Pages

  • Home
  • Tumblr
  • linked
facebook linkedin twitter youtube

Rumah Dialektika

    • About Me
    • Renjana
    • Cerita Pendek
    • Opini

    Sebenarnya selama 2022 banyak hal yang terjadi. Kehilangan ibuk, kehilangan kerja di akhir taun, tapi apakah aku patah? Engga. Sama sekali engga.

    Jujur, munafik banget kalau aku gak galau. 

    Kehilangan ibuk dii bulan april tepat di hari Kartini, 10 hari terakhir bulan Ramadhan dan tepat di hari Kamis malam Jumat. Badan lemes, menggigil tulang, mak nyesss. 

    Aku sama adekku bungsu, Rahma cuma pegangan tangan. Saling menguatkan. Adekku yg lain si Zidni ngurus segala macem urusan jenazah di rumah sakit. Malam terasa panjang dan lama. Banyak hal printilan yang harus diurus. Surat kabar lelayu, memberi tau sanak saudara dan lainnya. 

    Lelah. Jelas. 

    Alhamdulillah banget, mbak Iffah Leaderku masih bangun di jam jam malam itu. Ngabari kalau besok aku gak bisa bekerja. Dikasi libur 2 hari. 

    Pas nulis memori ini, jujur pingin banget nglupain setiap jengkal memorinya. Karena nyeseknya masih sampai ke tulang. Sedih ditinggal, kekalutan, ketakutan, kegelisahan nyampur duar jadi satu. 

    Semuanya seakan terasa ringan ketika waktu yang sudah mulai menghapuskannya. Sesekali kalau ada temen ngajak pergi kemana aku ayo. Tapi pada akhirnya juga cengeng nangis lagi. Wkwkkwwk

    Hingga berakhir di tahun 2022 ini. Geger geden masalah krisis kantor. Sampai bikin beberapa pegawainya kena lay off. Salah satunya akuuu. Aku tau ada yang lebih menderita dibanding aku, jadi aku nggak ada hak buat jadi org yang paling menderita. 

    Dan disinilah aku sekarang. Menanti kabar baik dari setiap lamaran kerja yang sudah aku kirim. Alhamdulillah masih ada yang nyangkut. Kemungkinan besar bakal kerja remote lagi sampai menemukan tempat berlabuh. 

    Apapun itu, dimana pun itu. Ayo kembali bangkit dari keterpurukan. Nanti kita ketawa bareng bareng bil, lebih keras. Lebih pantas bahagia dan menertawakannya❤️😍

    1 Januari 2022
    20.36



    Continue Reading

    Its to late to say, but here we go.

    Zidni Rosida Taufiqoh, terima kasih kamu sudah berjuang keras. Terus hidup, sehat, baik baik saja hingga hari ini. Eksistensimu masih dibutuhkan. Kiprahmu selanjutnya akan dinantikan.

    Lahir di 12 Agustus 1997 hingga berdiri sampai detik ini bukan hal yang mudah. Dunia sudah kacau. Ditambah hantu pandemi yang nggak kelar-kelar.

    Membuang mimpi dan mengejar cita cita hanya beda tipis kadang. Orang tak mudah berpikiran untuk menerobos. Rintangan ke depan udah terbuka zid. Kamu mau lewat jalan mana.

    Tenang, kamu nggak bakal sendirian. Ada aku!

    YUK udah yuk, bangun dan terus semangat menerjang mimpi di depan mata.

    (*)

    Rabu, 18 Agustus 2021
    17.40
    Continue Reading



    I'm fallin in love. Someone that playing in the court.

    But sometimes it breaks me. No matter how you feel, no matter what going on, it breaks me so hard. Right place doesnt mean its alraight. I mean, when we dont know what happened for the future, we're just doing right time now.

    With work hard, even pain and failure looms over us.

    Dear, dont falling down so low. embarras yourself like this. Rise up and keep fight.

    You just said for the interviewed, "Previously, when a game went like this, I would be able to recover and think clearly," 

    "I would have been able to pull through. But I couldn't recover tonight, and that's down to my weakness."

    Firstly, you said confident. You can attack the game. 

