Menyemai Kekopongan
11:00 PMSebuah perjalanan panjang yang aku benci adalah menggunakan bus. Ah, bau mesinnya menyeruak dan selalu membuatku mual. Rasanya ingin menyumpal itu mesin mesin dengan karung, andaikan bus itu bisa berjalan tanpa mesin, sudah kulakukan jauh-jauh hari. Langkahku terasa berat untuk melangkah menuju bus. Temanku Nadia dan Azizah--aku tidak tau kenapa kedua teman SD-ku bisa menjadi teman seperjalanan jauhku--sibuk dengan aneka ragam tas. Barang bawaan mereka cukup banyak hingga menghabisi tempat. Lagi-lagi aku juga tidak mengerti perjalanan yang seharusnya memakan waktu semalam bisa menggunakan bus rukun sayur. Halo? Apa kabar dengan revitalisasi transportasi umum. Hoak. Aku tidak percaya bisa hidup semalaman ditemani bau mesin. Ini perjalanan gratisku. Lagi! Yang namanya perjalanan gratis aku zdddtidak boleh banyak bacot. Cukup tenang. Dan kalaupun harus muntah, muntahlah. Diwadahi alas besi cukup menyeruak bau kerumunan. Biar aku tidak jadi pergi. Ayahku orang yang cukup peduli dengan kesehatanku selama perjalanan, beliau pasti mau untuk menjemputku di tengah jalan. Jika bus sudah terkena muntahku, untuk melindungi seluruh penumpang pasti sopir bus dengan siap sedia menurunkanku di jalan manapun. Persetan dengan agenda wajib!
Nadia memberikanku cukup ruang. Dia
memilihkan tempat dekat dengan jendela. Dan berada di sisi depan. Aku bisa
dengan leluasa memandangi kaca. Memandangi setiap lekuk perjalanan panjangku.
Tapi apa yang kulakukan. Aku bergumul dengan kesendirian dan tetap tenang. Aku
tidak ingin kedua temanku merasa khawatir dengan kondisiku. Jelas. Sudah pasti
pusing dan tiba-tiba suhu badan naik. Maklum. Kondisi ini selalu aku dapati
saat akan melakukan perjalanan jauh. Apalagi dengan menggunakan bus. Demamku
langsung naik tinggi.
Sebelum aku sempat tertidur, kulihat sawah
sawah hijau. Baru saja ditanam. Meski bulir bulir padi masih tumbuh. Sebelah
sawah, ada lapangan
tak cukup luas. Tapi mampu membuat penduduk desa memanfaatkan untuk ajang
pertandingan voli. Bermain dengan anak tetangga saat usia senja tak lama lagi.
Pancaran matahari sudah terlihat jarang. Karena awan mendung menggenangi
membuat tua usia. Seperti wajah Nenek Wardoyo. Melihat pemandangan jalan pun
tidak cukup bagus view-nya. Aku hanya melirik sinis pada dunia. Sopir di
sampingku terlihat fokus dengan jalanan. Cuaca mendung seperti ini saja ia tak
cukup mampu dengan melihat jalan tanpa kaca mata. Mencolok sekali dengan celana
jeans longgar kaos polo merah dan topi. Tak lupa kaca mata hitam. Untuk ukuran
sopir bus rukun sayur ia terlihat modis. Harusnya ia dipekerjakan di bagian bus
jarak jauh yang bagus. Bus yang ber-ac. Bus dengan fasilitas lengkap seperti
televisi dan sound yang cocok untuk berkaraoke. Bus yang tak ketinggalan dengan
fasilitas wifi. Itu harusnya. Faktanya tidak demikian.
Lalu ketika matahari merangkak turun bumi,
awan pecah di ufuk timur, tergambar jelas melalui siluet putih deras. Hingga
membuat jarak pandang perjalanan semakin meringkuk sendu. Jalanan belum basah.
Bus yang kutumpangi jalan cepat menghindar dari peluru air di langit yang siap
menghujam. Menusuki bus kami. Lagi- lagi aku merasa mual. Hatiku seolah dibuat
tentram dengan ulah pasukan langit yang tidak menyerah mengajar keberadaan kami
yang menjauh ke arah utara. Deru bus yang semakin lama semakin berjalan cepat.
Sesekali harus ngerem dadakan. Ah, kepalaku.
