Panggil aku bunda

12:20 AM

Kenapa bola itu bundar. Kenapa tidak kotak saja. Atau segitiga sekalian. Entahlah, tak ada yang bisa menjawab detailnya. Aku pikir, ini suatu misteri yang susah untuk terpecahkan. Sama halnya dengan kehidupanku saat ini. Hidupku mengalun berubah laksana harmoni. Sudah lama waktunya, tapi cepatnya waktu berjalan tak kurasakan 5 tahun aku mengasuh Rasya. Anak yang kehilangan ibu kandungnya saat melahirkannya. Iba rasanya. Melihat anak yang baru lahir itu merasakan kerasnya dunia.
Pada saat itu, aku duduk di bangku kelas satu SMP dan akan menginjak kelas dua. Saat aku menunggu Eyangku yang penyakit jantungnya kambuh di rumah sakit aku berjalan-jalan untuk membunuh rasa bosan karena pada saat itu  banyak orang yang berkunjung menjenguk eyangku. Langkahku terhenti di ruang bersalin. Ada seorang ibu yang meninggal dunia untuk mempertaruhkan nyawa demi terlahirnya anak lelaki mungil itu ke dunia. Ironis sekali. Tak ada sanak saudara yang menjenguk. Bahkan bapak dari anak itu tidak datang melihat. Menyedihkan.
Saat dokter yang menangani kelahiran anak itu melihatku mematung lalu memberikan seulas, senyum kemudian perbincangan pun bergulir tentang asal-usul anak itu. Dia bukan anak haram. Kupastikan itu. Tak ada anak yang terlahir di dunia ini menjadi anak haram. Dengan berat hati, aku menerima usulan sang dokter untuk mengasuh anak itu. Dibantu dengan dokter Rudi untuk urusan administrasinya.
Awalnya pertikaian pun terjadi. Orang tuaku tak setuju. Eyang sedang sakit sedangkan aku menambah beban. Berangsur-angsur dengan berjalannya waktu orang tuaku menerima keberadaan anak itu. Rasya namanya. Nama yang dicetuskan bersama dengan teman sekelasku saat SMP. Ada banyak semangat yang membuatku bisa bertahan untuk tetap membesarkannya. Teman sekelasku lebih rajin datang ke rumah tidak untuk mengerjakan tugas tapi mengajak Rasya bermain. Kak Lukman, lebih sering menggodanya dengan mainan baru yang baru saja dibelinya. Ayah, yang banyak mengajari Rasya belajar membaca huruf-huruf Arab. Sangat galak memang. Tapi Rasya menyukainya. Ibu, selalu ingat persediaan susu untuk Rasya di rumah. Elsa dan Erna adik perempuanku, banyak mengasuh Rasya saat aku pergi les atau belum pulang dari sekolah. Dulu aku sering membeli majalah remaja atau novel teenlit tapi sekarang aku berusaha untuk menabung atau membeli buku tentang tumbuh kembang bayi. Semua orang disekitarku bahu membahu mengasuh Rasya sampai ia berumur 5 tahun.
Kebahagianku bertambah saat ayah menyanggupi untuk memasukkan Rasya sebagai anggota baru di keluargaku. Saat kulihat di kartu keluarga, Rasya adalah anak ke-4. Dia satu-satunya anak lelaki di rumah ini. Aku merasa senang tertera tulisan satu kata RASYA. Lebih senang lagi bahwa tahun ini ia bisa masuk TK. Bulan September tanggal 11 ia genap berusia 5 tahun. Wajah bersih. Gigi rapi. Sering berteriak memanggil namaku dengan suara khas cemprengnya. Sudah bisa kubayangkan dia akan bersekolah dan mengenakan seragam kecil anak TK kebanyakan. Sekarang aku hanya sedang menunggu tahun ajaran baru. Lebih cepat dari yang kubayangkan. Tangisnya saat dia pup dan harus mengganti celananya. Membuang kotorannya. Tangisnya di malam hari yang menjadi bahan perbincangan bapak-bapak ronda. Muka cemberut jika ada hal yang membuatnya jengkel. Lucu sekali bentuknya. Ikut tertawa saat Kak Lukman menggodanya. Dinina bobokan oleh ayahku saat ia lelah untuk menangis. Di usia 3 tahun sudah bisa membantu ibu memasak. Banyak bertanya tentang nama sayuran yang dibeli ibu. Sampai membuat rasa masakannya sedikit aneh. Perjuangan yang melelahkan untuk mengeja kata-kata dari temanku yang suka berkunjung sampai ia pintar berbicara tentang pengalamannya. Pemikirannya. Sampai dari merangkak bisa berjalan bak seorang model. Semua itu masih sangat kuingat tentang Rasya kecil.