    But it doesnt work again. You already tired. 

    But his confidence deserted him when Heo began to gain a foothold in the first game, and he was unable to reassert control.

    "I was 10-5 up in the first game, I wasn't moving badly and I had an attacking image in my mind," you said.

    "But then I lost a few points in a row and my opponent beat me to 11, which affected me mentally and I didn't recover. I came up short."

    Dear KenMot I wanna said, "Won several tournament and then comeback stronger than ever!"

    Oke? Lets move. Dont make me so frustated again.

    (*)

    29/7/2021
    Sorry just make me feel so bad yesterday
    21.12
    Continue Reading
    Cerah banget kan awannya, tapi bikin gerah.


    Tepat hari ini tanggal 20 Juni, sudah 16 hari yg lalu dan absen nulis 2 kali :( di blog. Nggak tau kenapa, males banget. Otak burn out terus. Nggak bergairah blas. Ini kalau gak nulis lagi 2 minggu lagi bisa ditendang dari grup perwasapan, yang which is its okay juga :)

    Tepat hari ini pula, adalah perayaan Idul Adha. Ada yang spesial tahun ini. Yaitu aku ikut berkurban. Hanya kambing sih. Awalnya ditawari ikut iuran sapi di sebuah kelompok di masjid. Tapi sudah ada yang ngisi. Nggak papa. 

    Bentuk ikhtiar kebaikanku. Mengikhlaskan berapa juta itu untuk dibelikan kambing. Kemudian berbagi pada sesama. 

    Merasa banyak-banyak syukur setelah dikasih banyak sekali kebaikan.

    Orang tua positif covid-19. Bapak terinfeksi Desember 2020 berjuang sendirian, tanpa ina itu, isolasi di rumah. Ibuk baru saja sembuh juga beberapa pekan lalu. Terinfeksi bulan Juni lalu, baru sembuh 2 minggu ini.

    Alhamdulillah.

    Sebuah kebaikan yang aku dapatkan di tengah kebisingan kita mendapati banyak kabar duka.

    Alhamdulillaah.

    Punya dua adek yang menyenangkan sekaligus menyebalkan di satu sisi wkwkwk. Sebuah kebaikan lainnya yang aku terima.

    Mutual twitter yang menyenangkan. Teman-teman yang saling dukung satu sama lain. Alhamdulillah banget.

    Ya Allah, aku merasa mendapatkan banyak kebaikan dari segi rezeki, dukungan, dan limpahan semuanya.

    Masih bisa menghirup dan menghela napas. Merasakan rasanya nikmat makan. Menikmati secerca harapan. Berkhayal. Merasa cukup waras dan baik baik saja.

    Semoga, semoga, semoga. Kita semua diberi ketabahan di dalam musibah yang datang. Kemerdekaan di atas penjajahan. Kebaikan yang meluas di tengah situasi yang semrawut.




    (*)

    16.22
    20/7/2021



    Continue Reading

    Sebuah perjalanan panjang yang aku benci adalah menggunakan bus. Ah, bau mesinnya menyeruak dan selalu membuatku mual. Rasanya ingin menyumpal itu mesin mesin dengan karung, andaikan bus itu bisa berjalan tanpa mesin, sudah kulakukan jauh-jauh hari. Langkahku terasa berat untuk melangkah menuju bus. Temanku Nadia dan Azizah--aku tidak tau kenapa kedua teman SD-ku bisa menjadi teman seperjalanan jauhku--sibuk dengan aneka ragam tas. Barang bawaan mereka cukup banyak hingga menghabisi tempat. Lagi-lagi aku juga tidak mengerti perjalanan yang seharusnya memakan waktu semalam bisa menggunakan bus rukun sayur. Halo? Apa kabar dengan revitalisasi transportasi umum. Hoak. Aku tidak percaya bisa hidup semalaman ditemani bau mesin. Ini perjalanan gratisku. Lagi! Yang namanya perjalanan gratis aku zdddtidak boleh banyak bacot. Cukup tenang. Dan kalaupun harus muntah, muntahlah. Diwadahi alas besi cukup menyeruak bau kerumunan. Biar aku tidak jadi pergi. Ayahku orang yang cukup peduli dengan kesehatanku selama perjalanan, beliau pasti mau untuk menjemputku di tengah jalan. Jika bus sudah terkena muntahku, untuk melindungi seluruh penumpang pasti sopir bus dengan siap sedia menurunkanku di jalan manapun. Persetan dengan agenda wajib!

