Pages

  • Home
  • Tumblr
  • linked
facebook linkedin twitter youtube

Rumah Dialektika

    • About Me
    • Renjana
    • Cerita Pendek
    • Opini
    nabila chafa:


    Solo, 20 Februari 2014 at 7.37 pm
    *)Memperingatkan tentang keberadaanmu, ndi?
    Silahkan bersih-bersih Gunung Kelud, ya!
    Salam Cinta Lestari dariku untukmu…
    Semoga pertemuan kita tidak hanya di masa SMA saja,
    Bukan berarti aku terlalu berharap,
    Hanya menunggu takdir yang tepat untuk mengatakan…
    ‘Aku di sini!’
    Embusan napas masih terasa sama…
    Kau tak kan jauh lagi, itu yang aku percaya.
    Kau tak kan menghapus langkah besarmu, itu yang aku yakini.
    Kau akan selalu sama dengan tingkah konyolmu yang membuatku tertegun sendiri, itu yang aku bayangkan sekarang.
    Aku ingin satu nama dari milyaran bintang bernama manusia.
    “PARTIKEL ‘TITIK’ ITU”
    Itu adalah satu nama, yaitu KAMU :’)


    Lebih dari itu…

    Jarak satu ke daerahmu itu terbentang luas bak melewati lautan penuh ombak,
    Jarak di sini sampai ke tempatmu melewati ribuan titik pencahayaan siang malam,
    Jarak titik koordinat ini sampai di sana melewati puluhan derajat yang satu derajatnya adalah 111km,
    Jarak kita terpisah dengan embusan angin muson tiap musimnya yang bergerak mengitari berbagai belahan benua,
    Aku sungguh di ambang ketidakpercayaan antara semua itu.
    Tapi aku hanya ingin kamu yang memikirkan itu!

    Bayangkan?
    Sedemikian rumit jarak memisahkan…
    Ini tentang keberadaan kita diantara penghuni milyaran manusia di bumi,
    Kau tidak sadar dengan paradigma rumus yang aku ajukan?
    Ingin membantah?
    Silahkan…

    Sesak rasanya…
    Aku tak tahu kenapa?
    Hanya masih mencoba mencari tahu setiap inti jawabnya…
    Mengapa aku bertahan di titik ini’?
    Membayangkannya saja, rasanya malas sekalii…
    Tak bisa lagi mengingat detail raut wajahmu…
    Menghilang dalam kabut transparan…
    Jarak yang menjadi tokoh antagonis di antara kita.
    Aku ingin bertanya, Kenapa sampai di sini di titik kita?
                                    Bukankah lebih indah jika tak berjarak??
    Bukannya cinta memang tak ada batas jarak?
    Lalu kenapa kita lakukan ini?
    Kau tak pernah mengerti…
    Tak pernah memahami…

    Silahkan…
    Bayangkan?
    Rumus tersulit dalam perjalanan hidup kita!
    Antara susah dan senang.
    Hanya perlu satu kata!
    Aku bertahan sampai detik ini.
    Jadi, tak perlu kau ragu untuk menanyakan bagaimana rasaku.
    Kau hanya perlu percaya dan menyakini alih-alih bisa mengamini!
    Tak jauh lagi, aku ingin tahu sebenarnya sebuah harapan yang timbul dari keniscayaan…
    Dan harapanku tak pernah lekang oleh jarak yang begitu jahat memisahkan kita.
    Tak perlu ragu…
    Tak perlu bingung…
    Aku di sini berusaha memaknai apa yang kau berikan!
    Satu kata untuk semua,
    ‘Aku masih sama’
    Ku tunggu kau di sini dengan sejuta bunga…
    Karena hanya aku tempat kamu pulang~~~
    Dan kita akan kalahkan jarak itu sendiri…
    Memutuskan mata rantai rumus yang aku berikan.

