Pages

  • Home
  • Tumblr
  • linked
facebook linkedin twitter youtube

Rumah Dialektika

    • About Me
    • Renjana
    • Cerita Pendek
    • Opini
    nabila chafa:


    Distorsi hati, lalu kemudian…?
    Oleh: Nabila Nurul Chasanati


    Walau waktu mempertemukan kita sebentar,
    Tak apalah…
    Masih ada hari esok.
    Meskipun bumi tak bergerak sekalipun.
    Sayang, aku ingin menggenggam tanganmu kuat-kuat.

              Matahari tak seindah saat ini,
              Jadi, tetaplah di sini, sayangku…
              Berdua dan menikmatinya.

                       Angin tak ingin mengembuskan perlahan,
                       Tetaplah duduk dan jemari tangan kita yang bercerita
                       Lalu saling menggumam tentang goncangan alam yang mahadahsyat ini

    Sebenarnya…
    Sesungguhnya…
    Ada atau tidaknya gejala ini, bukanlah kau akan tetap bersandar di sampingku, Sayangku.
    Mata terpejam, Gemuruh badai di dada, Jemari saling bertautan.
    Akankah lebih lama seperti apa yang aku inginkan.

              Saat semua mendadak berubah
              Satu keinginanku semoga kau kabulkan,
              Kita takkan terpisahkan.
    Continue Reading
    nabila chafa:



    Mereka berbicara tentang Money politic, saya juga~


    Oleh: Nabila Nurul Chasanati

    Berbicara mengenai politik uang (money politic) tidak dapat dipisahkan dengan penyelenggara pemilihan umum, yang merupakan salah satu agenda lima tahunan untuk memilih dewan atau pemerintahan. Kita seharusnya menyadari bahwa elite yang melakukan politik uang ini juga didukung oleh keberadaan masyarakat yang seolah ‘meminta jatah’ menjelang pemilu.

    Walaupun, ada sebuah headline tertera jelas di Harian Kompas, 16 April 2014  yang mengatakan politik uang dimulai dari elite. Masyarakat awam pun juga dapat menilai bahwa hal tersebut lumrah terjadi jika elite yang melakukan. Toh, memang benar mereka menginginkan agar dia menang menjadi dewan dengan cara tersebut. Kita tidak bisa sepenuhnya menyalahkan kepada masyarakat luas, walaupun mereka seolah tergagap dalam membicarakannya. Inisiatif Caleg dianggap sebagai salah satu penyebab maraknya politik uang pada pemilihan. 

    Kita seharusnya sadar akan masalah kekinian yang menghantam pondasi demokrasi Negara kita. Kita harus membayar mahal akan tegaknya sistem Negara kita. Bukan selayaknya kita harus memandang masalah ini dengan netral –biasa saja—akan sebuah pelanggaran yang berusaha merobohkan pondasi negeri ini. 

    Negara ini memang membutuhkan seorang dewan yang baik, pemerintahan yang baik yang bersistem, dan pemilihan umum yang merupakan agenda lima tahunan itu memberi kita sebuah ruang untuk merefleksikan kondisi bangsa ini setelah masa pemerintahan yang berlangsung itu berakhir. Kita dapat mengoreksi bagaimana kelemahan dari pemerintahan yang berlangsung sebelumnya untuk memberi sebuah nilai untuk menjadikan pemerintahan selanjutnya lebih baik. Anies Baswedan berpendapat bahwa keengganan dan skeptisisme sering dilandasi dengan pandangan bahwa toh, orang baik juga tersangkut korupsi. Maka dapat dianalogikan sama dengan sepatu kotor. Jika sudah seringnya kita pakai, kita juga sering membersihkannya. Pemilu merupakan ajang untuk bersih-bersih sepatu kotor itu. Bukan sebuah ajang yang mengatasnamakan pesta demokrasi tetapi nol dalam penindakan. Maka tak sewajarnya kita tidak mencederai pesta demokrasi untuk memilih pemimpin dan dewan terbaik di negeri ini dengan sikap bahwa uang bisa membeli segalanya. Ya, uang memang dapat membeli segalanya termasuk orang yang berpartisipasi dalam pesta demokrasi ini lalu memintanya untuk bertindak seperti apa yang dia inginkan. Tetapi hal itu juga harus dibayar mahal akan pencapaian yang akan dilaksanakan. Jika dewan atau pemerintah kita yang menjalankan itu buruk, salah siapa dulu yang memintanya untuk menjadi dewan atau bahkan masuk dalam pemerintahan itu. Katakan pada diri anda, itu kesalahan anda yang memilihnya dan memenangkannya.

