mampu meredakan sakit demamku. Dan entah, alergi terhadap obat paracetamol akan bertahan sampai kapan. 

    ***
    14:00 12/09/2020
    Bercerita mengenai alergi seperti tema minggu ini. 
    Hampir seminggu terima subsidi gaji pemerintah, asyik 🙃
    Mari kita investasi, mumpung harga saham sedang anjlok 5 persen 🤤



    Continue Reading

    Di setiap malam yang panjang, terhitung dari hilangnya mega kemerahan hingga terbitnya fajar, kedatangan dan perpisahan bahan perbincangan kita bukan? Kita yang selalu bertemu di tempat dan waktu yang sama. Semeja kursi dan segelas kopi yang serasa. Merindu jumpa ketika pagi dan senja mulai menua, sering kita bincagkan bersama dan selalu terulang. kegelisahan itu. Saat ia yang dapat melihat kita, hanya dapat mengharap dipertemukan, walau hanya sekelebat mata tak dapat memandangnya.

    Bagiku, fajar ialah penantian dan sore tak lain hanyalah sebuah pengharapan.  Menunggu, yang nantinya tak sanggup lebih lama dalam menunggu, menggerutu kepergian karna waktu yang hanya sebatas hujan, jatuh tanpa menyentuh akar, atau hanya mendung yang berbunga tanpa buah.

    Ya, berdua yakin itu tak akan terjadi. Hanya peranggapan-peranggaan yang menganggap kita itu, berbeda. Jika tahu kita sama,  kita memiliki perbedaan waktu, tempat dan cara berlabuh kita yang hanya sementara, lalu pulang. Tugas kita pun sedemikian, sudah tak lagi sama. Engkau adalah sebuah harapan bagi mereka, tempat berpikir dan merealisasikan aktivitas hidup yang hanya sementara dan akulah yang akan menjaga di setiap lelap mata terpejam, menciptakan mimpi dan imajinasi esok yang akan datang, dan melukis teka-teki bagi jiwa yang tiada sempurna.

    Di senja dan esok akan tiba, saat kita saling menanam harap untuk jumpa, dan di atas doa-doa. Kala itu juga kita akan berpisah.

    Kita dirindukan.

    ***

    18:41

    04/09/2020

    My Queen of Virgo's Birthday


    Menjamu Matahari Malam



    Continue Reading

    Sayang, ketika kamu terbangun dari mimpimu kamu akan menyadari. Langit tak pernah seindah kemarin-kemarin. Tapi aneh. Warnanya ungu pekat tetapi di ufuk barat berwarna jingga. Sesuatu yang menggantung di langit aku perkirakan akan jatuh ke tanah. Begitu menganggumkan lukisan Tuhan waktu itu. Ketika sore itu pula, aku menemukanmu bersandar di gapura. Membawa travel bag besar. Aku bertanya pada rasa penasaranku, gerangan kemana kamu akan pergi. Tanpa satu kata kalimat berpisah.

    Kamu pernah berkata bak seorang pujangga sastra bahwa sebelum kata hujan itu muncul, kesedihan mungkin hanya tentang langit yang berubah warna. Lewat jarak jauh yang memisahkan, aku tidak sedang baik-baik saja. Mencoba untuk tidak memikirkanmu. Pura-pura bahagia di tengah keramaian. Memasang wajah dengan senyum jika ada yang menyapa. Kemudian, perlahan mencoba untuk membuang bayang-bayangmu.

    Tetapi aku tidak bisa.

    Kemarin, kamu hadir membawa satu tumpuk buku tentang seri kepahlawanan, serial novel milik Pram bahkan sampai buku yang berjudul menggugat histeriografi. Dari semua buku itu, kamu menyimpulkan bahwa pemimpin tidak lahir, tetapi diasah. Kalimat yang sama aku temukan saat Peter Carey bercerita tentang asal mula Perang Jawa. Aku baru tahu, kamu menganggumi sosoknya.

    Sekarang, jalanan kosong berdebu terasa begitu panjang. Langit berubah menjadi kelabu. Menandakan kesepian langit yang ingin membuat bumi gaduh dengan gelegar petir. Melihat anak-anak kecil keluar dan kebasahan pada rintik hujan pertama. Pikiranku larut bersama kenangan. Ilusi itu bersatu membuat kelindan. Bisikan di bawah payung. Melihat jalan yang sama. Kamu pergi membawa semuanya.

    Sejenak, aku mengingat. Kenangan yang memudar di bawah guyuran hujan adalah tentangmu.

    **

    17:40

    27/08/2020

    sedang berpikir, aku baik-baik saja. Aku asumsikan semua orang juga sedang baik-baik saja dengan permasalahan hidupnya. Tapi mendadak malu, ketika semua orang menyimpan lukanya sendiri.