Di bangku kayu yang dibuat kakek di desa untuk Rasya. Ia sibuk mencorat-coret dengan pensil warnanya bak seorang seniman dengan tampang penuh keseriusan di buku gambar yang baru tadi siang dibelikan oleh Nindy, teman sebangkuku. Ia menggambar yang katanya mirip kuda tapi sangat berbeda jika aku harus jujur menafsirkan arti gambarnya. Seperti benang kusut yang tak ada ujungnya. Karena kesibukannya itu, aku dengan tenang mengerjakan PR-ku yang seambrek banyaknya. Lebih lagi, Rasya paham akan kesibukanku menjadi seorang pelajar. Terkadang ia seharian tak mengajakku bermain karena melihat pekerjaan dari sekolah yang harus kuselesaikan di meja belajarku.
Ia tertidur pulas. Bersandar tembok dan masih memegang pensil warna hijau, warna favorite-nya. Ia sudah melai kelelahan, pikirku. Berjam-jam hanya mencorat-coret buku gambar barunya. Aku segera beranjak dan mematikan lampu belajar. Ku gendong tubuh mungil ini.
“Kakak sudah berat, sekarang.” Kataku setengah berbisik.
☻☻☻☻☻
Aku pulang ke rumah kesorean. Di sekolah tadi harus mengikuti ekskul Taekwondo. Di rumah tak kudapati Rasya. Hanya Elsa, adikku yang sedang mengerjakan PR di ruang tengah.
“Rasya mana?” tanyaku pada Elsa.
“Tadi dia main sama Dicky. Katanya mau main layangan.”
“Dia sudah mandi?” tanyaku lagi.
Elsa hanya membalas dengan gelengan kepala. Aku segera beranjak untuk berganti baju dan secepatnya untuk mencari Rasya. Biasanya anak-anak sering bermain laying-layang di lapangan dekat persawahan. Hamparan luas dengan tanah berumput. Ditambah hilir angin yang sepadan untuk bermain layangan. Lalu kudapati Dicky sedang menarik senar mencoba menyeimbangkan arah angin agar layangan bertahan ditiup sepoinya angin, Rasya tak ada didekatnya.
“Dik, Tahu Rasya?”
Ia hanya menggeleng sambil berpikir.
“Mungkin disana. Tadi aku lihat dia disana.” Tunjuknya pada sebuah gubuk kecil di tengah persawahan.
Aku segera meninggalkan lapangan dan berlari kecil menuju tempat yang tadi ditunjuk oleh Dicky.
“Kenapa kakak bisa disini?” tanyanya sedikit kaget saat melihatku.
“Kata adikku kau belum mandi. Jadi aku mencarimu untuk mandi.” Jawabku sambil duduk di sebelahnya.
Dia terdiam cukup lama. Memandangi hamparan lahan hijau menguning. Entah apa yang sedang dipikirkannya.
“Apa aku ini nakal?” tanyanya kemudian.
“Siapa yang bilang kau nakal?”
Dia hanya menggeleng. “Tadi aku menumpahkan toples isi permen saat aku membeli di Bulik Harti.” Terdiam cukup lama.
“…terus Bulik Harti yang ngliat bilang kalau aku anak nakal.” Tuturnya polos.