    Sesungguhnya, Jarak adalah cara terbaik memaknai bahwa sejauh apapun kamu berada…
    Dengan embusan angin aku bisa sampaikan dimana saja,
    Asalkan masih dalam galaksi yang sama,
    Asalkan masih dalam satu planet yang sama,
    Kita juga akan selalu sama,
    Aku hanya berdoa untuk kita…
    *)Ingin seperti embusan angin di porak-porandakan di pohon…
    Batang kokoh, daun rindang, ranting bercabang,
    Menjulang dengan keberadaannya yang berbeda,
    Aku ingin meneriakkan satu nama…
    KAMU :D

    *) Jadi, kamu percaya nggak ndi?
    Kalau sampai rentang waktu ini aku masih menunggu mencari tahu,
     Dengan caraku sendiri, aku ingin mengapresiasi penolakan halusmu,
    Tapi bolehkah aku pinta sesuatu?
    Bolehkah kita bertemu sekali lagi untuk mengukur jarak sejauh mana kita berada.
    Jejak antara kita.
    Tak terukur rentang waktu dan jarak.
    Hanya kita.
    Dalam hening, aku berdoa…
    Kamu kuat sendirian bersih-bersih Gunung Keludnya, ndi?

    Salam Lestari…


    Nabila,
    Untuk orang yang bersih-bersih di ‘Gunung Kelud’ :D
    Continue Reading
    nabila chafa : dedicated to my neigbour, friends, and motivater....


    Solo, 20 Februari 2014


    Long Distance Relationship~~~~~



    It has been a long time ago…


    I didn’t know how much I love him. Until now,  I can’t realize that the day come too fast than I thought. I sent message and call his phone repeatedly. But, he wasn’t give feedback. Why you as though disappear? I didn’t know either that this was going to happen. 


    I check my facebook account on this time. Perhaps, he told me why he was gone without permission. But not at all. No attention. No information. He’s really disappear. 


    Akari Toyoda give me some message again.  He’s my friend in Japan and Tokahiro’s too. 


    You must don’t worry, Tokahiro is alright. He’s busy for this moment. 


    He told me like that. But how much this time was so expensive without any his information ? I asked to find  Tokahiro’s out. It’s not for first time. How pathetic I am. 


    Akari give some message. Again…


    Something marvelious will happen, just observe it well :D 


    I phone ring. I hold on immediately. From International number and I miss so much when the number called me. 


    “Hi..”


    “Why you so…”


    “Could you accept my proposal?”


    I saw a Tokahiro’s photo in my message. He’s done.

    ____________________end_______________________

    *buat temenku yang satu ini, aku hanya mau ngupacin untuk berselamat long distance, karena memang susah. Karena rasanya juga terasa nyesek kalau dijalanin, jadi, just enjoy it yah, Rat! Ganbatte Kudasai :)
    *Aku tak paham sepenuhnya apa rasa itu? Apa sebenarnya yang dialami oleh kebanyakan orang yang *yah* harus menjalani hubungan jarak jauh, anyway gue juga bingung mengungkapkan, kenapa mereka mau mengharapkan sesuatu itu :( Just you know-lah, aku hanya bisa belajar dari kalian yang sedang menjalani hubugan yang seperti itu :)) selamat menikmati dan menjalani :))


    *) buat aku, sepertinya konsep LDR memang susah diterapkan di pribadiku ini, Karena apa? Aku lebih suka yang di depan mataku langsung dan merasakan sensasinya :) Jadi, yah *maav* kalau selama ini aku juga bingung dengan konsep orang kebanyakan yang betah untuk menjalani hubungan macam itu :))


    Enjoy ya, RATRI :p


    Continue Reading

       nabila chafa dalam karya ilmiahnya  ^^V











    ADAT DAN HUKUM ISLAM ACEH ABAD KE-17

    Nabila Nurul Chasanati C0513036
    Ilmu Sejarah FSSR UNS
    chafa.nabila27@gmail.com

    ABSTRACT
    The title in this article is Adat and Islamic laws Aceh on 17th century written by Nabila Nurul Chasanati that explained every laws which consists in history on this decade. Aceh has different recognited law on 17th century. It was proved with royal edict or royal adat and adat’s law. Both of the laws were combine and the Aceh’s society were obeyed. As long as time, Aceh independent laws for central government. History Aceh given the power from custom in every society. So, it was implied and consists on the proved laws. Every infringement, those region gave punishment at different punishment done. For example: qisas,  ta’zir, chaubuk punishment until died. It cover custom tradition which every decade on the stable condition. The result is society didn’t make obeyed the system traditional/adat in Aceh.
    Kata Kunci: qisas, hukuman cambuk, ta’zir, palace’s adat, adat’s law.