     

    Nadia memberikanku cukup ruang. Dia memilihkan tempat dekat dengan jendela. Dan berada di sisi depan. Aku bisa dengan leluasa memandangi kaca. Memandangi setiap lekuk perjalanan panjangku. Tapi apa yang kulakukan. Aku bergumul dengan kesendirian dan tetap tenang. Aku tidak ingin kedua temanku merasa khawatir dengan kondisiku. Jelas. Sudah pasti pusing dan tiba-tiba suhu badan naik. Maklum. Kondisi ini selalu aku dapati saat akan melakukan perjalanan jauh. Apalagi dengan menggunakan bus. Demamku langsung naik tinggi.

     

    Sebelum aku sempat tertidur, kulihat sawah sawah hijau. Baru saja ditanam. Meski bulir bulir padi masih tumbuh. Sebelah sawah,  ada lapangan tak cukup luas. Tapi mampu membuat penduduk desa memanfaatkan untuk ajang pertandingan voli. Bermain dengan anak tetangga saat usia senja tak lama lagi. Pancaran matahari sudah terlihat jarang. Karena awan mendung menggenangi membuat tua usia. Seperti wajah Nenek Wardoyo. Melihat pemandangan jalan pun tidak cukup bagus view-nya. Aku hanya melirik sinis pada dunia. Sopir di sampingku terlihat fokus dengan jalanan. Cuaca mendung seperti ini saja ia tak cukup mampu dengan melihat jalan tanpa kaca mata. Mencolok sekali dengan celana jeans longgar kaos polo merah dan topi. Tak lupa kaca mata hitam. Untuk ukuran sopir bus rukun sayur ia terlihat modis. Harusnya ia dipekerjakan di bagian bus jarak jauh yang bagus. Bus yang ber-ac. Bus dengan fasilitas lengkap seperti televisi dan sound yang cocok untuk berkaraoke. Bus yang tak ketinggalan dengan fasilitas wifi. Itu harusnya. Faktanya tidak demikian.

     

    Lalu ketika matahari merangkak turun bumi, awan pecah di ufuk timur, tergambar jelas melalui siluet putih deras. Hingga membuat jarak pandang perjalanan semakin meringkuk sendu. Jalanan belum basah. Bus yang kutumpangi jalan cepat menghindar dari peluru air di langit yang siap menghujam. Menusuki bus kami. Lagi- lagi aku merasa mual. Hatiku seolah dibuat tentram dengan ulah pasukan langit yang tidak menyerah mengajar keberadaan kami yang menjauh ke arah utara. Deru bus yang semakin lama semakin berjalan cepat. Sesekali harus ngerem dadakan. Ah, kepalaku.

     

    Nuansa sore dikejar kejar oleh pasukan langit, harusnya aku keluar dari bus sambil menggegam erat payung, berjalan menyusuri petang atau menembus waktu dengan sepeda motor. Mengantri membeli martabak. Di sisi jalan, banyak aneka warung. Dan roti bakar. Mie ayam dan bakso. Tinggal pilih salah satunya. Memikirkannya saja membuatku merasa hangat. Selip dingin bisa membentuk hegemoni keromantisan. Ditemani bau tanah yang menusuk wangi. Harusnya lagi ditemani belahan hati. Duh, hatiku.

     

    Hei, bagaimana kabarmu? Terakhir bertemu saat kamu menemaniku di Langenharjo. Pesanggrahan milik Pakubuwana. Senja di Bulan Suci Ramadhan. Sekembali dari sana, kita buka puasa bersama. Momen itu hanya sekelumit saja. Karena itulah aku merindumu. Tapi, kamu sudah mendapatkan ganti perempuan. Katanya mahasiswi pendidikan. Wah, calon guru. Pasti sabar. Pasti penyayang. Cocok untuk dijadikan istri. Tidak sepertiku. Pemberontak dan keras kepala. Lagi-lagi aku memang tak sebanding dengan perempuanmu.