    Bermimpi dalam hujan



    Continue Reading

    Berjarak dengan batas. Alih-alih terlihat, semakin hari justru membuat kabur mata. Bersaing dengan semu apalagi mengejar yang tak terlihat. 

    Ketika semua orang memulai jalan yang sama, tidak mungkin semuanya akan selesai di waktu yang sama. Ketika kita bahkan mencoba lari tak mungkin sepadan dengan bagaimana Usain Bolt melakukan hal yang sama. 

    Mereka lulus sekolah terlebih dahulu. Lalu apa? Apakah aku harus ditekan untuk lulus juga? Di waktu yang bersamaan? Bagaimana jika aku memtuskan untuk menyerah di jalan? Kalau kamu peduli, bantu aku menyelesaikan agar aku bisa lulus seperti kebanyakan orang?

    Aku menyerah karena itu jalanku. Menyerah karena tidak ingin lulus sekolah, maksudku. 

    Tahukah? Hari ini, detik yang aku hembuskan, dengan upaya dan dayaku berdiri untuk tetap tegak, itu adalah hal yang terbaik yang bisa aku lakukan. Pun, dengan keputusan untuk menyerah sekalipun. 

    Man-eman, nanggung.

    Iya. Jika diakumulasi dengan waktu yang terbuang, dengan uang yang dihabiskan, dengan pikiran yang aku pikirkan, bisa jadi itu sebuah kesia-siaan. Benar, Tuhan tidak menyukai kesia-siaan. Aku memutuskan untuk menghentikan kesia-siaan itu bertahan lebih lama lagi. 

    Penting, aku sudah melakukan semampuku, sekuatku, tidak apa-apa untuk mengibarkan bendera putih di tengah jalan. Aku memang sudah terlihat lelah. Kini aku berjalan semampuku.

    Hei, hari ini aku berdiri dan masih tetap menjadi versi terbaikku. Selamat!

    **

    20:55

    20/08/2020

    Hari ini gajian, aku gak tau kenapa ada transferan masuk, Bukan di tanggal 25, aneh kan?
    Oh ya, Scova Notia selama seminggu terakhir ini. Aku gak tau begitu tergila-gila dengan lagu patah hati ini, hahaha.

    Buku Dan Brown - Origin di baca ketika hari libur datang!



    Continue Reading
    Memulai tulisan ini tepat pada 17:59. Benar, tepat di malam (yang harusnya) Tirakatan.

    Mengartikan kemerdekaan itu tanpa tekanan. Menurut saya pribadi. Sangat jauh jika dibanding tekanan yang dihadapi Barcelona hari-hari ini. Saya tidak bisa membayangkan sesakit apa rasanya menjadi fans Barcelona di waktu sekarang. Sudah jatuh tertimpa tangga dan dihunus panah yang menebus paru dan jantungnya di waktu bersamaan. Tidak enak betul rasanya. Muka bahkan tidak tahu mau ditaruh dimana.

    Masih mending Manchester City yang kalah 1-3 dari klub yang terakhir melenggang di perempat Liga Champion 10 tahun lalu, Lyon.

    Memerdekakan hati dari rasa yang bersifat iri dengki dan bahlul pada segala hal adalah koentji. Maka di malam di saat Indonesia merayakan kemerdekaannya, esok hari, refleksi yang bisa saya pribadi ambil adalah memerdekakan perasaan. Tidak iri dengki, tatkala (tiba-tiba tanpa hujan badai) Manchester United harus finish di 4 besar, misalnya. 

    Terlebih, tidak dirundung sakit, sesakit-sakitnya, ketika JerrAx dengan gagah perkasa meninggalkan squad OG yang menang TI dua kali. Iya, karena gak tau kenapa aku sesakit itu ditinggal Jesse yang wajahnya gak bakal aku lihat di kompetisi major dota bahkan TI sekalipun (usap air mata). 

    Argh, perasaanku seringkali bertaut mengenai orang lain. Itu sering kali. Ketika berjumpa dengan seorang teman adalah hal yang prestis yang tak bisa dijangkau di akhir-akhir ini. Sedangkan mengenal stranger lewat sosial media adalah hal mudah sampai membuat perasaan bak digampar orak arik, sangking rapuhnya. 

    Bahkan alunan piano di intro awal "The Outside - Scova Notia" aku sudah merasakan sakit hati sesakit-sakitnya hanya mendengar mereka bersenandung. Rapuh sekali memang (terkadang) perasaan ini.

    Tahun 2020 ini sudah diwarnai dengan kepiluan. Awalnya diri ini sudah bersemangat membawa semangat baru di tahun yang baru.Dengan semangat menggebu-nggebu. Sama seperti kita menyelesaikan soal trigonometri nomor 7 dan berpindah ke nomor selanjutnya. Merasa dengan bebas harus menentukan hal apa yang harus kita kerjakan setelah ini. 