“Kenapa dia bilang kau anak nakal?” tanyaku pelan pada diriku tapi sempat terdengar oleh Rasya.
“Saat itu kan, aku bareng Dicky. Aku suruh dia mengambil permen yang dia suka. Tapi toples itu jatuh kena tanganku.” Jawabnya polos.
Aku terdiam mendengar cerita Rasya. Ia melihatku dari lirikan matanya. Aku mencari jawaban yang pas untuk membalasnya.
“Kata nakal itu ada, saat kamu bertindak tidak sesuai dengan aturan kebanyakan orang. Misal, jika kamu mencuri mangga di tempatnya Pak Haji, orang akan berpikir kamu ini anak nakal yang sering mencuri. Tapi berbeda, jika di desa seluruh penduduknya maling semua. Kamu yang hanya maling mangga saja akan dianggap anak polos yang nggak punya dosa.”
“H-mmm..” Rasya bergumam sambil mengagguk paham akan maksudku. Ia seekali memerhatikan matahari yang akan terbenam di ufuk barat.
“Kakak terlalu baik untuk membesarkanku.” Katanya lagi.
“Aku senang kok. Itu gunanya teman.”
Sedih rasanya. Mendengar semua yang diutarakan. Dia memang anak tegar yang bisa menerima apa adanya. Tanpa mempersalahkan. Lebih sedih lagi jika ia tak pernah menganggap ayah dan ibunya ada.
“Bumi ini bulat. Kadang kita dapat sinar matahari. Kadang tidak. Itu yang dikatakan Kak Lukman tadi siang.” Tuturnya lugu membuyarkan lamunanku.
“…apa hidup juga?” tanyanya kemudian.
Aku tersentak kaget mendengarnya. Ia lebih banyak dipengaruhi oleh Kak Lukman dengan pemikirannya. Terpengaruh dengan bidang kuliah Kak Lukman. Sampai bisa mengajak berpikir anak usia lima tahun lebih dewasa tentang masa depan negeri ini. Aku mengangguk dan ia berhenti menatapku. Tanda, jika ia belum puas dengan jawabanku yang hanya sebuah anggukkan.
“Ada siang ada malam. Ada kemalangan ada juga kesuksesan. Keduanya saling berdampingan. Saat kau sedang bermain petak umpet, kau akan kesulitan menemukan temanmu. Tapi saat kau berhasil menemukannya dan memsatikan jika kau sebagai pemenang. Kamu akan merasa senang. Itu gunanya kesulitan. Kesulitan itu ada sebagai jalan kesuksesan.” Ia menatap lekat ke arahku mendengar ulasan yang kusampaikan.
“Kemalangan??” tanyanya masih belum puas.
Aku menarik nafas panjang dan kuhembuskan perlahan.
“Kemalangan itu ada saat seseorang mengalami kesulitan dan dia berpikir bahwa itu adalah titik balik kejatuhannya tanpa berani bangkit. Untuk itu itu Tuhan menciptakan keseimbangan.” Kataku kemudian menatap wajah mungil yang serba ingin tahu itu merasa puas akan jawabanku. Jawabanku selalu dewasa jika aku berada didekat Rasya. Semuanya berubah tak kupandang lagi bahwa aku anak usia 16 tahun. Harus bisa menyesuaikan jawaban yang pantas untuk menjawab pertanyaan Rasya.
“Pantas terjadi banyak bunuh diri di berita kriminal.” Katanya kemudian. Aku mengangguk mengiyakan. Ia sudah banyak terpengaruh Kak Lukman, tentang semua hal yang ia temui. Dan meminta penjelasan dari setiap kejadian. Sifat khas anak ini.
Anak usia 5 tahun yang masih muda belum saatnya mengerti apa yang sedang ia alami. Dia masih menatap tajam ke arah kilau mentari sebelum tenggelam dan mengingat merekam di memorinya sebagai kedipan terakhir sang surya menemani aktivitas manusia hari ini.
