Pages

  • Home
  • Tumblr
  • linked
facebook linkedin twitter youtube

Rumah Dialektika

    • About Me
    • Renjana
    • Cerita Pendek
    • Opini


    Warna pelangi tergeser oleh silaunya pancaranmu.
    Bisa saja, kristal-kristal di langit terbiaskan hingga cahayanya tak sampai pada mataku.
    Kamu berbicara tentang kebersamaan kita.
    Kemudian, untaian ceritamu dimulai dari kesendirian.

    Sungguh. Aku ingin membantumu.
    Kubah di langit mungkin tak menginginkan itu terjadi.
    Entahlah~
    Belati akan semakin mengiris pilu hatimu, bila ku katakan yang sejujurnya.

    Amanah itu sudah selesai.
    Setidaknya kau lega.
    Bisa saja, kau merayakannya dengan sekedar makan bakso lima ribuan di depan fakultas.
    Sembari mengolok teman-teman "siapa saja yang sudah lulus?"

    Jujur!
    Aku rindu senyum kebangganmu itu.
    Atau senyum menghinamu itu kalau kamu sok tahu.
    Hingga senyum remeh temehmu dalam berbasa-basi.

    Hei, untuk pundak yang semakin ringan.
    Kertas yang masih kosong itu isilah.
    Setidaknya dengan kebangganmu untuk selalu mengerjakan sesuatu.
    Tuhan adalah Maha Benar.
    Maha Sebaik-baik Pemberi Apresiasi

    Baru aku tahu, keputusan itu tak akan berlanjut.
    Hanya ketukan jemari yang mengisyaratkan: Aku berhenti!
    Sudahlah~
    Toh, itu keputusanmu.

    Tapi jangan lupakan hari ini.
    Saat gerimis turun ke bumi dan dambaanmu sudah selesai.
    Jangan pernah kau menghilang.
    Untuk bersembunyi ataupun untuk lari.

    Senang atau tidak, kamu harus berani melewati.
    Hingga kuncup kumbang datang di kelopak mawar, aku selalu menunggu waktumu.
    Kemudian, aku tidak akan segan-segan untuk datang dan menepuk pundakmu.
    Lagi!

    Hei, kita bisa bercerita kembali. Tentang "hal apa yang sudah kita lalui"
    Bukan kita, tapi antara aku, kamu dan mereka semua.
    Aku harap kamu mengingatnya di lorong kehidupan masa mudamu.
    Sekedar untuk datang dan kembali, kini aku pamit!

    ::::




    Apresiasi tertinggi setelah kepengurusan SSC periode 2017
    Dan, terutuk kalian yang selesai dalam menyelesaikan amanahnya.
    Sembari menunggu tanggung jawab yang lain datang.


    ::::

    I don't even know why I'd do this anymore
    Reality Club_Is it this answer_Playing Now!
    Tuesday, 12nd Desember 2017
    22.10 pm

    dan...


    Happy Birthday to me!
    N  a  b  i  l  a    C  h  a  f  a, 
    selamat bertahan di umur 23 tahun sejak 3 Desember 1994.
    Aku mengapresiasi diriku, yang tegar, kuat, bakoh dan masih banyak kontradiksi dalam setiap kata itu. Setidaknya, Allah sebaik-baik pemberi Apresiasi.

    ::::
    Continue Reading

    Ini kisah tentang bagaimana seorang Ayah-Ibu yang mengharapkan kehadiran anak mereka pulang ke rumah.

    :::

    Embusan angin dari arah barat meluluhlantakkan terbangan daun yang jatuh di tanah. Memainkan sedemikian rupa hingga menari-nari mengikuti arah angin. Membawanya hingga nanti jatuh ke tanah, jauh dari tempat jatuh sebelumnya. Hawa yang ditimbulkan membuat manusia-manusia yang berada tak jauh dari tarian angin itu mendadak menggigil. Diusap-usapnya kedua telapak tangan mereka mencari kehangatan. Syal tebal melilit di leher-leher mereka. Tak jauh dari tempatnya berada, perkemahan yang mereka dirikan tidak berdiri tegak. Melainkan mengikuti arah gerak angin.

    “Ih, kenapa telepon di saat yang tidak tepat.” Gadis itu geram.

    “Siapa Na?” tanya temannya. Dia menyesap hangat kopi buatannya sendiri tanpa berniat membaginya dengan kawan lainnya yang diruntuki kekesalan.

    “Bapakku.” Jawabnya ketus.

    Hujan datang tiba-tiba. Berawal dari tetes-tetes kecil, lambat laun jatuh hingga mendesak bumi untuk menerima kunjungannya. Kemudian tak tahan untuk disimpan, seluruh pasukan langit memborbardir dengan kekuatan penuhnya. Menghujani bumi tanpa ampun dalam waktu setengah jam.

    Muka Nasitha keruh. Tentu saja. Sebelum agenda Diksar ini berlangsung, ia selalu ditelepon oleh ayahnya untuk segera pulang. Liburan semesteran sudah datang. Ia justru sibuk mempersiapkan acara Diksar ini berlangsung. Cuaca yang tidak mendukung. Tim yang kurang solid karena ditinggal oleh beberapa teman yang sedang KKN. Ia seakan-akan sendiri dalam menghadapi kenyataan. Ketakutan Diksar ini tidak akan sesukses Diksar sebelumnya. Cih, apalagi junior angkatan bawahnya yang hanya menjadi cecunguk budak prokeryang tidak punya inisiatif. Hanya ngeh kalau dia perintah.

    Dalam persiapan Diksar ini ia hanya bisa menggantungkan pada satu orang. Sebenarnya ia merasa tidak nyaman jika ia bekerja lebih berat dibandingkan dirinya. Romdon namanya. Bapaknya sakit. Sakit lambung yang membawanya dirawat di rumah sakit selama tak lebih dari tiga hari. Tetapi sembuh kemudian, saat jengukan pertamanya di hari terakhir Bapaknya di rawat. Esok harinya, ia membantu mempersiapkan Diksar. Nasitha dibawa terenyuh oleh keloyalannya.

    Nasitha sibuk mencari pinjaman alat untuk menyukseskan acara Diksarnya, suatu saat.

    “Na, aku ijin.” Kata Romdon di suatu saat dia kerepotan untuk meminjam alat. “Sebentar.” Mukanya sudah keruh.

    Nasitha menganggapnya dengan santai, sembari bergurau dia berkata, “Kamu tega, Don. Ninggalin aku sendirian.” Katanya.Romdon terenyuh. Benar juga. Tidak banyak personel yang ada di kampus untuk mempersiapkan Diksar.

    “Yowis.” Romdon akhirnya menyerah.

    Nasitha tertegun, ia tidak menyangka kalau gurauannya dianggap serius oleh Romdon. Ia bingung harus menanggapinya dengan macam jawaban seperti apa. Tetapi, hati kecilnya merasa senang. Bagaimanapun dia ada teman untuk membantunya. Secara kematangan strategi dia tidak banyak memberi kewenangan pada angkatan bawah. Romdon adalah orang yang ia percayai dalam banyak hal. Kehadirannya sudah sangat membantu,setidaknya ada bahu untuk mendengarkan kefrustasian  menghadapi Diksar kali ini.