     

    Udara semakin dingin. Ac alami memasuki ruang di bus reyot ini. Lalu gerimis. Bus ini pun menyerah pada keputusan bahwa dia memang kalah. Angin yang membawa butir peluru airnya sedikit demi sedikit masuk. Lewat jendela kaca. Sampai sampai membuat embun. Hingga sesekali jatuh di tanganku. Petir tak kalah meramaikan dengan gemanya yang mengagetkan penduduk bumi. Aku melek. Aku sadar. Nuansa romantis tak akan aku dapati. Hanya sebuah khayalan. Gerimis ini membangunkanku dari pikiran panjang tentang kamu. Langit tiba tiba saja gelap. Habis energinya. Menyimpan kembali untuk esok hari.

     

    Bus masih melaju. Meninggalkan kenangan yang tiba tiba hadir tanpa perintah. Tidak cukup satu. Sebelum tidur, aku bermimpi. Tentang kamu. Lagi. Masih dalam hitungan menit. Tentang kamu yang pernah menyambutku dengan senyum lebar. Saat akan memasuki ruang kuliah. Menyapaku. Dan memintaku untuk mewakili angkatan untuk pertandingan futsal. Oh, tentu aku menyanggupi. Lalu aku meringis. Kaku. Entah kenapa, hatiku menjadi semakin ringan. Karena memikirkanmu. Tapi selalu berat di akhir. Mungkin karena kamu sudah punya gandengan. Menyesakkan.

     

    |||

     

    Aku terkesiap. Nadia membangunkanku dari mimpi panjang. Rasanya ringan. Hatiku tak sekeruh kemarin. Sekembalinya ke alam nyata, ternyata aku masih di bus. Sesampai di masjid untuk menjama' sholat maghrib dan isya, aku langsung mapan tidur. Dalam tidurku, aku berharap kembali memimpikan kamu. Tapi, nyatanya Tuhan memberiku petunjuk tentang acara esok hari. Ya, esok hari itu adalah hari ini. Dan bus masih melaju. Entah sampai kapan akan tiba. Aku malas menanyakan. Hari masih petang. Jam di tangan menunjukkan pukul 3 pagi. Sebentar lagi subuh. Rasa sesal kembali mengguncangku. Harusnya aku tidak bangun. Kembali bangun sama artinya harus merasakan pusing dan mual. Suhu badanku bisa naik lagi. Padahal kemarin malam hujan sampai titik-titik airnya mengenaiku, aku dalam keadaan sehat wal afiat. Tidak untuk aku bangun.

     

    Kulirik jalanan. Berusaha untuk mengalihkan perhatianku dari rasa mual dan pusing. Kulihat plang besar di tengah jalan. Wow, sudah memasuki Bogor ternyata. Ah, macet. Padahal baru pukul 3 pagi. Wajar juga, karena bus ini melalui jalanan dekat Pasar tradisional. Ibu-ibu bangun pagi hanya untuk mendapatkan sayuran segar. Jalanan hanya diisi sebagian besar angkutan yang mengangkut hasil bumi untuk dijual. Aku berusaha mendinginkan perasaanku. Sebentar lagi sampai. Sebentar lagi.

     

    Nadia yang membangunkanku ternyata ingin punya teman melek. Duh, orang ini. Kalau bukan teman baikku, aku pasti berusaha untuk tidur lagi. Aku mendengarkan banyak sekali cerita darinya. Mulai urusan keluarga sampai hati. Aku hanya cukup mendengarkan. Karena dia cerita. Tak nyaman rasanya untuk menimpali. Buat apa  antusias. Karena ini masih terlalu pagi. Pagi-pagi cerita hanya aku balas deheman, anggukan atau ber-o ria. Maklum saja. Energiku aku simpan bila suatu waktu aku muntah. Bau mesin lagi-lagi menusuk hidung. Rasanya ingin ku minta Pak supir untuk menghentikan perjalanannya. Sudahlah. Cepat atau lambat perjalanan ini akan berakhir.