“Lalu kapan kesuksesan itu berpihak padaku?” tanyanya. Tanya yang masih polos itu menggetarkan hatiku. Ia masih belum siap menerima kenyataan hidupnya. Butiran kristal di pelupuk mataku masih dapat kutahan. Bibir yang membeku. Ku coba untuk ku lelehkan untuk membalas pertanyaannya.
“Seperti apa yang kukatakan tadi. Sampai kau bisa menaklukan kesulitan.” Jawabku masih lurus memandang rambut kecil yang terurai di dahinya. Anak polos itu.
“Sampai kapan??” tanyanya singkat.
“Sampai kau bisa bertahan.” Air mataku leleh seketika.
Tanyanya yang begitu polos mengagetkanku. Ia tak seharusnya hidup di usia ini dengan banyak masalah hidup. Masalah yang seharusnya tersimpan dan terkunci. Tapi, ia telah membukanya. Statusnya bahwa ibu kandungnya meninggal dan entah dimana keberadaan ayahnya. Ejekan dan cercaan yang ia terima dari temannya bahwa ia hidup di dunia tanpa dampingan orang tua membuka matanya bahwa ia sebatang kara dan menguak rahasia yang seharusnya tersimpan bersih. Lebih menyakitkan bahwa ia harus tahu, anak yang dihasilkan dari rahim ibunya itu adalah anak bukan hasil pernikahan.
Sayup-sayup terdengar adzan maghrib yang memastikan hari sudah mulai petang. Cakrawala malam akan keluar dari sarangnya. Memberikan lukisan terindah sepanjang malam. Rasya menatap penuh arti pada sebuah bintang paling benderang diantara yang lainnya.
“Kenapa??” tanyaku sambil menggendongnya.
“Jika aku bisa meraihnya akan aku berikan untuk teman terbaikku.” Katanya masih tak mau menghilangkan dari bintang yang dilihatnya.
“Siapa?” godaku.
“Kak Ela…” sahutnya lugu.
Aku hanya dapat menyunggingkan senyum walau ia tak dapat melihat wajahku. Tapi aku yakin anak ini bisa merasakan.
 ☻☻☻☻☻
Tubuhku sempoyongan tak kuat untuk ditahan. Ototku yang ringan terasa semakin berat dan tegang. Di sekitar kaki banyak bercak darah yang segar mengalir. Tanganku luka-luka dan lecet. Entah sampai berapa lama aku termangu diam dalam kebisuan. Saat ini aku hanya merasa kesakitan yang amat sangat. Sebuah mobil berwarna silver mendobrak pertahananku sampai aku tak bisa melakukan apapun. Aku terjatuh lunglai di aspal hitam yang terbakar.
Saat itu aku sempat mendengar jeritan dari seorang anak kecil yang menyebut namaku. Aku ingat. Aku menyelamatkan nyawa anak itu sebelum aku terjatuh dari motor. Anak mungil dengan hidung kecil, mulut tipis, kulit bersih.
“Kak Ela…” teriaknya yang sempat kuingat.
Tangis dan teriakan memecah kebisingan. Teriakan khas anak-anak. Aku susah bangun. Susah untuk menggerakkan tanganku. Aku bagaikan patung hidup. Aku ingin membasuh air matanya yang menangis kencang. Kaku. Tak bisa bergerak. Aku tak sadarkan diri tetapi aku bisa merasakan bahwa tangan mungilnya mencengkram lenganku.
“Aku tak bisa menghiburmu, sya…”
☻☻☻☻☻
Saat kelopak mata ini membuka dan sambutan dengan ruangan serba putih. Ku lihat Ayah masih membaca Koran di pojok ruangan. Ibu masih berseragam sekolah itu menyapu lantai.
“Kau sudah siuman?” sambut ibu senang.