    Diliriknya tenda milik Romdon yang berjarak dua tenda di samping kanannya melalui celah tenda miliknya. Ia sebenarnya sudah merasa berhutang budi pada Romdon jika ada hal buruk terjadi. Aku mendengar dari juniornya di suatu pekan bahwa tanpa seijinnyaRomdon pulang ke Boyolali untuk menjenguk Bapaknya. Ia benar benar merasa tidak enak pada Romdon. Seolah-olah dia adalah orang yang menghalang-halangi bertemunya dia dengan Bapaknya.

    Telepon masuk lagi.

    “Kamu dimana? Pulang!” seru Abinya lewat telepon. Di pos satu memang sinyal menerima telepon cukup kencang. Tapi apes. Abinya selalu telepon, menerornya untuk memberi penjelasan ratusan kali kenapa ia tidak pulang ke rumahnya.

    “Bi, aku di Gunung Lawu ini. Badai!” seru Nasitha tak kalah keras dibanding dengan derasnya hujan yang menghampiri Bumi sore ini.

    “Ijin sama Ketua Pelaksananya. Sini, Abi mau bicara.” Jawab Abinya.

    Mati!

    Nasitha membulatkan bola matanya. Ia tercengang tidak percaya. Jangan sampai Abinya tahu kalau dia adalah Ketua Pelaksananya untuk Diksar tahun ini.

    “Orangnya sudah di pos atas. Nggak ada di sini.” Ia berbohong.

    Jeda dua detik. Nasitha waspada jika Abinya bertindak lebih heboh lagi melebihi memanggil ketua pelaksana Diksar.

    “Abi lihat berita di televisi, ada 3 mahasiswa mati karena Diksar.” Cerocos Abinya.

    Oh.

    “Di Gunung Lawu juga.” Tambah Abinya memberi tahu.

    Nasitha juga paham ada berita itu. Itulah kenapa beberapa Mapala yang mengadakan Diksar setelah kejadian itu dibatalkan. Padahal, antara Diksar Mapalanya dengan Diksar kampus di Jogja sudah dibagi tempat pelaksanaannya karena waktu yang bersamaan. Diksar miliknya mengambil rute Cemoro Sewu, berbeda dengan Kampus Jogja.

    “Insya Allah, disini aman Bi.” Sanggahnya. Dalam hati kurang dari dua hari lagi, DiksarMapalanya akan selesai.

    “Pokoknya kamu harus pulang!” Abinya mengatakan dengan tegas dan penuh penekanan. Nasitha memang bebal. Selama lebih dari dua Minggu sebelum dilaksanakan Diksar, Abi dan Uminya sudah mengingatkan untuk segera pulang. Seolah-olah, Abi-Uminya tahu betul jadwal libur kampus melebihi Wakil Dekan I Bidang Kurikulum.

    “Iya Bi, setelah ini aku pulang.”

    Telepon ditutup. Ia tersenyum kecut. Hari ini dia sudah bisa menghindar. Tidak tahu kalau besok. Ia berdoa, agar keberadaannya di Gunung Lawu ini yang besok pagi akan dimulai pendakian tidak benar-benar mendapatkan sinyal. Ia terlalu berdosa untuk mengatakan alasan yang tidak masuk akal.

    ***

    Selesai Diksar, Abi-Uminya semakin gencar merecokinya untuk segera pulang. Biasanya ia hanya mendapatkan telepon sehari sekali, kali ini bisa dua hingga tiga kali. Mengganggu. Apalagi saat seperti ini adalah sibuk-sibuknya dia berjibaku dengan evaluasi Diksar kemarin. Ia terserang flu parah. Uminya bisa menduga dengan tepat saat suara anaknya berubah menjadi bindeng. Khawatirnya minta ampun.

    “Kapan pulang?” Tanya Uminya di sambungan telepon ketika selesai ia melaksanakan sholatMaghrib. Ia berjalan menuju Sekretariat Mapala Fakultas miliknya. Sudah tiga malam ini, dia tidur di sekre. Jika suatu waktu seniornya meminta penjelasan tentang jalannya Diksar yang baru saja dilaksanakan Minggu kemarin.

    “Bentar, Mi. Masih belum selesai urusannya.” Katanya berkata jujur. Memang ia masih belum menyelesaikan beberapa hal lain tentang evaluasi kegiatannya.

    “Suaramu udah aneh gitu. Ini Umi udah jalan mau ke stasiun.” Tambah Abi. Satu sambungan telepon dipakai oleh kedua orangtuanya.

    Nasitha sudah gelagapan. Bingung harus membalas dengan jawaban seperti apa lagi. Semua stok kebohongan yang dimilikinya sudah habis.

    “OJO BIII...” sergahnya cepat saat menyatakan kalau mereka sudah bersiap siap menuju ke stasiun.

    Mati!

    “Aku wis apik iki.” Tambahnya. Selama tiga hari kemarin memang dia terserang flu parah yang menyebabkan suaranya menjadi aneh. Apalagi orang yang mendeteksi penyakitnya adalah Uminya sendiri.

    Kemudian Nasitha bercerita bahwa teman satu jurusannya yang merawat dia selama sakit. Kalau cerita yang ini, ia tidak berbohong. Selain alasan temannya, Roro menginap di Sekre adalah ia berselisih paham dengan ibu angkatnya yang menyebabkan sekreNasitha-lah yang menjadi tempatnya berlari. Selain di rumah, maksudnya.

    Romdon membersihkan sleeping bag yang akan dia kembalikan ke Mapala Garba. Suara telepon Nasitha yang berada di dalam sekre terdengar jelas. Mengingat ini sudah malam dan tak banyak manusia penghuni Gedung Sekre ini di malam hari.

    Telepon tutup. Dengan keputusan ia akan pulang tak lebih dari seminggu lagi. Umi dan Abinya akan mengancam akan ke Solo memastikan keadaan anak semata wayang mereka baik-baik saja.

    “Na, tadi Abimu yang telepon?” tanya Romdon. Ia meletakkan dua sleepingbagyang dibersihkan menggunakan kain itu ke dalam sekre. Nanti, selepas sholat isya dia dan Nasitha berencana untuk mengembalikannya.

    Tidak perlu ada jawaban, hanya anggukan malas Nasitha yang menjadi jawaban pertanyaan Romdon. Ia tengah sibuk membalas chat yang masuk saat waktunya disabotase oleh telepon masuk dari orang tuanya.

    “Emang kalau bicara sama Orangtuamu kamu sekasar itu?” tanya Romdon. Ia malas menyahut. Kepalanya sudah pening dalam artian yang sebenarnya. Hidungnya tersumbat karena flu. Ia tidak memerlukan banyak kata untuk membalas pertanyaan remahan dari Romdon.

    Jeda sepuluh detik. Romdon sibuk dengan melipat dua sleeping bag. 

    “Jangan suka seperti itu Na. Kamu masih beruntung masih punya Bapak. Daripada punya Bapak yang nyawanya mengambang. Mati gak, hidup juga enggak.”

    Jlep! 