     

    Jika Nadia tidak menunjuk sebuah plang besar bertuliskan zona Madina, aku mungkin sudah akan bersiap untuk kembali tidur. Menjemput mimpi indah yang tertahan. "Setelah ini kita sampai."

     

    Kata 'setelah' tidak akan cepat aku percaya kalau bus yang membawaku ini putar balik di jalan dan menurunkan kami semuanya di pelataran jalan menuju zona Madina. Langkahku semakin ringan untuk melangkah. Walaupun harus berdesakkan ingin keluar dari ketidaknyamannya bus reyot ini. Kalau aku punya kuasa, aku ingin bus ini cepat di pensiunkan. Kasihan rakyat yang memakai.

     

    Waktu sudah menunjukkan pukul empat lebih, rasanya seperti mimpi melewati perjalanan jarak jauh hanya dengan berbekal dua tas. Satu tas punggung dan satu tas yang khusus aku gunakan untuk menyimpan pakaian. Nadia dan Azizah membawa tiga tas. Satu tas tunggu dan dua diantaranya adalah tas cangking. Aku tidak tahu apa isi di dalamnya. Kalau berisi kosmetik apa sampai memakan tempat sedemikian besarnya.

     

    Aku bergegas segera mengambil air wudhu dan sholat subuh. Sebelum energi yang dihimpun matahari tersebar lagi di belahan bumi yang diterangi. Selepas sholat aku masih mengenakan mukena dan tergeletak di alas sajadah, melanjutkan tidur yang sungguh sungguh tidur. Efek tidur sambil duduk ditambah goyangan bus yang melaju sesekali ngerem dadakan, punya efek tersendiri di badanku. Dan aku benci itu. Punggungku seolah dicubit sampai memar semua. Setiap aku mencoba rilekskan, krekk-krekk sampai mau patah tulang-tulangku.

     

    |||

     

    Aku lupa kapan pastinya. Sampai-sampai aku sudah berbenah dengan baju rapi selepas bangun tidur di masjid. Aku mandi di toilet masjid. Tidak seperti kos-kosanku di jogja. Yang kamar mandinya pesingnya minta ampun. Ah, pilihan terbaik untuk hidup adalah pulang ke rumah. Semuanya serba rapi. Kalaupun kotor, aku tidak segan-segan untuk membersihkannya. Karena itu merupakan rumahku. Sebagian aku melalui masa hidup ya hanya di rumahku. Meskipun secara de facto merupakan rumah orang tuaku dan secara de jure merupakan rumah Nenek yang diwariskan untuk ibuku. Kalau mau bersih bersih kamar mandi kos itu rasanya ada yang ganjel. Karena semua kebersihan sudah ditangani oleh petugas kebersihan yang setiap pukul 8 pagi membersihkan lorong lorong kos dan menyapu daun mangga yang jatuh di pelataran rumah.

     

    Tak butuh waktu lama, kami peserta training digiring ke sebuah aula. Disana aku bertemu kembali dengan teman-temanku yang lain di berbagai Universitas. Rasanya seperti nostalgia. Karena terakhir kami bertemu saat temu Nasional di Bandung empat bulan yang lalu. Kami diperintah untuk membuat liukkan melingkar. Seperti ular-ularan. Seisi aula, penuh dengan jejeran ular-ularan yang kami bentuk. Tak tahu persis, di belakangku ada Irul, teman dari jogja. Dan dia laki-laki di deretanku. Depan dan belakang Irul perempuan. Pasti ada yang salah dengan formasi ini. Ah, turuti saja perintah trainer. Karena sesaknya, aula yang besar seolah tertutup dengan keberadaan kami yang berjejer membentuk formasi. Tubuhku ditopang oleh Irul dari belakang. Dan dia sudah bermacam-macam dengan tangannya. Lama sekali. Walau hanya sekedar mengusap-usap. Rasanya geli. Lalu enak. Sampai, seorang trainer perempuan dengan jilbab lebarnya memergoki kami. Ah, ini pasti gara-gara Irul.

