Pages

  • Home
  • Tumblr
  • linked
facebook linkedin twitter youtube

Rumah Dialektika

    • About Me
    • Renjana
    • Cerita Pendek
    • Opini

    tumblr_lupdx3pal61qbeqcyo1_500_large

    “Kenapa harus olahraga sih? Aku malas banget.” Katanya sambil mengolet.

    Tadi jam pelajaran Pkn kosong dan Deni hanya bisa menjalankan aktivitas hariannya. Tertidur. Aku semakin bingung, sebenarnya kalau malam itu dia ngapain coba? Apa jaga pos ronda?

    “Den, jam olahraga ini! Kamu ganti baju, gih!” kataku mengingatkan. Dia yang baru saja memindahkan kepala dari menghadap ke jendela sekarang beralih menatapku. Dengan mata yang berkunang-kunang, tentunya.

    “Aku ijin aja.” Katanya datar. Matanya tertutup lagi. Dasar!!

    “Kamu tahu sendiri kan, Pak Sam itu seperti apa.” Gertakku. Mengingatkan bahwa guru olahraga kami memang sangat istimewa. Dia terkenal luar biasa disiplin, tidak boleh ada yang terlambat di jam pelajarannya, dia selalu membawa bambu kecil yang selalu ada di tangan. Dapat memukul sewaktu-waktu punggung muridnya kalau ada yang berani membantah. Lebih tepatnya bisa didefinisikan kalau guru olahraga kami ini memang mendidik muridnya berbasisi militer dan sedikit amatiran, tentunya.

    “Sebentar, satu menit lagi.” Katanya dengan mata yang masih terpejam.

    Dia itu mau mati?? Tujuh menit lagi, kami harus berada di lapangan. Kalau tidak…. Kalau tidak bisa ditebak akan mati dipenggorengan. Lari-lari mengelilingi lapangan sekolah tiga kali, lebih baik langsung mengajukan diri untuk pingsan saja. Lagipula sebagian anak kelas sudah meninggalkan kelas dan sudah pergi ke lapangan. Sedangkan Deni… Ganti baju saja belum.

    Menghadapi Pak Sam itu rumusnya hanya satu. Menurutinya. Tidak perlu macam-macam.

    Entah ini demi pertemanan atau apa. Menjadi teman Deni itu juga kecelakaan. Kalau saja saat awal masuk sekolah itu dia mendapatkan tempat duduk dahulu, mana mungkin aku bisa bertemu dengannya. Atau aku hanya menyalahkan, kenapa dari anak satu kelas dia menjatuhkan bangku di sebelahku. Apakah takdir itu indah? Tidak juga.

    Berulang kali aku melirik jam tanganku. Kurang tiga menit lagi. Duh, kenapa orang ganti baju saja lama sekali? Dia tidak sedang menggunakan kavaleri kan? Kenapa ganti bajunya bisa lebih lama dari rata-rata waktu yang dibutuhkan cewek untuk berdandan.

    Lima detik kemudian, Deni keluar dengan baju olahraga yang menempel di badan. Aku lega. Karena dia mengusirku untuk berganti baju, bukannya melanjutkan perjalanan mimpinya. Siapa tahu saat tadi ijinnya mau ganti baju justru ia tertidur lagi. Itu yang aku khawatirkan.

    Opsi tentang memilih terlambat atau tidak mengikuti jam pelajarannya Pak Sam itu, aku lebih memilih terlambat saja. Walaupun kau beralasan sakit, tetap saja pertemuan selanjutnya kau harus mengganti jammu yang hilang itu di pertemuan mendatang.

    “Ayo!” katanya memimpin. Aku hanya mengikutinya saja dari belakang.

    ***

    “Mampus aku…” makiku pada diri sendiri.

    Pak Sam sudah berdiri di antara dua lapangan. Memberi komando tentang kedua belah lapangan. Lapangan barat adalah lapangan basket dan timurnya adalah lapangan voli. Lagi-lagi sama seperti minggu lalu, beliau mengampu dua kelas. Pak Hanif, guru olahraga untuk kelas sepuluh tiga sedang ijin.

    Deni sudah melangkah maju. Kesalahan besar. Seharusnya aku yang harus maju terlebih dahulu untuk berbasa-basi meminta maaf karena keterlambatan. Tapi, sebelum aku bertindak dia sudah menghampiri Pak Sam yang lagaknya memang mengacuhkan kedatangan kami berdua. Sial.

    “Pak, maaf kami terlambat…” kataku memulai. Deni menatapku dengan tatapan tidak suka. Karena aku sudah melanggar adat kesopanan yang berlaku bagi dirinya.

    Pak Sam mengernyitkan keningnya dan menatap kami bergantian. “Alasan?” tanyanya to the point.

    “Tadi teman saya sakit pak.” Seru Deni. Aku menoleh ke arahnya. Sakit apanya?

    Pak Sam mengamatiku. Dari ujung kepala sampai sepatu. Tidak ada tanda-tanda kalau aku terluka atau apa. Dia berbalik menatap Deni yang dari tadi hanya nyengir. Kali ini dengan tatapan yang sangat menusuk. Sampai aku harus mengalihkan pandanganku. Berharap kalau Pak Sam merasa dirinya tidak sedang dibodohi dan mempercayai kami sepenuhnya.

    Kamu mau berbohong? Seperti itulah kalimat yang menggambarkan tatapan mata Pak Sam. Tongkat bambu kecil itu dihentakkan di tangan kanannya. Kali ini kuda-kudanya siap dipasang. Aku mendesah, merasa tak kuat. Semoga ini bukan mimpi burukku tadi malam.

    “Mana? Temanmu baik-baik saja.” Ujar Pak Sam. Dia menunjukku yang sehat sentosa ceria seperti tidak ada sakit yang sedang aku derita. Pembohong!

    Deni batuk-batuk kecil. Lalu berdehem sambil menatap Pak Sam malu-malu. Sepertinya memang harus ada yang ia pertimbangkan sebelum dia menyanggah pertanyaan Pak Sam. Apanya yang harus ia sanggah coba? Memang benar aku tidak sakit apa-apa!

    “Maaf Pak, tapi saat saya membantu teman ini memang keadaannya sangat mendesak sekali. Tidak bisa saya katakan.” Sahutnya dengan suara purau. Dia keukeuh mempertahankan alasannya, yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata itu. Hal itu membuat muka Pak Sam semakin berkedut aneh.

    “Eh…”

    Dia itu pintar akting. Lolos casting setelah ini. Berani taruhan!

    Pak Sam masih bingung. Dia lagi-lagi menatapku meminta konfirmasi. Tapi aku juga sama-sama bingungnya dengan dia. “Katakan saja!” perintahnya. Tentu dengan muka asam gaya khasnya saat memerintah.

    Sifat Pak Sam tak berubah. Dia selalu membutuhkan alasan kuat untuk sebuah pelanggaran yang dibuat muridnya. Klasik memang. Tapi memang seperti ini gurunya.

    “Boleh aku katakan?” tanyanya meminta konfirmasi dariku. Aku jadi semakin bingung dengannya. Sungguh, saat ini aku benar-benar frustasi. Karena sama sekali tidak bisa menebak kemana arah pembicaraan Deni. Serius!

    Aku ingin meneriaki tepat di gendang telinganya. Supaya lumpuh, kalau bisa. Apa yang perlu dikatakan coba? Katakanlah demi nama siapapun itu yang telah kau bohongi, teriakku sendiri dalam hati.

    “Sebenarnya tadi dia agak tidak enak badan, gitu Pak. Seharian di pelajaran PKn dia lemas. Saat ganti baju olahraga, dia baru sadar kalau ini adalah hari pertamanya…”

    WAAATTT??? HARI PERTAMA APANYA?

    “Jadi, sebagai teman yang baik saya lari ke koperasi sekolah untuk beli pemba... Awww” Lanjutnya.

    Sebelum dia melanjutkan kalimatnya, aku sudah menendang kakinya. Dia itu sinting! Memutarbalikkan fakta yang dia sendiri sejak pagi sudah bertingkah seperti cewek PMS.

    “Ini juga buat kebaikan kamu. Agar Pak Sam tahu faktanya.” Katanya dengan suara tegas kepadaku. Dia menyipitkan mata sambil membungkuk mengelus kakinya yang sudah kuinjak dadakan tadi. Aku tahu injakan kakiku sangat sakit. Dia merintih merasa perih sampai melepas sepatunya segala, memastikan lukanya tidak separah seperti apa yang dibayangkannya.

    Kali ini memang aku harus mengikuti scenario darinya. Pura-pura kalau aku ini sedang PMS dan alasan keterlambatan kami adalah kesalahan Deni yang kuminta untuk membelikanku pembalut. Sialan! Skenario macam apa itu?

    “Tuh Pak, liat teman saya malu kalau saya mengatakan dia sedang PMS.” Kata Deni. Memberi peringatan kepada Pak Sam kalau kata-katanya itu bukan hanya sebuah bualan. Sialnya, sepertinya Pak Sam percaya begitu saja.

    Pak Sam mengangguk-anggukan kepala, percaya. Duh, dasar… Kenapa guru garang macam Pak Sam harus percaya dengan apa yang dikatakan oleh pembohong besar seperti Deni?