    Ambil uangnya jangan pilih orangnya!

    Kita sadar bahwa sebenarnya Indonesia masih belum mampu menempatkan demokrasi ini menjadi lebih baik. Politik uang merupakan budaya, tradisi yang entah diturun temurunkan hingga mengakar sampai detik ini. Ini menjadi sebuah dilemma tersendiri. Dimana lingkaran setan yang tidak bisa diputus akibat dari kesadaran diri kita yang rendah. Toh, nantinya elite akan mencari cara untuk ‘balik modal’ dengan mengkorupsi uang rakyat. Alih-alih pasti akan mendapat keuntungan dengan transaksi dari korupsi yang mereka lakukan. Tapi walaupun intrik-intrik terjadinya pelanggaran akan terus terjadi dan menggoyahkan asas demokrasi, setidaknya kita dapat pelajaran. Bukankah sejarah adalah tempat orang belajar masa lalu dan memproyeksikan kasus kekinian menjadi suatu media pembelajaran mengambil hikmah yang ada. Jadi, walaupun tantangan Indonesia masih belum bisa menjalankan demokrasi ini secara baik akibat maraknya politik uang yang beredar, membuat kita sadar bahwa kepemimpinan yang baik itu tidak dapat dilihat dari menangnya para pimpinan elite kita yang memenangkan pemilu dengan politik uang, tetapi sebuah kesadaran pada diri kita akan pemerintahan kita sendiri dan turut serta dalam pembangunan. Kita bagian terkecil dalam sistem, bukan mereka –walaupun mereka punya kekuasaan—setidaknya kita maju dengan diri kita.

    Kemudian putus lingkaran setan yang ada!!~~
     
    Continue Reading
    nabila chafa:



    Maksimalkan potensi Biogas
    Oleh: Nabila Nurul Chasanati
                    Setiap hari kita selalu tutup hidung jika harus melewati sungai yang ditepinya penuh oleh tumpukkan sampah. Bukan pemandangan yang baru saja terjadi. Mulai dari masyarakat mulai mengenal aliran sungai yang tampak kotor karena membawa aliran dari hulu, disanalah ajang sampah itu diwakilkan dan membuat aliran sampah menjadi beranekaragamnya. Apalagi mengingat beberapa perusahaan industri menempati posisi yang strategis yaitu tak jauh dari keberadaan sungai.
    Bila masyarakat mau belajar kembali, sesungguhnya pemanfaatan sampah itu tidak hanya berpatok pada pemanfaatan kompos saja. Banyak hal yang bisa kita dapatkan dalam pemanfaatan limbah sampah. Bukan hanya limbah yang sekiranya bisa dimanafaatkan kembali dengan membuat barang produksi dari inovasi pembuangan sampah saja. Sampah ‘terkutuk’ pun jika kita jeli melihat peluang, sangat menjanjikan dan dapat menyelesaikan masalah sampah yang begitu kompleks ini.
    Sebuah wacana yang saya baca dari Koran kompas, 22 November 2013 tentang pemanfaatan sampah yang dilakukan di Norwegia yang pemanfaatan sampah menjadi biogas. Hasil pembusukan sampah rumah tangga itu dimanfaatkan sebagai sumber energy ini melalui beberapa tahap.
    Hal ini mungkin sangat relevan dan harusnya diterapkan di Indonesia karena setiap 600 bus transjakarta membutuhkan 4,5 juta kaki kubik standar, yang setara dengan 127,5 juta liter bahan bakar gas untuk berlalu lalang di Ibukota. Bisa saja, pemanfaatan yang tepat guna untuk menyelesaikan sampah-sampah yang menumpuk di sungai Ciliwung atau sungai-sungai lain di Jakarta bisa menjadi pasokan sebuah energi terbarukan yang sudah di terapkan di kota Oslo, Norwegia. Negeri ini harus mencontoh sebuah penciptaan energy terbarukan biogas, agar penghematan akan konsumsi bahan bakar fosil dapat dimanfaatkan di sektor lainnya.
    Memang, kita masih berbangga akan kekayaan yang dimiliki Indonesia. Tetapi sebuah cara yang bijak untuk kita untuk memanfaatkan potensi untuk pengurangan sampah dan pemberdayaan sampah yang biasanya dianggap masyarakat sebagai sebuah barang ‘terkutuk’ menjadi suatu hasil yang tepat guna untuk menunjang sebuah perekonomian juga. Menurut data Kementrian Lingkungan Hidup 2009, timbunna sampah di Jakarta sekitar 7.200 ton yang diperkirakan sekitar 60 persen merupakan sampah yang dapat dimaksimalkan untuk diubah menjadi biogas. Kita bisa menghemat konsumsi bahan bakar fosil dari pemanfaatan ini.