     

    Kami berdua disuruh untuk maju ke depan. Tak ada kata depan. Seluruh ruang aula penuh dengan deretan formasi ular. Sampai kata 'depan' yang diminta adalah di tengah-tengah. Mukaku pucat. Kalau formasi ini dibentuk dengan sangat apik yang mengatur zona perempuan dan laki-laki mungkin tidak ada Irul di belakangku. Dia laki-laki diantara deret perempuan. Dan aku berada persis di depannya. Salah siapa ini? Salah siapa ruang aula penuh sesak? Kalau trainer yang baik tak akan menempatkan aula sebagai tempat untuk bermain ice breaking.

     

    Persis di tengah ruangan kami ditunjuk-tunjuk karena ulah kami. Mukaku, aku buat datar. Toh, menurutku aku tidak sepenuhnya salah. Aku membela diri dalam hati. Meskipun trainer perempuan dengan jilbab lebar itu selalu berbusa-busa mengeluarkan dalil agamanya, aku sepenuhnya sadar tetap tak kugubris. Masa iya, seorang Ariani yang selama hidupnya menjalani sistem single happy berbuat seperti itu. Ia sudah sangat takut dengan yang namanya dosa. Sejak kelas 2 SD saat temannya memamerkan rambut mereka, ia tutupi dengan jilbab. Seorang yang tidak agresif memperebutkan laki-laki yang disukainya sampai melepasnya pergi demi perempuan yang jurusan pendidikan itu berbuat hal yang seronok. Kalau dinalar, itu tidak mungkin. Ini pasti mimpi.

     

    Kulihat lelaki yang jurusan kedokteran yang menatapku dengan tajam. Wajahnya oriental dengan kulit coklat dan rambut berkarakter seperti landak. Sering nyigrak ke atas secara alami. Seorang yang aktif dengan lembaga dakwah kampus plus dia seorang Presiden Mahasiswa  BEM fakultas Kedokteran. Di dalam hunusan tatapannya aku merasa kotor. Adli, masih tak membiarkan aku kembali menatapnya karena malu. Ah, kalau aku bertemu dia sebelum bertemu kamu, aku pasti sudah jatuh di cintanya. Terpejam sebentar mataku. Aku berharap ini hanya sekedar mimpi. Tak berhasil.

     

    Sebuah deringan alarm pukul 05.15 berbunyi. Lagunya Reminds of you milik Byul menceritakan patah hatinya aku padamu. Karena mendapatkan perempuan yang bukan aku. Tepat! Aku bersyukur bisa keluar dari mimpi buruk. Mimpiku seolah ada celah cacatnya jika itu nyata. Bagaimana mungkin teman SD, Nadia dan Azizah bisa satu perjalanan denganku ke Bogor yang harusnya aku lakukan dengan teman aktifis kampus. Di dalam mimpiku pula, aku memimpikanmu. Kejaran peluru air masih melekat. Begitu nyata. Rasa mual. Rasa pusingku semuanya menyatu. Rasanya hatiku bergetar mengingatnya. Membayangkan kamu diantara lelaki yang ingin kucintai.


    Hanya kamu. Tetapi tercoreng dengan ditunjuknya aku di tengah-tengah deretan formasi ular sambil diceramahi panjang lebar bersama Irul. Tak kusangka orang yang bermasalah di mimpiku adalah orang yang tak terduga seperti Irul. Kalau bisa memilih, aku pasti memilih Adli. Cowok sholeh itu bagaimana jadinya jika bermain seronok denganku. Di tengah-tengah kerumunan. Ah, otak kotor memenuhi pikiranku. 


    Bergegas ke kamar mandi kos yang pesing. Kembali ke dunia yang benar-benar nyata. Jam 7 harus cepat-cepat ke kantor. Menekuri dunia. Sebelumnya aku cek di instagramnya. Adli sudah update dengan foto bersama bersama mahasiswa baru yang mengikuti expo UKM. Detik itu, maaf. Aku melupakanmu.

    |||

    menemukan cerita ini di file laptop

    2016 lalu

    Continue Reading

    Terbang membawa hampa. Mawar tak lagi harum baunya. Semerbak putik bunga berguguran tak lagi bawa daya. Maka penyambutan suka cita datang.