Nuansa sore dikejar kejar oleh pasukan
langit, harusnya aku keluar dari bus sambil menggegam erat payung, berjalan
menyusuri petang atau menembus waktu dengan sepeda motor. Mengantri membeli
martabak. Di sisi jalan, banyak aneka warung. Dan roti bakar. Mie ayam dan
bakso. Tinggal pilih salah satunya. Memikirkannya saja membuatku merasa hangat.
Selip dingin bisa membentuk hegemoni keromantisan. Ditemani bau tanah yang
menusuk wangi. Harusnya lagi ditemani belahan hati. Duh, hatiku.
Hei, bagaimana kabarmu? Terakhir bertemu
saat kamu menemaniku di Langenharjo. Pesanggrahan milik Pakubuwana. Senja di
Bulan Suci Ramadhan. Sekembali dari sana, kita buka puasa bersama. Momen itu
hanya sekelumit saja. Karena itulah aku merindumu. Tapi, kamu sudah mendapatkan
ganti perempuan. Katanya mahasiswi pendidikan. Wah, calon guru. Pasti sabar.
Pasti penyayang. Cocok untuk dijadikan istri. Tidak sepertiku. Pemberontak dan
keras kepala. Lagi-lagi aku memang tak sebanding dengan perempuanmu.
Udara semakin dingin. Ac alami memasuki
ruang di bus reyot ini. Lalu gerimis. Bus ini pun menyerah pada keputusan bahwa
dia memang kalah. Angin yang membawa butir peluru airnya sedikit demi sedikit
masuk. Lewat jendela kaca. Sampai sampai membuat embun. Hingga sesekali jatuh
di tanganku. Petir tak kalah meramaikan dengan gemanya yang mengagetkan
penduduk bumi. Aku melek. Aku sadar. Nuansa romantis tak akan aku dapati. Hanya
sebuah khayalan. Gerimis ini membangunkanku dari pikiran panjang tentang kamu.
Langit tiba tiba saja gelap. Habis energinya. Menyimpan kembali untuk esok
hari.
Bus masih melaju. Meninggalkan kenangan
yang tiba tiba hadir tanpa perintah. Tidak cukup satu. Sebelum tidur, aku
bermimpi. Tentang kamu. Lagi. Masih dalam hitungan menit. Tentang kamu yang
pernah menyambutku dengan senyum lebar. Saat akan memasuki ruang kuliah.
Menyapaku. Dan memintaku untuk mewakili angkatan untuk pertandingan futsal. Oh,
tentu aku menyanggupi. Lalu aku meringis. Kaku. Entah kenapa, hatiku menjadi
semakin ringan. Karena memikirkanmu. Tapi selalu berat di akhir. Mungkin karena
kamu sudah punya gandengan. Menyesakkan.
|||
Aku terkesiap. Nadia membangunkanku dari
mimpi panjang. Rasanya ringan. Hatiku tak sekeruh kemarin. Sekembalinya ke alam
nyata, ternyata aku masih di bus. Sesampai di masjid untuk menjama' sholat
maghrib dan isya, aku langsung mapan tidur. Dalam tidurku, aku berharap kembali
memimpikan kamu. Tapi, nyatanya Tuhan memberiku petunjuk tentang acara esok hari.
Ya, esok hari itu adalah hari ini. Dan bus masih melaju. Entah sampai kapan
akan tiba. Aku malas menanyakan. Hari masih petang. Jam di tangan menunjukkan
pukul 3 pagi. Sebentar lagi subuh. Rasa sesal kembali mengguncangku. Harusnya
aku tidak bangun. Kembali bangun sama artinya harus merasakan pusing dan mual.
Suhu badanku bisa naik lagi. Padahal kemarin malam hujan sampai titik-titik
airnya mengenaiku, aku dalam keadaan sehat wal afiat. Tidak untuk aku bangun.
Kulirik jalanan. Berusaha untuk mengalihkan
perhatianku dari rasa mual dan pusing. Kulihat plang besar di tengah jalan.
Wow, sudah memasuki Bogor ternyata. Ah, macet. Padahal baru pukul 3 pagi. Wajar
juga, karena bus ini melalui jalanan dekat Pasar tradisional. Ibu-ibu bangun
pagi hanya untuk mendapatkan sayuran segar. Jalanan hanya diisi sebagian besar
angkutan yang mengangkut hasil bumi untuk dijual. Aku berusaha mendinginkan
perasaanku. Sebentar lagi sampai. Sebentar lagi.