    “Pemanasan dan lari satu kali keliling sekolah!” Pak Sam memutuskan sebuah keadilan yang sangat berperi kemanusiaan. Pak Sam mungkin sudah pernah merasakan sakitnya orang terkena PMS. Untuk pasien PMS memang diistimewakan. Diskon besar-besaran. Lari keliling lapangan yang harusnya tiga kali sekarang berganti satu kali akibat ulah Deni. Kompensasi terbesar kepada penderita Menstruasi Syndrome serta teman yang berkorban demi si pasien. Deni maksudnya. Tentu saja berkat dia yang mau membelikanku pembalut. Asli, itu hanya bohong.

    Setelah Pak Sam pergi setelah itu. Deni menatapku dengan wajah berbinar. Lalu meninggalkanku begitu saja. Memutari sekolah satu kali. Aku yakin sambil lari dia akan berteriak ‘BANZAI’ karena memang dia menang sudah membohongi Pak Sam begitu mudah.

    Sialan!

    ***

    Continue Reading

    Nabila Nurul Chasanati

    Sudah menjadi tamparan keras bagi para pelaku pendidik saat melihat bagaimana sungai yang membelah kota saat ini begitu kotor dan terisi oleh sampah rumah tangga. Apa masyarakat saat ini tidak menghargai keberadaan sungai, jika keberadaannya saja dilihat sebelah mata. Bahkan tatkala saya melihat anak-anak SD yang melintasi jembatan, pun juga membuang sampahnya di sungai. Padahal pendidikan seusia mereka sudah diperkenalkan ajaran untuk tidak membuang sampah sembarang. Hanya pada tempat tertentu yang bertandakan tempat sampah. Tetapi hal itu masih terjadi? Coba cium sungai kita sekarang? Alih-alih mencium, cobalah lihatlah dengan mata terbuka tanpa menampikkan fakta tersebut. Apa yang anda bisa dapatkan di sungai kita saat ini?

    Sungguh ironi keadaan sungai di kota-kota besar saat ini. Bahkan denda ratusan ribu rupiah bagi pelanggar peraturan untuk tidak membuang sampah di sungai pun masih saja banyak orang yang tidak mengindahkannya. Apalah arti dari peraturan jika masih banyak masyarakat yang melanggar. Bila kita menelisik lebih jauh area perikanan kita, pasti akan mendapati keadaan yang tidak jauh berbeda. Sudah ada peraturan bahwa menangkap ikan dilarang menggunakan bom, pun banyak orang yang melanggarnya. Ekosistem laut kita musnah, dan mereka tidak ingin menjadi pihak yang disalahkan. Lantas bagaimana peranan pendidikan dalam mewujudkan tataran masyarakat yang beradab, patut dipertanyakan. Apakah pendidikan hanya berorientasi pada market saja? Apa yang diajarkan hanya pelajaran-pelajaran fiktif? Sampai-sampai anak-anak jaman sekarang hanya mengacuhkan sebuah peradaban yang sesungguhnya sudah terbangun sebelum lahirnya Nusantara. Tetapi, fokus penulisan ini adalah membahas mengenai hilanngnya peradaban air. Saat ini, kita tidak mendapati fenomena bahwa budaya air masih eksis. Bila bisa saya katakan lewat stratifikasi sosial, budaya air menempati urutan terbawah. Kumpulan permasalahan yang dinomorterakhirkan untuk dipecahkan oleh pemerintah, masyarakat, alih-alih dunia pendidikan.

    Kompleksnya peranan budaya air dalam membangun peradaban unggul, kenapa saat ini kita mengacuhkannya begitu saja?

    Penekanan bahwa pentingnya budaya air ini tidak terlepas dari putusnya budaya air yang lama sudah terbangun. Bahkan sudah ada sebelum lahirnya Indonesia. Alih-alih sangking lamanya itulah, tidak tahu jaman kapan budaya air tidak ada lagi. Hilang di era siapa, tidak begitu kita rasakan.

    Pembangunan di sektor perairan sudah dibangun era Raja Airlangga dengan membentuk bendungan. Lalu terdapat kontinuitas oleh Raja Kroncaryyadipa (± 1181M) dengan membentuk pejabat tertinggi yang menangani dan menguasai perairan yang disebut dengan senopati sarwajala. Walaupun saat itu, pejabat ini masih mengatasi permasalahan banjir, tetapi bayangpun birokrasi kerajaan waktu itu menganggap masalah perairan merupakan masalah serius. Air merupakan sumber daya alam yang luar biasa. Apalagi, pada abad 19, banyak perdagangan yang dilakukan lewat sungai.

    Tidak jauh-jauh mengambil contoh, sungai Bengawan Solo dimanfaatkan oleh pedagang Cina pada abad 15-17 M yang banyak melakukan transaksi perdagangan sepanjang sungai ini. Bengawan Solo waktu itu memerankan peranan cukup penting dalam memajukan peradaban masyarakat. Sungai tidak hanya dinilai sebagai tempat pelayaran perdagangan, bila ditelisik lebih jauh banyak pertukaran budaya di dalamnya. Penguatan komunikasi sosial masyarakat, hal inilah masyarakat tanpa tidak sadar “terdidik” bahwa keberadaan sungai memang sangat strategis.

    Bila kita melihat bagaimana sekarang, sungai selalu tampak dibelakang rumah kita. Hanya dijadikan sebagai tempat pembuang kotoran, mungkin kita lupa atau bisa jadi kitalah yang memutus peradaban yang sudah dibangun jauh-jauh hari lewat sungai. Lantas, apakah tidak ada hubungannya dengan peranan pendidikan. Seperti yang saya kemukakan dari awal, ini merupakan tamparan keras bagi sistem pendidikan, pendidik khususnya. Apa dunia pendidikan diam saja dalam fenomena hal ini. Nilai-nilai yang putusnya peradaban ini di dalam masyarakat, tetapi tidak langsung putus begitu saja lewat peranan pendidikan. Saya ingat pelajaran yang diajarkan dalam PPKn sewaktu SD, banyak nilai-nilai yang diajarkan di dalamnya. Pun, walaupun kurikulum berganti dengan mengikuti jaman, tetapi bila kita masih melihat masyarakat kita sendiri mengotori sungai, apakah kita hanya diam saja? Apa hanya menunggu peran pemerintah dalam mengembalikan kembali kurikulum yang dahulu kala karena melihat fenomena ini. Tentu saja tidak berlebihan seperti itu. Memang benar, bila kurikulum harus mengikuti perkembangan jaman, tetapi jika jaman sekarang saja sungai tidak ada harganya bagaimana ke depannya?

    Meminjam pernyataan Indrawan Yepe, “Pendidikan itu untuk membangun karakter anak-anak dan menumbuhkan kepedulian mereka serta membangunkan potensi mereka.” Bahwa ternyata substansi dari pendidikan itu lebih mengakar dan berarti lebih. Untuk mendidik anak-anak ternyata begitu mulianya sampai-sampai target yang dibidik adalah pembangunan karakter dan menumbuhkan kepedulian diri.

    Mengingat kembali bahwa tujuan pendidikan Indonesia merupakan implementasi empat pilar pendidikan yang dicanangkan oleh UNESCO. Keempat pilar ini adalah: 1) learning to know (belajar untuk mengetahui), 2) learning to do (belajar untuk melakukan sesuatu), 3) learning to be (belajar untuk menjadi seseorang) dan 4) learning to live together (belajar untuk menjalani kehidupan bersama).

    Bisa dikatakan lewat pendidikanlah, akan tercipta masyarakat terdidik. Dari sinilah tertanam nilai-nilai pembelajaran yang membentuk karakter anak didik untuk nantinya bisa hidup di tengah-tengah masyarakat. Kemudian, membentuk komunitas masyarakat luas dengan suatu karakter yang khas. Lalu dari alur inilah menciptakan budaya masyarakat yang lama kelamaan dapat diturunkan oleh generasi penerus. Begitu luasnya kita memandang suatu peranan pendidikan dalam menciptakan generasi emas. Bisa kita tarik kesimpulan, bagaimana penanaman nilai-nilai untuk membangkitkan budaya air kita selipkan dalam peranan pendidikan. Tidak ada salahnya, karena tujuan pendidikan poin kedua adalah learning to do. Pendidikan merupakan pengamalan dari ilmu dan diimplementasikan nyata.

    Pendidikan merupakan salah satu sarana untuk membentuk karakter anak didik. Pendidikan ada, tidak hanya mengajarkan pada pelajaran-pelajaran fiktif saja. Agar lebih berbudaya, lebih beradab. Dengan kemampuan yang diterimanya inilah, berguna untuk membentuk suatu komunitas besar yang di dalamnya bisa mendorong kembali terciptanya masyarakat yang mencintai budaya air. Pendidikan mempunyai tujuan akhir—seperti tujuan pendidikan nasional Indonesia—untuk learning to live together. Pendidikan membentuk suatu komunitas masyarakat agar lebih terdidik dengan tetap memperhatikan lingkungan sekitar. Mempunyai daya kepekaan dalam mengatasi permasalahan tersebut.