    Elang yang terbang jauh itu datang membawa pesan damai. Membawa kabar baik bak bumi yang diselamatkan dari kiamat. Bencana besar yang digadang-gadang datang itu tak lagi ada.

    Mungkin semburat senyum sinis itu membawa kebahagiaan tersendiri. Pada malam yang selalu sepi. Dia datang hangat menyinari seperti pagi.

    "ketika kita bisa bangkit dari keterpurukkan," kata sahabatku.

    Aku jawab, kita pasti bisa.

    Ya. Karena kabar baik akan segera datang menyapa.

    "Pasti kamu tahu rasanya dikecewakan kan?" tanya sahabatku lagi. Dia merenung di tengah tenggelamnya senja ini.

    Kami duduk di rerumputan dekat tumpukan sampah tepi kali. Melihat senja seperti melihat isi semesta yang indah ini. Suatu kali dia akan tenggelam. Mungkin pula fajarnya akan menyongsong dari utara.

    "Tapi gakpapa. Itu hal baiknya," imbuh sahabatku lagi.

    Aku mengernyit lagi. Tak mengerti.

    "Karena ada kamu yang bakal memegangku erat. Kalau aku jatuh, kalau aku tenggelam, dari mimpi-mimpiku," tambahnya.

    Dia patah hati. Aku tahu. Tapi dia membuat patah hatinya menjadi lebih bermakna. Lebih naik derajat dari yang biasa aku lihat di sinetron tv.

    " Kondisi kita seperti tidak bermimpi tinggi-tinggi ya, soalnya gak bakal dapat, " kataku.

    Dia hanya terkekeh. Kemudian menggeleng.

    "Nggak perlu miliki dunia ini. Satu dari berapa juta persen pun kita gak bakal sanggup. Udah nikmati aja,"

    Kenapa kalimat pasrahnya selalu tepat di saat aku belum berusaha tapi sudah dijatuhkan. Ah, rasanya menyebalkan dan tersadar dalam satu tarik waktu.

    *

    Mata itu menatapku lagi. Seperti ladang sahara yang membara. Gersang tetapi membawa adil besar. Kita tengah kepanasan mengusahakan hal yang tak mungkin. Tapi seolah seperti rumah.

    Bagi harapan yang pupus. Dan sudah terseok pada sampah. Di lapisan lithosfer yang jauh bermil di bawah bumi sana.

    Mata itu miliknya. Tak pernah hilang.

    20 juni 202
    19.51


    Continue Reading




    Senjakala malam menyapa malammu. Penuh kesunyian dan deru redam suara napas yang tak bertalu. Pada dia, langit malam yang cerah. Bisakah datang membawa secerca keceriaan di tengah kegelapan. 

    Wahai sore menjelang malam, tidak bisakah kau titipkan maksud dan tujuanku sebelumnya? Membawa pekat dan sunyi yang masih membelenggu untuk terhempas.

    Ditengah hingar bingar cerita yang datang bersahutan. Bak suara kucing-kucing tetangga rapat di pinggir pos ronda malam. Tak bisakah sunyi atau perasaan yang tidak memiliki tumpuan ini sirna. Biarkan burung dara peliharaan tetangga membawa serta kabar bahagia itu.

    Ah, 

    Atau setidaknya daun yang tidak ditakdirkan untuk jatuh itu membawa pesan penuh makna. Bahwa setidaknya dia sudah mencoba bertahan pada ranting dari terpaan angin muson yang sudah datang.

    Kemudian, memori liar itu datang. Soal cerita kusut masa lalu yang masih dibawa-bawa hingga menjelang tidur.

    Untuk semua orang yang mengenakan rok putih dengan atasan batik biru tua itu. Hal yang paling dirindukan dari yang pernah ada. Sorak-sorai seorang siswa yang memenangkan penghargaan. Atau pidato kepala sekolah yang menggebu-nggebu di tengah kekhidmatan siswa di lapangan upacara.

    Atau pada tatapan cinta pertama di sekoalah dulu.

    Heuh.

    Kan, kadang hidup memang harus berjalan. Terlalu menyenangkan jika membawa kaca spion di setiap perjalanan. Tatkala sepi dan sunyi itu datang, kalanya memang kita harus pasrah.