Aku mencoba mengenali keadaan yang baru menimpaku saat ini. Aku tertabrak mobil sehabis menjemput Rasya di sekolah barunya. Ia murung karena masuk pertama sampai seminggu ia sekolah, tak sekalipun aku menjemputnya. Maka aku memasukkan untuk masuk kelas fullday agar aku bisa menjemputnya sepulang sekolah.
“Rasya sudah dijemput, bu?” tanyaku pada ibuku saat memberikan minuman padaku.
“Tadi, ibu suruh Lukman yang menjemputnya.”
Pintu ruangan itu terbuka. Rasya, bocah kecil itu masuk didampingi Kak Lukman dibelakangnya. Ia menghampiriku dengan lucunya mengenakan baju seragam warna hijau, warna kesukaannya sambil menggendong tas.
“Kakak, ndak pa-pa, kan?” Tanya polosnya.
Aku tersenyum dan mengangguk perlahan.
“Tadi aku belajar nggambar. Bagus lho… Dikasih sama Bu Guru nilai A.” Rasya menyombong.
“Coba kak Lukman mau lihat!” bujuk Kak Lukman tak sabaran.
Rasya membuka gambarnya di buku gambar yang dulu diberikan oleh Nindy.
“Nih…” ia menyodorkan ke arah Kak Lukman yang meneguk air putih pemberian ibuku.
“Ini kamu sama kak Ela?” gumam Kak Lukman mencerna gambar yang dibuat Rasya. Gambar abstraknya.
“Bukan….” Tolaknya tak terima.
“Aku pingin lihat!” pintaku penasaran.
Aku melihat seorang perempuan berambut pendek dengan seorang anak laki-laki yang masih menggendong tas. Mirip Rasya, pikirku.
“Ini aku dan bunda…” katanya menjelaskan. Mataku terbelalak.
Ibu merasa tertarik dengan gambar buatan Rasya. Memang gambar yang bagus untuk usia Rasya. Pantas Bu Alia memberi nilai A untuk gambar buatan Rasya.
“Kak Ela…”sapanya padaku.
“Kakak adalah bundaku.” Katanya kemudian.
Aku tak percaya. Terbersit sinar di kedua bola matanya bahwa ia mengatakan hal yang jujur. Didikan ayah untuk menanamkan sifat kejujuran sudah kupercayakan. Rasya memelukku hangat. Dekapannya membuatku merasa dihargai. Darah yang mengalir hangat ini mendidih tak bisa kukendalikan. Aku tak mampu mengucap apa-apa. Mulutku mengunci seketika.
Aku yang seharusnya merasakan hidup sebagai remaja-remaja kebanyakan. Harus kehilangan semuanya dan tergantikan oleh kehadiran Rasya. Tak pernah kusesali apa yang kulakukan. Menjadi ibu angkat baginya. Membesarkannya. Mendengar tangisnya setiap saat. Merasakan apa yang sedang ia rasakan. Yang kudengar hanya cerita ejekan, cercaan, cemoohan dari tetangga. Dari anak-anak sebayanya. Hanya Dicky, teman sebayanya yang mau merasakan derita temannya. Semuanya aku mampu untuk mendengarnya walaupun itu pedih. Nama yang diucapkannya tadi… Tak pernah kunantikan. Tak sampai kuinginkan. Kata yang mulia dari ketulusan seorang ibu. Nama yang begitu suci nan berharga. Terucap dari bibir mungilnya. Air mataku membanjiri di pelupuk mata. Aku menjerit sejadinya di relung kalbu.
“Panggil sekali lagi, sya..” pintaku dalam hati.
“Aku sayang bunda…” sungguh tak kusangka. Sungguh merindukan kata yang terucap beberapa detik yang lalu. Hatiku semakin terasa hangat saat Rasya mengulanginya. Senang tak terperikan.
☻☻☻☻☻
Nabila Nurul Chasanati
SMA Negeri 3 Surakarta

You Might Also Like

1 Comments

  1. bagus.....
    aku ngiri,>>>
    kok bisa sih, kamu buat cerita sebagus itu

    ReplyDelete