    Apalah artinya pembangunan yang dibentuk oleh nenek moyang kita, Raja Airlangga melakukan pembangunan dari budaya air dan dari sinilah lahirlah budaya-budaya air yang dilanjutkan oleh pecahan dua kerajaan besar semasa itu. Pun, terdapat menteri pemegang kekuasaan tertinggi dalam era Raja Kroncaryyadipa yaitu Senopati Sarwajala. Pembangunan peradaban mereka memang berbeda era antara Indonesia lama dengan kondisi kita saat ini. Masa itu birokrasi kerajaan memberikan kebijakan yang luar biasa berartinya dalam pembangunan peradaban. Perbedaannya dengan sekarang adalah kompleksnya permasalahan dari hulu hingga hilir. Semua permasalahan seakan bertumpu pada sektor ekonomi saja. Efek ekonomi ini nanti seperti kartu domino yang dianggap mempunyai efek besar dalam kehidupan. Tetapi, jika dilihat menyeluruh pembangunan peradaban cerdas saat ini hanya bertumpu pada sektor pendidikan. Kebijakan sudah memberikan tempat seluas-luasnya terhadap pembangunan era masyarakat yang berkarakter lewat pendidikan.

    Seperti apa yang saya jelaskan diatas, bahwa ujung dari peran pendidikan ini adalah mewujudkan masyarakat berkarakter. Yang secara menyeluruh dengan bertahap membangun masyarakat Indonesia berkarakter—bisa saya katakan generasi Indonesia Emas. Apa kita masih bertumpu tangan terhadap pemerintah sebagai pemegang birokrasi? Justru peran pendidikan juga tak kalah dari kartu sektor ekonomi—dimana tidak kita munafikkan, orientasi pembangunan pemerintah selalu bertumpu pada sektor ekonomi---. Bahkan embrionya berada dalam pendidikan. Lewat pendidikan, dapat mewujudkan pembangunan pemerintah, penguatan ekonomi nasional, ketahanan budaya, dan lain sebagainya.

    Sebagai calon-calon orang yang akan membentuk komunitas masyarakat berkarakter inilah, kita tidak boleh melihat sebelah mata kondisi sungai kita. Tidak perlu muluk-muluk untuk mewujudkan caranya. Berawal dari langkah sederhana yang kita lakukan. Dimulai dari tidak membuang sampah di sungai. Lewat pribadi kita sendiri, menegur kawan, orang tua, atau orang terdekat kita untuk melakukan hal yang sama. Dari sanalah, muncullah komunitas-komunitas masyarakat yang tergerak untuk melakukan pemberdayaan sungai. Pemanfaatan kembali fungsi sungai, entah dalam segi ekonomi dengan adanya perdagangan, sosial, budaya. Dan kelamaan sektor perairan dengan mengedepankan tatanan pendidikan berasimilasi dalam budaya masyarakat bisa jadi membentuk karakter kuat yang terus tertanam dan tumbuh dalam diri masyarakat untuk tetap terus memberdayakan dan menguatkan kembali.

    Semua hal itulah saling bersinergi untuk mewujudkan sebuah tatanan masyarakat berbudaya. Itu baru dalam hal budaya air saja. Coba kita telisik lebih jauh, banyak peranan budaya-budaya lokal yang terkadang kita lihat sebelah mata yang memiliki dampak yang luar biasa. Tidak hanya akan menjadi mimpi, jika masyarakat dengan kesadaran sendiri itulah menciptakan suatu tatanan Negara yang mewujudkan cita-cita. Bukan hal yang tidak mungkin, lewat sinergisitas peranan pendidikan dalam mengembalikan budaya air mampu mewujudkan Indonesia Emas? Who knows?

    Continue Reading

    tumblr_lupdx3pal61qbeqcyo1_500_large

    Pimm… Piiimmm…

    Suara klakson saling bersahutan mewarnai jalanan di sekolah baruku. Bahu jalan sudah padat berbagai aneka mobil dan kendaraan bermotor lainnya yang mengantar murid-murid baru sekolah ini. Ya, saat ini aku bisa dikatakan –sedikit- dewasa. Walaupun masih dalam proses besar. Aku mengenakan seragam putih abu-abu, pertanda gerbang baru dunia remajaku benar-benar dimulai.

    Namaku Dina Panawestri di sini. Aku berusia hampir 16 tahun dan aku bahagia. Saat ini beruntungnya aku bersekolah negeri tak kalah favorit di kotaku, Solo. Aku lahir di kota ini dan besar di pulau lain, tetap di Indonesia. Seminggu lebih aku pulang kampung ke tanah kelahiranku ini, tetapi maaf, seminggu ini aku masih saja kelupaan arah jalan. Aku penghafal jalan yang payah. Aku selalu mengandalkan transportasi bus kemana pun aku pergi, itupun karena paksaan dari Kakakku karena dia malas mengantar jemput aku. Dan pantas saja aku pun, aku hanya mengingat jalan pulang ke rumahku saja . Tidak lebih.

    Pelataran lapangan upacara penuh dengan murid baru sepertiku. Mereka banyak yang diantar oleh orang tuanya. Keadaan menyedihkan ini terpampang di depan mataku. Andaikan Nusa Tenggara dan Solo itu bersebalahan, mungkin orang tuaku juga yang akan mengantarkanku di hari pertama masuk sekolah seperti ini. Bukannya sopir bus dan mbak-mbak cantik kondektur Batik Solo Trans yang membawaku dalam kehampaan dan kesunyian seperti ini.

    Sebelum mengecek masuk, sudah terpampang jelas di papan pengumuman nama murid baru dan ditempatkan di kelas apa. Aku segera melangkahkan kakiku untuk memastikannya. Lalu lalang anak-anak memadati papan pengumuman itu. Kakak kelas yang berada di zona kerumunan itu terkadang membantu satu dua orang tua yang membutuhkan informasi letak kelas anaknya. Guru-guru pun berpatroli di setiap sudut juga siap untuk membantu.

    208-07-76 adalah nomor pendaftaranku. Nomor itu aku pegang terus dan berusaha membaca dari jarak jauh aku akan di tempatkan di kelas berapa. Mataku bergerak naik turun menyortir nama dengan awalan huruf D. Deni Mahendra dan… Bingo! Namaku tercantum di kolom selanjutnya.

    Kelas X-6! I’m coming!

    Langkah kakiku membawaku sampai di titik ini. Semua bangku di belakang sudah penuh. Entah kenapa, hampir semua anak-anak baru yang sudah datang justru memperebutkan bangku-bangku di belakang. Ada juga hanya satu dua anak yang –terpaksa menuruti perintah orang tua- duduk di bangku depan.

    Meja nomor dua dari depan. Dekat dengan jendela luar, sesungguhnya adalah surga tersendiri bagiku. Aku tipekal orang yang cepat bosan. Jadi pengalihan konsentrasi dengan memandang awan atau hanya melihat fashion show yang lewat di jalan sangat menyenangkan. Aku duduk di pojok dan langsung menyandarkan badan melihat kesibukan di luar ruang kelas.

    “Boleh aku duduk di sini?” tanya seseorang. Aku menoleh mendapati ada seorang lelaki. Ia tengah mengajakku mempertimbangkan sesuatu yaitu persetujuan memakai bangku di dekatku. Dari tampang, dia memang cukup oke. Rahangnya keras, itu yang aku bisa diskripsikan karena pias wajahku akan ketahuan kalau aku mengamatinya terus.

    Aku mengangguk menjawabnya.

    “Namamu siapa?” tanya cowok itu. Sebelum aku sempat menjawab, dia sudah memperkenalkan namanya terlebih dahulu. “Aku Deni Mahendra. Panggilnya saja aku Deni.” Pintanya.

    Ku ulurkan tangan kananku menyambut uluran tangannya. “Aku Dina.” Kataku singkat.

    Dia hanya begitu saja. Kepalanya sudah diletakkan di atas meja. Tidak berniat untuk berkenalan dengan sesama murid baru lainnya. Aku melirik kearah kanan, depan, belakang, semua anak mulai berbasa-basi dengan acara kenalan dadakan mereka. Bertukar informasi atau entah bercerita tentang apa. Sedangkan dia, hanya berkenalan singkat padaku memberi tahu namanya dan dia tidur begitu saja.

    Sungguh acara perkenalan yang mengesankan.

    Tak lama kemudian wali kelasku datang. Membawa banyak sekali perhatian. Teman baru, Deni Mahendra. Teman sebangkuku. Entah ini merupakan surga atau neraka bagiku saat aku sebangku dengannya.

    Kutatap wajahnya sekilas. Wajah yang semakin dekat semakin manis dengan kulit coklat matang sedikit kekuningan. Meskipun rahangnya keras dan kulit coklatnya itu sangat kontras dengan kepribadannya yang hangat. Itu penilaianku hari ini. Entah apa yang akan terjadi esok hari. Tapi setidaknya dari waktu satu jam lebih aku menjadi penghuni sekolah baru ini, dia satu-satunya orang yang mengajakku bicara. Dan satu-satunya kabar –gembira menurutku- yang bisa dibagi sepulang sekolah nanti bersama Ivan, kakakku.