    Continue Reading
    nabila chafa:
    *) mengingat kembali persahabatan yang terikat dari organisasi kecil bernama PRAMUKA.... ) dan kita dipertemukan di sana. UNTUK IDA, teman sebangku, untuk dia yang memperkenalkan dunia kemandirian padaku...


    Untuk kamu da, ini ceritanya :)




    Waktu ‘tadi malam’ itu
    Aku marah. Masalah perkemahan belum clear benar. Dana sekolah belum cair. Technical Meeting untuk PTA tidak ada seorang pun yang datang. Aku menunggu gelisah. Terpekur dengan keadaan tak berjarak. Menyakitkan. Proker keduanya pramuka gagal tanpa peserta. Hidungku basah. Mataku lembab berair. Aku menangis.
    Aku menyadari. Sekolah semegah ini hanya 8 orang anggota Subsie pramuka dari 330 anak lebih. Kenapa hanya 8 orang ? Halo, yang lain pada kemana?? Rasa-rasanya aku ingin membubarkan subsie ini. Subsie yang kata orang sungguh membosankan ini. Siapa yang patut disalahkan jika hal ini terjadi. Mengapa juga angkatan atasku tidak becus mendidik kami. Hanya marah tanpa tahu situasi dan kondisinya. Aku juga bisa. Sekarang aku muak.
    Aku kembali ke rumah dengan kadar emosi yang tinggi. Susah terkendali. Mengurusi proker sebesar ini hanya segelintir orang yang mau kerja. Merekalah yang masih punya sedikit integritas dan dedikasi. Sedang yang lain, mereka tak tampak. Kabur. Aku tak tahu apa yang harus ku lakukan saat waktu melewatiku. Tanganku kaku. Aku pun lunglai dalam naungan dunia yang terlelap gelap. Usai hidup menampakkan kemewahannya. Aku membayangkan perkemahan dalam bulatan duka. Aku tak tega.
    Tanggal 26 Januari 2012, H-1 PTA diadakan. Aku tak tahu apa yang harus dikerjakan. Aku menunggu perintah dalam kebekuan. Ida, temanku yang berbuat lebih banyak. Aku menatapnya yang berseliweran sangking padatnya deadline  yang harus dipenuhi. Aku memikul gulungan kapas satu ton sedang dia memanggul berton-ton bijih besi yang penuh kepenatan. Mengenaskan. Aku terlanjur putus asa. Aku tak punya tenaga. Tak tahu pula harus membagi kesedihan ini dengan siapa. Keputusasaanku terbawa angin hangat yang membakar semangatku. Jatuh bagaikan abu. Ida melihatku. Menepuk pundakku pelan. Aku menangis dalam keterdiaman. Semakin lama waktu mendekatiku dan aku hanya mengacuhkannya. Aku tahu, dia lebih menderita dibandingkan aku.    
    Ida menyuruhku untuk survey tempat di bumi perkemahan yang rencananya menjadi tempat kami berkemah. Daerah barat daya. Di kaki sebuah gunung. Aku berangkat bersama kawanku. Memotong dinginnya jalan dengan semangatku. Seolah angin mempunyai ruh untuk membisikku tentang semangat yang tak pernah padam. Ku toleh awan yang menggantung dengan konyolnya di langit. Mereka berarak dengan harmonisasi yang teratur. Seolah mereka percaya ada jalan di balik ini semua. Barangkali potongan-potongan waktu menjawab semua pertanyaanku. Aku masih menunggu.
    Hari ini tepatnya acara Penerimaan Tamu Ambalan itu diadakan. Pukul 6 pagi aku sudah mempersiapkan segala sesuatunya. Tas punggung yang banyak menampung barang bawaan. Tentu saja seragam pramuka lengkap tak ketinggalan. Seragam kebanggaan. Pagi hari di sekolah, semua aktivitas baru dimulai. Masih ada daftar list yang memuat hal-hal yang kurang. Kami menunggu truk tiba dengan melengkapi kekurangannya. Semuanya terasa penuh kerja sama. Sensasinya menyeruak terasa di bulu kudukku. Aku kecipratan olehnya. Tanpa sela. Tanpa Tanya. Semuanya tahu apa yang perlu dikerjakan. Karena alam yang menceritakannya.
