Sebuah cerita: Waktu 'tadi malam' itu
6:43 PM
nabila chafa:
*) mengingat kembali persahabatan yang terikat dari organisasi kecil bernama PRAMUKA.... ) dan kita dipertemukan di sana. UNTUK IDA, teman sebangku, untuk dia yang memperkenalkan dunia kemandirian padaku...
Untuk kamu da, ini ceritanya :)
*) mengingat kembali persahabatan yang terikat dari organisasi kecil bernama PRAMUKA.... ) dan kita dipertemukan di sana. UNTUK IDA, teman sebangku, untuk dia yang memperkenalkan dunia kemandirian padaku...
Untuk kamu da, ini ceritanya :)
Waktu ‘tadi malam’ itu
Aku marah.
Masalah perkemahan belum clear benar.
Dana sekolah belum cair. Technical
Meeting untuk PTA tidak ada seorang pun yang datang. Aku menunggu gelisah.
Terpekur dengan keadaan tak berjarak. Menyakitkan. Proker keduanya pramuka
gagal tanpa peserta. Hidungku basah. Mataku lembab berair. Aku menangis.
Aku menyadari.
Sekolah semegah ini hanya 8 orang anggota Subsie pramuka dari 330 anak lebih.
Kenapa hanya 8 orang ? Halo, yang lain pada kemana?? Rasa-rasanya aku ingin
membubarkan subsie ini. Subsie yang kata orang sungguh membosankan ini. Siapa
yang patut disalahkan jika hal ini terjadi. Mengapa juga angkatan atasku tidak
becus mendidik kami. Hanya marah tanpa tahu situasi dan kondisinya. Aku juga
bisa. Sekarang aku muak.
Aku kembali ke
rumah dengan kadar emosi yang tinggi. Susah terkendali. Mengurusi proker
sebesar ini hanya segelintir orang yang mau kerja. Merekalah yang masih punya
sedikit integritas dan dedikasi. Sedang yang lain, mereka tak tampak. Kabur.
Aku tak tahu apa yang harus ku lakukan saat waktu melewatiku. Tanganku kaku.
Aku pun lunglai dalam naungan dunia yang terlelap gelap. Usai hidup menampakkan
kemewahannya. Aku membayangkan perkemahan dalam bulatan duka. Aku tak tega.
Tanggal 26
Januari 2012, H-1 PTA diadakan. Aku tak tahu apa yang harus dikerjakan. Aku
menunggu perintah dalam kebekuan. Ida, temanku yang berbuat lebih banyak. Aku
menatapnya yang berseliweran sangking padatnya deadline yang harus
dipenuhi. Aku memikul gulungan kapas satu ton sedang dia memanggul berton-ton
bijih besi yang penuh kepenatan. Mengenaskan. Aku terlanjur putus asa. Aku tak
punya tenaga. Tak tahu pula harus membagi kesedihan ini dengan siapa. Keputusasaanku
terbawa angin hangat yang membakar semangatku. Jatuh bagaikan abu. Ida melihatku.
Menepuk pundakku pelan. Aku menangis dalam keterdiaman. Semakin lama waktu
mendekatiku dan aku hanya mengacuhkannya. Aku tahu, dia lebih menderita
dibandingkan aku.
Ida menyuruhku
untuk survey tempat di bumi
perkemahan yang rencananya menjadi tempat kami berkemah. Daerah barat daya. Di
kaki sebuah gunung. Aku berangkat bersama kawanku. Memotong dinginnya jalan
dengan semangatku. Seolah angin mempunyai ruh untuk membisikku tentang semangat
yang tak pernah padam. Ku toleh awan yang menggantung dengan konyolnya di
langit. Mereka berarak dengan harmonisasi yang teratur. Seolah mereka percaya
ada jalan di balik ini semua. Barangkali potongan-potongan waktu menjawab semua
pertanyaanku. Aku masih menunggu.
Hari ini
tepatnya acara Penerimaan Tamu Ambalan itu diadakan. Pukul 6 pagi aku sudah
mempersiapkan segala sesuatunya. Tas punggung yang banyak menampung barang
bawaan. Tentu saja seragam pramuka lengkap tak ketinggalan. Seragam kebanggaan.