    ***

    Kamu mau ke kantin?” tanyaku basa-basi.

    Dia masih sibuk mencatat beberapa rumus Fisika tentang kecepatan atau apalah itu, aku sendiri tak paham di buku tulisnya. Aku tahu dia sibuk. Jadi sebuah kesalahan besar jika aku menanyakan dia akan ke kantin atau tidak. Tidakkah kamu sadar Dina, bekal makanannya selalu tak pernah absen dia bawa. Seminggu lebih aku menjadi teman sebangkunya dan dia selalu membawa mukjizat Tuhan yang bernama bekal makanan yang ada di dalam tasnya.

    Selalu klise. Nasi goreng dengan bawang goreng diatasnya. Serta telur ceplok di sisi pinggir. Sampai aku hafal di luar kepala. Dan Halo! Setidaknya dia bisa jadi teman yang baik untuk menemaniku ke kantin. Apa itu salah?

    “Aku belum sarapan. Kamu mau nemenin aku sarapan, nggak?” aku mulai merajuk. Karena inilah satu-satunya jurus yang selama seminggu ini aku mengenalnya dan sangat berhasil. Dia sangat toleran terhadap sesama. Tak ada gangguang sejauh ini.

    “Deen…” wajahku memelas.

    “Apa sih berisik!” serunya. Aku mengernyit, keramahannya selama berbulan-bulan ini adalah tameng. Aku salah besar mendefinisikannya sebagai sesosok orang yang hangat. Salah besar!

    “Ya udah, deh. Kalau nggak mau nemenin juga nggak papa. Gak usah merasa terpaksa juga.” Kataku kemudian. Aku mengambil dompet di tas dan beranjak berdiri, siap meninggalkan kelas.

    Satu tangan sudah menyergapku untuk tidak beranjak. Dia menutup bekal makannya dan buku catatannya yang dikerjakan secara bersamaan itu. Dia mendongak menatapku dengan tatapan tajam, tanda dia marah karena aku ganggu. Ya, makan sendirian di waktu istirahat adalah ritual yang tidak bisa ditinggalkan. Parah. Untuk sesosok orang yang sudah menginjak bangku SMA itu sepertinya ada label ‘membawa bekal makan ke sekolah’ itu termasuk sesuatu yang sangat kekanakan. Tapi tidak berlaku bagi D-E-N-I.

    Dengan wajah yang dibuat gamang dan serius yang akhirnya dia memenuhi keinginanku. Aku membantu mengambilkan tasnya yang terjatuh di lantai. Berharap niat baikku itu dapat memberinya maaf karena gangguan sarapannya. Dia tak menghiraukan. Seakan tindakanku barusan hanya angin semilir karena dia sudah keluar kelas dengan membawa bekal makanan.

    Haish…

    Aku masih tertinggal di belakang, sedangkan dia sudah keluar kelas menuju kantin. Kok rasanya menyebalkan sekali ya, dia?

    Suara riuh rendah terdengar. Banyak orang yang sudah memadati setiap tempat di kantin. Aku bahkan harus berpikir ulang untuk membatalkan niatku untuk sarapan. “Tidak ada tempat yang kosong itu Den. Gimana?”

    Aku hampir menubruk tubuh jangkungnya. Karena aku menatap ke bawah saat tali sepatu kananku lepas. Aku menepi dan membetulkan tali sepatuku sedangkan Deni celingukan sendiri mencari tempat kosong. Setelah selesai aku betulkan, aku sudah tidak mendapati Deni di sekitarku. Dia hilang dimana, coba?

    “Lo sekarang agak berisi, ya?” tanya seseorang.

    “Ya, enggaklah. Ini proposional tau, bukannya gendut.” Kilah seseorang yang menanggapi, tak terima.

    “Gue nggak bilang gendut.” Tegas orang yang tadi mencibirnya. “Tapi lumayan. Nggak kurusan kayak kemarin-kemarin.”

    Aku mengamati pemandangan itu beberapa detik. Ya, orang yang dari tadi dicemooh dengan sebutan ‘berisi’, ‘gendut’ dan apalah itu adalah soosk DENI. Ya, Deni. Aku baru tahu kalau dia itu secepat ini bisa berinteraksi dengan orang yang berbeda kelas.

    Contoh aku, sebut saja aku. Aku hanya bisa mengenal dengan baik semua teman satu kelasku. Sedangkan Deni itu tidak. Kutegaskan sekali lagi, TIDAK. Dia hanya bisa berbasa-basi ria hanya denganku. Itupun kalau saja si Joni, ketua kelasku itu tidak meramah-tamahinya, mungkin hanya aku satu-satunya orang yang dikenal.

    Dalam helaan napas yang sama. Dunia seakan-akan terguncang begitu saja. Kepribadian Deni yang berbeda. Lebih tepatnya, aku yang hanya melihatnya dalam satu sisi. Sisi bahwa dia itu adalah introvert. Bukan terbuka sama sepertiku.

    Aku berbalik. Tetapi, panggilannya yang keras terdengar begitu garang saja di kepalaku. “Dinaa..”

    Aku menoleh. Dia memberiku sedikit tempat untuk duduk di sebelahnya. Di dalam bangku panjang.

    Lupakan kalau aku tadi menyuruhnya untuk menemani sarapan di kantin. Lupakan, kalau aku berpikir dia punya kepribadian ganda. Lupakan, kalau dia adalah sosok Deni yang tidak aku kenal lagi. Dengan Pede-nya dia mengajakku bergabung dengan semua gerombolan cowok di meja itu. Dan membiarkan aku di tengah-tengah buaya yang bernama lelaki itu sendirian, maksudku hanya aku yang berjenis kelamin berbeda dari mereka. Itu bukan pilihan yang baik. Lebih baik aku memilih opsi untuk kabur. Itu kalau dia memberikan opsi itu.

    Aku menggeleng lemah. Opsi terkahir yang menjadi konsekuensiku adalah aku harus kelaparan sepanjang hari ini. Aku lebih baik terima.

    “Gak papa, sini!” kata teman satunya.

    Aku hanya tersenyum semanis madu dan meninggalkan kantin begitu saja. Tak lama kemudian, Pak Warto menjalankan tugasnya dengan amat baik. Bel masuk berbunyi dan aku hanya mendengus menahan napas selama perjalananku menuju kelas.

    Aku menghampiri bangkuku yang masih sama. Tak berubah sejak aku menemukan kedamaian dengan menempatinya. Meja nomor dua dari depan dan di pojok dekat dengan jendela. Aku duduk lesu dan berbaring lemah dengan kepala yang aku letakkan di meja. Sambil memainkan poni rambutku yang berantakkan. Setidaknya cara ini sangat ampuh untuk menghilangkan rasa laparku sampai nanti siang. Deni dari koridor sudah lari terbirit-birit. Dia menoleh menatapku sekilas yang mengamatinya lewat jendela.

    “Gak lapar?” tanyanya memecah keheningan. Sesaat setelah dia meletakkan pantatnya. Aku bergeming, seolah-olah aku tak mendengar sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya.

    “Kamu mau makan bekalku, Din?” tawar Deni. Aku menggeleng lemah. Itu sebuah jawaban. Kuharap tidak ada lagi pertanyaan yang keluar darinya.

    Aku tak mau jika porsi makannya sehari harus berkurang gara-gara bekalnya aku makan. Lagi pula Nasi goreng dengan taburan bawang goreng dan telur ceplok itu adalah makanan wajibnya. Aku bisa mengatakan wajib karena Halo! Kau juga bahkan hafal kebiasaannya.

    Hening beberapa saat.

    “Din?”

    “Uhm?” jawabku sambil menengok kearahnya. Masih di posisiku semula dengan kepala yang berada di atas meja. Sambil sesekali bermain rambut. Bekal makanannya sudah tidak ada di meja. Dalam waktu sesingkat itu, aku yakin dia sudah menghabiskannya.

    “Aku pinjam catatanmu.” Perintahnya kemudian. Aku mengerlingkan bola mata. Catatan yang mana?

    “Fisika…” lanjutnya. Dia memang bisa saja menebak kemana arah pikiranku akan lari. Aku membongkar tas dan tidak menemukan. Saat kuraba laciku, bukannya menemukan buku, aku justru mendapat kotak bekal Deni. Aku menoleh sesaat ke arahnya.

    Dia sok sibuk dengan pekerjaannya. Lebih tepatnya, dia pura-pura menyibukkan diri.

    Aku meraih buku catatanku yang terletak dibawah bekal makan Deni. Lalu kusodorkan kedua benda itu di depan matanya. Dia melirikku tajam.

    “Kenapa?” tanyanya. “Aku mintanya buku catatanmu!” tambahnya.

    Kok malah tanya?

    “Kan itu juga bekalmu.” Kataku sambil menunjuk bekalnya yang kuletakkan di atas buku fisika yang tengah sedang ia kerjakan.

    “Udah, itung-itung sedekah untuk kaum duafa.” Katanya sambil nyengir.

    Kurang ajar. Duh…

    “Terima aja.” Dia masih saja tetap memaksa. Aku sebenarnya ingin menegaskan kalau aku baik-baik saja jika aku melewati rasa laparku sampai di jam istirahat terakhir.