    Perjalanan dari sekolah sampai ke bumi perkemahan memakan waktu 2 jam menggunakan truk yang disewa Ida. Bahu membahu para peserta tampak saat mereka menaiki truk dan menatanya dalam kesibukan mereka. Aku menyipitkan mata, menghitung. Sembilan raga peserta yang ikut. Hanya segelintir orang saja yang mau dan mampu membantu. Aku masih bersyukur dengan keadaan ini. Ada yang peka. Tapi, tak kupungkiri  hati ikut bersedih. Merintih. Mengapa harus terjadi semua ini? Masih adakah penderitaan lagi di ujung sana? AKu tersiksa.
    Sesampainya di tempat, kami membongkar muatan. Memasang tenda ramai-ramai. Lalu upacara pembukaan. Semuanya teratur terkendali. Sampai bencana itu datang. Tak kasat mata dan terjadi di ujung matahari melenyapkan diri dari permukaan bumi. Saat gumpalan awan putih naik melewati bukit perkemahan kami. Saat itu semua posisi berjarak jauh. Teracak karena susah mengoordinasi. Lidahku kelu. Haruskah ini terjadi. Gemuruh petir membelah peradaban. Aku membeku. Tak beranjak.
    Semuanya pontang-panting. Membicarakan tangisan alam yang memecah jerit tangis hatiku. Usahaku  nol besar. Hanya mengangkuti barang ke tempat yang lebih kering. Hal ini berlanjut sampai malam tiba. Malam yang dipenuhi kedukaan. Dinginnya malam membekukan suasana. Tak ada lagi tawa seperti hal yang semestinya. Aku terlarut menjadi pecahan-pecahan es yang menghujani ulu batinku. Memandangi percikan-percikan air yang jatuh, kosong. Berharap Tuhan memberikan kehangatan. Tak terputus doaku untuk-Nya. Tapi tak terjawab. Satu dua orang peserta tumbang gara-gara tragedi ini. Seragam pramkaku… lupakanlah. Terbawa tiupan angin dan air yang menggigil. Kesekian kali aku tak mengerti. Diperbudak oleh keadaan. Keyakinanku hancur. Balutan waktu kadang tidak sejalan secara sistematis. Apalah arti kiriman hujan tanpa kita tahu isinya. Aku masih tergugu bersama keabstrakan waktu. Memeluk angin yang susah diraih. Menangis dalam diam.
    “Ayo, bil!” Keburu dingin!” ujar temanku. Aku mengangguk. Mengekor di belakangnya penuh kesedihan. Entahlah, lama aku diam. Kosong. Aku tak tahu pasti apa yang harus dilakukan. Mengadu pada Sang Kuasa untuk menopangku dari belakang. Dari keletihanku.
    Malam semakin larut. Temanku, Amal menyewa vila terdekat. Barang bawaan kami titipkan di aula warga. Kami para peserta dan panitia dalam satu atap rumah penuh kehangatan dibanding penjara dingin di luar. Akan lebih kacau jadinya jika kami nekat mendirikan perkemahan diantara pekatnya malam. Aku tak peduli apa kata orang bilang, kami sia-sia ada di sini tanpa berkemah. Tidakkah mereka berpikir jika kawanku limbung dengan nyawa karena kedinginan. Tidakkah hati mereka peka akan gambaran orang memperjuangkan hidup antara kematiannya. Akulah ketua pelaksananya. Jadi di pundakkulah aku memberi mereka kesempatan hidup dalam nyawa mereka. Tanggung jawabku.