Pagi hari di sekolah, semua aktivitas baru dimulai. Masih ada daftar list yang memuat hal-hal yang kurang.
Kami menunggu truk tiba dengan melengkapi kekurangannya. Semuanya terasa penuh
kerja sama. Sensasinya menyeruak terasa di bulu kudukku. Aku kecipratan
olehnya. Tanpa sela. Tanpa Tanya. Semuanya tahu apa yang perlu dikerjakan.
Karena alam yang menceritakannya.
Perjalanan dari
sekolah sampai ke bumi perkemahan memakan waktu 2 jam menggunakan truk yang
disewa Ida. Bahu membahu para peserta tampak saat mereka menaiki truk dan
menatanya dalam kesibukan mereka. Aku menyipitkan mata, menghitung. Sembilan
raga peserta yang ikut. Hanya segelintir orang saja yang mau dan mampu
membantu. Aku masih bersyukur dengan keadaan ini. Ada yang peka. Tapi, tak
kupungkiri hati ikut bersedih. Merintih.
Mengapa harus terjadi semua ini? Masih adakah penderitaan lagi di ujung sana?
AKu tersiksa.
Sesampainya di
tempat, kami membongkar muatan. Memasang tenda ramai-ramai. Lalu upacara
pembukaan. Semuanya teratur terkendali. Sampai bencana itu datang. Tak kasat
mata dan terjadi di ujung matahari melenyapkan diri dari permukaan bumi. Saat
gumpalan awan putih naik melewati bukit perkemahan kami. Saat itu semua posisi
berjarak jauh. Teracak karena susah mengoordinasi. Lidahku kelu. Haruskah ini
terjadi. Gemuruh petir membelah peradaban. Aku membeku. Tak beranjak.
Semuanya
pontang-panting. Membicarakan tangisan alam yang memecah jerit tangis hatiku.
Usahaku nol besar.
Hanya mengangkuti barang ke tempat yang lebih kering. Hal ini berlanjut sampai
malam tiba. Malam yang dipenuhi kedukaan. Dinginnya malam membekukan suasana.
Tak ada lagi tawa seperti hal yang semestinya. Aku terlarut menjadi
pecahan-pecahan es yang menghujani ulu batinku. Memandangi percikan-percikan
air yang jatuh, kosong. Berharap Tuhan memberikan kehangatan. Tak terputus
doaku untuk-Nya. Tapi tak terjawab. Satu dua orang peserta tumbang gara-gara
tragedi ini. Seragam pramkaku… lupakanlah. Terbawa tiupan angin dan air yang
menggigil. Kesekian kali aku tak mengerti. Diperbudak oleh keadaan. Keyakinanku
hancur. Balutan waktu kadang tidak sejalan secara sistematis. Apalah arti
kiriman hujan tanpa kita tahu isinya. Aku masih tergugu bersama keabstrakan
waktu. Memeluk angin yang susah diraih. Menangis dalam diam.
“Ayo, bil!”
Keburu dingin!” ujar temanku. Aku mengangguk. Mengekor di belakangnya penuh
kesedihan. Entahlah, lama aku diam. Kosong. Aku tak tahu pasti apa yang harus
dilakukan. Mengadu pada Sang Kuasa untuk menopangku dari belakang. Dari
keletihanku.
Malam semakin
larut. Temanku, Amal menyewa vila
terdekat. Barang bawaan kami titipkan di aula warga. Kami para peserta dan
panitia dalam satu atap rumah penuh kehangatan dibanding penjara dingin di
luar. Akan lebih kacau jadinya jika kami nekat mendirikan perkemahan diantara
pekatnya malam. Aku tak peduli apa kata orang bilang, kami sia-sia ada di sini
tanpa berkemah. Tidakkah mereka berpikir jika kawanku limbung dengan nyawa
karena kedinginan. Tidakkah hati mereka peka akan gambaran orang memperjuangkan
hidup antara kematiannya. Akulah ketua pelaksananya. Jadi di pundakkulah aku
memberi mereka kesempatan hidup dalam nyawa mereka. Tanggung jawabku.