    Namun, hal tak kasat mata bernama corona mampu mengobrak-abrik hingga bersua dengan teman adalah hal yang luar biasa menggairahkan jika dilakukan. Padahal kebiasaan ini sudah jadi darah daging di sendi kehidupan kita. Tertaut hanya lewat daring sedikit mengobati, tapi pikiran di tahun ini pula membuatnya menjadi tak mudah. 

    Satu dari sekian banyak faktor seperti kartu domino. Saling berkaitan dan terpaut bersamaan. Kalau kita tidak bisa bertemu dengan teman, ngga bisa haha-hihi, kemudian kapan jodoh ini datang jika keadaan sudah tertutup gara-gara bangsatnya corona(?). 

    Terpuruk lagi ketika melihat orang bisa haha-hihi gandeng-gendong sedangkan kita geli. Uwoh!

    Iya, yang paling ngeselin itu adalah pikiran mak nyut yang datang tak diminta (ya-iyalah). Tetiba harus kepikiran masalah jodoh, tiba-tiba kepikiran buat beli rumah (amin), tiba-tiba harus kepikiran buat deposito 30 juta dulu. Pikiran yang tiba-tiba ini yang kadang harus dibumihanguskan dari peradaban bumi ini, harusnya. Tapi sangat sayang nek harus hilang, bahkan kadang kepikiran ide bikin sesuatu, nulis sesuatu juga dari pikiran mak nyut.

    Lalu, hingar bingar dunia maya hanya membuat semuanya tambah ruwet. Melarikan diri ke tontonan drama hanya akan jadi oase sesaat. Bahkan mengejar untuk menyelesaikan buku pun juga mengobati kepiluan dari pikiran mak nyut itu datang mengehentak. 

    Maka hal tersial adalah menata hati. Aku juga tidak paham bagaimana the founding father  kita bisa dengan legowo mau memproklamasikan kemerdekaan tepat di tanggal 17 agustus di saat sebelumnya mereka harus ada acara culak-culik tokoh tua gara-gara ambisi "secepatnya" mumpung vaccum of power. Harus berani berdebat dengan golongan muda yang ambisius. Bahkan dari sejarah, bapak bangsa sudah mengajarkan bagaimana manajemen manusia (dengan pendekatan politis juga) mampu menerobos segala keruwetan. Menyatukan banyak golongan dan berbuah merdeka. 

    Tapi aku? Memanajemen hati aja, sulitnya ampun-ampunan.

    Kini, perasaan masing-masing manusia yang tinggal di bumi juga butuh didengar dan disimpati. Gaungnya agar terdengar di berbagai tempat di pelosok dunia sekalipun. Orang-orang ini ingin segala sesuatu mengikuti kemauan mereka. Berbeda pendapat dianggap adalah hal hina dan dijebloskan. Yah begitulah. 

    Sangat disayangkan ketika orang yang berbeda pendapat harus dibungkam macam Jerinx sama Anji. Jauh dari edukasi ahli tapi berakhir nestapa. Aduh, aku ngomong apa sih ini. 

    Sudahlah. Ruwet. Kalau mikirin negeri ini. Nggak dipikir aja udah ruwet apalagi kalau dipikir. 

    Definisi kemerdekaanku? 

    Écrire, c’est une façon de parler sans être interrompu. -Jules Renard

    : menulis adalah cara berbicara tanpa terganggu!

    Jadi, aku cuma pingin nulis ajah! 

    Bye.

    **

    16/08/2020

    18:35




    Continue Reading

    Nyanyikanlah senandungmu. Berharap nyala api yang membakar kayu itu hangus. Atau sampai pada matahari bangun dari tidurnya. Mengolet di batas ufuk. Beranikah kamu menari dengan sisa-sisa tenagamu. Hingga mendekat pada rasa puas di jiwamu. Aku bahagia bisa memotret semua yang menjadi lukisan semesta ini pada bola mataku.

    Kebahagiaanku ternyata bertepuk sebelah. Kamu sendiri di antara hingar bingar orang yang memuja akan penampilanmu. Meski kau sisihkan waktu untuk mendongengiku berpeluh-peluh keringat. Ketika semua orang merasa bahagia, sedangkan kamu tidak. Aku tahu persis dongeng yang sering kamu ceritakan itu. 

    Di buku tua yang menguning dan sampul yang berbau. Kau bercerita bahwa kamu sendirian. Tak ada lagi manusia yang memperhatikanmu. Tetapi sungguh harus aku mengakui, kamu aktor yang handal. Kamu seolah-olah peduli bahwa mereka memedulikanmu. Bibirmu manis madu ketika mengatakan bahwa kamu mencintaiku. Mencintai dunia sekelilingmu.

    Bukankah kamu kuat untuk melewatkan itu semua. Penderitaan yang kamu sembunyikan dan hanya terkuak melalui simbol-simbol tato tubuhmu. Kamu juga pernah mengakui bahwa cerita indah yang membuaiku itu hanya omong kosongmu saja. 

