Artikel Ilmiah: ADAT DAN HUKUM ISLAM ACEH ABAD KE-17
5:38 PMnabila chafa dalam karya ilmiahnya ^^V
ADAT
DAN HUKUM ISLAM ACEH ABAD KE-17
Nabila Nurul Chasanati C0513036
Ilmu Sejarah FSSR UNS
ABSTRACT
The title in this article is Adat and
Islamic laws Aceh on 17th century written by Nabila Nurul Chasanati
that explained every laws which consists in history on this decade. Aceh has
different recognited law on 17th century. It was proved with royal
edict or royal adat and adat’s law. Both of the laws were combine and the
Aceh’s society were obeyed. As long as time, Aceh independent laws for central
government. History Aceh given the power from custom in every society. So, it
was implied and consists on the proved laws. Every infringement, those region
gave punishment at different punishment done. For example: qisas, ta’zir, chaubuk punishment until died. It
cover custom tradition which every decade on the stable condition. The result
is society didn’t make obeyed the system traditional/adat in Aceh.
Kata
Kunci: qisas, hukuman
cambuk, ta’zir, palace’s adat, adat’s law.
1.
Pendahuluan
Sejarah
mencatat bahwa pada abad ke-17 merupakan periode kerajaan Aceh telah mencapai
zaman keemasan. Kemajuan ini meliputi berbagai bidang kehidupan bermasyarakat
dan bernegara yang mampu diwujudkan. Dalam aspek keagamaan, kerajaan Aceh
disebut sebagai pusat kekuatan Islam (the
champion of Islam). Di Aceh sendiri antara ‘kerajaan’ dan ‘Islam’ adalah
dua hal yang secara substansial tidak dapat dipisahkan.
Sebagai
sebuah kerajaan Islam, hukum Islam telah diaplikasikan di Aceh pada abad ke-17
yang mana peran “adat” dalam proses judicial
merupakan isu menarik untuk mengkaji khususnya konteks keislaman Asia
Tenggara yang praktik dari “adat” memainkan peranan penting, bahkan dominan.
C.Snouck Hurgronje menggarisbawahi dominasi “adat” dalam proses judicial di Aceh pada akhir abad 19 (C.
Snouck Hurgronje, 1906: 72-73, 95-116). Hukum Islam juga disebut “parameter”
dalam melihat Islam atau tidak sebuah masyarakat. Joseph Shacht menegaskan
bahwa “hukum islam merupakan manifestasi yang paling tipikal dari pandangan
hidup yang islami. Ini merupakan pusat dan inti dari islam itu sendiri” (Joseph
Schacht. 1974: 392).
2.
Adat:
Sebuah Definisi
Kata ‘adat’ digunakan di kawasan
nusantara, yang berasal bahasa arab yang berarti kebiasaan atau praktik. Secara
teoritis ‘adah tidak pernah menjadi hukum islam. Namun dalam praktiknya, ia
sering sebagai rujukan hukum.
Berbicara mengenai ‘adat’ pada abad
ke-19, Snouck Hurgronje memahaminya sebagai ‘kebiasaan (custom) dan hukum adat (customary
law) dengan menekankan bahwa adat lebih banyak digunakan daripada syariah.
Vollenhoven menawarkan istilah ‘hukum adat’ yang berarti etika semata dan
‘adat’ yang bermakna hukum. Makna adat dan hukum adat terjadi tumpang tindih,
tetapi keduanya masih bisa dibedakan karena “dalam banyak hal adalah mudah
untuk membedakan antara adat yang memiliki konsekuensi hukum dari yang tidak” (Vollenhoven,
1981:6)
Adat yag memiliki karakter hukum di
Aceh pada abad ke-17 sering ditemukan. Namun, ditekankan bahwa ‘adat’ pada masa
ini mencakup perundang-undangan keajaan, baik tertulis maupun tidak dan
berbagai hukum lain yang diterapkan oleh pihak istana tanpa memiliki
keterkaitan dengan ajaran agama islam. ‘sarakata’ (royal edicts) merupakan bentuk utama dari “adat kerajaan” (royal adat). Istilah ‘adat’ digunakan
secara jelas di dalam ‘sarakata’ dan juga di dalam kitab Adat Aceh, media bagi penguasa memaparkan berbagai aturan kerajaan.
Dalam hal ini, istilah popular Adat
Meukuta Alam dipahami sebagai segala aturan kerajaan yang dibuat oleh
Sultan Iskandar Muda.
