Gloomy Day
8:27 AM
Kita tidak tahu sampai kapan kita ada di dunia. Ada berita duka yang menghampiriku di waktu yang bersamaan. Ini tentang keberadaan orang lain, orang asing yang ditakdirkan Tuhan untuk aku temui. Sederhananya, Selasa (12/9) ayahnya Uun meninggal dunia. Siapa Uun? Aku pernah membahasnya di sini.
Kemudian, sorenya ibuku bercerita mengenai keadaan kakekku. Dia adalah satu-satunya "simbah" yang aku punya. Dan "simbah" dengan umur tertua. Hampir mencapai angka satu abad. Seseorang yang masa mudanya begitu sehat, tiap hari ke sawah, tiap sore berkeliling mengunjungi rumah anaknya dengan sepeda onthel, kini harus memburuk dengan diagonisis dokter yang mengatakan syaraf di kakinya sudah tidak berfungsi lagi. Tapi rasanya begitu sakit. Rasanya ingin nangis. Tapi, apakah menangis mampu menyelesaikan. Faktor umur apalagi. Tidak ada lagi pengobatan manapun yang mampu menyembuhkan. Sekarang, menjadi tugas anaklah untuk berbakti sebanyak-banyak di sisa waktu yang diberikan Tuhan pada kakekku.
Pagi tadi, sepanjang perjalanan akan ke tempatnya Yayak, aku berpikir banyak hal. Aku hari ini tidak bisa mampir untuk full merawat kakekku. Karena sedikit kemageranku karena hari pertama haid, dan janjian dengan Yayak (untuk membuat proposal sponshorsip Bakti Muda). Pola berpikirku adalah jika Tuhan mengambil orang tuaku mendadak. Seperti ayahnya Uun. Apakah aku sanggup berdiri tegak dan memandang langit? Seolah, ada hal mendadak yang terjadi dalam hidupmu dan mengubah segalanya. Sedetik hempasan saja. Ketika Tuhan dengan Kuasa-Nya mampu membuat keputusan yang menyakitkan untuk kita.
Apakah kita cukup untuk siap?
Jujur, dengan pola berpikirku yang masih dangkal maka aku akan jawab tidak sanggup. Aku tidak sanggup lagi bertahan. Betapa aku masih bergantung secara penuh pada kedua orang tuaku. Masalah keuangan, masalah pendidikan moral, pendidikan agama, masalah masa depan. Aku menggantungkan banyak hal tanpa orang tuaku sadari bahwa aku tidak mampu untuk tidak menyertakan mereka dalam mimpi besarku kelak.
Ketika hal itu tidak sejalan?
Aku tidak cukup mampu untuk bangkit. Aku pikir, Tuhan adalah Dzat yang paham betul apa yang terbaik bagi hamba-Nya. Jika memang aku harus dihadapkan pada masalah pelik akan kehilangan orang yang kita sayang adalah cara terbaik bagi Tuhan untuk mengujiku, maka aku akan bertahan. Setiap orang pasti memiliki turning point yang membuat dia harus menyadari posisinya. Mungkin aku tidak akan bertahan sekuat--apa yang dikatakan orang-orang, apa yang mereka doakan untukku agar aku bisa bertahan--tetapi aku rapuh. Tidak ada lagi yang diharapkan. Mimpi yang menjadi orang sukses, anak yang membanggakan, anak yang luar biasa agar orang tuaku paham bahwa kerja keras anak untuk ditunjukkan pada orang tuanya seolah memudar. Jikan kehendak dan kuasa Tuhan sudah mengambil kebahagiaan itu.
Dalam postingan ini sesungguhnya aku hanya ingin mengungkapkan bahwa aku bukan anak yang sebaik-baik anak yang diciptakan Tuhan untuk menjadi luar biasa, hebat, keren, dan mampu untuk dibanggakan. Aku jauh dari hal itu. Kata mandiri jauh dari diriku. Ketika tiap kali aku bertahan, aku masih banyak yang aku sandarkan dalam hidup. Terutama pada kedua orang tuaku. Ketika mereka tiba-tiba tidak ada suatu saat nanti, aku tidak akan pernah bisa tahu apakah aku akan baik-baik saja. Aku pasti akan mengatakan, aku tidak sedang baik-baik saja.
Aku menangis.
Tentu, kenapa harus ada kelahiran jika nanti ada kematian. Sebaiknya Tuhan tidak perlu repot-repot menciptakan aku. Apakah jika suatu saat setiap orang meninggal, jiwa mereka tereinkarnasi dengan jiwa masa depan.
Aku manusia egois, sok bisa, sok mampu, sok kuat, sok segalanya.
Tuhan ampuni aku yang banyak kata sok dalam hidup.
Aku bukan anak yang mampu membahagiakan orang tuaku dengan baik. Hukumlah aku atas ketidakmampuanku. Berikan aku cukup waktu untuk menghapus kata sok dalam hidupku.
Dan, berikan aku rasa untuk bertahan, jika suatu saat Kau mengambil orang-orang disekitarku. Karena aku tidak tahu sampai kapan aku hidup, aku hanya mampu menebak, bahwa waktuku tidak akan lama lagi.