    Tolonglah, maafkan mereka. Hidup dengan sehidup-hidupnya. Jangan pernah merasa sendiri. Setidaknya kamu punya aku. Yah, meskipun aku marah kemarin malam. Membahas rencana kemana saja kita akan melewatkan pergantian tahun. Tapi kamu menyuruhku untuk menari di atas lonteng. Sedangkan kamu yang akan memetik gitar. Bergurau, sampai terbitnya mentari pertama di awal tahun. Dalam sepi kita memandang malam terakhir, akumu.

    Kemudian gurauan itu lenyap. Menghempaskan beban. Sebuah cerita tentang akhir indah perjalanan hidupmu. Tetapi tidak denganku. Kudapati kamu yang terbujur kaku. Kemarin adalah mimpi indah yang kuciptakan sendiri. Berharap ini hanya gurauan. Atau sekedar candaan di akhir tahun. Melalui sisa-sisa tangis yang mendera. Jika kamu ingin membuatku bersalah, memang benar sekarang aku bersalah. Berharap di lain dunia kamu memaafkanku. Memaafkan duniamu yang membuang orang sepertimu.

    **

    Untuk mereka yang mengakhiri hidupnya dengan cara mereka sendiri. Kemungkinan, atau besar kemungkinan kita menjadi penyebab nol koma sekian juta persen pemicunya.

    sebuah mini cerpen, lagi.

    10:58

    Kamis, 13/08/2020

    Maafkanlah aku dan duniamu

    Continue Reading


    Ada seorang gadis yang kalut. Setiap pertemuan pada malam, dia terbelenggu. Hantu-hantu yang bergentayangan mampu merasuki jiwanya. Bahkan ketika untuk menengok cermin dia menyembunyikan paras ayunya. Ketakutan besar membelenggu setiap nafasnya. Ia penasaran dengan apa yang dilakukan oleh manusia-manusia di luar sana yang begitu bahagia, Ketakutan itu mengintimidasinya begitu kuat. Untuk keluar dari celah saja ia terlalu banyak pertimbangan.

    Tepat ketika, dia melihat orang-orang silih berganti di jalanan kota, ia merasa sepi. Ketika dilihatnya manusia saling bertegur sapa, membuatnya iri. Saat mereka saling bertukar senyuman, hatinya diliputi dengki. Ada apa dengan gadis itu?

    Dimanakah aku mendapatkan yang didapatkan orang-orang kebanyakan?

    Pertanyaan itu yang selalu dia gaungkan. Menghentaknya seakan dia adalah orang yang penuh dosa. Kemudian silih berganti. Antara takut, tidak berdaya dan tidak mampu. Ia merasa tidak berhasil tentang usahanya.

    Bi-bisakah, kalian bantu gadis ini. Ia tidak percaya diri untuk meminta bantuan. Semua rasa itu, ia pendam. Hatinya seperti galian kuburan. Perasaannya itu menimbun keberadaannya tanpa banyak orang rasakan. Jika ada gadis yang tertawa lebar, dia sebenarnya ingin mengatakan, “aku ingin seperti dia.”

    Semua berubah ketika, bertemu sekelompok orang yang menyambutnya dengan tangan terbuka. Lalu disambung dengan tawa sumbang milik mereka. Ia yakin, dalam kelompok ini ia masih berpura-pura. Ia tidak merasa kelakuannya aneh. Jika dia diterima dengan kata normal, maka ia harus berperan.

     “Berpura-puralah pada dirimu di depan orang-orang.”

    Menjinakkan kebisingan. Menundukkan keterpaksaan.

    **

    06/08/2020

    "kutipan dalam buku 'Reuni'

    Bermain Peran

    Continue Reading

    Hold your breath!

    Cause today, I wanna tell about lovey-dovey-story. But, dude-, first thing first, I am not into fallin in love with someone else. Its not yet. End of July 30th and I didnt open my heart for somebody else. It will be upsetting, seriously. 

    I would be.

    For all my bucket list what should I wanna write on this blog, this topic is not appeared. Not even mention about this. However, all things exist have their background. 

    Actually, I dreamed about going to beach. Rahma and I just go to beach as though as my house to beach just 10 minute. But, well you didnt even believe on your dreams right? Cause its just dream.

    So here I am, with this story about love in the middle of daydreaming. Specifically, about one side love. On my perspective. The story will be started with the last guy whoever I liked it. 

    dreaming sea
    I wanna fallin (again)

    Literally, my mind contemplates for many things which is make me think so hard. We talked about destiny, for sure. My mom unrelenting to persuade about marriage. Because this is "the right time" for all the lady as same my age to think about committed relationship. And push me up to think so seriously. 

    The romanticism story begin with question. How we meet. Who is he. And where does he exist before. Etc! 

