Hei, Kita Punya Harga Yang Sama!

2:18 AM

Hei Maret, be nice ya hahaha!


Halo, 2020 sudah menginjak bulan Maret, ada yang sudah mengantongi satu dari sekian banyak list resolusi?

Aku mungkin hampir. Hahah, maksudku aku sudah membaca satu buku selesai. Meskipun itu novel, dan ini ada 3 novel pinjaman dari Genesha. Satu novel sastra korea Selatan dengan penulis Han Kang berjudul Mata Malam, novel sastra YB Mangunwijaya Burung-Burung Manyar, dan satu novel yg pingin banget aku baca dari kapan taun tentang cerita monolog pendaratan ke bulan The Martian dari Andy Weir.

Dari ketiga novel itu, jelas aku akan membaca yang terakhir. Kenapa? Mungkin terdengar membosankan ya dengan konflik orang yang berada di luar angkasa, tapi gak tau kenapa ini novel sudah mencuri perhatianku bertahun-tahun dulu.

Mungkin karena aku dahulu (sampai sekarang sih) belum merasa terhibur dengan pembawaan emosi dan intrik per-angkasaan kali ya, hahah.

Tapi aku gak akan bercerita tentang itu. So sorry! 

Aku akan membicarakan tentang gimana nikmatnya saling menghormati dalam konteks universal. Lebih dalam lagi jatuhnya justru ke toleransi. Ini susah sih karakter macam gini diwajawentahkan. 

Kenapa?

Aku seorang Nabila. Dan aku pernah di satu momen gila hormat. Parah! Aku bukan orang yang anti-ospek atau anti-mos gtu. Hahah aku justru menyukainya. Meskipun awalnya agak susah ya kalau kita sedang dikerjain kakak kelas atau kakak tingkat buat dirundung. Wkwk, agak nyeleneh sih pikiranku sebenarnya. Tapi dari situ, kita tahu bahwa kakak kelas atau kakak tingkat adalah orang yang harus kita hormati keberadaannya.

Entah kenapa sih, saat kita berada di posisi tingkat. I mean kakak kelas, suatu saat nanti. Rasanya nikmat aja kali ya, kalau kita berasa disegani. Aku pikir itu keren. Adek tingkat pada respect. Gak berbuat ulah yang neko-neko. *berasa jumawa*

Tapi lambat laun, jatuhnya malah jadi toxic. Hal ini bermula dari masuk SMA dimana di-Mos sama. Mas Mbak PI di Smaga sampai masuk kampus. Contoh, pas mulai masuk kampus dimana aku ambil jurusan ilmu sejarah, dan pada momentumnya ketika aku diospek, jurusanku emang sudah dikenal "killer" masalah ospek-per-ospekan. Parah!

Zaman Ospek (untung ditahunku ini tahun terakhir acara ospek yang memakan drama ala ala kampus, soalnya di tahun selanjutnya bakal susah banget perizinan dari dekanat nyelenggarain ospek) ada kan acara outbound gtu ke masing-masing pos. Tiap pos udah ada kating tiap angkatan. Mana angkatan paling tua yang dikenal paling sadis.

Beeuhhh, masih tercatat dalam kamus hidupku yaaa teman teman, angkatan ilmu sejarah 2010-lah pemenangnya! Aku gak tau kenapa, di antara banyaknya pos, ini pos yang menakutkan. Dulu angkatan paling senior masih dipegang 2007 mas basten, mas ijonk dkk malah lebih baik dari angkatan 2010.

Dan tau gak, dimana kita hidup di habitat hutan liar pasti ada satu saja yang membuat kita bisa menghela napas segar. Ho o! Betul. Sekali! Hadirnya malaikat yang turun ke bumi! Hahahaha! Dan dia adalah mas Tito angkatan 2009. Uluh Uluh, dia memang mas-mas yang bermoral. I mean, setiap pos yang isinya kating-kating pelonco, dia justru malah ngajak diskusi.