Di pihak lain, Adat Aceh,
upacara-upacara utama tampaknya adalah upacara serah upeti kepada raja berbagai
pejabata, arak-arakan agung membawa pakaian kebesaran raja ke istana, upacara
persembahan di makan kerajaan, dan raja sebagai inti dalam upacara itu (Adat Aceh: 6-25. Takeshi Ito, 1984: 20-218).
Upacara-upacara
untuk merayakan hari-hari besar tahunan pasti diadakan secara besar-besaran dan
bahkan sembahyang Jumat juga digunakan untuk
menimbulkan rasa kagum rakyat dan tamu-tamunya kepada raja –paling tidak
selama pemerintahan Iskandar Muda. Bahkan untuk kegiatan berkala setiap pecan
inipun Adat Aceh menguraikan panjang lebar cara-cara mengatur iring-iringan
gajah, pembesar dan prajurit dan ragam tabuhan apa yang harus dimainkan pada
tambur dan gendering ketika iring-iringan berarak sepanjang jalan (Adat Aceh, 1958: 46-8. Takeshi Ito, 1984:
209-11).
3.
Beberapa
Kasus Hukum
Paparan
sejumlah kasus yang memperlihatkan sejauh mana hukum islam dapat diaplikasikan
dan sejauh mana ‘adat’ seperti yang dipahami oleh masyarakat Aceh ketika
dimasukkan dalam praktik hukum. Berbagai kasus yang dipaparkan di sini dapat
dibagi ke dalam dua kategori, yaitu hukum pidana islam, seperti qisas, had, dan ta’zir dan hukum yang dibuat sendiri oleh penguasa.
1. Hukum
Pidana
Topik yang dibicarakan disini adalah kasus jimayat, yaitu pembunuhan dan melukai
orang lain. Hukum pidana ini dimaksudkan untuk menjaga hak-hak asasi manusia. Oleh
karena itu, jenis hukuman bagi perilaku keriminal ini adalah qisas pada kasus pembunuhan atau melukai
orang lain, atau membayar diyyah ketika
‘maaf’ diberikan oleh korban.
Banyak kasus pembunuhan sering terjadi di Aceh ketika
itu, dan konsekuensinya sangat keras. Thomas Bowrey menekankan bahwa “hukum
yang diterapkan di kerajaan tersebut (Aceh) sangat keras dalam banyak hal,
terutama bagi pencuri, bahkan lebih keras lagi bagi pembunuh, hukumannya adalah
‘mati’ (yang dilaksanakan) sesegera mungkin. Hukuman bagi pencuri dilakukan
secara bertahap namun sangat keras.
Laporan tahun 1642 yang diberikan oleh Pieter
Willemzs menginformasikan bahwa seorang warga Aceh divonis mati oleh Qadi Malik
Al-Adil dan dewan hakim lainnya dalam kasus pembunuhan. Kemudian mengajukan
petisi untuk dianjurkan membayar 388 tahil sebagai ganti vonis mati. Qadi
membawa permohonan ini kepada Ratu Safiyyat al-Din. Ratu ini tidak memberi
keputusan, namun beliau memerintahkan supaya kasus tersebut dapat diselesaikan,
baik menurut “kebiasaan yang berlaku maupun hukuman yang dianut.” (K.A., 1051,
“Daghregister of Pieter Willmzs”: f. 520v).
Meskipun tidak lengkap, hal ini menjadi poin
penting. Pertama, pengadilan telah menjatuhkan qisas dalam kasus ini, hal menandakan
bahwa hukum islam dilaksanakan.Selanjutnya petisi ini diajukan oleh terdakwa
untuk membayar sejumlah uang (diyyah)
dan diberikan kepada ahli waris korban. Kenyataan bahwa terdakwa mengajukan
petisi menunjukkan ‘maaf’ tidak diberikan oleh keluarga korban. Dalam hal ini,
qisas seharusnya dilakasanakan sesuai dengan ketentuan hukum islam.
Takeshi Ito menyatakan bahwa ‘kebiasaan yang
berlaku’ di Aceh bermakna praktik hukum setempat yang telah mentradisi,
sementara ‘hukum yang dianut’ mengacu pada hukum islam. Hal ini benar adanya,
khususnya dalam dikotomi antara ‘adat’ dan ‘hukum islam’. Namun, masalahnya
adalah terletak pada pemahaman tentang ungkapan ‘kebiasaan yang berlaku’ itu
sendiri. Hal ini dapat diasumsikan bahwa hukum tradisional yang berlaku di
Aceh, suatu praktik yang telah berlangsung sejak masa pra-islam.