    1.      Pendahuluan
    Sejarah mencatat bahwa pada abad ke-17 merupakan periode kerajaan Aceh telah mencapai zaman keemasan. Kemajuan ini meliputi berbagai bidang kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang mampu diwujudkan. Dalam aspek keagamaan, kerajaan Aceh disebut sebagai pusat kekuatan Islam (the champion of Islam). Di Aceh sendiri antara ‘kerajaan’ dan ‘Islam’ adalah dua hal yang secara substansial tidak dapat dipisahkan.
    Sebagai sebuah kerajaan Islam, hukum Islam telah diaplikasikan di Aceh pada abad ke-17 yang mana peran “adat” dalam proses judicial merupakan isu menarik untuk mengkaji khususnya konteks keislaman Asia Tenggara yang praktik dari “adat” memainkan peranan penting, bahkan dominan. C.Snouck Hurgronje menggarisbawahi dominasi “adat” dalam proses judicial di Aceh pada akhir abad 19 (C. Snouck Hurgronje, 1906: 72-73, 95-116). Hukum Islam juga disebut “parameter” dalam melihat Islam atau tidak sebuah masyarakat. Joseph Shacht menegaskan bahwa “hukum islam merupakan manifestasi yang paling tipikal dari pandangan hidup yang islami. Ini merupakan pusat dan inti dari islam itu sendiri” (Joseph Schacht. 1974: 392).
    2.      Adat: Sebuah Definisi
                Kata ‘adat’ digunakan di kawasan nusantara, yang berasal bahasa arab yang berarti kebiasaan atau praktik. Secara teoritis ‘adah tidak pernah menjadi hukum islam. Namun dalam praktiknya, ia sering sebagai rujukan hukum.
                Berbicara mengenai ‘adat’ pada abad ke-19, Snouck Hurgronje memahaminya sebagai ‘kebiasaan (custom) dan hukum adat (customary law) dengan menekankan bahwa adat lebih banyak digunakan daripada syariah. Vollenhoven menawarkan istilah ‘hukum adat’ yang berarti etika semata dan ‘adat’ yang bermakna hukum. Makna adat dan hukum adat terjadi tumpang tindih, tetapi keduanya masih bisa dibedakan karena “dalam banyak hal adalah mudah untuk membedakan antara adat yang memiliki konsekuensi hukum dari yang tidak” (Vollenhoven, 1981:6)
                Adat yag memiliki karakter hukum di Aceh pada abad ke-17 sering ditemukan. Namun, ditekankan bahwa ‘adat’ pada masa ini mencakup perundang-undangan keajaan, baik tertulis maupun tidak dan berbagai hukum lain yang diterapkan oleh pihak istana tanpa memiliki keterkaitan dengan ajaran agama islam. ‘sarakata’ (royal edicts) merupakan bentuk utama dari “adat kerajaan” (royal adat). Istilah ‘adat’ digunakan secara jelas di dalam ‘sarakata’ dan juga di dalam kitab Adat Aceh, media bagi penguasa memaparkan berbagai aturan kerajaan. Dalam hal ini, istilah popular Adat Meukuta Alam dipahami sebagai segala aturan kerajaan yang dibuat oleh Sultan Iskandar Muda.
                Di pihak lain, Adat Aceh, upacara-upacara utama tampaknya adalah upacara serah upeti kepada raja berbagai pejabata, arak-arakan agung membawa pakaian kebesaran raja ke istana, upacara persembahan di makan kerajaan, dan raja sebagai inti dalam upacara itu (Adat Aceh: 6-25. Takeshi Ito, 1984: 20-218).
    Upacara-upacara untuk merayakan hari-hari besar tahunan pasti diadakan secara besar-besaran dan bahkan sembahyang Jumat juga digunakan untuk  menimbulkan rasa kagum rakyat dan tamu-tamunya kepada raja –paling tidak selama pemerintahan Iskandar Muda. Bahkan untuk kegiatan berkala setiap pecan inipun Adat Aceh menguraikan panjang lebar cara-cara mengatur iring-iringan gajah, pembesar dan prajurit dan ragam tabuhan apa yang harus dimainkan pada tambur dan gendering ketika iring-iringan berarak sepanjang jalan (Adat Aceh, 1958: 46-8. Takeshi Ito, 1984: 209-11).
