Cerpen | Mendayu Rajamala Suatu Ketika

7:43 AM

Mendayu Rajamala Suatu ketika



Ketika Matahari mulai Mengantuk di bulan Mei 2003
Legenda itu diciptakan agar kamu selalu bisa mengingat. Tentang sebuah peradaban yang tentu saja tidak akan pernah hilang dimakan jaman. Kalau pun suatu ketika orang-orang dari masa depan benar-benar melupakan, setidaknya kamu bisa mengingatkannya.
“Memang manusia di masa depan akan seperti apa, Nek?” tanya Nalendra.
“Banyak dari mereka menyia-nyiakan perempuan mereka.” Sahut Nenek. Ia masih berusia tujuh tahun tetapi entah kenapa Nalendra paham apa yang dimaksud neneknya. Nenek sendiri. Ia bergumul dengan naskah kuno milik Kasunanan. Waktu yang mengubahnya menjadi keriput karena sering berpikir.
“Kamu janji!” Nenek melihat manik mata Nalendra. “Kamu tidak akan pernah menyia-nyiakan perempuanmu kalau kamu sudah dewasa.”
Tentu saja. Harusnya seperti itu. Tetapi Nalendra hanya mengangguk bersemangat.

**

Ruang 209 Fakultas Ilmu Budaya
Menurut Babad Kangungan Dalem Baita Rajamala, Kapal Rajamala dibuat untuk Istri Paku Buwana V untuk menghantarkan Permaisuri Ratu Kencana Wungu. Ayah dari Paku Buwana V kurang mengasihi istrinya, hingga ide tentang pembuatan kapal itu realisasi. Sebuah masa yang harusnya dia tahu, bahwa sesungguhnya menyelesaikan urusan wanita adalah hal yang susah.
“Ada apa?” tanya perempuan itu. Dia mengaduh karena betisnya sengaja ditendang dari belakang agar dia tersadar ke alam nyata.
“Kamu tidak berminat untuk membenciku kan?” tanya Nalendra. Dia masih menuntut penjelasan yang masih tertahan.
“Memangnya bisa?”
Nalendra menyeringai senang. Iya, memang tidak bisa membuatmu jatuh ke pelukan pria manapun. Tetapi rasanya, ia juga salah. Membiarkan gadis yang disukainya harus tertahan di dekapan pria lain karena ambisinya.
Gadis itu berbalik ke belakang. Menatap Nalen dengan bola mata tajam dan lentik yang jatuh di matanya. Dia benar-benar sempurna. Seharusnya memang tidak akan terlepas segenggam pun. Tetapi dia kalah. “Iya? Ada apa lagi?”
“Kalau kamu menjadi Paku Buwana V yang masih kecil melihat Ibunya Ratu Kencana Wungu bersedih, apa yang akan kamu lakukan? Maksudku untuk anak seusianya apa—“
“Aku akan berbicara dengan ayahku kenapa dia membuat wanita yang dicintainya berduka.” Jawab Nalen percaya diri. Gadis itu mendengus.
“Sepertinya tidak akan pernah semudah itu.”
Kakinya disentak-sentakkan saat mendengar jawaban yang tidak memuaskan dari lelaki itu. Memang apalagi yang gadis itu harapkan selain jawaban ambigu seperti itu. Melalui celah-celah bangku kursi kuliah, aku mendorong kakiku agar dia berbalik arah lagi ke belakang. Dia mengerutkan dahi seolah bertanya ada apa lagi?
“Memangnya apa yang akan kamu lakukan?”
“Apa gunanya kapal Rajamala kalau Raja tidak mau memanfaatkannya?” Gadis itu justru balik bertanya.
“Membuat pelayaran.”
See! Kamu cukup cerdas juga.” Puji Gadis itu. “Setidaknya lambang cinta akan selalu ada jika Sang Raja mau melakukannya demi wanita yang dicintainya.” Dia hampir saja menepuk tangannya ketika Nalendra menyuruhnya segera duduk tegak. Susanto dari jauh sudah memonitor tingkah kami berdua di bangku belakang.
Kemudian, kita harus mendengarkan omong kosong mengenai pemikiran empirisme—atau apalah itu—di sisa-sisa waktu kuliah Susanto.