    I dont know that he existed in the earth. Haha, cause this is the first time that I meet somebody like him before. This is for somebody who actually existed on city crowd right now. There are all these miles between us. Somebody who I liked at past time. Maybe, I have crush for the first time we meet, I dont know how this feeling started.

    So, this story will be "the things" a lot for me. 

    I met him when we wanted to go to west city by the train. The train leaves at night. Meet strangers and talked about "haha-hihi" for greetings. And now, they are be my friends.

    Specifically, we (my strangers friend and I) knew that there are another stranger (again) who will be our friend's in the same train. So, what I wanna go to do at the moment? Curious? Yes, I am. But, my back hurts because cramps sitting on the train. 

    Its just one moment, firstly, I met him. Like the spinning time, we are not close anymore because its fated. Destiny not bring us together for that moment.

    But, I have some the moment (thanks for quarter of second aka. mak nyut), when we are sitting on the bus and then we have a chat. We are both busy for how to breakfast (at the moment) properly. Indeed, the bus is driving like dingle-dangle. Just knew that our conversation mentions about how to be like javanese and being proud of this part.Yes, in fact we talked about being medok. And its okay for somebody menjadi medok.

    He alone and so do I. So yeah. A little bit conversation, indeed we are same region that feels like we are close. Connecting with him feels like we can open to each other in the other way. Feels warm and cold, basically what I feels knowing him. 

    First meeting, I am on the right time. Cause his birthday is last day our event (officially). And, he got a  gift. There are apple and chocolate. And then, the event is over and we're going back home. We are not awkward anymore. While on train, he borrowed my sleeping pillow. 

    Thats it. 

    Again! We met again for short scholarship. Hm, maybe I dont really care that much. As possible, I acted like normal people. Just chat, eat together, and endure a lot of things (because we have a lot of friends at the moment). It means like nothing happened with my feeling. Cause at the momentum, I just lost that feeling. I dont know why. Maybe he is not attractive anymore, and just bored. Haha!

    I wanna declare something. I am, the most aggressive person among others. Like, I pushed up to ask him for breakfast together (example).Or I tried for offering to do something like climbing tree to take some fruit. It too insufferable on my eyes to see how not enthusiasm he is. His character like doesnt have desire to attract other people. You can imagine that?

    our breakable breakfast

    I do not rely on to other guys who accompany me at the same time. We (all friends here) like just have each business. Indeed, we are on the moment to try the best we can do to get best score. All of these guys committed it. 

    Relaxing time, we go to the mount. Actually, I have a moment when he talked like everything whats the world going on. Suddenly, talked about her grandparents who is Hindu priest. I am speechless, and shouted :  Wow! I cant imagine how open he is to me. 

    The wheels turn, turn, but no good solution come to mind. At least whether my feeling still persist. And last year like my whole contravention works on it. First, I sent a massage. Just chit chat. Only, twice for a year. This year doing the same thing again. Chat just third time in this year. So until now, just fifth chat. Meanwhile, the fifth chat talked about his friend who looked for a english course. 

    And now I trapped on the shrugged moment. Really. Its means more. Not just give up. Just at the moment, you dont know whats going on after this. Whats feeling waiting for. Overwhelmed for not doing something again. I have a privilege that I have accessed to send a message again. But, why? For sure, I am not capable doing like trash.

    Every single step about what are you doing have an excuse. The meaning. The goal. Or what ever you wanna say that. And, my alter ego makes question to me, why you are not doing that? Are you afraid? No. I just have an excuse doing it again. Not until I prepared feeling for "this is a right time". 

    I just feeling relieved that its over. I mean, my feeling. Like bird fly to the sky and go away. Seriously,  I wanna fallin in love again. The right man on the right time. I hope. Soon! 

    This bird reflected my feeling!

    18:00
    30/07/2020
    my mom going crazy right now cause tomorrow is Ied Adha.
    Continue Reading
    Pikiranku berkontemplasi pada uraian-uraian pertanyaan yang sulit untuk dijawab. Atau setidaknya jawaban itu sederhana tapi aku membuatnya semakin rumit.

    Apa ada dunia selain bumi? Jika ada, kenapa aku harus lahir di bumi? Apakah dunia kosmik di luar sana ada? Bagaimana eksistensinya?

    Lalu, untuk apa kita lahir di muka bumi?

    Dari milyaran penduduk, dari jutaan sperma yang dikeluarkan, kenapa harus terlahir sosok Nabila dan nama itu diberikan padaku?

    Kenapa harus Bapak Muhammad Taufan dan Ibu Suparni yang menjadi orang tuaku? Bukannya aku tidak bersyukur, tapi kenapa Tuhan memberikan dua sosok ini menjadi orang tuaku?

    Lantas, kalaupun aku bisa memilih, kenapa harus bersuku Jawa? Dan menjadi bagian dari kebangsaan Indonesia, alih-alih jika aku ingin menjadi warga Mayotte saja. Tinggal jauh lebih tropis dari khatulistiwa.