Nadia yang membangunkanku ternyata ingin
punya teman melek. Duh, orang ini. Kalau bukan teman baikku, aku pasti berusaha
untuk tidur lagi. Aku mendengarkan banyak sekali cerita darinya. Mulai urusan
keluarga sampai hati. Aku hanya cukup mendengarkan. Karena dia cerita. Tak
nyaman rasanya untuk menimpali. Buat apa antusias. Karena ini masih terlalu pagi. Pagi-pagi cerita hanya aku
balas deheman, anggukan atau ber-o ria. Maklum saja. Energiku aku simpan bila
suatu waktu aku muntah. Bau mesin lagi-lagi menusuk hidung. Rasanya ingin ku
minta Pak supir untuk menghentikan perjalanannya. Sudahlah. Cepat atau lambat
perjalanan ini akan berakhir.
Jika Nadia tidak menunjuk sebuah plang
besar bertuliskan zona Madina, aku mungkin sudah akan bersiap untuk kembali
tidur. Menjemput mimpi indah yang tertahan. "Setelah ini kita
sampai."
Kata 'setelah' tidak akan cepat aku percaya
kalau bus yang membawaku ini putar balik di jalan dan menurunkan kami semuanya
di pelataran jalan menuju zona Madina. Langkahku semakin ringan untuk
melangkah. Walaupun harus berdesakkan ingin keluar dari ketidaknyamannya bus
reyot ini. Kalau aku punya kuasa, aku ingin bus ini cepat di pensiunkan.
Kasihan rakyat yang memakai.
Waktu sudah menunjukkan pukul empat lebih,
rasanya seperti mimpi melewati perjalanan jarak jauh hanya dengan berbekal dua
tas. Satu tas punggung dan satu tas yang khusus aku gunakan untuk menyimpan
pakaian. Nadia dan Azizah membawa tiga tas. Satu tas tunggu dan dua diantaranya
adalah tas cangking. Aku tidak tahu apa isi di dalamnya. Kalau berisi kosmetik
apa sampai memakan tempat sedemikian besarnya.
Aku bergegas segera mengambil air wudhu dan
sholat subuh. Sebelum energi yang dihimpun matahari tersebar lagi di belahan
bumi yang diterangi. Selepas sholat aku masih mengenakan mukena dan tergeletak
di alas sajadah, melanjutkan tidur yang sungguh sungguh tidur. Efek tidur
sambil duduk ditambah goyangan bus yang melaju sesekali ngerem dadakan, punya
efek tersendiri di badanku. Dan aku benci itu. Punggungku seolah dicubit sampai
memar semua. Setiap aku mencoba rilekskan, krekk-krekk sampai mau patah
tulang-tulangku.
|||
Aku lupa kapan pastinya. Sampai-sampai aku
sudah berbenah dengan baju rapi selepas bangun tidur di masjid. Aku mandi di
toilet masjid. Tidak seperti kos-kosanku di jogja. Yang kamar mandinya
pesingnya minta ampun. Ah, pilihan terbaik untuk hidup adalah pulang ke rumah.
Semuanya serba rapi. Kalaupun kotor, aku tidak segan-segan untuk membersihkannya.
Karena itu merupakan rumahku. Sebagian aku melalui masa hidup ya hanya di
rumahku. Meskipun secara de facto merupakan rumah orang tuaku dan secara de
jure merupakan rumah Nenek yang diwariskan untuk ibuku. Kalau mau bersih bersih
kamar mandi kos itu rasanya ada yang ganjel. Karena semua kebersihan sudah
ditangani oleh petugas kebersihan yang setiap pukul 8 pagi membersihkan lorong
lorong kos dan menyapu daun mangga yang jatuh di pelataran rumah.
Tak butuh waktu lama, kami peserta training
digiring ke sebuah aula. Disana aku bertemu kembali dengan teman-temanku yang
lain di berbagai Universitas. Rasanya seperti nostalgia. Karena terakhir kami
bertemu saat temu Nasional di Bandung empat bulan yang lalu. Kami diperintah
untuk membuat liukkan melingkar. Seperti ular-ularan. Seisi aula, penuh dengan
jejeran ular-ularan yang kami bentuk. Tak tahu persis, di belakangku ada Irul,
teman dari jogja. Dan dia laki-laki di deretanku. Depan dan belakang Irul
perempuan. Pasti ada yang salah dengan formasi ini. Ah, turuti saja perintah
trainer. Karena sesaknya, aula yang besar seolah tertutup dengan keberadaan
kami yang berjejer membentuk formasi. Tubuhku ditopang oleh Irul dari belakang.
