Saturday with ASEM (Anak Sepuluh Enem)

3:16 AM

Sabtu?????
Sabtu??? Hari yang menurutku tidak lumayan sibuk. Ku tarik nafasku dalam-dalam. Appa!!! Hari Sabtu????
Langkahku gontai menuju kelasku. Asyik ramai sekali. Pasti lagi nggak ada PR. Tapi….
“Steplesnya mana??” Tanya Lia ke arah Wisnu yang bangkunya berada di pojok dekat dengan tembok.
Pelajaran Geografi masih ada kesempatan buat teriak-teriak. Ah, biarin juga. Lagian boring abis.
Tiba-tiba, Ida teman sebangkuku menatap ke arahku penuh arti. Aku yang  belum menyelesaikan bacaan tentang sungai di buku Geografi mendadak bingung.
“Aku lapar banget. Sumpah!” katanya seperti menyerah pada ketidakmampuannya menahan rasa lapar.
Karena cuaca hari ini sangat mengantukkan, gimana kalo….
Danau Samosir ~Ida~
Guru Geografiku sedang membahas tentang delta. Kalau diceritakan semuanya, aku yakin tak ada ujungnya. Buntut-buntutnya juga mengarah ke sungai-danau-laut. Panjang dan berbelit-belit.
Walaupun rumahku di pedesaan tapi juga nggak ketinggalan jaman kok. ~Wisnu~
Tak tahu apa yang sedang dibicarakan cowok-cowok belakangku ini. Sampai-sampai menyangkut pedesaan segala.
Gelombang Pamungkas. ~Wisnu~
Nggak pa-pa. ~Arga~
Tak berapa lama, temanku Lia teriak-teriak dengan lantangnya.
Wisnu!!! ~Lia~
Duh Lia lagi. Masih sempet-sempetnya tuh bocah teriak-teriak. Padahal Bu Yuni, Guru Geografiku sedang menjelaskan. Tapi nggak pa-palah. Mengisi kertasku ini dengan ucapan teman-temanku.
Tiba-tiba Bu Yuni merasa aneh dengan tampang Zustian, teman sekelasku yang berada jauh dari tempat dudukku.
“Itu sama itu, kembar ya…?” Tanya Bu Yuni penasaran sambil menuding orang yang dimaksud.
Segera saja yang terlontar dari mulut Bu Yuni, aku tulis dikertas yang berisi ucapan-ucapan dari temanku.
Bu Yuni menuding Zustian dan Wisnu. Wisnu yang berada di belakangku persis disandingkan dengan Zustian yang berada di belahan bumi selatan. Tapi sepertinya Bu Yuni sangat jeli mengamati mereka berdua.
Kok agak mirip yang itu dengan itu…~Bu Yuni~
“Yang tadi menghapus papan tulis bukannya kamu?” Bu Yuni bertanya pada Zustian.
“Bukan bu….” Zustian mengelak sambil tersenyum-senyum sendiri. Grogi.
“…. Saya Zustian, bu…” lagi-lagi percakapan antara guru dan murid ini tak luput dari bolpoin dan kertas yang aku tulis.
Cowok di belakang tertawa. Entah apa yang perlu mereka ketawakan. Jayus. Atau benar-benar lucu. Mungkin Arga ketawa karena sohibnya punya saudara kembar.
Ihiy… ~Wisnu~
Model tubuhnya sama. ~Bu Yuni~
Temanku yang tak kalah menghebohkan menyahut keceriaan pagi ini di sela-sela pelajaran Geografi yang mengantukkan.
“Mereka sama-sama pemain basket, bu..” Zain menambah. Menambah kebenaran lebih tepatnya.
Aku menoleh ke belakang mencari sumber suara lagi yang perlu ditulis. Semua anak pada sibuk pada sibuk dengan leluconnya mereka sendiri. Sahit, temanku yang berada di belakang bangku Wisnu langsung menyahut tanpa ekspresi ke arah Wisnu yang kebetulan sedang menghadap ke belakang. Sambil menutupi wajahnya dengan jaket warna ungunya.
Aku langsung ngantuk nu, ~Sahit~
Sahitpun tak luput dari tulisanku. Kadang aku masih bingung dengan ucapannya Sahit tak masuk akal. Kita kan sedang membahas anak kembar versinya Bu Yuni. Kenapa dia ngantuk, harus diumumin. Apa hubungannya. Agh, nggak ada masalah. Yang penting dapat tulisannya Sahit.