    Aku benci dengan suara gemericik dari dalam perutku. Deni justru menyeringai saat mendengarnya. Sebegitu keras kah sampai dia dengan jelas dapat mendengarnya? Sumpah aku malu. Tidak tahu, muka ini akan ditaruh dimana. Laci juga boleh, kalau muat. Duuuh…

    Dia mengambil bekalnya sendiri yang kutaruh di mejanya. Memang dia menyingkirkan begitu saja di tepi saat bekal makan itu aku kembalikan. Aku bingung dengan raut wajahnya. Entah, dia sedang tersenyum atau mencibir. Tak bisa dibedakan.

    Dia mengunyah begitu saja bekal makannya. Lalu menatap wajahku sekilas. Pameer…

    “Nih…” dia menyodorkan begitu saja, sisa bekalnya. “Biar kamu tidak merasa bersalah sudah menghabiskan bekalku. Paling tidak aku sudah mencoba memakannya beberapa suap.” Katanya santai. Seringai serigalanya tidak kunjung hilang. Dia malah dengan terang-terangan mengatakan supaya aku tidak perlu merasa bersalah. Halo!!! Kenapa dia bisa berpikir seperti itu, coba?

    “Gak per…” saat aku mencoba berkilah. Tangan kanannya sudah menyuapiku satu sendok nasi goreng miliknya. Dia benar-benar gila! Selama ini aku duduk sebangku dengannya, dia tidak seagresif seperti ini. Kenapa dalam satu hari dia berubah seketika? Aku mengutuki diriku yang mencoba menawarinya makan di kantin tadi. Aku menyesal untuk tidak mengganggunya di waktu istirahat. Karena aktivitasnya hanya makan bekalnya dan tidur setelahnya. Sebagian besar waktu yang dihabiskannya hanya mencatat dan kalau guru pergi atau istirahat –setelah sarapan, exactly- dia melanjutkan acara tidurnya. Aku benar-benar menyesal.

    “Enak kan?” tanyanya. Dia mengamatiku lagi. Aku tidak segera mengunyah makanannya. Nasi goreng itu tertinggal begitu saja di mulutku. “Eh, itu dikunyah!!!” perintahnya.

    Aku menyipitkan mata. Apa masalahmu?? Aku ingin memuntahkannya! Seperti itulah arti kata yang ingin aku sampaikan lewat bahasa mataku itu.

    “Dina! Dikunyah, ntar usus buntu lho!” katanya lagi. Masih dalam satu oktaf lebih tinggi daripada bahasa kesehariannya.

    Oke. Aku bisa saja melamar pekerjaan di bagian manusia idiot setelah ini. Karena lebih dari lima detik makanan itu aku tampung begitu saja tanpa aku kunyah, dan aku harus memaksakan menuruti perintahnya. Deni menarik salah satu sudut bibirnya ke atas. Dia menang. Dan alasan menggunakan kata-kata penyakit usus buntu itu hanya omong kosongnya saja. Halo!!! Mana bisa dipercaya itu mulut? Apa ada orang yang kena usus buntu gara-gara tidak mengunyah makanannya?

    Dasar aneh.

    Tak lama kemudian, guru Kimia kami datang.

    ***

    Continue Reading

    Nabila N Chasanati

    Aku ingin mengungkap ini sekali saja. Sebenarnya aku malu untuk mengakuinya. Tapi apalah arti malu, ini hanya sebuah pengakuan sederhana. Bahkan tidak tertebak oleh akal logikaku sendiri.

    Namanya Kai.

    Aku menyukai lelaki matahari ini. Selalu terkapar sinar mentari pagi. Setia dengan jalannya yang lebar. Sekali ia melangkah, cukup mampu membuatku harus melangkah dua kalinya. Rambutnya acak berantakan dan dibiarkan panjang sampai dahinya lebat oleh anak rambut. Bibirnya penuh. Setiap tertawa selalu kudapati deretan gigi putih bersih yang rapi. Rahangnya keras tegas, tetapi yang selalu membuatku gemas adalah kedua pipinya. Rasanya aku ingin mencubit keras-keras pipinya yang gembul itu. Seperti balon. Ah… dia termasuk miliaran manusia yang pekerja keras dan pantang menyerah. Aku tak habis pikir, tersisakah manusia seperti itu di dunia ini?

    I did my best, but I guess my best wasn’t good enough.

    Cause here we are back where we were before.

    Seems nothing ever changes, We’re back to being stranger.

    Wondering if we ought to stay or head on out the door.

    Terdengar cover lagu James Ingram berjudul Just Once lewat acara radio malam. Alunan musiknya sederhana, tetapi bermakna sangat dalam. Terasa begitu menenangkan.

    Bagaimana pun lelaki ini membuat satu mingguku belakangan ini menjadi sangat berwarna. Hingga berantakan tak karuan oleh coretan abstrak dalam duniaku. Tapi aku tahu dia tengah sedih sekarang. Sahabatnya pergi. Tidak ada lagi waktu kebersamaan seperti dahulu kala. Ingin rasanya aku menghiburnya. Dan mengatakan segala sesuatunya akan baik-baik saja. Aku tahu ini pasti berat. Namun jika aku mengatakan di depannya, rasanya aku hanya berbicara hal-hal normatif. Sekedar omong kosong. Sudah barang tentu, ia tidak akan mendengarkannya.

    Aku paham.

    Jadi, lelaki metahariku, jangan bersedih. Pedih rasanya melihatmu berkabung dalam hari-hari beratmu. Lantunan suara panjang penuh rintihan atau dengan gerung tangisan yang membuatmu terjatuh berkali-kali, aku tidak ingin mendengarnya. Alih-alih melihatnya langsung lewat sorot mata kekecewaan ini.

    Bisakah aku melihat deretan gigi putih nan rapi itu untuk waktu yang lebih lama. Bila waktu terus beranjak dan tak mau berjalan mundur, aku ingin bercanda denganmu. “Apakah itu senyum yang sama seperti dulu?”

    Just Once,

    Can’t we figure out what we keep doing wrong

    Why we never last for very long?

    What are we doing wrong?

    Kebahagiaan itu sederhana. Saat pulang ke rumah dan menggunakan arah yang berbeda, kau akan mendapatkan sesuatu yang baru. Hanya waktu yang membuatmu bisa mempertahankan suasana barumu itu. Sama ketika kau kehilangan sahabatmu. Waktu yang mengubahmu menjadi rasa terbiasa tidak ada lagi dia disisimu.

    Kau pernah berkata seperti itu. Jujur, aku ingin menyentuh bahumu. Dan bila kau memuntahkan hujan di pelupuk matamu, aku bisa menjaga janji untuk tidak mengatakan pada siapapun bahwa kau sedang menangis.

    Kai, kesedihanmu berarti bermuram durganya rembulan di atas awan bumiku.

    Jendela kamar kubiarkan terbuka sampai menghembuskan angin malam yang mengibarkan poni rambutku. Aku kembali berjibaku menulis pengakuan sederhanaku. Radio masih kubiarkan menyala. Sembari memberikan pengaruh yang magis agar cepat menyelesaikan pengakuan ini.

    Just Once,

    Can’t we find away to finally make it right.

    To make the magic last for more than just one night.

    If we could just get to it, I know we could break through it.

    Jauh untuk mengirim pesan padamu. Aku ingin sekali mendukungmu. Menyampaikan perasaan terdalamku padamu. Jauh dari apa yang kau tahu dariku. Lembaran kertas ini pasti tidak akan berhenti bercerita mengenaimu.

    “Tidakkah ini berlebihan?” tanyaku.

    “Sederhana.”

    Aku berpikir liar bagaimana tanggapanmu. Apa yang akan kau sampaikan. Mungkin, kau tidak sepenuhnya memahamiku. Kau hanya mengetahui sebagian besar dari penggemarmu pasti akan mendukungmu. Itu jelas. Aku hanya ingin kau bahagia. Selalu sehat, terhindar dari jatuhnya butiran air dari matamu.

    Just Once,

    I want to understand.

    Why it always come back to good-bye.

    Why can’t we get ourselves in hand and admit to one another.

    We’re no good without each other.

    Take the best and make it better.

    Find away to stay together.

    Malam ini ditutup dengan desahan sengau dedaunan yang bergesakan antar udara. Mengerikan. Kai, bisakah hidupmu berpola lebih teratur. Tidak terlalu memikirkan banyak hal pada ekspektasi tertinggimu. Mengutip dari perkataanmu, bahwa kau ingin hidup sederhana. Aku ingin hal itu terwujud.

    … Just Once. We can get to it….

    Kuselesaikan satu lembar pengakuan tentang keterkagumanku padamu dari jauh. Sekali helaan, nyanyian cover lagu milik James Ingram pun usai. Aku ingin titip pesan pada angin. Pengantar pesan yang pastinya jauh lebih lambat daripada kabel fiber optik.

    Aku seorang perempuan yang selalu merindukan sapaan rembulan, berharap pada lelaki matahari disana untuk selalu kuat. Selalu sehat seperti permintaanmu. Agar kau tidak mudah mengecewakan banyak orang dengan kesedihanmu. Hei, perempuan itu juga berharap bahwa kau bisa memberikan kesempatan baginya untuk mengenalmu lebih jauh.