**

Refleksi diri di Kantin Sastra, 2017
Suatu ketika Nalendra paham kenapa ia berkhianat dari janji yang dibuatnya bersama Neneknya di pinggir sungai Bengawan Solo. Umurnya masih 7 tahun tetapi dia ingat betul bagaimana janji itu ditautkan melalui jari kelingking dia. Neneknya terkekeh geli. Sepertinya hal itu sangat lumrah bagi anak-anak kecil seusianya saling menautkan kelingking mereka untuk berjanji.
Gadis itu masih membosankan. Tentu saja. Kalau dia tidak tahu, bahwa ia hampir kehilangan gadis itu sampai membuat hatinya perih. Sederhana. Ia pernah mengajak teman gadis itu menjadi pacarnya. Di saat Nalendra paham bahwa hanya dia yang berada di hati gadis itu. Pasti menyakitkan. Kalau tidak ujian itu tiba. Tiba-tiba gadisnya tertambat pada sosok pria lain.
“Aku butuh bicara.” Dia masih menyelesaikan ketikan kesimpulan kelompok. Dia harus menyelesaikan siang itu juga. Tetapi Nalendra—seperti biasa selalu egois—memintanya bertemu di kantin sastra. Ia datang lagi saat, gadis itu masih khidmat mengetikkan penjelasan. Hingga teman satu kelompoknya tersadar betapa keruhnya wajah Nalendra. Teman satu kelompoknya merebut laptop yang kamu pegang. Menyelesaikan sisa pekerjaanmu.
“Ada apa?” tanyamu. Mukamu bersungut-sungut. Seolah tidak ingin bertemu.
“Aku sakit.”
Kamu melotot dan memindai dimana rasa sakit itu datang. “Aku bisa membawamu ke Medical Center. Kamu sakit apa?” tanyamu. Gadis itu terkesiap dan memeriksa lenganku yang baik-baik saja.
“Maafkan aku.”
“Kamu aneh. Tadi bilang sakit, sekarang minta maaf.” Sahutnya. “Untuk apa?” lanjutmu.
Nalendra membuang napas pendeknya. Kesal. Tanggapan gadis itu tidak sesuai dengan bayangannya. Ada apa sih sebenarnya?
“Aku pernah menyukaimu. Dan masih saja seperti itu.” Dia tegakkan wajahnya dan menatap gadis itu seolah akan melahapnya bulat-bulat.
Gadis itu mencebik. Hampir tidak percaya.

**

Hujan Bulan September 2022
“Apa yang kamu pikirkan?” tanya lelaki itu. Dia menuangkan air panas ke dalam kopi di cangkirnya. Perempuan itu masih melamun bersamaan dengan dia mengaduk kopi.
“Kalau seandainya anak itu tidak membuatkan kapal, apakah Ibunya baik-baik saja?” tanya Gadis itu. Dia menengadah menatap suaminya lamat-lamat.
“Kenapa kamu masih memikirkan dongeng itu? Itu hanya fiksi yang dibuat masa lalu.” Sahut Nalendra. Dia menyesap kopi buatannya. Sedangkan istrinya hanya memangku kepalanya.
“Fiksi memang diciptakan sebagai pengingat.” Sahutnya. “Kalau seandainya aku Kencana Wungu dan kamu suamiku, apa yang akan kamu lakukan?”
Dia berdehem. Kemudian berpikir sejenak, mungkin akan memindai mana ide yang cocok yang biasa dia lakukan kalau dia adalah sang Raja. “Kita berdua bisa menonton tari Ludiro Madu. Itu kan perkawinan dua daerah antara Kasunaan dengan Madura.”
“Manis sekali bicaramu.”
“Selalu.”

**

Masa Ketika Bunga Angsana Berguguran, 2035
Gadis itu percaya—bukan dia adalah perempuannya—yang percaya bahwa cinta perlu dijelaskan. Apa artinya kapal megah untuk Ratu Kencana Wungu untuk menghibur diri tidak ada artinya. Bukan megahnya kapal itu sebagai tandingan kapal buatan Daendels, ini berkaitan tentang penjelasan.
“Aku mencintaimu.”
“Aku tahu, tidak perlu diperjelas. Seakan itu hal konyol!”
Nalendra terkekeh. Mendengar penuturan perempuannya. Bahkan waktu yang lama tidak mudah membuatnya berubah untuk tidak menyebalkan.

**
Solo, 24 Mei 2017 11:54 am
another photo of Rajamala
Ini adalah karya Pak Adam, dosen Pendidikan Seni Rupa. Terima kasih dedikasinya membantu kelompok kami membuat miniatur Rajamala yang sangat bantet ini. Haha :D Sebenarnya aslinya itu panjang runcing gtu. But, it looks pretty cool, honestly.

You Might Also Like

0 Comments