    3.      Beberapa Kasus Hukum
    Paparan sejumlah kasus yang memperlihatkan sejauh mana hukum islam dapat diaplikasikan dan sejauh mana ‘adat’ seperti yang dipahami oleh masyarakat Aceh ketika dimasukkan dalam praktik hukum. Berbagai kasus yang dipaparkan di sini dapat dibagi ke dalam dua kategori, yaitu hukum pidana islam, seperti qisas, had, dan ta’zir dan hukum yang dibuat sendiri oleh penguasa.
    1.      Hukum Pidana
    Topik yang dibicarakan disini adalah kasus jimayat, yaitu pembunuhan dan melukai orang lain. Hukum pidana ini dimaksudkan untuk menjaga hak-hak asasi manusia. Oleh karena itu, jenis hukuman bagi perilaku keriminal ini adalah qisas pada kasus pembunuhan atau melukai orang lain, atau membayar diyyah ketika ‘maaf’ diberikan oleh korban.
    Banyak kasus pembunuhan sering terjadi di Aceh ketika itu, dan konsekuensinya sangat keras. Thomas Bowrey menekankan bahwa “hukum yang diterapkan di kerajaan tersebut (Aceh) sangat keras dalam banyak hal, terutama bagi pencuri, bahkan lebih keras lagi bagi pembunuh, hukumannya adalah ‘mati’ (yang dilaksanakan) sesegera mungkin. Hukuman bagi pencuri dilakukan secara bertahap namun sangat keras.
    Laporan tahun 1642 yang diberikan oleh Pieter Willemzs menginformasikan bahwa seorang warga Aceh divonis mati oleh Qadi Malik Al-Adil dan dewan hakim lainnya dalam kasus pembunuhan. Kemudian mengajukan petisi untuk dianjurkan membayar 388 tahil sebagai ganti vonis mati. Qadi membawa permohonan ini kepada Ratu Safiyyat al-Din. Ratu ini tidak memberi keputusan, namun beliau memerintahkan supaya kasus tersebut dapat diselesaikan, baik menurut “kebiasaan yang berlaku maupun hukuman yang dianut.” (K.A., 1051, “Daghregister of Pieter Willmzs”: f. 520v).
    Meskipun tidak lengkap, hal ini menjadi poin penting. Pertama, pengadilan telah menjatuhkan qisas dalam kasus ini, hal menandakan bahwa hukum islam dilaksanakan.Selanjutnya petisi ini diajukan oleh terdakwa untuk membayar sejumlah uang (diyyah) dan diberikan kepada ahli waris korban. Kenyataan bahwa terdakwa mengajukan petisi menunjukkan ‘maaf’ tidak diberikan oleh keluarga korban. Dalam hal ini, qisas seharusnya dilakasanakan sesuai dengan ketentuan hukum islam.
    Takeshi Ito menyatakan bahwa ‘kebiasaan yang berlaku’ di Aceh bermakna praktik hukum setempat yang telah mentradisi, sementara ‘hukum yang dianut’ mengacu pada hukum islam. Hal ini benar adanya, khususnya dalam dikotomi antara ‘adat’ dan ‘hukum islam’. Namun, masalahnya adalah terletak pada pemahaman tentang ungkapan ‘kebiasaan yang berlaku’ itu sendiri. Hal ini dapat diasumsikan bahwa hukum tradisional yang berlaku di Aceh, suatu praktik yang telah berlangsung sejak masa pra-islam.
    Keberadaan kedua hukum tradisional/adat dan hukum islam juga secara jelas disebutkan dalam sarakata Sultan Shams al-Alam pada tahun 1726, bahwa Qadi Malik al-Adil, Orang kaya Raja Bandhara, dan semua ahli fiqh diinstruksikan untuk menerapkan hukum islam di beberapa daerah tertentu, bukan hukum adat. Hal ini mencakup kasus pembunuhan dan melukai orang lain.Terlebih lagi seperti yang disebutkan Bowrey, hukuman berat diberikan kepada setiap orang yang melakukan pembunuhan, yaitu hukuman mati yang dilaksanakan sesegera mungkin.