    Just Once…

    **

    Solo, 25 Maret 2015 at 10.58 pm

    Continue Reading

    Oleh: Nabila Nurul Chasanati

    Pagi-pagi ibuku sudah menanak nasi seperti biasa. Pukul 6 tepat bunyi dari magic jar terdengar, Ting! menggeser lampu warna merah dengan hijau. Tanda nasi sudah tanak. Di saat itu pula, cucian para pelanggan menumpuk di kursi dekat dengan pencucian. Akhir-akhir ini, rejeki sedang banyak-banyaknya. Alhamdulillah. Ibu banyak mendapat pelanggan untuk mencuci pakaiannya. Jadi, sebelum aku berangkat sekolah, ibuku sudah berkutat dengan cucian baju milik pelanggan.

    “Sebelah perempatan itu dengar-dengar mau dibuat apartemen, bu.” Kata Bapak. Pagi-pagi sudah membicarakan topik yang akhir-akhir ini sering aku dengar dari teman sekolah. Tak jauh dari rumahku akan dibangun apartemen besar. Kata mereka sampai berlantai 15. Solo Grand Mall saja yang berlantai 6 saja sudah sangat tinggi bagiku. Apalagi ini yang berlantai 15.

    “Gak tau proyek apa, Pak. Tapi udah mulai bangun dua minnguan ini. Bapak nggak ikut proyek di sana apa?” tanya ibu.

    Banyak tetangga yang direkrut untuk membantu proyek apartemen ini. Pekerjanya saja sampai didatangkan dari Tawangmangu[1], sangking banyaknya orang yang dibutuhkan.

    “Kepingin bu, tapi siapa yang jagain bengkelnya si Marwan, kalau bukan Bapak.” Tandasnya sambil menyesap seduhan kopi.

    Aku bersiap-siap dengan buku pelajaran yang sudah aku siapkan kemarin malam. Meskipun belum sempat aku memasukkannya ke dalam tas. Bapak leyeh-leyeh[2] sambil menghabiskan kopinya sebelum berangkat ke bengkel. Aku beranjak menemui bapak dahulu meminta uang saku. Diberinya dua ribu rupiah, cukup untuk membeli satu bungkus nasi dengan es teh kucir dan satu gorengan. Masih ada sisa uang tujuh ratus rupiah dari uang saku kemarin, ada tambahan uang jajan untukku membeli Cilok[3] sepulang sekolah.

    Sebelum aku menghampiri ibu untuk bersalaman, ibu berseru. Beradu dengan suara kran air yang menyala deras. “Tantri, kalau sudah selesei langsung pulang. Ojo dolan![4]” pesan ibu, mengingatkan. Aku kesal mendengarnya. Di sisi lain, aku bersyukur ibu mendapat banyak pelanggan, tetapi di sisi lain aku yang harus dikorbankan karena ujung-ujungnya akulah yang nanti akan menyetrika sebagian besar baju yang dicuci ibu hari ini.

    “Ya bu.” Sahutku pendek. “Tantri berangkat dulu.” Pamitku.

    Saat aku keluar dan berjalan melewati proyek apartemen, aku sudah dibuat terpesona oleh peralatan yang besar-besar. Rangkaian besi yang tinggi. Terdapat banner besar bergambar desain hasil akhir dari rangkaian proyek ini.

    “Besar ya, Tan.” Kata Susanti. Dia menjejeri langkahku. Rumahnya tak begitu jauh dari proyek yang saat ini kami lewati. Masuk di gang dekat dengan pabrik percetakan buku kemudian masuk gang lagi. Dahulu, saat pertama kali mencari rumahnya aku hampir kesusahan menemukannya. Lebih banyak gang yang berakar gang lagi. Tempatnya agak mblusuk[5] memang. Kalau bukan karena PR Matematika, aku tidak akan mencari rumahnya.

    “Bapakmu nggak kerja di proyek, San?” tanyaku.

    “Nggak. Bapak nolak terus pas dapat tawaran proyek ini.”

    “Kenapa?” keningku berkerut penuh pertanyaan. “Kerjanya sekitar 6 bulanan lebih lho…” tambahku.

    “Buat apa dapat penghasilan 6 bulanan. Tapi awake dewe kudu rekasa[6].”

    Keningku semakin berkerut karena mendapati kebingungan mendengar jawaban Susanti.

    “… ning lor ana[7] hotel Aston. Tinggi banget sampai 8 lantai. Terus posisi rumahmu yang bersebelahan sama pabrik sepatu, belum mengko[8] ditambah apartemen yang lagi proyek ini. Coba pikiren!”

    Aku masih bingung dengan tanggapan Susanti. Aku sudah berpikir. Terus apa masalahnya?

    “Awake dewe ngrasa sesek pengap terus ra ana srengenge.[9]” jawabnya. Menjawab tanda tanya besarku.

    Benar juga.

    Kota selalu bergerak dengan dinamika waktu berjalan. Semakin lama, kota tumbuh dengan peradaban kapitalnya sendiri. Menggeser masyarakat yang sudah bertahan lama di dalamnya. Terciptanya banyak pemukiman yang keseluruhannya tidak pernah diterima oleh akal, terciptalah. Manusia hanya seonggok daging bernyawa yang tidak memahami perasaan nasib orang. Itulah definisi manusia saat ini.

    **

    “Aduh, ketutup gedung. Nggak bisa jemur ini, Tan.” Gerutu ibuku.

    Ibu memanjat loteng rumah kami. Bapak membiarkan pekarangan yang hanya 1x3 meter itu untuk dijadikan tempat jemuran, setelah ibu punya niatan untuk membuka jasa mencuci baju. Sayangnya, tertutup oleh pabrik sepatu di sebelah kanan jalan, persis. Belum lagi Gedung Rumah Sakit yang berjarak 15 meter dari rumah kami. 10 Meter di utara rumah, terdapat hotel Aston. Tingginya sampai-sampai menutupi pemandangan langit. Rumah kami di dekat pemukiman padat penduduk. Jelasnya, dimana banyak gedung mewah bertingkat-tingkat akan membuat perkumuhan milik kami semakin memperjelas citra sebuah kota. Aku pernah membaca sebuah buku, kalau kota selalu dikelilingi oleh slum. Pemukiman kumuh tanpa kota merupakan barang yang mustahil adanya.

    “Masih ada banyak bu, cuciannya?” tanyaku. Sedikit demi sedikit memanjat lewat tangga bambu buatan Ayah menuju atap rumah. Beradu dengan tingginya gedung-gedung yang mengitari rumah kami, kami pun harus memutar otak untuk mendapatkan sumber energi untuk mengeringkan baju-baju ini.

    “Tiga ember lebih belum Ibu jemur, Tan. Gimana mau nyetrika, kalau cuciannya nggak garing[10].”

    Setelah kejadian itu, ibu selalu mencuci lebih pagi lagi. Sekitar pukul 3 pagi, ibu sudah berkutat dengan cucian milik pelanggan. Dan akan selesai sekitar pukul lima atau enam pagi. Sebelum aku berangkat sekolah, rutinitasku selalu menjemur pakaian yang sudah dicuci Ibu. Untuk bisa mendapatkan cahaya matahari penuh, Ibu harus memutar otak. Agar kami bisa bertahan dari himpitan ekonomi. Agar kami bisa beradu dengan tingginya gedung-gedung yang menyabotase srengenge[11] masuk di atas rumah kami. Pagi hari selalu tertutup oleh pabrik sepatu yang berlantai tiga. Kalau sudah sore rumah sakit di pinggir jalan Ahmad Yani itu selalu menghalangi srengenge. Ibu biasa mendapat cahaya matahari penuh tanpa tertutup gedung saat pukul 10 sampai 2 siang. Berharap saja, jam-jam itu tidak turun hujan.

    “Golek srengenge saiki angel yo, bu[12]?” tanya Bapak bergurau.

    Tetapi, aku merasakan betul bagaimana sulitnya mendapat matahari. Kalau kata guru SD dahulu, klasifikasi sumber daya alam yang dapat diperbarui termasuk di dalamnya air, tanah, cahaya matahari, udara. Tetapi, entah kenapa, untuk mendapatkan semua itu harus membayar dengan harga yang mahal. Bapak perlu membangun rumah setinggi gedung-gedung itu. Agar mendapatkan hak yang sama untuk disinari matahari.

    “Harusnya Bapak ikut proyek aja, biar pakaian bapak cepat garing kena srengenge.” Gerutu Ibu.

    “Piye lho, bu[13]?” gelak tawa Bapak mendengar tanggapan ibu yang susah dibedakan antara sinis atau melucu. Tetapi terdengar lucu di telinga bapak, buktinya sekarang bapak terkekeh.

    Kota. Matahari. Udara segar. Manusia. Sederhana. Tetapi menimbulkan masalah. Aku ingin hidup layak di kotaku. Kota yang melahirkanku. Kota yang aku cintai segenap jiwaku. Bukan karena bangunannya yang besar, mewah, nan tinggi. Toh mereka tak bernyawa. Saya warga kampung Benoran, makhluk bernyawa. Kenapa mahal sekali mendapatkan kehidupan layak. Hanya satu lho, yang aku dan ibu pinta.