    Lalu, kenapa harus Solo tempatku besar? Alih-alih jika harus memilih, aku ingin tinggal di Pontianak saja. Meski begitu, sangking kuatnya aku mengakar di Solo, sampai aku besar aku tidak ingin jauh-jauh dari Solo kalaupun harus memilih. Ah, lagi-lagi memilih.

    Lalu, kenapa segala perbedaan setiap individu yang lahir, yang tinggal, yang bertumbuh kembang, yang memiliki prinsip, yang bernilai ini kenapa harus disetarakan? Alih-alih memandangnya sebagai suatu keistimewaan.

    Ah...

    Tiba-tiba aku teringat pada sosok Ibuku yang malunya minta ampun. Pada kedua adikku yang tinggal kelas 2 tahun. Iya. Adik pertama dan adik kedua, sama-sama tinggal kelas 2 tahun dan dia malu. Latar belakang Bapak dan Ibu seorang guru, dimana dia mengajari anak orang supaya pintar, tapi tidak sebanding dengan darah dagingnya sendiri.

    Baru beberapa waktu belakangan, adik keduaku tiba-tiba menggerutu. Begini katanya, "aku benci banget sama tetangga depan. Masak pas aku SD dia tanya-tanya ke aku, kok bisa aku nunggak (read: tinggal kelas)?"

    Jauh mengenal sistem, bahwa semua anak terlahir istimewa, namun lingkungan masyarakat bahkan budaya yang turun temurun mengatakan menjadi berbakat, baik, santun, punya tolak ukur yang sama yang dimiliki manusia lain adalah hal mutlak adanya.

    Padahal sebagai manusia kita kadang jalan di tempat, alih-alih untuk maju, berpikir saja susah. Jadi aku bilang ke adikku, "Iya, aku juga benci tetangga depan rumah."

    Kemudian kontemplasi pikiranku jauh lebih gila dari itu. Kenapa semua ingin kaya? Kenapa mereka yang miskin tidak berusaha? Apa yang terjadi pada mereka yang rentan?

    Alih-alih menanyakan hal itu, mungkin jiwaku yang lain melemparkan jawaban pedas pada diriku yang bertanya, "Kamu tidak pernah merasakan yang dirasakan orang-orang itu, Bil. Jadi, diamlah!"

    Ah, kadang kalau kita berpikir lebih, takut kalau itu bagian dari pikiran buruk yang tidak dibolehkan dalam agama.

    Maksudku begini, jika memang teman baikku menawarkan sebuah filosofi yang bernama Filosofi Yu Jum, tentu kita tidak merasa harus berlomba-lomba untuk menjadi unggul. Sebenarnya apakah benar, hakikat manusia di bumi ini hanya pengrusak? Maka jawabnya sudah jelas, memang iya. Lalu kenapa kita harus mengkotak-kotakkan antara diri yang satu dengan diri yang lain.

    Dia anak punk, dia jelek, dia buruk akhlaknya.

    Dia anak masjid, dia baik, dan sudah jaminan surga.

    Dia anak a, b, c, d, e, ------ z, dia begitu adanya.

    Padahal bukankah sebagai manusia, kita harusnya saling membaikkan. Alih-alih harus membuat klaster atau status tiap masing-masing orang.

    Lalu, jika dunia ini seragam, dan memiliki dosa yang sama, kenapa mereka tidak mau bahu-membahu pada apa yang terjadi pada bumi. Alih-alih yang mereka kerjakan hanya mendengar penceramah yang saling tuding kafir mengkafirkan dan seenak udel mereka, bahwa yang penceramah lakukan adalah bagian dari jaminan surga.

    Ah, padahal faktanya kita sama-sama membuat kekacauan (katakanlah) dengan berton-ton sampah plastik yang butuh waktu panjang untuk mengurainya dimana kita tak bisa lepas darinya. Kita membuat dosa kita sendiri. Tiap hari semakin besar saja pengrusakan yang kita lakukan. Toh, hanya  memupuk dosa-dosa jariyah.

    Ah, plus diriku yang suka  menggibah sinetron indosiar ini juga.

    Lalu juga, kenapa jika ada seseorang yang memperkenalkan teori katakanlah dari orang barat, orang yang mengaku beragama bilang, "ah di muslim ada tokoh hebat a, b, c, d, z, kenapa harus tokoh kafir yang harus dijadikan contoh?". Begitu kata mereka.

    Jiwaku yang lain ingin segera menimpali, "Bukankah kita manusia, dan kita makhluk Allah, (katakanlah demikian) yang sama-sama diciptakan pada status yang sama. Sebagai manusia!"

    Padahal Allah meminta iblis dan setan untuk menyembah manusia loh, tapi kedua makhluk ini murka dan mengajukan protes.

    "Aku kan dari api, sedangkan manusia kan dari tanah, kenapa harus menyembah tanah, secara status sosialnya kan bagusan dari api" begitu kata Iblis.