    Meskipun tangisan saat hati kehilangan kata. Tak memberiku jawaban yang semestinya. Aku akan lakukan yang terbaik untuk semua ini. Tak ada api unggun malam ini. Tak apa. Rajutan waktu akan membuka tabir malam. Hamparan keterjangkauan alam raya berselimut tangis dan duka. Kesekian kali aku merintih tapi lebih banyak orang yang bersedih. Jiwaku bergetar ingin merengkuh malam. Jika aku  bisa, tak kubiarkan awan putih itu merancau. Tak kubiarkan pekikan kedukaan menyelimuti malamku. Andai aku bisa memeluk awan. Walaupun aku menggurutu, toh tak ada hasilnya. Ini semua sudah terjadi. Air tak bisa ditanya. Awan hanya mengantar rezekinya. Kupandangi langit yang dilingkupi kebimbangan. Suara alam merdu. Langit susah menembus hiasan bengis awan. Seakan mereka sedang merangkai cerita bersama. Cerita penuh makna dari alam raya. Tak ada duanya.
    ♪♫
    Hari kedua, perkemahan PTA. Semuanya frustasi dengan kejadian kemarin malam. Termasuk aku. Sosok tegar itu, inspirasiku. Teman yang selalu ada di belakangku. Mendukung di saat aku lemah. Kini ia ada di barisan depan. Memimpin kami semua untuk jalan sehat. Semuanya tahulah. Keadaan seperti ini -sepagi ini- bisa membekukan kulit. Tapi dia bersemangat. Aku tak tahu, dia kemasukan malaikat apa sampai seperti itu. Ku sunggingkan senyum yang entah akhir-akhir ini jarang ku tampakkan. Memang seperti ini seharusnya. Kemah yang menceriakan. Bukan penuh kedukaan.
    Hari kedua adalah hari terakhir kami berkemah. Dua hari satu malam adalah ijin yang diberikan sekolah kami untuk mengadakan acara perkemahan ini. Tidak lebih. Truk sudah stand by beberapa menit yang lalu. Dialah yang akan mengangkut kami semua pulang. Kembali ke sekolah. Semua orang bersiap-siap meletakkan barang bawaan. Bergotong royong membawanya. Memasukkan segala perlengakapan dalam truk. Detik ini pun tiba. Meninggalkan bumi perkemahan. Meninggalkan semua kedukaan dan kesedihan. Dibawa pergi oleh haluan awan. Entah kemana. Takkan pernah kembali untuk saat ini.
    Semuanya lelah. Itu sudah jelas. Bima, peserta kemah itu kini tergeletak limbung di sisi kelas XII. Mengatur tempat untuk segera melayang dengan alam mimpinya. Jujur, kemarin malam tak ada yang bisa tidur nyenyak dalam villa. Aku tahu. Aku paham. Waktu terakhir ini adalah makan. Kami lelah dengan makanan yang dipesan Ida, bejibun banyaknya. Akan sisa banyak makanan ini semua. Kebersamaan terakhir anggota Pramuka. Makan bersama. Melepas lelah dengan obrolan hangat. Tentang cerita tadi malam yang tak hentinya dibicarakan. Sekarang rasanya berbeda. Segala sesuatu yang diobrolkan tentang kisah tadi malam semakin menyenangkan saja. Aku tak tahu dari sudut pandang mana hingga cerita itu begitu menganggumkan untuk dikenang.
    Adalah kisah tadi malam. Kisah perkemahan yang –sedikit- gagal. Semuanya usai. Menjadi butir cerita konyol. Saat terpeleset oleh lumpur. Tentang barang bawaan yang basah kuyup dilindungi dinginnya malam. Tentang peristiwa toilet penuh karena kami. Semuanya lucu. Tadi malam adalah kisah mengenai kombinasi hangat semua rasa. Tadi malam bagaikan pemen gula-gula rasa manis. Kami cicipi bersama dan melewatkannya begitu saja. Dua sangga Cakra Bakara dan Candra Smaga akan dikenang sepanjang asa, melewati pekatnya malam berembun dengan permen gula-gula manis. Akan terasa manis. Entah sampai kapan.
    ♪♫ end.