    Itu sudah menegaskan kabar burung yang hanya didengardari juniornya. BapakRomdon dilarikan ke rumah sakit. Karena sering muntah darah. Apakah semengerikan itu keadaan ayahnya Romdon. Tiba-tiba ia merasa bersalah untuk kesekian kalinya. Romdon masih di sini bersamanya. Ia harusnya berada di sisi ayahnya saat ini.

    “Ayo ke Garba!” ajak Romdon. Ia sudah membawa sleeping bag ke dalam tas plastik besar. Nasitha patuh. Ia merapikan tas slempangnya. Memasukkan hp-nya ke dalam. Lalu mengikuti Romdon yang sudah berjalan ke arah parkiran belakang gedung 3.

    **

    Hp Nasitha sejak pagi sudah penuh chat Toni, sahabatnya Romdon. Chatitu hanya sapaan biasa. Tetapi berulang hingga lima kali.

     “Na”

    Ponselnya keburu habis baterainya. Chat Toni tak berbalas.

    Sorenya, saat ia mengecek hp miliknya. Toni bertanya dengan pertanyaan yang mengejutkan.
    “Apa Bapaknya Romdon meninggal?”

    Ia terpaku melihat layar ponselnya. Ia gemetar dalam diam. Lalu dilihatnya Romdon yang membersihkan beberapa alat yang harus dikembalikan ke Mapala Kampus lain.

    Romdon sedang bercanda dengan juniornya. Tetapi senyumnya menghilang sesaat. Ketika ia toleh keberadaan Romdon yang sudah berbincang dengan orang lain. Lalu, lenyap. Romdon dibawa oleh orang lain yang tak ia kenal. Bukan anggota anak pecinta Alam. Satu juniornya yang bersama Romdon tadi berjalan kearahnya. Tadi saudara Romdon dari desa. Mengatakan sesuatu yang membenarkan isi chat Toni.

    Bapaknya Romdon meninggal.

    ***

    Lima kali evaluasi lima malam yang harus dihabiskan Nasitha untuk tidak tidur. Sakit demamnya memang menjadi. Tetapi perasaanya mulai lega. Janji untuk pulang ke Tulungagung semakin terealisasi.

    Saat ia melayat, ia bingung. Mengajaknya bicara mengatakan permohonan maafnya atau hanya melihat wajah melas Romdon. Romdon anak pertama dan dalam jangka waktu tak sampai putaran purnama, dia harus menjadi tulang punggung keluarga. Sedih rasanya melihat Romdon begitu terpukul. Nasitha memutuskan untuk diam.

    Romdon duduk di tengah ruangan. Ia kembali saat jasad Bapaknya sudah dikebumikan. Ia melihat Nasitha bersama dengan rombongan teman Mapala. Lalu ia berdiri menghampiri Nasitha yang melihat kaku ke arahnya.

    Berujar ringan. “Pulang, Na.”

    Disinilah ia berada. Di pinggir jalan, menunggu bus lintas provinsi yang biasa melewati depan kampusnya.

    Ia melambaikan tangan, menghadang dengan satu tangannya saat Bus bertuliskan MIRA berjalan dari jauh ke arahnya. Tas travelbag dijinjing oleh kondektur bus. Cukup membantunya. Ia melangkah masuk ke dalam bus. Berjubelan denganorang-orang yang memiliki jutaan alasan dalam kepergiannya. Yang jelas, tujuannya hanya satu, pulang.

    **

    Paranggupito, Sabtu 4-2-17 pukul 11.40

    :::

    Cerita di balik ini adalah suatu malam Nasitha menelpon aku kalau ayahnya Romdon meninggal. Kejadiannya di awal tahun 2017 tepat ketika aku sedang KKN di Paranggupito.  Dan tepat hari ini (16 November 2017) orang yang pertama kali aku lihat di kampus, selain Listusista adalah Romdon. Seharian menghabiskan waktu berdua. Kemudian, sedetik sebelumnya, Nasitha dengan alaynya mengirim lirik lagu Kesempurnaan Cinta. 

    Butuh waktu lama untuk mengposting cerita ini. 

    Romdon, adalah seseorang yang tegar. Waktu yang membuatnya menjadi seperti ini. Dan untuk kalian, jangan lupa untuk pulang. Itu pesanku.


    ----  N  a  b  i  l  a    C  h  a  f  a  -----
    16 November 2017, sehari selepas pulang dari Pare 
    di wifian dengan ditemani dua lelaki yang tidak aku kenal, depan gedung 3 FIB
    17:34 pm
    Continue Reading
    Halo mentari pagi yang masih sunyi.

    Kukirimkan tanda tanya terbesarku untuk rasa penasaran. Atau, jawab saja dengan jujur tentang kegundahan yang tengah aku rasakan. Aku masih tidak tahu apa apa. Hidup terlalu rumit untuk menjawab pertanyaan satu per satu. Tentang sebuah tanya yang mungkin susah untuk dijelaskan.

    Hari ini aku akan bercerita tentang separuh cinta yang belum terbasuh sempurna. Tentang perasaan kehati-hatian. Bagaimana menjaga hati dan memeliharanya agar tidak berkelana kemana-mana. Cukupkah dengan satu orang yang selalu menjadi tambatan hati. 

    Untuk seseorang yang masih disembunyikan oleh Tuhan untukku. Sesungguhnya aku masih penasaran. Bagaimana bisa seseorang tinggal lebih lama dalam ketidakpastian. Tapi, rahasia Tuhan selalu tampak lebih sempurna ketika hamba-Nya begitu penasaran dengan apa yang dirahasiakan-Nya.

    Jalan setapak masih panjang untuk dilalui. Bahkan dengan hanya sendiri. Kelihatan sebuah titik yang tak tampak untuk disibak. 

    "Jadi bagaimana?"

    Suatu ketika kamu bertanya, dalam separuh napasku masih terengah-engah.

    "Aku tidak tahu. Jalani saja hari ini. Tidak perlu terburu-buru." Kataku. Nyaris sempurna membuatnya terheran. 

    "Aku takut." katamu. Dengan rasa penasaran yang membuncah, sebenarnya aku menyembunyikan fakta bahwa aku juga takut. 

    Aku terdiam. 

    Untuk seseorang yang jengah menunggu seperti dia, semoga Tuhan menjaga hatinya. Setidaknya agar dia tidak terluka. Atau beri aku sedikit kekuatan untuk memberinya jawaban. Setidaknya yang realistis dan mampu membuatnya membungkam tentang rasa penasarannya.

    ***

    Langit berarak. Membawa partikel embun yang jatuh. Hingga bau petrichor tercium di hidung perempuan yang merenung di bawah atap genteng rumah. Menatap kesunyian sambil berpikir panjang. Tentang sebuah ketakutan yang kala waktu akan dia rasakan, jika satu kesempatan saja yang hampir digenggamnya menghilang. 

    Bersandar pada tembok dinding yang tipis. Rasa dingin dan menggigil dirasakan di kulit punggungnya.  Gadis itu adalah seseorang yang mendeskripsikan dirinya menjadi tokoh pertama dalam cerita singkat ini. Masih berpikir panjang tentang banyak hal yang masih belum terjamah. 