    Jangan rebut matahari kami!

    **


    [1] Daerah yang terletak kurang lebih 2 jam dari kota Solo. Daerah penghasil bahan kebutuhan pokok, masyarakatnya kebanyakan agraris. Tetapi banyak dari mereka yang bekerja menjadi buruh di kota Solo, karena Solo kekurangan sumber daya manusia dalam menangani sebuah proyek besar.

    [2] Bersantai.

    [3] Makanan khas Bandung yang sering dijual pedagang di depan sekolah tiap pagi atau setelah sepulang sekolah.

    [4] Jangan Bermain!

    [5] Tidak terjangkau.

    [6] Tetapi kita merasa menderita.

    [7] Di utara sana ada...

    [8] nanti

    [9] Kita itu sesak terus, udara pengap nggak ada matahari.

    [10] Tidak kering

    [11] Matahari.

    [12] Cari sinar matahari sekarang susah ya, Bu?

    [13] Gimana lho, bu?

    Continue Reading

    STUDI KASUS: DESA KWARASAN KECAMATAN GROGOL KABUPATEN SUKOHARJO

    I. Pendahuluan 


    Teori folklore dalam penelitian dikembangkan karena memakai konsep-konsep Jan Harold Brunvand (1965) dan James Danandjaja (2002). Folklor adalah sebagian kebudayaan suatu kolektif, yang tersebar dan diwariskan turun temurun di antara kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat bantu pengingat (mnemonic device). Folklor dikenal melalui ciri-cirinya yaitu:

    a. penyebaran dan pewarisannya biasanya dilakukan secara lisan dari satu generasi ke generasi berikutnya,

    b.folklor bersifat tradisional yang disebarkan dalam bentuk relatif atau bentuk standar dan disebarkan di antara kolektif tertentu dalam waktu yang cuup lama,

    c. karena penyebaran dari mulut ke mulut, maka folklor timbul dalam berbagai versi dan varian,
    d. folklor bersifat anonim dan biasanya mempunyai bentuk berumus atau berpola,

    e. folklor mempunyai fungsi dalam kehidupan bersama dalam suatu kolektif,

    f. folklor bersifat pralogis yaitu memilii logika sendiri yang tidak sesuai dengan logika umum serta menjadi milik bersama (collective) dari kolektif tertentu dalam bentuk yang lugu.[1]
     
    Di Indonesia, folklor berbentuk (a) folklor lisan yang meliputi : bahasa rakyat, ungkapan tradisional, pertanyaan tradisional atau teka-teki, puisi rakyat, legenda, mitos, dongeng, nyanyian rakyat; (b) folklor sebagian lisan yang meliputi kepercayaan rakyat, dan permainan rakyat, dan (c) folklor bukan lisan yang meliputi bentuk material yaitu arsitektur rakyat dan makanan rakyat.

    Dalam judul yang sudah dituliskan penulis yaitu menceritakan jenang sum-sum dalam tradisi mrocoti, penulis lebih menekankan pada dua aspek. Karena hal ini seakan bersinggung satu sama lain, yaitu mengenai aspek kepercayaan masyarakat yang masih melakukan tradisi mrocoti dan jenang sum-sum yang dipilih dalam tradisi ini.

    Bisa dikatakan bahwa jenang sum-sum sebagai kuliner tradisional masuk dalam folklore bukan lisan. Jenang sum-sum merupakan folklor material bukan lisan terdiri dari konsep makanan, bahan makanan, cara memperoleh makanan, cara mengolah makanan, cara penyajian, dan fungsi makanan. Sesuatu disebut makanan atau bukan sangat ditentukan oleh kebudayaan kolektif masing-masing Dalam sudut ilmu pandang antropologi, folklor makanan merupakan fenomena kebudayaan.
    Konsep makanan tradisional perlu dijelaskan karena dalam konstruk budaya Jawa terdapat istilah budaya tradisi dan budaya kraton. Hal tersebut menunjuk pada dua subkultur yang secara jelas dapat dibedakan, dengan meminjam istilah Redfild, tradisi besar dan tradisi kecil. Tradisi besar terdapat dalam istana dan di kota-kota (negara) sedang yang kedua di pedesaan (Kartodirdjo, 1986: 409).

    Ciri-ciri utama pengenal folklor di antaranya penyebaran pewarisannya bersifat lisan, disebarkan relatif tetap atau dalam bentuk standar. Disebarkan di antara lokasi tertentu dalam waktu yang cukup lama, ada dalam bentuk versi-versi, bersifat anonim, menjadi milik bersama.[2] Bila ditilik dari ciri-ciri pengenal tersebut, maka makanan rakyat maupun makanan tradisional keraton termasuk ke dalam folklor. Dalam tulisan ini dipilih istilah makanan tradisional karena mempunyai cakupan makna yang lebih luas.

    II. Pembahasan

    Meminjam pengertian Konentjoroningrat yang mengatakan bahwa sebuah masyarakat merupakan sebuah suatu sistem adat istiadat.[3] Masyarakat Jawa dikenal sebagai masyarakat yang hidup dari tradisi dan budaya. Orang Jawa selalu dipenuhi dengan berbagai macam upacara atau ritual-ritual tertentu dari mulai dalam kandungan sampai meninggal dunia. Salah satu contohnya adalah tradisi Mrocoti. Perkembangan jaman tentu meminggirkan nilai-nilai tradisi yang dibawa oleh leluhur kita. Begitu juga yang sudah terjadi di Desa Kwarasan Grogol Sukoharjo, letaknya yang merupakan perbatasan antara Surakarta dengan Sukoharjo, yang secara administratif masuk kawasan Kabupaten Sukoharjo juga dirasakan betul oleh penulis yang tinggal di daerah tersebut. Uniknya seperti yang dikutip dalam pernyataan Imam Baehaqi bahwa dialektika yang berlangsung antara kebudayaan Jawa dengan kebudayaan lainnya tidak lantas membuat tercabut akar-akar kejawaan, namun watak Jawa yang toleran tersebut membuat lentur dan dapat beradaptasi pada hadirnya berbagai macam kebudayaan yang ’masuk’ ke dalam rahimnya.[4]
     
    Dalam banyak literatur, penulis mendapatkan bahwa tradisi ini populer di Jawa Timur. Tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa di Jawa Tengah sendiri tidak melaksanakan tradisi ini. Penulis mendapati tradisi masih dilakukan dan tidak menggeser perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.

    Desa Munyung Kelurahan Kwarasan Grogol Sukoharjo sebuah lokasi yang bisa dikatakan masuk wilayah Solo Baru. Desa ini tidak sedikit orang yang melaksanakan tradisi Mrocoti seperti di kebanyakan daerah yang masih kental dalam melaksanakan tradisi Jawa. Ibu Marni contohnya. Ia melakukan tradisi ini karena menghormati nilai-nilai yang diberikan oleh leluhurnya untuk tetap melestarikan tradisi ini. Dalam kepenulisan ini, penulis mengambil dua perspektif yaitu dari segi sebuah tradisi dan makanan dalam tradisi tersebut.
    1. Tradisi Mrocoti
    Seperti yang sudah penulis sampaikan di atas, masyarakat Jawa selalu dipenuhi oleh upcara-upacara sepanjang hidupnya. Mulai dari dalam kandungan sampai orang tersebut meninggal dunia. Upacara ini ditemukan dalam masyarakat Jawa, salah satunya yaitu terkait kelahiran bayi. Siklus kehidupan ini sangat dihormati dan ditunggu-tunggu oleh setiap pasangan suami istri. Ketika keluarga dikaruniai jabang bayi, berbagai tradisipun akan diselenggarakan sebagai wujud rasa syukur. Upacara Mrocoti dilakukan oleh calon ibu yang sudah mencapai umur kurang lebih 9 bulan. Mrocoti dari kata procot, dalam bahasa Jawa artinya keluarnya segala sesuatu dari lubang dengan cepat.[5] Sang calon ibu berharap bahwa bayi yang dalam kandungannya cepat keluar dalam keadaan sehat wal afiat. Tujuan dari upacara procotan ini  meng­harap agar bayi yang akan lahir nantinya dapat keluar dengan mudah dan selamat, tanpa gangguan apapun. Untuk itulah, harapan-harapan tersebut tersimpan dalam tradisi mrocoti.