    Aspek kedua dari hukum pidana adalah hadd. Hadd berarti rintangan, halangan, atau batas. Dalam istilah, bermakna hukuman yang diberikan terhadap segala perbuatan yang dianggap melanggar ajaran agama, seperti yang diatur dalam Al-Qur’an dan Hadits (Ahmad Idris al Qaraafi: 140-142).
    Perbuatan yang tergolong dalam kejahatan seperti zina, qadhaf, meminum khamr, mencuri, qat’u al-tariq (merampok di jalan).
    Di kalangan pengunjung Eropa, Aceh dikenal sebagai kerajaan yang menerapkan hukuman berat bagi para pelaku kriminal atau pengganggu ketertiban Negara dan masyarakat. Pernyataan Bowrey menginformasikan bahwa pencurian dan pembunuhan dianggap sebagai tindakan kriminal yang serius maka pelakunya harus dihukum berat.
    Dari sumber Eropa, ketentraman masyarakat Aceh dihantui oleh dua kriminal utama yaitu ‘pencurian’ dan ‘pembunuhan’. Alexander Hamilton menulis bahwa “tidak ada tempat di dunia ini yang menghukum pencuri dengan begitu berat melebihi di Aceh, namun perampokan dan pembunuhan lebih sering terjadi di sini dibanding tempat-tempat lain”. Iskandar Muda mengatakan bahwa Augustine de Beaulieu bahwa Aceh telah menjadi “sarang para pembunuh dan perampok… dan tak seorang pun merasa aman. Masyarakat di siang hari diharuskan berjaga-jaga dan para perampok dan pada malam hari mereka memproteksika diri di rumah dengan baik”. (Beaulieu,1764: 743).
    Aspek hukum pidana yang ketiga adalah ta’zir. Berasal dari kata kerja ‘azara, kata ini secara mendasar berarti mencegah, menghargai, atau memperbarui. Ta’zir dimaksudkan untuk memperbaiki atau memperbarui. Muhammad El-Awa menekankan bahwa kombinasi reform (perbaikan) dan deterrence (mencegah seseorang melakukan sesuatu tindakan yang tidak terpuji). Dampier menemukan bahwa di Aceh “kejaharan ringan hanya dihukum dengan pukulan di belakang dengan alat yang mereka namakan chaubuk (cambuk)” (Dampier, 1699: 138).
    2.      Hukuman Istana Kerajaan
    Jenis hukuman istana disebut dengan tradisional royal punishment, artinya semua bentuk hukuman yang ditetapkan oleh penguasa atas kehendaknya. Hal ini berlaku untuk semua pelanggaran yang berada yuridiksi agama, khususnya terkait dengan pelanggaran terhadap aturan kerajaan, seperti melanggar etiket kerajaan, membangkang perintah penguasa. Aturan ini tidak pasti karena tidak ditemukan adanya hukum tertulis. Pembahasan dimensi hukum perlu untuk memahami natur dan mekanisme sistem judicial kerajaan waktu itu dan sejauh mana praktik tradisional mempengaruhi berbagai keputusan hukum Islam yang dilaksanakan.
    Penguasa memiliki kepentingan etiket istana. Biduanda, dikenal sebagai pegawai istana yang mengatur segala audiensi dengan penguasa dan bertanggung jawab terhadap pengaturan segala sesuatu agar berjalan sesuai dengan aturan yang berlaku (Adat Aceh. hlm. 14-16).
    Aturan dan hukuman arbitrary dari penguasa sering terjadi, Iskandar Muda dikenal sebagai seorang penguasa yang kuat dan otoriter. Hal ini merupakan kenyataan bahwa Hikayat Aceh dan Bustan al-Salatin menyatakan bahwa Zayn al-Abidin merupakan penguasa yang kejam. “Kebijakan keras Iskandar Muda membuktikan bahwa pemerintahannya ‘absolutisme istana’ mencapai puncaknya. Akibatnya, perundangan dan hukuman sering dilaksanakan atas kehendak pribadi. Salah satu hukum yang ia ciptakan, menurut Beaulieu adalah penguasa mempunyai hak untuk menyita semua harta orang asing yang meningal di Aceh, kecuali orang Inggris dan Belanda. Beaulieu menekankan bahwa Iskandar Muda mempunyai kebiasaan buruk yaitu merampas semua kapal yang terdampar di pantai, termasuk awaknya.” (Beaulieu, 1764: 746).