Yaaah! Walaupun dulu itu kan ya, kalau masuk ke tiap pos harus ada yel-yel atau apalah itu yaa, mana kelompokku yang diketuai oleh Arya temenku kayaknya pada bikin yel yel ala-ala Caesar YKS yang norak itu deh. Tau sendiri kan gimana gerakannya. Yaa tetep itu ditampilin. Wkwk.

Habis itu, kelompok duduk, trus mas tito cerita tentang hakikat ilmu sejarah. Yang bisa saya ringkas membuat saya takjub. Ilmu sejarah bukan berarti sama dengan yang aku pelajari di sekolah. Rata-rata membahas pergerakan kemerdekaan-lah, revolusi bla bla bla. Eh si mas Tito mbahas tentang sejarah makanan. Bagi anak yang lulus SMA dan baru sehari masuk kuliah karena ospek, membuatku ternganga. Yaa, sebenarnya itu inside baru aja. Soalnya pola pikirku dari rumah aku bakal mikir tanggal perang atau tanggal apa gtu. Karena sejarah biasanya identik dengan hafalan. Eh, Si masnya mematahkan teori itu. 

Berangkat dari hal itulah, sosok mas Tito ini mematahkan paradigma berpikirku tentang agenda respect ke senior. I mean, kita kembali ke topik. Dari semua senior yang gila hormat itu, malah aku dibuat kesengsem sama Mas Tito. Dan walaupun dia ada dua tiga empat temannya di angkatan 2009, dia bisa menyabotase waktu biar dia saja yang bicara. Keren sih. Soalnya kalau temen temennya yang dikasih waktu buat ngisi, jelas ntar isinya perpeloncoan, wkwk.

Lanjut!

Aku masih ada sedikit rasa. Bukan rasa yang terpendam lama dan ingin diungkapkan. Bukan! Rasa tinggi hati, agar bisa di-respect-i sama adek tingkat.

Mungkin kali ya. 

Karena aku berpikir nek aku banyak dibantu kating dalam urusan tertentu, suatu saat kita juga merasa dibutuhkan juga gtu loh. Aku merasa "tinggi hati" or sometime pingin orang ada yang hormat sama kita, justru terbersit di saat posisi kita berada di bawah. Maksudku, pas aku berada jadi adek tingkat. Tapi teori itu patah sendiri dengan karakterku. Aku bukan orang yang suka peduli sama urusan orang. Lebih jatuh ke bodo amat. Kalau butuh ya udah dibantu, kalau enggak yaudah gak masalah.

Dan sindrom itu runtuh total saat masuk organisasi! Aduh, ini bukan punchline yang bagus, soalnya udah aku kasih bocoran di awal. Whehehe!

Sembari membuka memori lama di album berdebu beberapa tahun lalu. Aku buka cerita ini lagi, ada satu momen dimana aku justru mengandalkan para stafku. Padahal aku posisinya kepala bidang. Acaranya Safik tahun 2016 kalau gak salah. 

Halo Widy, kepala divisiku. Dia angkatan dibawahku 2 tahun. Dia juga baru 2 semester mengenyam pendidikan tinggi, tapi dapat amanah lumayan gede. Buat ngurus Safik. Sebenarnya ada ketuanya. Tapi karena ini acara dari bidangku, aku merasa jadi penanggungjawab utamanya :( aku gak tau sih, ngerasa sedih dan kecewa. Dan hambatanmya bukan yang bisa aku kendalikan. Karena aku harus magang! Huhuhu.

Tapi alhamdulillah, berjalan lancar. Dengan banyak sekali catatan. Aku gak bisa pantau langsung. Hal-hal sepele macam apa yang mereka hadapi. 

Selain itu juga, banyak hal yang membuat aku bisa gak tinggi hati ke orang, bukan berdasarkan umur atau strata sosial, dari apa yang dia katakan. Aku berulang kali dibuat terpesona dengan orasi orang atau apa yang kadang bikin geleng-geleng kepala.