    Sajian dalam tradisi mrocoti ini berupa jenang sum-sum. Jenang sum-sum terbuat dari tepung beras yang dimasak seperti bubur. Cara penyajiannya adalah dengan meletakkan dalam wadah dan diberi pisang utuh yang sudah dikuliti diatasnya kemudian dilumuri dengan jenang (lihat Gambar 1). Sehingga tampak pisang utuh tersebut tidak bisa dilihat karena tertutup dengan jenang. Sajian tersebut diletakkan dalam piring dan dibagi-bagikan kepada tetangga. Tradisi ini hampir mirip seperti bancakan.
     
    clip_image001
    Gambar 1. Jenang Sum-sum dalam tradisi Mrocoti
    1. Jenang Sum-sum dalam Tradisi Mrocoti
    Di Jawa, filosofi jenang sum-sum sebagai obat penghilang rasa. Seperti yang disampaikan oleh Jumaidi[6], bubur sum-sum diartikan sebagai obat penghilang rasa lelah. Dalam tradisi masyarakat Jawa, jenang sum-sum adalah tombo kesel (obat capek). Setelah berbulan-bulan ibu mengandung anak dalam kandungannya, hal itu pasti membuat penat dan rasa lelah. Para orang tua paham betul akan hal itu, dengan dilakukannya tradisi mrocoti ini setidaknya mengurangi rasa sakit selama kehamilan.[7]
     
    Makanan mempunyai fungsi simbolik yaitu dalam artian terdapat arti sosial, budaya, agama dan lain-lain.Dalam hal ini, tradisi mrocoti yang membagi-bagikan jenang sum-sum kepada tetangga mempunyai peran bahwa makanan dapat diartikan sebagai ungkapan ikatan sosial. Makanan bisa diartikan sebagai sarana solidaritas kelompok. Simbolisme inilah yang dibawa oleh jenang sum-sum dalam kaitannya dengan tradisi mrocoti.

    III. Penutup

    Makanan tradisional dikategorikan sebagai bagian dari folklore yaitu folklore bukan lisan. Di dalam spesifikasi, makanan tradisional berdasarkan fungsinya makanan tidak hanya makanan untuk dimakan, tetapi mengandung hal khusus. Berdasarkan uraian penulis diatas, makanan tradisional seperti jenang sum-sum ternyata mempunyai arti tersendiri. Jenang secara filosofi orang Jawa dipercaya dapat menghilangkan rasa sakit atau lelah. Hal ini sangat cocok sekali dengan keadaan yang mendera ibu hamil pada umumnya. Sehingga pada bulan terakhir bayi berada dalam kandungannya, tradisi Jawa membuat tradisi mrocoti sebagai hal terakhir yang dirasakan oleh sang calon ibu. Agar nantinya, bayi yang dilahirkannya dalam keadaan sehat wal afiat, tidak kurang satu pun.

    Meskipun pergeseran pola pikir masyarakat dan perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi sudah melesat pesat, tidak seharusnya kita sebagai masyarakat tidak lepas begitu saja. Folklore merupakan hasil kolektif masyarakat, jika dalam sebuah desa saja hanya satu dua orang yang masih melestarikan tradisi ini, bagaimana dengan langkah kedepannya. Folklore bagian dari leluhur. Bagian dari masyarakat, tidak seharusnya perkembangan jaman dan pola pikir dapat menggeser nilai-nilai luhur yang dibawa oleh nenek moyang kita.

    Daftar Pustaka

    Buku
    Arif Budi Wurianto, Dr. Msi, 2008, Aspek Budaya Pada Tradisi Kuliner Tradisional Di Kota Malang Sebagai Identitas Sosial Budaya (Sebuah Tinjauan Folklore), Universitas Muhammadiyah Malang: tidak diterbitkan.

    Dananjaja, James, 2002, Folklor Indonesia, Jakarta: Grafiti.

    Ensrasworo, Suwardi, Dr., M.Hum, 2013, Folklore Nusantara: Bentuk & Fungsi, Yogyakarta: Penerbit Ombak.

    Geerts, Clifford. (1986). “Agama di Jawa: Pertentangan dan Perpaduan”, dalam Roland Robertson (ed.). Sosiologi Agama. Tanpa Tempat Terbit: Aksara Persada.

    Imam Baehaqi (ed.), 2002, Agama dan Relasi Sosial Menggali Kearifan Dialog, Yogyakarta: LKis.
    Koentjoroningrat, 1996, Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

    Internet:
    Pusaka Jawa Timuran, Mrocoti: Tradisi Jawa Timur, https://jawatimuran.wordpress.com/2012/10/15/mrocoti-upacara-tradisi-jawa-timur/ diakses pada 9 Mei 2015

    Blogdetik.com, http://jogja.okezone.com/read/2012/10/15/511/704028/makna-bubur-sumsum-dalam-pelantikan-jokowi diakses pada tanggal 9 Mei 2015 pukul 16.17

    Wawancara:
    Wawancara dengan Ibu Marni, Sabtu 9 Mei 2015



    [1] Teori James Danandjaja, Folklore Indonesia, (Grafiti, Jakarta: 2002)
    [2] Op.Cit.,James Danandjaja, hlm 4.
    [3] Koentjoroningrat, Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. (Gramedia Pustaka Utama, Jakarta: 1996). hlm 100.
    [4] Imam Baehaqi (ed.), Agama dan Relasi Sosial Menggali Kearifan Dialog, (Yogyakarta: LKis, 2002), hlm 121
    [5] Pusaka Jawa Timuran, Mrocoti: Tradisi Jawa Timur, https://jawatimuran.wordpress.com/2012/10/15/mrocoti-upacara-tradisi-jawa-timur/ diakses pada 9 Mei 2015
    [6] Blogdetik.com, http://jogja.okezone.com/read/2012/10/15/511/704028/makna-bubur-sumsum-dalam-pelantikan-jokowi diakses pada tanggal 9 Mei 2015 pukul 16.17
    [7] Wawancara dengan Ibu Marni, Sabtu 9 Mei 2015















































    Continue Reading
    Newer
    Stories
    Older
    Stories

    About Me!

    About Me!

    Arsip

    • ►  2023 (1)
      • ►  Jan 2023 (1)
    • ►  2021 (34)
      • ►  Aug 2021 (1)
      • ►  Jul 2021 (3)
      • ►  Jun 2021 (3)
      • ►  May 2021 (4)
      • ►  Apr 2021 (8)
      • ►  Mar 2021 (6)
      • ►  Feb 2021 (4)
      • ►  Jan 2021 (5)
    • ►  2020 (64)
      • ►  Dec 2020 (4)
      • ►  Nov 2020 (4)
      • ►  Oct 2020 (4)
      • ►  Sep 2020 (4)
      • ►  Aug 2020 (5)
      • ►  Jul 2020 (6)
      • ►  Jun 2020 (6)
      • ►  May 2020 (5)
      • ►  Apr 2020 (9)
      • ►  Mar 2020 (6)
      • ►  Feb 2020 (9)
      • ►  Jan 2020 (2)
    • ►  2019 (12)
      • ►  Jul 2019 (1)
      • ►  May 2019 (4)
      • ►  Apr 2019 (1)
      • ►  Mar 2019 (2)
      • ►  Feb 2019 (3)
      • ►  Jan 2019 (1)
    • ►  2018 (6)
      • ►  May 2018 (2)
      • ►  Apr 2018 (1)
      • ►  Jan 2018 (3)
    • ►  2017 (9)
      • ►  Dec 2017 (1)
      • ►  Nov 2017 (2)
      • ►  Oct 2017 (1)
      • ►  Sep 2017 (5)
    • ►  2016 (3)
      • ►  Sep 2016 (1)
      • ►  Apr 2016 (1)
      • ►  Mar 2016 (1)
    • ▼  2015 (7)
      • ▼  May 2015 (6)
        • Novel Oyasumi Chapter 2. Dasar artis amatiran!
        • PENGUATAN PERAN PENDIDIKAN DALAM MEMBANGUNKAN KEMB...
        • NOVEL: Oyasumi Chapter 1. Namanya Deni.
        • JUST ONCE(?)
        • Cerpen: Membeli Matahari
        • JENANG SUMSUM DALAM TRADISI MROCOTI
      • ►  Mar 2015 (1)
    • ►  2014 (25)
      • ►  Nov 2014 (1)
      • ►  Oct 2014 (2)
      • ►  Jun 2014 (1)
      • ►  May 2014 (2)
      • ►  Apr 2014 (6)
      • ►  Mar 2014 (3)
      • ►  Feb 2014 (7)
      • ►  Jan 2014 (3)
    • ►  2013 (12)
      • ►  Dec 2013 (7)
      • ►  Oct 2013 (2)
      • ►  May 2013 (1)
      • ►  Jan 2013 (2)
    • ►  2012 (12)
      • ►  Dec 2012 (3)
      • ►  Nov 2012 (2)
      • ►  Jun 2012 (2)
      • ►  May 2012 (2)
      • ►  Jan 2012 (3)
    • ►  2011 (14)
      • ►  Dec 2011 (3)
      • ►  Nov 2011 (11)

    Labels

    Artikel Ilmiah Bincang Buku Cerpen Curahan Hati :O Essay harapan baru Hati Bercerita :) History Our Victory Lirik Lagu little friendship Lomba menulis cerpen :) Memory on Smaga My Friends & I My Poem NOVEL opini Renjana Review Tontonan Story is my precious time Story of my life TravelLook!

    Follow Us

    • facebook
    • twitter
    • bloglovin
    • youtube
    • pinterest
    • instagram

    recent posts

    Powered by Blogger.

    Total Pageviews

    1 Minggu 1 Cerita

    1minggu1cerita

    Follow Me

    facebook Twitter instagram pinterest bloglovin google plus tumblr

    Created with by BeautyTemplates | Distributed By Gooyaabi Templates

    Back to top