    Tentang dunia fana yang penuh teka teki tak terpecahkan. Bahkan setiap detiknya adalah labirin yang membuatnya bingung mana arah yang akan dia pilih. 

    ***

    Perasaan itu akan membuncah menjadi gelegar yang sulit untuk dikendalikan. Kendalikanlah hati kamu, setidaknya dia mampu mengendalikan kehati-hatian kamu dalam bertindak. Perasaan yang akan meledak bisa sedikit tertahan dengan sebuah rasa kewaspadaan. "Jika kau berani melangkah lebih lanjut, kau juga harus berani mengambil resikonya."

    Tapi bukankah, hidup adalah rentetan hal yang penuh resiko. Siap atau tidak, memang sudah waktunya kau harus mengambil tindakan. 

    Hati begitu rapuh untuk sebuah tindakan yang beresiko. Setidaknya akal akan menjaga dan memahamkan kita tentang arah langkah kita selanjutnya. Sebuah cinta yang masih terpendam di alam semesta dan terbuka pada sebuah titik kemustahilan, suatu saat akan terbuka. 

    Hai Mentari Pagi yang penuh cinta, aku masih menunggu untuk mengambil tindakan apa yang pantas untuk aku lakukan esok hari. 

    ::::

    Nabila Chafa, 
    5 November 2017
    di Kosan Ridho Borneo
    ditemani Zealandi Sarah yang menonton Film dan Keyra Ukhti yang sedang melipat baju
    20.04 malam.
    Thanks untuk Taeyeon untuk lagunya. Dan AKMU "Dinosaur" lagu of the day untuk hari ini :))

    ::::


    Sedikit berbagi foto keseruan tentang pengalaman menikmati pagi di hari Minggu kali ini. 







    Thanks Untuk Zealandi Sarah untuk berbagi sedikit kenangan hari ini. Untuk keahlian panjat sosial yang memang harus aku upgrade. Dan semua keahlian tak terduga yang harus aku asah. Tentu untuk Kosan Cowo (Azzam, Mas Yusuf dan Mas Faizal) yang sedikit berbagi buah rambutannya. 


    Malam yang gabut untuk menulis postingan seperti ini. Karena blog adalah kenangan terindah yang harus dibagikan. Siapa tahu untuk mempermudah pengarsipan sejarah hidupku :P

    Continue Reading
    Hal pertama yang ingin aku kasih tahu adalah aku ini ternyata malas juga. Lho baru sadar? Iya. Aku tidak sengaja untuk membuka blogku, karena iseng-iseng. Semakin ke sini aku semakin tidak produktif nulis. Zona nyaman yang membuatku malas terbentuk secara tidak sengaja. Seperti yang harusnya kemarin (2/Okt) janjian sama Nindi jam 10, jam setengah 9 masih nonton video ulang All England Markus Gideon - Kevin Sanjaya di semi final. Fyi, aku nonton itu sudah 5 kalian. Bayangkan! Bener-bener gak terbayang kan? Betapa tidak bermutunya itu.Terus belum lagi kunci motor Kharisma aku hilang. God! Gantungan kuncinya saja sudah hilang berkali-kali dan sekarang kuncinya. Apalagi saat gantungan kuncinya ditemukan.

    Bayangkan, hidupku benar-benar tidak berfaedah sama sekali.

    Ketika mau mengerjakan skripsi nih (memaksa diri untuk produktif) tetap saja keingat pekerjaan ngoreksi UTS bocah-bocah SMP muridnya ibuku. Belum lagi, ngoreksi naskah lomba cerpen. Hei, aku ditunjuk jadi juri. Belum lagi tidak sampai satu minggu aku harus pergi ke Pare, Kediri untuk belajar Bahasa Inggris. Naskah skripsiku sebagai alasan menghilangnya aku untuk pergi, masih belum kelar. Padahal (SETIDAKNYA) aku harus pamitan dengan dosen pembimbingku dengan cara yang indah. Tapi apa daya.

    Baru malam ini, sembari bosen ngotak atik, nghapus ngetik bab 1 sampai 3 ku masih aku sempet-sempetin buat ngeblog. Hmm....

    Tambah nggak faedah lagi.

    Tapi tamparanku adalah aku harus aktif nulis lagi! Entah kenapa aku seperti agak kagok kalau memulai menulis kalimat. At least, untuk cerita fiksi. Beda urusan kalau itu skripsi ya.

    ***

    Aku sering koar-koar, entah memotivasi adek-adek di SSC atau forum kepenulisan dimana pun tempatnya. Pokoknya nulis itu bukan karena benar atau tidak, tetapi kamu menyiapkan waktu tidak untuk menulis. Menulis itu sederhana. Ya, tinggal nulis.

    Karena kebiasaan sederhana menulis itu, lama kelamaan bakat kepenulisan yang kita punya berkembang. Kita semakin terasah untuk membuat konsep. Membuat kerangka besarnya. Apa yang akan kita sampaikan pada pembaca.

    Selama fokus skripsi, aku benar-benar fokus dengan skripsi. Padahal godaan yang tidak bisa aku hadapi adalah ide yang datang. Apalagi kalau itu fiksi. Duh. Kemarin adekku SSC tanya perihal cerita Nalendra.

    Mbak, cerita yang kamu post di blog kamu itu udah selesai atau belum sih?

    Aku bilang aja, udah. Tapi aku malas aja ngepost di blog.

    Beuh, alasanku semakin tidak masuk akal. Memang sebenarnya sudah sih. Tinggal ngasih konklusinya. Ada epilog, untuk mengakhiri cerita itu. Tapi masih saja aku tahan-tahan hingga sekarang.

    Kesimpulannya adalah:

    Coba deh bil, kamu kembali aktif di dunia kepenulisan fiksi. Biar otak kamu berkembang. Tidak terkungkung oleh permainan Marcus-Kevin.

    __________________

    Dah, 
    gitu aja.
    Postingan unfaedahnya,




    Orang yang ingin berharap berubah
    ----N  a  b  i  l  a      C  h  a  f  a ----

    Continue Reading

    Suatu pagi tanpa ketidakpastian. Aku bangun tanpa mengerti apa yang akan aku lakukan di pagi hari. Setiap waktu yang aku buang aku selalu membayangkan. Bukan memikirkan, karena aku tidak benar-benar berpikir. Hanya mengimajinasikan pikiranku pada sebuah adegan klise romantika yang terdengar sebuah omong kosong. Kamu jangan percaya apa yang aku katakan. Semuanya hanya bualan.

    Aku tahu, tidak ada faedahnya aku menuliskan beberapa hal yang aku alami dalam satu minggu ini. Rasanya seolah jet lag. Aku diporakporandakan pada sebuah rasa yang saling berbenturan. Tetapi menjadi satu kesatuan. Di sinilah aku terdampar.

    Pertama, tentang kesedihan.


    Kamis 21 September 2017 adalah hari pemakaman Simbah Kakung. Cara terbaik yang diberikan Tuhan adalah menghapus segala sakit yang dirasakan Simbahku. Segera meninggalkan seluk beluk keduniawian, dan bergabung dengan titik cahaya diatas sana. Berharap, setiap doa yang aku panjatkan pada-Nya selalu tersampaikan dengan baik hantaran salamku.