Tak lama, Bu Yuni melanjutkan pelajarannya kembali.
“…Kemungkinan paling besar, kulit bumi itu menjauh.” Ujar Bu Yuni mengembalikan keadaan normal seperti semula.
Karena Ketiban Glasial.  ~Arga~
Bu Yuni disela-sela menggambar di papan tulis mendapat ujaran dari teman belakangnya Ida, Arga.
Ketiban Sial.  ~Arga~
Arga memaknai dengan kata-kata kejatuhan Glasial sebagai kejatuhan Sial yang mungkin akan masuk ke memorinya.
Pelajaran Bu Yuni dilanjutkan dengan fungsi Perairan.
…Pariwisata, Perikanan…  ~Bu Yuni~
Di seberang aku mendengar suara Lia menggema lagi.
Iya dong…. ~Lia~
Pernah buang air di sungai?  ~Bu Yuni~
Pertanyaan Bu Yuni mendapat reaksi beraneka ragam jawaban dari teman-temanku. Kelas heboh.
Aku melirik ke arah Tika, yang sedang lesu. Aku menyuruhnya untuk mengatakan sesuatu. Apa saja.
Ngomong apa? ~Tika~
Siiip. Sudah hampir mendapat suara dari penjuru kelasku. Sepuluh Enam.
Kumpulan air merupkan…  ~Arga~
Arga dengan deskripsinya yang suaranya tertangkap basah.
Semua ucapannya kamu catet, bil? ~Wisnu~
Kepergok. Wisnu tahu kalau aku nggak punya pekerjaan lain kecuali menulis semua omongannya anak-anak di kelasku. Sebagai obat ngantuk. Tetap berkonsentrasi.
Kaya malaikat saja, semua ditulis… ~Wisnu~
Tak tanggung-tanggung, Wisnu seperti bertasbih mendengung-dengungkan namaku dengan sandangan super jelek biar aku bisa menulis semua apa yang ia katakan.
“Nabila jelek, Nabila malas, Nabila bodoh, Nabila Juhud…” katanya sok imut meniru gaya khasnya Bebew teman sekelasku.
“Ntar yang kamu omongin tak edit.” Potongku cepat memberhentikan semua tasbihannya itu.
Aku menulis nama yang disebutkan Wisnu tadi di kertasku dengan pengeditan super sempurna.
Aku Cantik! ~Nabila~
Gimana sih, ngomong-ngomong sendiri, nulis-nulis sendiri. Yang bagus lagi. ~Arga~
Hening. Kok kertasku nggak berlanjut sih. Humph…semua pasang mata sedang mendengar Bu Yuni bercerita. Sampai-sampai Wisnu yang berada persis di belakangku nyeletuk.
Edan…~Wisnu~
Sangar…~Wisnu~
“Seperti anda beli Kodak.” Bu Yuni melanjutkan guyonan segarnya.
Beli kodok, bu…~Wisnu~
Danau Dhouullin……~Arga~
Nggak pa-pa juga. Semua yang aku tulis di kertas ini, kalau nggak Wisnu ya, Arga. Nggak ada selain mereka. Apalagi teman sebangkuku ini jarang banget ngomong. Ya sudah deh, kertas penuh dengan nama Wisnu dan Arga yang kalau ngomong sampai terdengar sampai radius 100 kilometer.
Bel pergantian Jam berdenting. Berpikir-pikir dan berpikir. Amnesia banget. Maaf terlalu sibuk mengonsentrasikan pikiranku ke hal-hal yang aneh. Hm… bentar lagi pelajaran apa ya? Aku sibuk mengingat-inngat.
Apppaaa?? Bu Lilik Marliyati. Celetukku dalam hati. Nafasku sulit untuk aku atur. Berhadapan dengan orang yang ahli politik. Pelajaran Kewarganegaraan. Auww… Maaf bu, saya tidak berminat dengan dunia politik.
Aduh sakiiiit……Hufth! ~Nabila~
Tak sengaja kertasku terbang ke arah Wisnu dan menulis apa yang baru saja aku lontarkan dari mulutku. Tulisan kaligrafinya Wisnu mewarnai setelah tulisanku. Mana jelek lagi, Sumpah ya…
Suasana sangat memberikan rasa kantuk yang mendalam. Buktinya, Wisnu bersiap-siap akan melayang. Ia hampir terbang ke alam mimpi. Indahnya….