    4.      KESIMPULAN
    Hukum Aceh dipraktikan pada abad ke-17 adalah composite, yang terdiri berbagai elemen. Akibatnya, batasan antara hukum Islam seperti yang diberikan dalam teks fiqh dan hukum adat menjadi kabur. Hukum Isalam secara luas diimplementasikan tidak hanya Mahkamah Agama, diketuai qadi yang membahas masalah keagamaan, akan tetapi juga di Mahkamah Kriminal yang diketuai Orang Kaya. Masa ini, ‘adat’ berperan sebagai sistem praktik judicial tradisional dan ‘adat’ kerajaan di Aceh. Hukum yang diaplikasikan di Aceh pada masa ini sangat keras sehingga tidak ditentukan oleh hukum islam. Dalam banyak kasus, hukuman berat dapat dikategorikan ke dalam ta’zir , namun banyak juga yang merefleksikan bentuk hukuman tradisional (          Langen, De Inrichting, 1888: 465).
    Oleh karena itu, perspektif hukum adalah sah untuk mengatakan bahwa Aceh meruapakan kerajaan Islam dibawah nauangan dunia Asia Tenggara. Di wilayah ini, seorang penguasa dianggap sebagai figure sentral dalam Negara oleh karena itu dianggap sebagai pembuat hukum dan hakim tertinggi. Sebagai orang yang membuat hukum (law maker), dia menerapkan adat kerajaan (royal adat). Di Aceh para penguasa sering mengambil model ini adalah al-Mukammil, Iskandar Muda, dan Safiyyat al-Din. Sebagai hakim agung, seorang penguasa merupakan penerjemah utama hukum kerajaan, meskipun harus mendelegasikan kepada bawahannya. Ini membuktikan hukum di kerajaan tersebut sepenuhnya berada di bawah kesewenangan penguasa (AC. Milner:29-34).
    5.      Daftar Pustaka
    Adat Atjeh, 1958, Reproduced in Facsmile from a Manuscript in India Office Library, ed. G.W.J. Drewes and P. Voorhoeve. ‘s-Gravenhage: Martinus Nijhoff.
    Beaulieu, Agustin de. 1764, The Expedition of Commodore Beaulieu to the East Indies. Dalam John Harris, ed. Navigatum atque Itirenantium Bibliotheca or A Complete Collection of Voyages. Vol.1. London.
    Bowrey, Thomas. 1905. A Geographical Account of Countries Round the Bay of Bengal, 1669 to 1679. Ed. R. C. Temple. Cambridge: Printed for the Hakluyt Society.
    Dampier, William. 1699, Voyages and Description. Vol.2, Pt.1. London: Printed for James Knapton.
    El-Awa, Muhammad S. 1986. The Place of Custom (‘Urf) in Islamic Legal Theory. Islamic Quarterly 17.
    Hadi, Amirul. Prof Dr MA, Desember 2010, Aceh: Sejarah, Budaya, dan Tradisi, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
    Har, B. ter. 1948, Adat law in Indonesia, New York: Institute of Pasific Relations.
    Hurgronje, C Snouck. 1906, The Achehnese, Leiden.: E. J. Brill.
    Ito, Takeshi, The World of the Adat Aceh: A Historical Study of the Sultanate of Aceh,” disertasi Ph.D Australian Universty, 1984.
    Langen, K. F. H. van. 1888,  De inrichting van het Atjehsche staatbestuur under het Sultanaat. BKI 5,3.
    Milner, AC. 1983. Islam and the Muslim State. Leiden: E.J. Brill.
    Reid, Anthony. Juli 2005. Asal Mula Konflik Aceh, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
    ------------. November 2010, Sumatra Tempo Doeloe: dari Marco Polo sampai Tan Malaka, Depok: Komunitas Bambu.
     ------------. Januari 2011, Menuju Sejarah Sumatra: Antara Indonesia dan Dunia, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
    Schacht, Joseph. 1974, The Legacy of Islam. Oxford: The  Clarendon Press.
    Vollenhoven, van C. 1981. Van Vollanhoven on Indonesia Adat Law. Ed. J. F. Holleman. The Hague: Martinus Nijhoff.