    Mbah, aku masih di dunia ini. Suatu saat aku pasti akan bergabung. Hanya saja, aku bingung apa yang aku lakukan dengan hidup ini. Semuanya begitu monoton, dan sebuah titik aku berpikir. Apakah di dunia di atas sana, begitu damai? Satu demi satu kesedihan aku lewati. Hanya saja bagiku, ini seperti sayur tanpa garam.

    Kedua, tentang Bahagia


    Teman Bakti Nusa hari Minggu 24 September 2017 kumpul full team untuk melaksanakan monitoring evaluasi. Aku senang. Bertemu dengan mereka setidaknya menambah derai tawaku semakin bergemuruh. Cerita konyol. Sedangkan aku adalah pendengar yang baik untuk mereka. Aku satu-satunya orang yang tidak beramanah. Dan hanya menyelesaikan skripsi tanpa tahu apakah tulisan di skripsiku layak atau tidak.
    Argh...
    Intinya, aku semakin jengkel sekaligus gemas di satu waktu pada Imaf dengan kekonyolan cerita cintanya. Dan semakin bahagia bersama mereka. Tidak lama lagi waktuku bersama mereka. Sedih ya ...

    Ketiga, tentang keheningan


    Langitku biru. Tiba-tiba mendung. Bukan karena ada hujan. Karena memang memandang perjalanan ke depan semua bersumber pada ketidakpastian. Aku membenci gemuruh yang semakin menyentakkan apa yang harus aku lakukan. Semuanya tidak bersuara. Aku berada di sebuah kesunyian. Padahal di sebelahku ramai. Semuanya saling berdentum sangking semangatnya. Dan aku hanya terkulai.

    Keempat, tentang Cinta


    Tuhan, berkatilah aku segenggam cinta. Agar hariku tidak begitu monoton. Hanya aku dan imajinasiku. Jelas ini bukan hidup yang aku harapkan.

    end




    Gambar di Bukit Bintang Jogja.
    Sebuah kenangan yang tidak mudah terlupakan di tahun lalu.
    Senang bisa memotret keindahannya walau dalam satu frame saja.
    Continue Reading
    Kita tidak tahu sampai kapan kita ada di dunia. Ada berita duka yang menghampiriku di waktu yang bersamaan. Ini tentang keberadaan orang lain, orang asing yang ditakdirkan Tuhan untuk aku temui. Sederhananya, Selasa (12/9) ayahnya Uun meninggal dunia. Siapa Uun? Aku pernah membahasnya di sini.

    Kemudian, sorenya ibuku bercerita mengenai keadaan kakekku. Dia adalah satu-satunya "simbah" yang aku punya. Dan "simbah" dengan umur tertua. Hampir mencapai angka satu abad. Seseorang yang masa mudanya begitu sehat, tiap hari ke sawah, tiap sore berkeliling mengunjungi rumah anaknya dengan sepeda onthel, kini harus memburuk dengan diagonisis dokter yang mengatakan syaraf di kakinya sudah tidak berfungsi lagi. Tapi rasanya begitu sakit. Rasanya ingin nangis. Tapi, apakah menangis mampu menyelesaikan. Faktor umur apalagi. Tidak ada lagi pengobatan manapun yang mampu menyembuhkan. Sekarang, menjadi tugas anaklah untuk berbakti sebanyak-banyak di sisa waktu yang diberikan Tuhan pada kakekku.

    Pagi tadi, sepanjang perjalanan akan ke tempatnya Yayak, aku berpikir banyak hal. Aku hari ini tidak bisa mampir untuk full merawat kakekku. Karena sedikit kemageranku karena hari pertama haid, dan janjian dengan Yayak (untuk membuat proposal sponshorsip Bakti Muda). Pola berpikirku adalah jika Tuhan mengambil orang tuaku mendadak. Seperti ayahnya Uun. Apakah aku sanggup berdiri tegak dan memandang langit? Seolah, ada hal mendadak yang terjadi dalam hidupmu dan mengubah segalanya. Sedetik hempasan saja. Ketika Tuhan dengan Kuasa-Nya mampu membuat keputusan yang menyakitkan untuk kita.

    Apakah kita cukup untuk siap?

    Jujur, dengan pola berpikirku yang masih dangkal maka aku akan jawab tidak sanggup. Aku tidak sanggup lagi bertahan. Betapa aku masih bergantung secara penuh pada kedua orang tuaku. Masalah keuangan, masalah pendidikan moral, pendidikan agama, masalah masa depan. Aku menggantungkan banyak hal tanpa orang tuaku sadari bahwa aku tidak mampu untuk tidak menyertakan mereka dalam mimpi besarku kelak.

    Ketika hal itu tidak sejalan?

    Aku tidak cukup mampu untuk bangkit. Aku pikir, Tuhan adalah Dzat yang paham betul apa yang terbaik bagi hamba-Nya. Jika memang aku harus dihadapkan pada masalah pelik akan kehilangan orang yang kita sayang adalah cara terbaik bagi Tuhan untuk mengujiku, maka aku akan bertahan. Setiap orang pasti memiliki turning point yang membuat dia harus menyadari posisinya. Mungkin aku tidak akan bertahan sekuat--apa yang dikatakan orang-orang, apa yang mereka doakan untukku agar aku bisa bertahan--tetapi aku rapuh. Tidak ada lagi yang diharapkan. Mimpi yang menjadi orang sukses, anak yang membanggakan, anak yang luar biasa agar orang tuaku paham bahwa kerja keras anak untuk ditunjukkan pada orang tuanya seolah memudar. Jikan kehendak dan kuasa Tuhan sudah mengambil kebahagiaan itu.

    Dalam postingan ini sesungguhnya aku hanya ingin mengungkapkan bahwa aku bukan anak yang sebaik-baik anak yang diciptakan Tuhan untuk menjadi luar biasa, hebat, keren, dan mampu untuk dibanggakan. Aku jauh dari hal itu. Kata mandiri jauh dari diriku. Ketika tiap kali aku bertahan, aku masih banyak yang aku sandarkan dalam hidup. Terutama pada kedua orang tuaku. Ketika mereka tiba-tiba tidak ada suatu saat nanti, aku tidak akan pernah bisa tahu apakah aku akan baik-baik saja. Aku pasti akan mengatakan, aku tidak sedang baik-baik saja.

    Aku menangis.

    Tentu, kenapa harus ada kelahiran jika nanti ada kematian. Sebaiknya Tuhan tidak perlu repot-repot menciptakan aku. Apakah jika suatu saat setiap orang meninggal, jiwa mereka tereinkarnasi dengan jiwa masa depan.

    Aku manusia egois, sok bisa, sok mampu, sok kuat, sok segalanya.
    Tuhan ampuni aku yang banyak kata sok dalam hidup.
    Aku bukan anak yang mampu membahagiakan orang tuaku dengan baik. Hukumlah aku atas ketidakmampuanku. Berikan aku cukup waktu untuk menghapus kata sok dalam hidupku.
    Dan, berikan aku rasa untuk bertahan, jika suatu saat Kau mengambil orang-orang disekitarku. Karena aku tidak tahu sampai kapan aku hidup, aku hanya mampu menebak, bahwa waktuku tidak akan lama lagi.