Dan dia sudah bermacam-macam dengan tangannya. Lama sekali. Walau hanya sekedar
mengusap-usap. Rasanya geli. Lalu enak. Sampai, seorang trainer perempuan
dengan jilbab lebarnya memergoki kami. Ah, ini pasti gara-gara Irul.
Kami berdua disuruh untuk maju ke depan.
Tak ada kata depan. Seluruh ruang aula penuh dengan deretan formasi ular.
Sampai kata 'depan' yang diminta adalah di tengah-tengah. Mukaku pucat. Kalau
formasi ini dibentuk dengan sangat apik yang mengatur zona perempuan dan
laki-laki mungkin tidak ada Irul di belakangku. Dia laki-laki diantara deret
perempuan. Dan aku berada persis di depannya. Salah siapa ini? Salah siapa
ruang aula penuh sesak? Kalau trainer yang baik tak akan menempatkan aula
sebagai tempat untuk bermain ice breaking.
Persis di tengah ruangan kami
ditunjuk-tunjuk karena ulah kami. Mukaku, aku buat datar. Toh, menurutku aku
tidak sepenuhnya salah. Aku membela diri dalam hati. Meskipun trainer perempuan
dengan jilbab lebar itu selalu berbusa-busa mengeluarkan dalil agamanya, aku
sepenuhnya sadar tetap tak kugubris. Masa iya, seorang Ariani yang selama hidupnya
menjalani sistem single happy berbuat seperti itu. Ia sudah sangat takut dengan
yang namanya dosa. Sejak kelas 2 SD saat temannya memamerkan rambut mereka, ia
tutupi dengan jilbab. Seorang yang tidak agresif memperebutkan laki-laki yang
disukainya sampai melepasnya pergi demi perempuan yang jurusan pendidikan itu
berbuat hal yang seronok. Kalau dinalar, itu tidak mungkin. Ini pasti mimpi.
Kulihat lelaki yang jurusan kedokteran yang
menatapku dengan tajam. Wajahnya oriental dengan kulit coklat dan rambut
berkarakter seperti landak. Sering nyigrak ke atas secara alami. Seorang yang
aktif dengan lembaga dakwah kampus plus dia seorang Presiden Mahasiswa BEM fakultas Kedokteran. Di dalam
hunusan tatapannya aku merasa kotor. Adli, masih tak membiarkan aku kembali
menatapnya karena malu. Ah, kalau aku bertemu dia sebelum bertemu kamu, aku
pasti sudah jatuh di cintanya. Terpejam sebentar mataku. Aku berharap ini hanya
sekedar mimpi. Tak berhasil.
Sebuah deringan alarm pukul 05.15 berbunyi.
Lagunya Reminds of you milik Byul menceritakan patah hatinya aku padamu. Karena
mendapatkan perempuan yang bukan aku. Tepat! Aku bersyukur bisa keluar dari
mimpi buruk. Mimpiku seolah ada celah cacatnya jika itu nyata. Bagaimana
mungkin teman SD, Nadia dan Azizah bisa satu perjalanan denganku ke Bogor yang
harusnya aku lakukan dengan teman aktifis kampus. Di dalam mimpiku pula, aku
memimpikanmu. Kejaran peluru air masih melekat. Begitu nyata. Rasa mual. Rasa
pusingku semuanya menyatu. Rasanya hatiku bergetar mengingatnya. Membayangkan
kamu diantara lelaki yang ingin kucintai.
Hanya kamu. Tetapi tercoreng dengan
ditunjuknya aku di tengah-tengah deretan formasi ular sambil diceramahi panjang
lebar bersama Irul. Tak kusangka orang yang bermasalah di mimpiku adalah orang
yang tak terduga seperti Irul. Kalau bisa memilih, aku pasti memilih Adli.
Cowok sholeh itu bagaimana jadinya jika bermain seronok denganku. Di
tengah-tengah kerumunan. Ah, otak kotor memenuhi pikiranku.
Bergegas ke kamar mandi kos yang pesing. Kembali ke dunia yang benar-benar nyata. Jam 7 harus cepat-cepat ke kantor. Menekuri dunia. Sebelumnya aku cek di instagramnya. Adli sudah update dengan foto bersama bersama mahasiswa baru yang mengikuti expo UKM. Detik itu, maaf. Aku melupakanmu.
|||
menemukan cerita ini di file laptop
2016 lalu
0 Comments