Oh ya, mungkin aku juga sudah bahas sosok ini di postingan beberapa tahun lalu. Tentang Gilang dan dia angkatan 2014 keknya. Aku seumur hidup kenal sama Presiden Bem UNS itu hanya 2. Satu, Doni yang kedua adalah Gilang, (edited: yg ketigaaa, o iyaaaa mas krisnaaaa. Presbem uns angkatan 2007 beheula sekaliii). Beberapa bulan yang lalu Gilang akhirnya nikah sama dia (yang sudah dia ikhtiarkan sejak lama). Dari obrolanku bareng Gilang (for first and last- soalnya aku gak tau bakal ketemu sama orang ini kapan lagi, mungkin dia uda gak inget aku wkwk) adalah masalah akselerasi waktu. Dia paham bakal mengalami masa-masa sulitnya pernikahan. Bakal ada di titik menderita semenderitanya. Konsep kehidupan seperti roda yang berjalan, dia pingin alami fase krisis menanjak ke atas itu di masa muda. Biar ada tenaga. Aku sepakat! Tapi itu versi maskulin ala-ala cowok, kalau cewek sepertiku mungkin beda aja penafsirannya, wkwk. 

Meskipun merasa umur lebih tua, tapi zonk banget aku nangkepnya. Dari situ (karena Gilang ini hobinya orasi) dia manfaatkan persuasi caranya dia ngomong buat membuka inside baru yang membuka cakrawala berpikirku. Obrolanku sama Gilang berasa kayak anak tk diceramahi tentang ilmu fisika mbok, njomplang! Soalnya, aku masih jauh dari bentangan akal dan pikiran masalah pernikahan. Padahal umurku waktu itu 23/24 dan kayaknya Gilang juga belum lulus kuliah juga. 

Akselerasi Gilang untuk menghimpun ilmu-ilmu pasca kampus keren sih. Soalnya ada tuh Presbem yang merasa vaccum of power. Gak ada yang butuh dia, banyak banyak-lah bikin Story instagram masalah politik negeri dan membandingkan dengan angkatan bawahnya yang gak senilaiii dengan si babang itu. Yaa begitulah yaa. 

Sudah kubahas di postingan blog sebelumnya, setiap orang punya nilai dan standarisasi masing masing, begitu pula dengan organisasi, lembaga, negara, bahkan peradaban sekalipun. Jadi pliss, gak perlu ada yang namanya perbandingan.

Dari situ aku sadar betul buat gak lagi menjatuhkan diri ke hadapan senior. Siapapun itu. Kita punya harga yang sama. 

Tapi anjlok lagi!

Ketika negeri api mulai menyerang. Mana pasukan bumi belum siap. Yaitu memasuki dunia kerja. Aku bekerja di CV sebuah penerbitan buku di Kartasura.

Lama, semakin lama. Aku sadar. Aku mencium bau-bau perasaan, gila hormat lagi. Dan betul. Iya!

Misal, ada mbak-mbak kelahiran 93 dan manggil salah seorang yg kelahiran 94, aku iseng nanya. "kok mbak itu manggil kamu 'mbak'?"

Dia jawab, "kan aku di sini udah lama (dibanding dia, maksudnya)"

Njegleg!

Di luar nalar, hal yang sudah aku lupakan bertuhan tahun lalu, kayak kembali terajut. Tapi gimana ya, mungkin iklim yang diciptakan gtu. 

Lagi!

Untung masalah kantor yang satu ini hadir di bulan bulan awal aku bekerja. Masalah komunikasi staf lama pada staf baru.

Dulu ada masalah dimana "aku merasa gak terima" dengan komunikasi salah seorang editor yang lagaknya berasa dewi banget. Kalau kata Manager, emang sih kinerjanya bagus. Tapiiii, di perusahaan itu gak ada tolak ukur kerjanya.

Kayak semuanya serba subjektif aja. 'kamu gak fokus', 'kamu gak bisa alokasi waktu', at the same times, ada juga kok editor yang ngalami gak tau alokasi waktu dan hal-hal berbau kerjaan, tapi masih aman aman aja. 

You know what I am saying? All of the evaluation result appeared by like and dislike. You like it or not!

Si mbak ini ngerasa jago, sok, pakai duding-duding tangannya. Dari awal aku tau kesalahanku dan bilang, "yaudah mbak, mana saya kerjakan." 