    ___________________________

    Its gloomy day,
    like this 
    .
    Without rain and tears
    .
    Its just happened
    ...



    Nabila Chafa
    14 September 2017
    22:27 pm


    Continue Reading
    Mendayu Rajamala Suatu ketika



    Ketika Matahari mulai Mengantuk di bulan Mei 2003
    Legenda itu diciptakan agar kamu selalu bisa mengingat. Tentang sebuah peradaban yang tentu saja tidak akan pernah hilang dimakan jaman. Kalau pun suatu ketika orang-orang dari masa depan benar-benar melupakan, setidaknya kamu bisa mengingatkannya.
    “Memang manusia di masa depan akan seperti apa, Nek?” tanya Nalendra.
    “Banyak dari mereka menyia-nyiakan perempuan mereka.” Sahut Nenek. Ia masih berusia tujuh tahun tetapi entah kenapa Nalendra paham apa yang dimaksud neneknya. Nenek sendiri. Ia bergumul dengan naskah kuno milik Kasunanan. Waktu yang mengubahnya menjadi keriput karena sering berpikir.
    “Kamu janji!” Nenek melihat manik mata Nalendra. “Kamu tidak akan pernah menyia-nyiakan perempuanmu kalau kamu sudah dewasa.”
    Tentu saja. Harusnya seperti itu. Tetapi Nalendra hanya mengangguk bersemangat.

    **

    Ruang 209 Fakultas Ilmu Budaya
    Menurut Babad Kangungan Dalem Baita Rajamala, Kapal Rajamala dibuat untuk Istri Paku Buwana V untuk menghantarkan Permaisuri Ratu Kencana Wungu. Ayah dari Paku Buwana V kurang mengasihi istrinya, hingga ide tentang pembuatan kapal itu realisasi. Sebuah masa yang harusnya dia tahu, bahwa sesungguhnya menyelesaikan urusan wanita adalah hal yang susah.
    “Ada apa?” tanya perempuan itu. Dia mengaduh karena betisnya sengaja ditendang dari belakang agar dia tersadar ke alam nyata.
    “Kamu tidak berminat untuk membenciku kan?” tanya Nalendra. Dia masih menuntut penjelasan yang masih tertahan.
    “Memangnya bisa?”
    Nalendra menyeringai senang. Iya, memang tidak bisa membuatmu jatuh ke pelukan pria manapun. Tetapi rasanya, ia juga salah. Membiarkan gadis yang disukainya harus tertahan di dekapan pria lain karena ambisinya.
    Gadis itu berbalik ke belakang. Menatap Nalen dengan bola mata tajam dan lentik yang jatuh di matanya. Dia benar-benar sempurna. Seharusnya memang tidak akan terlepas segenggam pun. Tetapi dia kalah. “Iya? Ada apa lagi?”
    “Kalau kamu menjadi Paku Buwana V yang masih kecil melihat Ibunya Ratu Kencana Wungu bersedih, apa yang akan kamu lakukan? Maksudku untuk anak seusianya apa—“
    “Aku akan berbicara dengan ayahku kenapa dia membuat wanita yang dicintainya berduka.” Jawab Nalen percaya diri. Gadis itu mendengus.
    “Sepertinya tidak akan pernah semudah itu.”
    Kakinya disentak-sentakkan saat mendengar jawaban yang tidak memuaskan dari lelaki itu. Memang apalagi yang gadis itu harapkan selain jawaban ambigu seperti itu. Melalui celah-celah bangku kursi kuliah, aku mendorong kakiku agar dia berbalik arah lagi ke belakang. Dia mengerutkan dahi seolah bertanya ada apa lagi?
    “Memangnya apa yang akan kamu lakukan?”
    “Apa gunanya kapal Rajamala kalau Raja tidak mau memanfaatkannya?” Gadis itu justru balik bertanya.
    “Membuat pelayaran.”
    “See! Kamu cukup cerdas juga.” Puji Gadis itu. “Setidaknya lambang cinta akan selalu ada jika Sang Raja mau melakukannya demi wanita yang dicintainya.” Dia hampir saja menepuk tangannya ketika Nalendra menyuruhnya segera duduk tegak. Susanto dari jauh sudah memonitor tingkah kami berdua di bangku belakang.
    Kemudian, kita harus mendengarkan omong kosong mengenai pemikiran empirisme—atau apalah itu—di sisa-sisa waktu kuliah Susanto.

    **

    Refleksi diri di Kantin Sastra, 2017
    Suatu ketika Nalendra paham kenapa ia berkhianat dari janji yang dibuatnya bersama Neneknya di pinggir sungai Bengawan Solo. Umurnya masih 7 tahun tetapi dia ingat betul bagaimana janji itu ditautkan melalui jari kelingking dia. Neneknya terkekeh geli. Sepertinya hal itu sangat lumrah bagi anak-anak kecil seusianya saling menautkan kelingking mereka untuk berjanji.
    Gadis itu masih membosankan. Tentu saja. Kalau dia tidak tahu, bahwa ia hampir kehilangan gadis itu sampai membuat hatinya perih. Sederhana. Ia pernah mengajak teman gadis itu menjadi pacarnya. Di saat Nalendra paham bahwa hanya dia yang berada di hati gadis itu. Pasti menyakitkan. Kalau tidak ujian itu tiba. Tiba-tiba gadisnya tertambat pada sosok pria lain.
    “Aku butuh bicara.” Dia masih menyelesaikan ketikan kesimpulan kelompok. Dia harus menyelesaikan siang itu juga. Tetapi Nalendra—seperti biasa selalu egois—memintanya bertemu di kantin sastra. Ia datang lagi saat, gadis itu masih khidmat mengetikkan penjelasan. Hingga teman satu kelompoknya tersadar betapa keruhnya wajah Nalendra. Teman satu kelompoknya merebut laptop yang kamu pegang. Menyelesaikan sisa pekerjaanmu.
    “Ada apa?” tanyamu. Mukamu bersungut-sungut. Seolah tidak ingin bertemu.
    “Aku sakit.”
    Kamu melotot dan memindai dimana rasa sakit itu datang. “Aku bisa membawamu ke Medical Center. Kamu sakit apa?” tanyamu. Gadis itu terkesiap dan memeriksa lenganku yang baik-baik saja.
    “Maafkan aku.”
    “Kamu aneh. Tadi bilang sakit, sekarang minta maaf.” Sahutnya. “Untuk apa?” lanjutmu.
    Nalendra membuang napas pendeknya. Kesal. Tanggapan gadis itu tidak sesuai dengan bayangannya. Ada apa sih sebenarnya?
    “Aku pernah menyukaimu. Dan masih saja seperti itu.” Dia tegakkan wajahnya dan menatap gadis itu seolah akan melahapnya bulat-bulat.
    Gadis itu mencebik. Hampir tidak percaya.