    Ah, pada perasaan yang sudah datang membuncah. Membawa serta kaca pecah. Meringis kesakitan sempurna di dalam hati. Kemudian menangis dalam diam ketika tidur tiba.

    Sudahlah. 

    Kan kata orang, di usia kita sekarang, menangis sudah menjadi bagian rutinitas yang menyebalkan. Toh kita tidak bisa menghindari hal menyenangkan yang akan datang.

    "Pada kesunyian, 

    masi ada harap? Aku haturkan doa di tengah malam yang panjang,"

    (*)

    21.07
    Minggu 
    13.6.21
    Continue Reading
    Older
    Stories

    About Me!

    About Me!

    Arsip

    • ▼  2023 (1)
      • ▼  Jan 2023 (1)
        • My Last Dance
    • ►  2021 (34)
      • ►  Aug 2021 (1)
      • ►  Jul 2021 (3)
      • ►  Jun 2021 (3)
      • ►  May 2021 (4)
      • ►  Apr 2021 (8)
      • ►  Mar 2021 (6)
      • ►  Feb 2021 (4)
      • ►  Jan 2021 (5)
    • ►  2020 (64)
      • ►  Dec 2020 (4)
      • ►  Nov 2020 (4)
      • ►  Oct 2020 (4)
      • ►  Sep 2020 (4)
      • ►  Aug 2020 (5)
      • ►  Jul 2020 (6)
      • ►  Jun 2020 (6)
      • ►  May 2020 (5)
      • ►  Apr 2020 (9)
      • ►  Mar 2020 (6)
      • ►  Feb 2020 (9)
      • ►  Jan 2020 (2)
    • ►  2019 (12)
      • ►  Jul 2019 (1)
      • ►  May 2019 (4)
      • ►  Apr 2019 (1)
      • ►  Mar 2019 (2)
      • ►  Feb 2019 (3)
      • ►  Jan 2019 (1)
    • ►  2018 (6)
      • ►  May 2018 (2)
      • ►  Apr 2018 (1)
      • ►  Jan 2018 (3)
    • ►  2017 (9)
      • ►  Dec 2017 (1)
      • ►  Nov 2017 (2)
      • ►  Oct 2017 (1)
      • ►  Sep 2017 (5)
    • ►  2016 (3)
      • ►  Sep 2016 (1)
      • ►  Apr 2016 (1)
      • ►  Mar 2016 (1)
    • ►  2015 (7)
      • ►  May 2015 (6)
      • ►  Mar 2015 (1)
    • ►  2014 (25)
      • ►  Nov 2014 (1)
      • ►  Oct 2014 (2)
      • ►  Jun 2014 (1)
      • ►  May 2014 (2)
      • ►  Apr 2014 (6)
      • ►  Mar 2014 (3)
      • ►  Feb 2014 (7)
      • ►  Jan 2014 (3)
    • ►  2013 (12)
      • ►  Dec 2013 (7)
      • ►  Oct 2013 (2)
      • ►  May 2013 (1)
      • ►  Jan 2013 (2)
    • ►  2012 (12)
      • ►  Dec 2012 (3)
      • ►  Nov 2012 (2)
      • ►  Jun 2012 (2)
      • ►  May 2012 (2)
      • ►  Jan 2012 (3)
    • ►  2011 (14)
      • ►  Dec 2011 (3)
      • ►  Nov 2011 (11)

    Labels

    Artikel Ilmiah Bincang Buku Cerpen Curahan Hati :O Essay harapan baru Hati Bercerita :) History Our Victory Lirik Lagu little friendship Lomba menulis cerpen :) Memory on Smaga My Friends & I My Poem NOVEL opini Renjana Review Tontonan Story is my precious time Story of my life TravelLook!

    Follow Us

    • facebook
    • twitter
    • bloglovin
    • youtube
    • pinterest
    • instagram

    recent posts

    Powered by Blogger.

    Total Pageviews

    1 Minggu 1 Cerita

    1minggu1cerita

    Follow Me

    facebook Twitter instagram pinterest bloglovin google plus tumblr

    Created with by BeautyTemplates | Distributed By Gooyaabi Templates

    Back to top