Keberadaan kedua hukum tradisional/adat dan hukum
islam juga secara jelas disebutkan dalam sarakata Sultan Shams al-Alam pada
tahun 1726, bahwa Qadi Malik al-Adil, Orang kaya Raja Bandhara, dan semua ahli
fiqh diinstruksikan untuk menerapkan hukum islam di beberapa daerah tertentu,
bukan hukum adat. Hal ini mencakup kasus pembunuhan dan melukai orang
lain.Terlebih lagi seperti yang disebutkan Bowrey, hukuman berat diberikan
kepada setiap orang yang melakukan pembunuhan, yaitu hukuman mati yang
dilaksanakan sesegera mungkin.
Aspek kedua dari hukum pidana adalah hadd. Hadd berarti rintangan, halangan,
atau batas. Dalam istilah, bermakna hukuman yang diberikan terhadap segala
perbuatan yang dianggap melanggar ajaran agama, seperti yang diatur dalam
Al-Qur’an dan Hadits (Ahmad Idris al Qaraafi: 140-142).
Perbuatan yang tergolong dalam kejahatan seperti
zina, qadhaf, meminum khamr, mencuri, qat’u al-tariq (merampok di jalan).
Di kalangan pengunjung Eropa, Aceh dikenal sebagai
kerajaan yang menerapkan hukuman berat bagi para pelaku kriminal atau
pengganggu ketertiban Negara dan masyarakat. Pernyataan Bowrey menginformasikan
bahwa pencurian dan pembunuhan dianggap sebagai tindakan kriminal yang serius
maka pelakunya harus dihukum berat.
Dari sumber Eropa, ketentraman masyarakat Aceh
dihantui oleh dua kriminal utama yaitu ‘pencurian’ dan ‘pembunuhan’. Alexander
Hamilton menulis bahwa “tidak ada tempat di dunia ini yang menghukum pencuri
dengan begitu berat melebihi di Aceh, namun perampokan dan pembunuhan lebih
sering terjadi di sini dibanding tempat-tempat lain”. Iskandar Muda mengatakan
bahwa Augustine de Beaulieu bahwa Aceh telah menjadi “sarang para pembunuh dan
perampok… dan tak seorang pun merasa aman. Masyarakat di siang hari diharuskan
berjaga-jaga dan para perampok dan pada malam hari mereka memproteksika diri di
rumah dengan baik”. (Beaulieu,1764: 743).
Aspek hukum pidana yang ketiga adalah ta’zir. Berasal dari kata kerja ‘azara,
kata ini secara mendasar berarti mencegah, menghargai, atau memperbarui. Ta’zir
dimaksudkan untuk memperbaiki atau memperbarui. Muhammad El-Awa menekankan
bahwa kombinasi reform (perbaikan)
dan deterrence (mencegah seseorang
melakukan sesuatu tindakan yang tidak terpuji). Dampier menemukan bahwa di Aceh
“kejaharan ringan hanya dihukum dengan pukulan di belakang dengan alat yang
mereka namakan chaubuk (cambuk)”
(Dampier, 1699: 138).
2.
Hukuman Istana Kerajaan
Jenis hukuman istana disebut dengan tradisional royal punishment, artinya
semua bentuk hukuman yang ditetapkan oleh penguasa atas kehendaknya. Hal ini
berlaku untuk semua pelanggaran yang berada yuridiksi agama, khususnya terkait
dengan pelanggaran terhadap aturan kerajaan, seperti melanggar etiket kerajaan,
membangkang perintah penguasa. Aturan ini tidak pasti karena tidak ditemukan
adanya hukum tertulis. Pembahasan dimensi hukum perlu untuk memahami natur dan
mekanisme sistem judicial kerajaan
waktu itu dan sejauh mana praktik tradisional mempengaruhi berbagai keputusan
hukum Islam yang dilaksanakan.
Penguasa memiliki kepentingan etiket istana.
Biduanda, dikenal sebagai pegawai istana yang mengatur segala audiensi dengan
penguasa dan bertanggung jawab terhadap pengaturan segala sesuatu agar berjalan
sesuai dengan aturan yang berlaku (Adat Aceh. hlm. 14-16).
Aturan dan hukuman arbitrary dari penguasa sering
terjadi, Iskandar Muda dikenal sebagai seorang penguasa yang kuat dan otoriter.
Hal ini merupakan kenyataan bahwa Hikayat
Aceh dan Bustan al-Salatin menyatakan
bahwa Zayn al-Abidin merupakan penguasa yang kejam. “Kebijakan keras Iskandar
Muda membuktikan bahwa pemerintahannya ‘absolutisme istana’ mencapai puncaknya.
Akibatnya, perundangan dan hukuman sering dilaksanakan atas kehendak pribadi.