Trus dia ngoceh lagi, "nanti soal soalnya nyari di gugel, yang sesuai kd ini. Bla bla blaaaaa" 

Dia merasa aku gak paham, dijelasin lagi tuh. Kalimatnya masih sama kayak yang di awal. Diputer lagi kayak es puter. Sangking kerasnya, dan satu ruangan sampai noleh dengan situasi yang serba berisik yang dia ciptakan ini. 

Mbak mahadewi ini pun sudah selesai ngendiko, dan akhir kalimatnya dia nanya. "Ini aku atau kamu yang ngerjain?" tanyanya lagi. 

Pada detik itu aku ngerasa capek dan bilang dengan hormat sekali, "yaudah, mbak aja." 

E, e, eh, besoknya si mbak mencak-mencak gak terima. 

Si mbak lapor sama editor yang udah senior. Dia bilang kalau aku gak tanggung jawab sama naskahku. 

Laah, kemarin kan dia kasih opsi. Bagaimaneee? 

Dia keras, aku juga gak mau kalah. Dia mengalah jatuhnya jadi jengkel. Kalau kata satu anak persekongkolanku, aku termasuk anak yang namanya udah diblacklist dari daftar hitam ruangan si mbaknya. 

Bagaimana bisa ngajak lari seorang bayi. Aku kan juga orang baru. Baru juga kerja 2 bulan, mana aku tau masalah kd, mbaak?? 

Menghela napas, hembuskan. 

Konflik ini udah kayak balik lagi ke anak TK. Parah! I dont know exactly happened soalnya gak mau suudzon ya, aku banyak menemukan hal-hal buruk yang beredar tentang aku yang gak sesuai aku. You know what Iam saying? 

Iyaa, digoreng! Kayak tahu bulat dadakan lima ratusan. Semua isu kalau digoreng emang aduhai lezat nian. Dan wuuusssshhhh, tau sendiri kalau perempuan-perempuan ngumpul diajakin ghibah, emang jempolan! 

Sebenarnya indah banget kok. Kalau asal muasalnya bukan perkara senior dan junior, respect satu sama lain. Tenggang rasa! Kasih kesempatan aku ngomong dan jelasin! Kan kita sama. Ya. Sama-sama editor. Pangkatnya sama. Trus dia merasa diri dia benar gtu? Kan sejak awal aku bahkan udah ngrendah-rendah buat minta maaf duluan. 

Aku merasa lingkunganku waktu itu masih dominan rasa rasa tinggi hati. Rasa untuk dipuji. Rasa untuk didengar, bukan mendengar. Rasa untuk menang, bukan mengalah. 

Maha Besar Allah, secepat itu masalah datang buat menjauhkan aku dari lingkungan islamiyah wal toxikiyah tersebut. 

Aku nulis tentang kantor lama uda 2 kali ini. Dan besok kalau kepikiran yang ketiga bisa pecah telur dadar kayaknya. Haha! Dan bukan berarti di kantor baru gak ada masalah yang gak aku ceritakan juga. Sebenarnya ada. Itu udah kayak daging gtu loh. Melekat. Tapi cerita orang lain yang ngalami, I mean dengan sikap ketidakpedulianku kan aku akan berada di kandang aman kalau gak mau bermain-main api. 

You know what Iam saying! 

Ada sebuah kalimat dari seseorang yang mengatakan bahwa kebijaksanaan orang diatur dari seninya dalam berkata-kata. 

Menjunjung asas praduga tak bersalah. Tidak akan melihat satu belah pihak. Mungkin momentum terjadinya konflik itu bisa jadi tidak meletus kalau dulu itu saya sedang tidak dalam kondisi mendekati haid. Yang mana waktu akan mendekati masa-masa desmenore adalah fase paling sensi bagi setiap perempuan. Pun, termasuk saya. 

Tapi, saya mana bisa menyalahkan berkat dari Tuhan Yang Maha Kuasa, ya kan? 

Alhamdulillah banget, Allah biarkan saya berjumpa kembali pada fase "tinggi hati" yang pernah mampir dan menjadi selimut kelabu dari kamuflase gas oksigen di lingkungan tempat kerja saya yang dulu. Kalau udah darah, mana bisa diganti golongannya. Ibaratnya gtu. 