Kemudian, sorenya ibuku bercerita mengenai keadaan kakekku. Dia adalah satu-satunya "simbah" yang aku punya. Dan "simbah" dengan umur tertua. Hampir mencapai angka satu abad. Seseorang yang masa mudanya begitu sehat, tiap hari ke sawah, tiap sore berkeliling mengunjungi rumah anaknya dengan sepeda onthel, kini harus memburuk dengan diagonisis dokter yang mengatakan syaraf di kakinya sudah tidak berfungsi lagi. Tapi rasanya begitu sakit. Rasanya ingin nangis. Tapi, apakah menangis mampu menyelesaikan. Faktor umur apalagi. Tidak ada lagi pengobatan manapun yang mampu menyembuhkan. Sekarang, menjadi tugas anaklah untuk berbakti sebanyak-banyak di sisa waktu yang diberikan Tuhan pada kakekku.
Pagi tadi, sepanjang perjalanan akan ke tempatnya Yayak, aku berpikir banyak hal. Aku hari ini tidak bisa mampir untuk full merawat kakekku. Karena sedikit kemageranku karena hari pertama haid, dan janjian dengan Yayak (untuk membuat proposal sponshorsip Bakti Muda). Pola berpikirku adalah jika Tuhan mengambil orang tuaku mendadak. Seperti ayahnya Uun. Apakah aku sanggup berdiri tegak dan memandang langit? Seolah, ada hal mendadak yang terjadi dalam hidupmu dan mengubah segalanya. Sedetik hempasan saja. Ketika Tuhan dengan Kuasa-Nya mampu membuat keputusan yang menyakitkan untuk kita.
Apakah kita cukup untuk siap?
Jujur, dengan pola berpikirku yang masih dangkal maka aku akan jawab tidak sanggup. Aku tidak sanggup lagi bertahan. Betapa aku masih bergantung secara penuh pada kedua orang tuaku. Masalah keuangan, masalah pendidikan moral, pendidikan agama, masalah masa depan. Aku menggantungkan banyak hal tanpa orang tuaku sadari bahwa aku tidak mampu untuk tidak menyertakan mereka dalam mimpi besarku kelak.
Ketika hal itu tidak sejalan?
Aku tidak cukup mampu untuk bangkit. Aku pikir, Tuhan adalah Dzat yang paham betul apa yang terbaik bagi hamba-Nya. Jika memang aku harus dihadapkan pada masalah pelik akan kehilangan orang yang kita sayang adalah cara terbaik bagi Tuhan untuk mengujiku, maka aku akan bertahan. Setiap orang pasti memiliki turning point yang membuat dia harus menyadari posisinya. Mungkin aku tidak akan bertahan sekuat--apa yang dikatakan orang-orang, apa yang mereka doakan untukku agar aku bisa bertahan--tetapi aku rapuh. Tidak ada lagi yang diharapkan. Mimpi yang menjadi orang sukses, anak yang membanggakan, anak yang luar biasa agar orang tuaku paham bahwa kerja keras anak untuk ditunjukkan pada orang tuanya seolah memudar. Jikan kehendak dan kuasa Tuhan sudah mengambil kebahagiaan itu.
Dalam postingan ini sesungguhnya aku hanya ingin mengungkapkan bahwa aku bukan anak yang sebaik-baik anak yang diciptakan Tuhan untuk menjadi luar biasa, hebat, keren, dan mampu untuk dibanggakan. Aku jauh dari hal itu. Kata mandiri jauh dari diriku. Ketika tiap kali aku bertahan, aku masih banyak yang aku sandarkan dalam hidup. Terutama pada kedua orang tuaku. Ketika mereka tiba-tiba tidak ada suatu saat nanti, aku tidak akan pernah bisa tahu apakah aku akan baik-baik saja. Aku pasti akan mengatakan, aku tidak sedang baik-baik saja.
Aku menangis.
Tentu, kenapa harus ada kelahiran jika nanti ada kematian. Sebaiknya Tuhan tidak perlu repot-repot menciptakan aku. Apakah jika suatu saat setiap orang meninggal, jiwa mereka tereinkarnasi dengan jiwa masa depan.
Aku manusia egois, sok bisa, sok mampu, sok kuat, sok segalanya.
Tuhan ampuni aku yang banyak kata sok dalam hidup.
Aku bukan anak yang mampu membahagiakan orang tuaku dengan baik. Hukumlah aku atas ketidakmampuanku. Berikan aku cukup waktu untuk menghapus kata sok dalam hidupku.
Dan, berikan aku rasa untuk bertahan, jika suatu saat Kau mengambil orang-orang disekitarku. Karena aku tidak tahu sampai kapan aku hidup, aku hanya mampu menebak, bahwa waktuku tidak akan lama lagi.
___________________________
Its gloomy day,
like this
.
Without rain and tears
.
Its just happened
...
Nabila Chafa
14 September 2017
22:27 pm
0 Comments