    Bak buah simalakama, kadang kita pun juga suka mengejek suku lain, memonyet-monyetkan suku dan ras A, menghitam-hitamkan suku dan ras B, dan lain sebagainya. Kemudian, kemudian, kemudian, bertumbuhkembanglah soal standar kecantikan. Begitu seterusnya.

    Kemudian, di umurku yang sudah harus memilih dan memilah ini, lagi-lagi kita dihadapkan pada banyaknya klaster. Dia pengajian A, B, C, D, Z. Kalau nggak sama satu pengajian, nggak boleh. Ah. Kenapa manusia ini begitu rumit. Bukankah sudah pas jika memakai satu agama sama dengan satu iman.

    Tapi hidup manusia yang rumit tak mau memudahkan itu, esmeralda. Meski satu agama sekalipun, pertanyaan yang dipermasalahkan (misalnya), mazhabnya apa dulu? Haruskah keluar pertanyaan itu?

    Sadar tidak sadar, untuk bisa bersanding dengan seseorang dalam mahligai pernikahan, kalau tidak satu pengajian = tidak mau. Ibarat sudah beda iman saja. Sepicik itukah manusia berpikir?

    Lagi-lagi perkara kita berkumpul dan berkehendak, harus ada tendensinya.

    Jauh dari yang namanya tendesi berpikir, wong kadang yang dilihat di mata saja sudah bisa menyimpulkan segalanya. Ah, dasar manusia itu makhluk unik. Sangking uniknya, sesama manusia saja aku harus menilai dan dibuat geleng-geleng kepala.

    Misal dari cara manusia berpakaian. Yang syari, pakai cadar, dan ulala lainnya. Berarti imannya bagus, begitu kata mereka-mereka.

    Wong, di masyarakat kita sendiri mudahnya mendapat label bahwa keimanan seseorang sudah bisa dilihat dari apa yang dipakai kan? Ah, kadang tuh, kita emang suka sok tau.

    Aku tahu, keberadaan alam berpikirku yang dangkal dengan banyaknya pertanyaan tak akan pernah terpuaskan dengan satu jawaban pamungkas. Setidaknya demikian, jika dipikirkan terlalu lama akan menimbulkan efek domino.

    Kututup kontemplasi berpikirku hari ini. Sama seperti jawaban penerimaan Ibuku pada kehadiran kami anak-anaknya di keluarga ini. "Alhamdulillah." Harus keluar kata itu lantaran Ibu harus melalui alur berpikir yang panjang. Tatkala, dia harus kondisi dan mental membandingkan kedua adikku dengan manusia berkebutuhan khusus lainnya. Lalu keluar ucapan penuh syukur itu.

    Ibuk mengatakan satu kata syukur itu harus melalui tangis air mata. Pun, secara jelas, ketika Ibuk mendadak 'mak nyut' kepikiran nasib kedua adikku.

    Tidak masalah jika setiap orang itu berbeda. Memang harusnya begitu. Kemudian Bapak menyahut paling kencang, ketika Ibuku depresi. "Memang kemampuan anaknya segitu, yaudah."

    Ah, sama seperti yang lain. Bahwa setiap orang secara naluriah akan berpikir menghargai perbedaan, menghargai nilai, menghargai kemampuan, menghargai kapasitas masing-masing. Memiliki standar yang sama dengan manusia kebanyakan, tidak akan menyelesaikan. Wong, secara hakikat setiap orang berbeda.

    Mungkin itulah jawaban yang tersirat. Tuhan menitipkan aku untuk tumbuh kembang, berprinsip, dan berkemampuan sampai menjadi bagian dari keluarga yang dibangun Bapak Taufan dan Ibu Suparni.

    Hm.

    Kontemplasi Alam Berpikirku


    Sesederhana menanyakan eksistensi keberadaan kita di muka bumi yang sudah sekarat ini. Kemudian berlanjut mengenai apapun yang tiba-tiba dan mendadak terjadi. Maka benar, jika aku menciptakan fantasi dan imajinasi dalam alam berpikirku sendiri. Terlebih membuatku sedikit lebih waras.

    Seperti bumi yang memiliki dua bulan kembar, berbicara pada kucing, kemudian tiba-tiba bisa turun hujan ikan salmon, gurita yang bisa ditemukan di kolam ikan belakang rumah, pelangi terang di malam hari, ah jika ketidakmungkinan itu nyata, maka nyatalah alam berpikirku.

    Imajinasi yang kuciptakan nyata, maka tak heran aku belajar menghargai pemikiran orang. Setidaknya hal itu yang sedang aku latih agar menjadi warga bumi yang baik hati dan mulia. Bukankah demikian, tanpa memandang segala perbedaan, toh kita hanya numpang hidup sebagai warga bumi saja.