Aku keluar dengan terhormat meski mendapat catatan. I said before! Gak ada kejelasan penilaian! Yang ada rasa suka dan gak suka. Catat. 

Aku gak tau. Entah dunia anak sekolah, jaman Smp, SMA diospek sama Mas Yoga (aku masih inget wajah gantengnya mas Yoga pas jadi anak PI ngebentakin Juniornya di lapangan basket mbok, sampai sekarang. Eh pas dia tanding basket dbl aja kita bela-belain nonton di sritex), perpeloncoan ospek kampus (dimana aku baru tau dari beberapa tahun setelahnya, kalau air yang terakhir dicipratkan ke kita anak anak maba pada acara penutupan ospek adalah air yang dicampur air kencing kating kating nakal itu, huft huft) dan kemudian hidayah perkara pekerjaan. Aku sadar kita gak akan lepas dari jerat tali perpeloncoan. Masih ada memakai umur, status sosial, lamanya kerja, buat legitimasi "gila hormat" - nya. Dimanapun! 

... Tapi, 

sebenarnya semua orang sadar dengan kesadaran penuh pada kenyataan ini. Namun, setengah sadar dari kesadaran mereka tertutup karena area pertemanan mereka di zona yang membuatnya nyaman dan terbutakan. 

Bahwa, kata kata yang keluar, entah bentakan, cacian, hinaan, bahkan semangat, motivasi dan lainnya akan memengaruhi alam bawah sadar kita. Toh, kalau kita baik ya, pasti dibalas dengan kebaikan kok. Sama kaya mendoakan. Doa baik akan kembali ke orang yang mendoakan juga. 

Bukankah tambah toxic aja kalau lingkungan kita gak sehat? Iya satu. Meskipun satu orang, misalnya tapi manusia mempunyai kendali dan kewarasan persuasi untuk memengaruhi orang di sekitarnya. Bertambah buruk, kalau hal yang disebar buruk. Bertambah baik pula kalau lingkungan tersebut membudidayakan hal baik. 

Coba bayangkan kalau lingkungan oksigen kita penuh orang-orang yang positif, kompetitif, aktif, dimana tenggang rasa, semangat motivasi tinggi. 

Indah kan? 

Kita juga berpacu ke arah sana juga, kan. 

Kalau kita memang bekerja niatnya buat nyari makan, apa bedanya dengan kinkong yang hidup di dunia ini juga buat nyari makan juga 😏

Noh kalian-kalian dan aku (note to my self) yang gila hormat, aku sandingkan dengan kingkong, gak tuh. 

Satu hal yang pasti, kebaikan hati seperti hal remeh perihal bab hormat, respect, diberi ruang bicara, toleransi, dan tidak tinggi hati adalah satu dari sekian banyak hal yang kita bawa juga kebermanfaatannya. 

Apalagi kan nilai-nilai itu wajawentahan dari amanat Pancasila sila kedua yang berbunyi "Kemanusiaan yang Adil dan Beradab" yang mana Pancasila sendiri kalau kata Taufik Kiemas masuk dalam 4 pilar bernegara. 

... Descalimer: sebagai bagian imagined community-nya Benedict Anderson, aku masih ada secuil tipis nasionalis loh. 

Coba deh, sila ke-2 Pancasila ini udah masuk berapa Kompetensi Dasar Tematik Kurikulum 2013 ini, teman-teman? Kita ajarkan generasi termuda kita buat gak ngerasa gila hormat sedini mungkin. 

Sepakat? Bungkus Yuk! 

***

18.09
Minggu, 1 Maret 2020
Selesai diare, renang dong! 
Pulang renang habis duhur sampai maghrib sibuk buat postingan sepanjang ini. 
Uhuk, habis isya diajak bapak party merayakan tanggal 27 februari yang terlewat! 


For Last, aku merangkumnya menjadi untaian ayat-ayat asmara dalam satu terjemahan yang mungkin bisa diterima. Katanya, manusia adalah makhluk yang sederhana. 



You Might Also Like

0 Comments