    **

    Hujan Bulan September 2022
    “Apa yang kamu pikirkan?” tanya lelaki itu. Dia menuangkan air panas ke dalam kopi di cangkirnya. Perempuan itu masih melamun bersamaan dengan dia mengaduk kopi.
    “Kalau seandainya anak itu tidak membuatkan kapal, apakah Ibunya baik-baik saja?” tanya Gadis itu. Dia menengadah menatap suaminya lamat-lamat.
    “Kenapa kamu masih memikirkan dongeng itu? Itu hanya fiksi yang dibuat masa lalu.” Sahut Nalendra. Dia menyesap kopi buatannya. Sedangkan istrinya hanya memangku kepalanya.
    “Fiksi memang diciptakan sebagai pengingat.” Sahutnya. “Kalau seandainya aku Kencana Wungu dan kamu suamiku, apa yang akan kamu lakukan?”
    Dia berdehem. Kemudian berpikir sejenak, mungkin akan memindai mana ide yang cocok yang biasa dia lakukan kalau dia adalah sang Raja. “Kita berdua bisa menonton tari Ludiro Madu. Itu kan perkawinan dua daerah antara Kasunaan dengan Madura.”
    “Manis sekali bicaramu.”
    “Selalu.”

    **

    Masa Ketika Bunga Angsana Berguguran, 2035
    Gadis itu percaya—bukan dia adalah perempuannya—yang percaya bahwa cinta perlu dijelaskan. Apa artinya kapal megah untuk Ratu Kencana Wungu untuk menghibur diri tidak ada artinya. Bukan megahnya kapal itu sebagai tandingan kapal buatan Daendels, ini berkaitan tentang penjelasan.
    “Aku mencintaimu.”
    “Aku tahu, tidak perlu diperjelas. Seakan itu hal konyol!”
    Nalendra terkekeh. Mendengar penuturan perempuannya. Bahkan waktu yang lama tidak mudah membuatnya berubah untuk tidak menyebalkan.

    **
    Solo, 24 Mei 2017 11:54 am
    another photo of Rajamala
    Ini adalah karya Pak Adam, dosen Pendidikan Seni Rupa. Terima kasih dedikasinya membantu kelompok kami membuat miniatur Rajamala yang sangat bantet ini. Haha :D Sebenarnya aslinya itu panjang runcing gtu. But, it looks pretty cool, honestly.

    Continue Reading
    Kadang kita tidak pernah berpikir tentang apa yang sedang Tuhan berikan, hingga nikmat dan berkahnya bisa kita rasakan. Postingan kegalauanku akibat gagal "PKM tidak didanai" pernah aku post di blog ini. Entah postingan tahun berapa aku tidak tahu--dan sepertinya aku juga tidak mau tahu juga--pernah menjadi bahan kegundahanku.

    Pernah tidak berpikir bahwa apa yang sudah kita lakukan, semaksimal yang kita lakukan, dan kita mengharap-harapkan hasil yang baik tidak kunjung datang. Dan suatu ketika, orang yang hanya bekerja semaunya (bisa dikatakan asal-asalan) mendapat hasil yang bagus. Ibarat kata, kamu sudah belajar dengan keras untuk ujian besok pagi, sedangkan teman kamu yang tidak belajar sama sekali dan mengandalkan contekan bisa mendapatkan hasil terbaik. Jangan heran ya? Tapi, at least, pernah tidak merasakan suatu kebencian yang teramat dalam pada sebuah keadaan. Aku sih pernah. Aku tidak pernah munafik untuk mengatakan 'tidak'. Memang seperti itulah adanya. Rasanya jengkel, mangkel dan marah sendiri.

    Kita tidak memarahi diri sendiri yang masih bodoh dan polos sok alim atau apalah, tapi jatuhnya seakan memarahi pada kehendak Tuhan yang memainkan perasaan ini bak seperti bola pingpong. Digiring dengan aneka ragam emosi yang memuakkan. Tapi disitulah ujiannya.

    Ujian yang diberikan Tuhan untuk mengukur seberapa pantas sih kamu bisa menjadi "Manusia Pembeda" diantara makhluk-makhluk yang lain. 


    Sebuah diskusi juga mengatakan hal yang sama. Ada seorang senior di Beasiswa Aktivis, namanya Mbak Titis dia juga mengatakan hal yang hampir sama. Semua makhluk mengimani hal yang sama, mereka sama-sama bersujud, sama-sama ibadah, sama-sama melakukan semua perintah-Nya. Tapi jadilah manusia yang berbeda. Maksudnya berbeda disini adalah karakteristik yang dimiliki setiap individu manusia tersebut.

    Mungkin ujian yang aku hadapi adalah "Menerima Dengan Lapang Dada"


    Kalimat diatas seperti memuakkan ya, kalau lagi jengkel, emosi banget dengan keadaan yang tidak berpihak. Tapi guys, memang itulah cara bijak yang harus kita lakukan untuk menghadapinya.

    Kembali ke topik, sama halnya dengan apa yang aku lakukan. Siapa sangka Nabila masih berambisi untuk tiap tahun menulis proposal PKM dan tidak ada hasil. Pernah dan sempat ngiri sih, di tahun kedua kuliah, temanku sekelas ada yang didanai PKM-nya dan melakukan penelitian di Kalimantan. Iri? Pasti. Aku manusia biasa yang hati ini tidak pernah luput dari iri dan dengki. Tapi, yasudahlah. Dari mereka perlahan, saat PKM GT di awal tahun aku mencoba membuat gagasan tertulis tentang bentuk pemerintah istimewa untuk kota Solo. Ternyata kajiannya banyak. Dan gagasan tertulis yang aku buat sudah basi. Well, itu yang membuat PKM adalah aku. Hanya dua orang, satu orangnya meneliti di Kalimantan dan Koordinator Tingkatku (yang satu kelompok di PKM GT ini) pura-pura menghilang. Argh...

    Di tahun ketiga, di mata kuliah Sejarah Indonesia Lama, aku kenal sama satu orang yang satu pemikiran denganku. Namanya Uun dan Eyang. Kita sering banget kelompokkan. Karena masing-masing sudah nyaman dengan karakteristik masing-masing yang sama-sama ambisius dan perfect. Tepat pada penyembelihan Kurban, 2 tahun lalu. Aku masih ingat, setelah Sholat Ied-Adha kita ketemu di kampus tepatnya di sekre BEM FIB. Memang sepi. Namanya juga hari libur nasional. Dan di sana kita membuat Proposal Penelitian PKM. Intinya, masing-masing anak membuat satu proposal dan anggotanya adalah kita bertiga. Enak, bisa digilir.

    Dari pas membuat proposal, menurutku yang paling mateng konsepnya milik Uun. Penelitian yang mengambil tempo abad 18, masalah hubungan bilateral Kasunanan Surakarta dengan Kerajaan Madura.

    Hingga, awal Februari kabar baik itu datang. Proposal PKM milik Uun-lah yang didanai. Dulu (kalau nggak salah) mengajukan sekitar 6.000.000 bukan angka yang fantastis. Karena maksimal di Proposal PKM adalah 12.000.000 tapi tetap aja senang. Bisa dapat duit dari pemerintah dengan cuma-cuma. Toh, tempat penelitian kita hanya berada di area Solo, tempat kita berada. Jadi kita hanya meneliti naskah kuno semacam filolog Babad yang relevan.