    Sambil berpikir santai, bumi akan baik-baik saja kemudian hari. Memang seharusnya begitu.

    **

    19:47
    26/07/2020

    Continue Reading
    Newer
    Stories
    Older
    Stories

    About Me!

    About Me!

    Arsip

    • ►  2023 (1)
      • ►  Jan 2023 (1)
    • ►  2021 (34)
      • ►  Aug 2021 (1)
      • ►  Jul 2021 (3)
      • ►  Jun 2021 (3)
      • ►  May 2021 (4)
      • ►  Apr 2021 (8)
      • ►  Mar 2021 (6)
      • ►  Feb 2021 (4)
      • ►  Jan 2021 (5)
    • ▼  2020 (64)
      • ▼  Dec 2020 (4)
        • Kilas Balik 2020
        • Sudut Pandang Pertemuan
        • Ketika Tangan Saling Bertautan
        • Untuk 2021 Lebih Kaya Raya, Bermanfaat, Sehat, dan...
      • ►  Nov 2020 (4)
        • Perpaduan Soto dan Pikiran yang Berlebihan
        • Nggak Lagi Bahas Soal 'Bagaimana Demokrasi Mati'
        • Lari
        • Senandung Sore Hari
      • ►  Oct 2020 (4)
        • Sederet Daftar Doa yang Nggak Bakal Terkabul Sekal...
        • Temui Aku dalam Doamu
        • Aku Bermimpi, Memikirkanmu
        • Menjaga Asa di Tengah Dunia yang Tidak Baik Baik Saja
      • ►  Sep 2020 (4)
        • Kekasih
        • Kemalasanku dan Sedikit Ngomongin Black Swan
        • Berbicara Mengenai Alergi
        • Menjamu Matahari Malam
      • ►  Aug 2020 (5)
        • Bermimpi dalam Hujan
        • Tidak Masalah untuk Menyerah!
        • Mendefinisikan Kemerdekaan, Sebuah Renungan Menghe...
        • Maafkanlah Aku dan Duniamu
        • Bermain Peran
      • ►  Jul 2020 (6)
        • I wanna fallin (again)
        • Kontemplasi Alam Berpikirku
      • ►  Jun 2020 (6)
      • ►  May 2020 (5)
      • ►  Apr 2020 (9)
      • ►  Mar 2020 (6)
      • ►  Feb 2020 (9)
      • ►  Jan 2020 (2)
    • ►  2019 (12)
      • ►  Jul 2019 (1)
      • ►  May 2019 (4)
      • ►  Apr 2019 (1)
      • ►  Mar 2019 (2)
      • ►  Feb 2019 (3)
      • ►  Jan 2019 (1)
    • ►  2018 (6)
      • ►  May 2018 (2)
      • ►  Apr 2018 (1)
      • ►  Jan 2018 (3)
    • ►  2017 (9)
      • ►  Dec 2017 (1)
      • ►  Nov 2017 (2)
      • ►  Oct 2017 (1)
      • ►  Sep 2017 (5)
    • ►  2016 (3)
      • ►  Sep 2016 (1)
      • ►  Apr 2016 (1)
      • ►  Mar 2016 (1)
    • ►  2015 (7)
      • ►  May 2015 (6)
      • ►  Mar 2015 (1)
    • ►  2014 (25)
      • ►  Nov 2014 (1)
      • ►  Oct 2014 (2)
      • ►  Jun 2014 (1)
      • ►  May 2014 (2)
      • ►  Apr 2014 (6)
      • ►  Mar 2014 (3)
      • ►  Feb 2014 (7)
      • ►  Jan 2014 (3)
    • ►  2013 (12)
      • ►  Dec 2013 (7)
      • ►  Oct 2013 (2)
      • ►  May 2013 (1)
      • ►  Jan 2013 (2)
    • ►  2012 (12)
      • ►  Dec 2012 (3)
      • ►  Nov 2012 (2)
      • ►  Jun 2012 (2)
      • ►  May 2012 (2)
      • ►  Jan 2012 (3)
    • ►  2011 (14)
      • ►  Dec 2011 (3)
      • ►  Nov 2011 (11)

    Labels

    Artikel Ilmiah Bincang Buku Cerpen Curahan Hati :O Essay harapan baru Hati Bercerita :) History Our Victory Lirik Lagu little friendship Lomba menulis cerpen :) Memory on Smaga My Friends & I My Poem NOVEL opini Renjana Review Tontonan Story is my precious time Story of my life TravelLook!

    Follow Us

    • facebook
    • twitter
    • bloglovin
    • youtube
    • pinterest
    • instagram

    recent posts

    Powered by Blogger.

    Total Pageviews

    1 Minggu 1 Cerita

    1minggu1cerita

    Follow Me

    facebook Twitter instagram pinterest bloglovin google plus tumblr

    Created with by BeautyTemplates | Distributed By Gooyaabi Templates

    Back to top