Aku ingin tidur. Pelajarannya Bu Lilik buat emosi aja ~Wisnu~
Aku tak mengerti. Orang sepintar Wisnu, masih sempat-sempatnya ngomong kaya gitu. Memang sih, nggak usah dipungkiri. Semua orang merasa tertekan batinnya kalau berhadapan dengan guru yang satu ini.  
 Duh, liat orang-orang yang akan terbang ke alam mimpi sungguh indah menawan. Tertidur pulas. Pulaaassss?? Bentar lagi kan, pelajarannya Bu Lilik, gimana mau pulas. Ralat ! Menjaga kepuasan dalam tidur sebelum gurunya masuk kelas ini.
Duh, sampahnya kok disini sih, Kurang ajar!! ~Nabila~
Kataku sendiri tanpa malu aku tulis ucapanku sendiri di deret terakhir kertas yang aku punya.
“Billa, ke kamar mandi yuk!” ajak Hana yang mengganggu konsentrasi mimpi buatanku.
“Hmm… Boleh.” Jawabku pasrah saat melewati teman sebangkuku, Ida.
“Kenapa sih, jeng?” tanyaku pada Kanjeng yang masih punya saudara karib dengan keraton Solo.
“Tadi bolpoinku isinya mluber.” Katanya seraya membasuh sikut tangannya dengan sabun.
Tiba-tiba pikiran yang tak kuundang datang menghampiri. Teringat dengan Ibunya Hani, alias Bu Lilik. Hani teman sekelasku yang sangat berambisi menjadi politisi ini sering diganggu dengan sebutan anaknya Bu Lilik yang guru PKn. Padahal anak kandungnya Bu Lilik juga sekolah disini juga. Tapi kakak kelas. Ganteng sih. Tapi masalahnya aku nggak mau berurusan dengan ibunya. Siapa lagi kalau bukan Bu Lilik.
“Han, buruan. Bentar lagi jamnya Bu Lilik lho.” Aku memperingatkan.
“Duh, aku malas tuh.” Sepeti tak ada harapan untuk hidup. Mukanya Hana dari tadi tertekuk terus. Ngantuk adalah penyebab utamanya.
Dari jauh saat aku berjalan menuju kelasku. Aku serasa melihat malaikat maut datang menghampiriku. Sory, terlalu hiperbola. Gimana nggak berlebihan. Bu Lilik datang, ndes. Aku sih lebih suka sama anaknya daripada ibunya. Tapi, kalau suka sama orang itu harus satu paket dengan orang tuanya juga.
Satu…Dua… Tiiiiiigaa. Pintu kelas dibuka oleh seseorang. Aku yang saat itu berada di baris pertama mendapat tatapan pertama dari guru yang akan mengajar selama 2 jam pelajaran ini. Kenapa nggak satu jam saja. Kalau aku jadi Kepala Sekolah, jam pelajaran PKn aku beri 5 menit aja sekalian. Asyik bukan? Eh, tapi kalau aku jadi Kepala Sekolah, Bu Lilik kan anak buahku. Kenapa aku harus mengurangi jamnya. Sekalian saja 5 jam pelajaran. Biar muridnya pada kesulitan. Biar jadi penerus bangsa yang berpendidikan pada nilai dan norma yang diajarkan Pancasila. Mampuss…
Itu punyaku. Bolpoinku kualitas bagus…~Arga~
Masih ada dengung-dengung suara lebah di bangku belakangku ini. Padahal Bu Lilik sudah datang.
Menghampiri Maut. ~Nabila~
Tolong dihapus papan tulisnya. ~Bu Lilik~
Perkataan dari awal berjumpa. Menghapus papan tulis. Ini bakal jadi acara seru. Coba tebak, apa! Spidol yang sebelumnya dipakai Bu Erni, guru yang mengajar sebelum Bu Yuni tadi permanent. So, papan tulisnya luar biasa kotornya. Ditambah dengan gambar aliran sungai yang super abstrak dari Bu Yuni. Super sekali….
Anak di kelasku pada kewalahan membersihkan papan tulis dengan berbagai macam cara. Tapi hasilnya NIHIL.
“Tugas untuk mid semester bagi siswa yang remidi…” Bu Lilik bergumam sendiri sambil membuka daftar nilai.