Meskipun
tangisan saat hati kehilangan kata. Tak memberiku jawaban yang semestinya. Aku
akan lakukan yang terbaik untuk semua ini. Tak ada api unggun malam ini. Tak
apa. Rajutan waktu akan membuka tabir malam. Hamparan keterjangkauan alam raya
berselimut tangis dan duka. Kesekian kali aku merintih tapi lebih banyak orang
yang bersedih. Jiwaku bergetar ingin merengkuh malam. Jika aku bisa, tak kubiarkan awan putih itu merancau.
Tak kubiarkan pekikan kedukaan menyelimuti malamku. Andai aku bisa memeluk
awan. Walaupun aku menggurutu, toh tak ada hasilnya. Ini semua sudah terjadi.
Air tak bisa ditanya. Awan hanya mengantar rezekinya. Kupandangi langit yang
dilingkupi kebimbangan. Suara alam merdu. Langit susah menembus hiasan bengis awan.
Seakan mereka sedang merangkai cerita bersama. Cerita penuh makna dari alam
raya. Tak ada duanya.
♪♫
Hari kedua, perkemahan PTA. Semuanya frustasi dengan
kejadian kemarin malam. Termasuk aku. Sosok tegar itu, inspirasiku. Teman yang
selalu ada di belakangku. Mendukung di saat aku lemah. Kini ia ada di barisan
depan. Memimpin kami semua untuk jalan sehat. Semuanya tahulah. Keadaan seperti
ini -sepagi ini- bisa membekukan kulit. Tapi dia bersemangat. Aku tak tahu, dia
kemasukan malaikat apa sampai seperti itu. Ku sunggingkan senyum yang entah
akhir-akhir ini jarang ku tampakkan. Memang seperti ini seharusnya. Kemah yang
menceriakan. Bukan penuh kedukaan.
Hari kedua
adalah hari terakhir kami berkemah. Dua hari satu malam adalah ijin yang
diberikan sekolah kami untuk mengadakan acara perkemahan ini. Tidak lebih. Truk
sudah stand by beberapa menit yang
lalu. Dialah yang akan mengangkut kami semua pulang. Kembali ke sekolah. Semua
orang bersiap-siap meletakkan barang bawaan. Bergotong royong membawanya.
Memasukkan segala perlengakapan dalam truk. Detik ini pun tiba. Meninggalkan
bumi perkemahan. Meninggalkan semua kedukaan dan kesedihan. Dibawa pergi oleh
haluan awan. Entah kemana. Takkan pernah kembali untuk saat ini.
Semuanya lelah.
Itu sudah jelas. Bima, peserta kemah itu kini tergeletak limbung di sisi kelas
XII. Mengatur tempat untuk segera melayang dengan alam mimpinya. Jujur, kemarin
malam tak ada yang bisa tidur nyenyak dalam villa. Aku tahu. Aku paham. Waktu
terakhir ini adalah makan. Kami lelah dengan makanan yang dipesan Ida, bejibun
banyaknya. Akan sisa banyak makanan ini semua. Kebersamaan terakhir anggota
Pramuka. Makan bersama. Melepas lelah dengan obrolan hangat. Tentang cerita
tadi malam yang tak hentinya dibicarakan. Sekarang rasanya berbeda. Segala
sesuatu yang diobrolkan tentang kisah tadi malam semakin menyenangkan saja. Aku
tak tahu dari sudut pandang mana hingga cerita itu begitu menganggumkan untuk
dikenang.
Adalah kisah
tadi malam. Kisah perkemahan yang –sedikit- gagal. Semuanya usai. Menjadi butir
cerita konyol. Saat terpeleset oleh lumpur. Tentang barang bawaan yang basah
kuyup dilindungi dinginnya malam. Tentang peristiwa toilet penuh karena kami.
Semuanya lucu. Tadi malam adalah kisah mengenai kombinasi hangat semua rasa.
Tadi malam bagaikan pemen gula-gula rasa manis. Kami cicipi bersama dan
melewatkannya begitu saja. Dua sangga Cakra Bakara dan Candra Smaga akan
dikenang sepanjang asa, melewati pekatnya malam berembun dengan permen gula-gula
manis. Akan terasa manis. Entah sampai kapan.
♪♫ end.
0 Comments