    Continue Reading
    Newer
    Stories
    Older
    Stories

    About Me!

    About Me!

    Arsip

    • ►  2023 (1)
      • ►  Jan 2023 (1)
    • ►  2021 (34)
      • ►  Aug 2021 (1)
      • ►  Jul 2021 (3)
      • ►  Jun 2021 (3)
      • ►  May 2021 (4)
      • ►  Apr 2021 (8)
      • ►  Mar 2021 (6)
      • ►  Feb 2021 (4)
      • ►  Jan 2021 (5)
    • ►  2020 (64)
      • ►  Dec 2020 (4)
      • ►  Nov 2020 (4)
      • ►  Oct 2020 (4)
      • ►  Sep 2020 (4)
      • ►  Aug 2020 (5)
      • ►  Jul 2020 (6)
      • ►  Jun 2020 (6)
      • ►  May 2020 (5)
      • ►  Apr 2020 (9)
      • ►  Mar 2020 (6)
      • ►  Feb 2020 (9)
      • ►  Jan 2020 (2)
    • ►  2019 (12)
      • ►  Jul 2019 (1)
      • ►  May 2019 (4)
      • ►  Apr 2019 (1)
      • ►  Mar 2019 (2)
      • ►  Feb 2019 (3)
      • ►  Jan 2019 (1)
    • ►  2018 (6)
      • ►  May 2018 (2)
      • ►  Apr 2018 (1)
      • ►  Jan 2018 (3)
    • ►  2017 (9)
      • ►  Dec 2017 (1)
      • ►  Nov 2017 (2)
      • ►  Oct 2017 (1)
      • ►  Sep 2017 (5)
    • ►  2016 (3)
      • ►  Sep 2016 (1)
      • ►  Apr 2016 (1)
      • ►  Mar 2016 (1)
    • ►  2015 (7)
      • ►  May 2015 (6)
      • ►  Mar 2015 (1)
    • ▼  2014 (25)
      • ►  Nov 2014 (1)
      • ►  Oct 2014 (2)
      • ►  Jun 2014 (1)
      • ►  May 2014 (2)
      • ►  Apr 2014 (6)
      • ►  Mar 2014 (3)
      • ▼  Feb 2014 (7)
        • Lebih dari itu...
        • Cerita Mini : LDR
        • Artikel Ilmiah: ADAT DAN HUKUM ISLAM ACEH ABAD KE-17
        • Poem: Seharusnya...
        • On Tragedy
        • Artikel Ilmiah: PEMBELAJARAN MENULIS ARTIKEL ILMIA...
        • Who is he???
      • ►  Jan 2014 (3)
    • ►  2013 (12)
      • ►  Dec 2013 (7)
      • ►  Oct 2013 (2)
      • ►  May 2013 (1)
      • ►  Jan 2013 (2)
    • ►  2012 (12)
      • ►  Dec 2012 (3)
      • ►  Nov 2012 (2)
      • ►  Jun 2012 (2)
      • ►  May 2012 (2)
      • ►  Jan 2012 (3)
    • ►  2011 (14)
      • ►  Dec 2011 (3)
      • ►  Nov 2011 (11)

    Labels

    Artikel Ilmiah Bincang Buku Cerpen Curahan Hati :O Essay harapan baru Hati Bercerita :) History Our Victory Lirik Lagu little friendship Lomba menulis cerpen :) Memory on Smaga My Friends & I My Poem NOVEL opini Renjana Review Tontonan Story is my precious time Story of my life TravelLook!

    Follow Us

    • facebook
    • twitter
    • bloglovin
    • youtube
    • pinterest
    • instagram

    recent posts

    Powered by Blogger.

    Total Pageviews

    1 Minggu 1 Cerita

    1minggu1cerita

    Follow Me

    facebook Twitter instagram pinterest bloglovin google plus tumblr

    Created with by BeautyTemplates | Distributed By Gooyaabi Templates

    Back to top