Jangan dibacain bu…~Arga~
Satu per satu murid di kelasku tak luput dari absensi nama beserta hasil nilai yang diperolehnya. Sampai-sampai aku mendengar temanku yang dengan wajah penuh kekaguman karena ada salah satu temanku yang nilainya paling tinggi yang bernama Nyo-nyo. Kenapa panggilannya nyo-nyo. Karena setiap ngomong sesuatu diakhiri dengan kata nyo. Iya-nyo; Apa-nyo; Siapa-nyo;….nyo; Jadi rumusnya adalah bla-bla-bla + nyo.
Edan…~Nyo-nyo~
Arga pun tak kalah.
Jos…~Arga~
Mereka seraya mengekspresikan kekagumannya. Entah apa yang mereka kagumi. Asalkan aku bisa menuliskan kata yang mereka ucapkan.
Tugasnya membuat power point. ~Bu Lilik~
Power point lagi…~Ida~
Deadline-nya kapan bu? ~Arga~
Kelas kembali riuh, gara-gara soal remidi. Sampai-sampai tak ku dengar ada orang yang memanggilku.
Nabila, Penghapus! ~Wisnu~
“Hm.. tugasnya dikirim ke e-mail?” Tanya Ida. Aku hanya bisa menggeleng kepala. Coz, aku tak terdaftar sebagai siswa yang ikut remidi.
“Alamat e-mail nya apa, Wis?” Tanya Arga ke teman sebangkunya.
L-i-l-y-k marliyati dot smaga et…~Wisnu~
Et apa? ~Arga~
lilykmarliyati dot smaga et jimel dot kom. ~Nabila~
Jadi alamat e-mailnya adalah lilykmarliyati.smaga@gmail.com
Setelah berselang waktu lama…….
Huh, ngantuk bu-bu. ~Wisnu~
“Kenapa harus dituntaskan sekarang?” Bu Lilik dengan nada suara yang sudah diatur seperti biasa.
Setelah berba-bi-bu, Bu Lilik menjelaskan lagi materinya. Kelas kembali heboh karena papan tulis kotor itu tadi dilihat oleh Bu Lilik. Lebih tepatnya dicermati, didiskusikan dan dibuat Undang-undang. Itu kan kata-katanya Politisi. Sedang satu kelas telah siap dengan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan Intrograsinya Bu Lilik.
“Kok susah dihapus?” Tanya Bu Lilik kebingungan.
Tadi pakai spidol permanent, bu.. ~Arga~
Iya bu…~Arif~
Ngehapusnya pakai balsam, bu…~Wisnu~
Appa???? Nggak salah tuh, pakai Balsam. Papan tulisnya masuk angin. Berani taruhan, kalau Papan tulisnya bau orang habis kerokan. Bujubunneeeehhhh…..
“Kalau hari sabtu, semangat nggak?” Tanya Bu Lilik memancing.
“Semangat dong, bu….” Jawabku mengalahkan beribu-ribu jawaban yang riuh dari teman-temanku.
Padahal kenyataan yang terjadi. Hari sabtu merupakan hari ngantuk sedunia. Nggak percaya?? Buktikan saja sendiri. Kalau Bu Lilik kerjaannya nggak ngasih multivitamin yaitu guyonan. Aku jamin, PKn adalah pelajaran yang membosankan.
Orang yang minum jamu, dikasih pahitnya dulu baru manisnya…~Bu Lilik~
Entahlah, aku tidak menyimak secara pasti. Padahal awalnya guru yang satu ini membahas Suprastruktur Politik. Kenapa nyambungnya bisa membahas jamu. Kalau pembangunan gedung DPR masih ada sangkut pautnya. Karena sama-sama berbicara Politik. Lha kalau jamu, Apa hubungannya???
 Yang pakai spidol permanent tadi siapa? ~Bu Lilik~
Haduh, duh, duh… kok mbahas ini lagi.
“Bu Erni, bu…” jawab satu kelas. Kompak.
“Ntar kalau sampai di kantor, aku marahi..” kata Bu Lilik sambil tertawa renyah.
Guru yang satu ini memang ahli dalam teknisi spidol-spidolan. Ia mencoba menghapus dengan cara menumpang tindihkan tulisan yang permanent dengan spidol yang ia punya. Karena berhasilnya cara ini, seluruh anak antusias memberi semangat.
“Lagi…lagi….lagi….” Taufik Banu Sialan memberikan semangat pada Bu Lilik. Dengan harapan menghapus semua tulisan permanent itu. Maka waktu akan habis tanpa pelajaran Politik. Asyikkkk….

☻☻☻☻☻
Cukup sekian tuk hari ini, ASEM

Nabila Chafa, absen 23 ASEM

You Might Also Like

0 Comments