Salah satu hukum yang ia ciptakan, menurut Beaulieu adalah penguasa mempunyai
hak untuk menyita semua harta orang asing yang meningal di Aceh, kecuali orang
Inggris dan Belanda. Beaulieu menekankan bahwa Iskandar Muda mempunyai
kebiasaan buruk yaitu merampas semua kapal yang terdampar di pantai, termasuk
awaknya.” (Beaulieu, 1764: 746).
4.
KESIMPULAN
Hukum
Aceh dipraktikan pada abad ke-17 adalah composite,
yang terdiri berbagai elemen. Akibatnya, batasan antara hukum Islam seperti
yang diberikan dalam teks fiqh dan
hukum adat menjadi kabur. Hukum Isalam secara luas diimplementasikan tidak
hanya Mahkamah Agama, diketuai qadi
yang membahas masalah keagamaan, akan tetapi juga di Mahkamah Kriminal yang
diketuai Orang Kaya. Masa ini, ‘adat’ berperan sebagai sistem praktik judicial tradisional dan ‘adat’ kerajaan
di Aceh. Hukum yang diaplikasikan di Aceh pada masa ini sangat keras sehingga
tidak ditentukan oleh hukum islam. Dalam banyak kasus, hukuman berat dapat
dikategorikan ke dalam ta’zir , namun
banyak juga yang merefleksikan bentuk hukuman tradisional ( Langen, De Inrichting, 1888: 465).
Oleh
karena itu, perspektif hukum adalah sah untuk mengatakan bahwa Aceh meruapakan
kerajaan Islam dibawah nauangan dunia Asia Tenggara. Di wilayah ini, seorang
penguasa dianggap sebagai figure sentral dalam Negara oleh karena itu dianggap
sebagai pembuat hukum dan hakim tertinggi. Sebagai orang yang membuat hukum
(law maker), dia menerapkan adat kerajaan (royal adat). Di Aceh para penguasa
sering mengambil model ini adalah al-Mukammil, Iskandar Muda, dan Safiyyat
al-Din. Sebagai hakim agung, seorang penguasa merupakan penerjemah utama hukum
kerajaan, meskipun harus mendelegasikan kepada bawahannya. Ini membuktikan
hukum di kerajaan tersebut sepenuhnya berada di bawah kesewenangan penguasa
(AC. Milner:29-34).
5.
Daftar
Pustaka
Adat
Atjeh, 1958, Reproduced in Facsmile from a Manuscript in India Office Library,
ed. G.W.J. Drewes and P. Voorhoeve. ‘s-Gravenhage: Martinus Nijhoff.
Beaulieu,
Agustin de. 1764, The Expedition of
Commodore Beaulieu to the East Indies. Dalam John Harris, ed. Navigatum atque Itirenantium Bibliotheca or
A Complete Collection of Voyages. Vol.1. London.
Bowrey,
Thomas. 1905. A Geographical Account of
Countries Round the Bay of Bengal, 1669 to 1679. Ed. R. C. Temple.
Cambridge: Printed for the Hakluyt Society.
Dampier,
William. 1699, Voyages and Description. Vol.2,
Pt.1. London: Printed for James Knapton.
El-Awa,
Muhammad S. 1986. The Place of Custom
(‘Urf) in Islamic Legal Theory.
Islamic Quarterly 17.
Hadi,
Amirul. Prof Dr MA, Desember 2010, Aceh:
Sejarah, Budaya, dan Tradisi, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Har,
B. ter. 1948, Adat law in Indonesia,
New York: Institute of Pasific Relations.
Hurgronje,
C Snouck. 1906, The Achehnese, Leiden.:
E. J. Brill.
Ito,
Takeshi, The World of the Adat Aceh: A Historical Study of the Sultanate of
Aceh,” disertasi Ph.D Australian Universty, 1984.
Langen,
K. F. H. van. 1888, De inrichting van het Atjehsche staatbestuur under het Sultanaat. BKI
5,3.
Milner,
AC. 1983. Islam and the Muslim State.
Leiden: E.J. Brill.
Reid,
Anthony. Juli 2005. Asal Mula Konflik
Aceh, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
------------.
November 2010, Sumatra Tempo Doeloe: dari
Marco Polo sampai Tan Malaka, Depok: Komunitas Bambu.
------------. Januari 2011, Menuju Sejarah Sumatra: Antara Indonesia dan
Dunia, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Schacht,
Joseph. 1974, The Legacy of Islam. Oxford:
The Clarendon Press.
Vollenhoven,
van C. 1981. Van Vollanhoven on Indonesia
Adat Law. Ed. J. F. Holleman. The Hague: Martinus Nijhoff.
0 Comments