    Continue Reading
    Newer
    Stories
    Older
    Stories

    About Me!

    About Me!

    Arsip

    • ►  2023 (1)
      • ►  Jan 2023 (1)
    • ►  2021 (34)
      • ►  Aug 2021 (1)
      • ►  Jul 2021 (3)
      • ►  Jun 2021 (3)
      • ►  May 2021 (4)
      • ►  Apr 2021 (8)
      • ►  Mar 2021 (6)
      • ►  Feb 2021 (4)
      • ►  Jan 2021 (5)
    • ►  2020 (64)
      • ►  Dec 2020 (4)
      • ►  Nov 2020 (4)
      • ►  Oct 2020 (4)
      • ►  Sep 2020 (4)
      • ►  Aug 2020 (5)
      • ►  Jul 2020 (6)
      • ►  Jun 2020 (6)
      • ►  May 2020 (5)
      • ►  Apr 2020 (9)
      • ►  Mar 2020 (6)
      • ►  Feb 2020 (9)
      • ►  Jan 2020 (2)
    • ►  2019 (12)
      • ►  Jul 2019 (1)
      • ►  May 2019 (4)
      • ►  Apr 2019 (1)
      • ►  Mar 2019 (2)
      • ►  Feb 2019 (3)
      • ►  Jan 2019 (1)
    • ►  2018 (6)
      • ►  May 2018 (2)
      • ►  Apr 2018 (1)
      • ►  Jan 2018 (3)
    • ►  2017 (9)
      • ►  Dec 2017 (1)
      • ►  Nov 2017 (2)
      • ►  Oct 2017 (1)
      • ►  Sep 2017 (5)
    • ►  2016 (3)
      • ►  Sep 2016 (1)
      • ►  Apr 2016 (1)
      • ►  Mar 2016 (1)
    • ►  2015 (7)
      • ►  May 2015 (6)
      • ►  Mar 2015 (1)
    • ▼  2014 (25)
      • ►  Nov 2014 (1)
      • ►  Oct 2014 (2)
      • ►  Jun 2014 (1)
      • ►  May 2014 (2)
      • ▼  Apr 2014 (6)
        • Puisi: Distorsi hati, lalu kemudian...?
        • Essay: Money Politic
        • Essay: Biogas
        • Sebuah cerita: Waktu 'tadi malam' itu
        • Ironi sebuah hati untuk menanti…
        • Puisi: Sebuah Tragedi dalam hati
      • ►  Mar 2014 (3)
      • ►  Feb 2014 (7)
      • ►  Jan 2014 (3)
    • ►  2013 (12)
      • ►  Dec 2013 (7)
      • ►  Oct 2013 (2)
      • ►  May 2013 (1)
      • ►  Jan 2013 (2)
    • ►  2012 (12)
      • ►  Dec 2012 (3)
      • ►  Nov 2012 (2)
      • ►  Jun 2012 (2)
      • ►  May 2012 (2)
      • ►  Jan 2012 (3)
    • ►  2011 (14)
      • ►  Dec 2011 (3)
      • ►  Nov 2011 (11)

    Labels

    Artikel Ilmiah Bincang Buku Cerpen Curahan Hati :O Essay harapan baru Hati Bercerita :) History Our Victory Lirik Lagu little friendship Lomba menulis cerpen :) Memory on Smaga My Friends & I My Poem NOVEL opini Renjana Review Tontonan Story is my precious time Story of my life TravelLook!

    Follow Us

    • facebook
    • twitter
    • bloglovin
    • youtube
    • pinterest
    • instagram

    recent posts

    Powered by Blogger.

    Total Pageviews

    1 Minggu 1 Cerita

    1minggu1cerita

    Follow Me

    facebook Twitter instagram pinterest bloglovin google plus tumblr

    Created with by BeautyTemplates | Distributed By Gooyaabi Templates

    Back to top