    Hingga, di pertengahan Juli (aku masih ingatnya adalah Bulan Puasa 2016) kita satu kelompok maju di Monitoring Evaluasi. Reviewernya dari Dikti dan seorang ibu-ibu. Ramah banget. Kita bisa melakukan yang terbaik disitu. Aku sih berpikirnya karena kita membuat semacam video ala kadarnya sebagai pengantar dari isi materi yang akan kami paparkan. Senangnya minta ampun karena sukses. Eh dapat duit juga :)

    Hingga, sebuah kabar itu datang...

    Uun sedangKKN di Wakatobi. Awalnya mau nangis. Siapa sangka, PKM kita lolos ke PIMNAS. Awalnya Uun nggak mau balik ke Solo. Soalnya tanggung banget. Sudah pertengahan jalan KKN sedangkan dia sedang melaksanakan KKN bukan di Jawa, tetapi di luar Jawa. Di Wakatobi lagi. Kan jauh. Butuh ongkos. Dia awalnya nyerah. Tapi keinget sama usaha-usaha kelompok kita yang goal utamanya adalah PIMNAS. Dari pas Monev kita selalu berdoa, dan aku punya feeling kuat kalau kelompok ini bisa sampai PIMNAS.

    Dosenku Bu Insiwi udah ngebujuk Uun suruh pulang. "Pokoknya pulang dulu. Masalah biaya, dipikir belakangan." Enak banget ya ngomongnya.

    Akhirnya Uun pulang. Dengan muka jelek banget. Sumpah. Karena setelah pulang ke Solo, langsung pembinaan dan dikarantina di sebuah hotel di Solo. 24 jam berada di pengawasan Kemahasiswaan Pusat. Rasanya tersiksa tapi overall Uun bisa melewati itu dengan baik. Aku sebenarnya kasihan sama dia. Udah deh. Selama kenal Uun, itu adalah muka terjelek Uun sepanjang masa yang aku pernah lihat.

    Hingga pas di PIMNAS pun, untung suasanannya agak sedikit mereda. Kita tidak berambisi mendapat emas, perak atau perunggu. Dulu sih niatnya, sampai di titik ini aja aku udah bangga. Pokoknya jangan dijadikan beban. Anggap aja liburan di Bogor, gitu~

    Titik itu terlewati. Pelajarannya apa? Kenapa aku berbagi mengenai cerita ini?

    Tuhan tahu betul mana hamba yang melakukan sungguh-sungguh dan mana yang biasa saja. Semuanya sudah ada ukurannya, guys. Jadi lakukan saja apa yang membuatmu berbeda dari makhluk Tuhan lainnya. Karakter baik itu perlu. Apakah menjadi baik itu akan seberuntung yang tidak baik? Aku pikir tidak. Seperti penjelasanku yang diatas. Melakukan hal yang tidak baik itu mudah dan instan. Hasilnya bagus pula. Tapi mempunyai karakter yang baik, dilandasi ketulusan dan percaya bahwa hal baik akan datang. Hasilnya adalah luar biasa.

    Tidak percaya? Percayai saja.

    Percaya saja pada Proses. Kalau kamu memulai dengan baik, aku percaya bahwa semuanya juga berakhir dengan baik pula. Percayalah. Gusti Allah mboten sare. Kalian hanya bisa percaya.


    Dokumentasi dari e-yang :)) waktu pembinaan di hotel Lor In Syariah Solo.

    Kita juga tidak pernah lupa bahwa masing-masing dari kita mempunyai supporternya masing-masing. Uun dengan Deska yang membantu membuat video Kapal Rajamala. Deska menyebutnya dengan "Kapal Othok-othok, by the way." Eyang dengan simas yang membuat lukisan cantik dari Canthik Kyai Rajamala. Aku dengan Mas Drestha yang membuat desain poster PKM kita *terharu* dan dek Avivah yang memiliki teman untuk membuat video yang cantik untuk kita presentasikan. 




    Mungkin terlambat, apalah daya diriku. Hanya mampu bercerita tentang rentang kisah tahun lalu. Menganggap, aku tidak mungkin bisa hingga saat ini jika tidak bersama kalian. 

     ➔➔➔➔       Gusti Allah mboten Sare. Teruslah berusaha dan bermimpi 


    Aku yang selalu mempercayai kalian,
    Para Pembaca yang Budiman


    Nabila Chafa~
    ::::::
    __________________________________________________

    For Info:

    Aku kasih link Proposal PKM lolos Pimnas untuk Penelitian Soshum, semoga sedikit membantu kalian yang tengah berjuang untuk membuat PKM. Apalagi bidang ilmu sejarah.
    ⬇
     Proposal PKM Soshum Rajamala

    DOKUMENTASI


    Foto Full team setelah selesai presentasi bersama Bapak Suharyana, pembimbing kami :)

    Foto bersama seluruh peserta di kelas PSH 02 

    At last, closing ceremony di akhir acara 

    ➤➤➤
    Iam so grateful for all of u guys. Jinjjayo!! Keep fight and stay bright 
    ➤➤➤
    Continue Reading
    Newer
    Stories
    Older
    Stories

    About Me!

    About Me!

    Arsip

    • ►  2023 (1)
      • ►  Jan 2023 (1)
    • ►  2021 (34)
      • ►  Aug 2021 (1)
      • ►  Jul 2021 (3)
      • ►  Jun 2021 (3)
      • ►  May 2021 (4)
      • ►  Apr 2021 (8)
      • ►  Mar 2021 (6)
      • ►  Feb 2021 (4)
      • ►  Jan 2021 (5)
    • ►  2020 (64)
      • ►  Dec 2020 (4)
      • ►  Nov 2020 (4)
      • ►  Oct 2020 (4)
      • ►  Sep 2020 (4)
      • ►  Aug 2020 (5)
      • ►  Jul 2020 (6)
      • ►  Jun 2020 (6)
      • ►  May 2020 (5)
      • ►  Apr 2020 (9)
      • ►  Mar 2020 (6)
      • ►  Feb 2020 (9)
      • ►  Jan 2020 (2)
    • ►  2019 (12)
      • ►  Jul 2019 (1)
      • ►  May 2019 (4)
      • ►  Apr 2019 (1)
      • ►  Mar 2019 (2)
      • ►  Feb 2019 (3)
      • ►  Jan 2019 (1)
    • ►  2018 (6)
      • ►  May 2018 (2)
      • ►  Apr 2018 (1)
      • ►  Jan 2018 (3)
    • ▼  2017 (9)
      • ▼  Dec 2017 (1)
        • Sebuah Puisi | Setitik Embun pada Amanah (yang) Me...
      • ►  Nov 2017 (2)
        • Sebuah Cerita | Pulang
        • Halo Mentari!
      • ►  Oct 2017 (1)
        • Asah Atau Malas
      • ►  Sep 2017 (5)
        • Rasa Ketidakpastian
        • Gloomy Day
        • Cerpen | Mendayu Rajamala Suatu Ketika
        • PIMNAS 29 di IPB Bogor
    • ►  2016 (3)
      • ►  Sep 2016 (1)
      • ►  Apr 2016 (1)
      • ►  Mar 2016 (1)
    • ►  2015 (7)
      • ►  May 2015 (6)
      • ►  Mar 2015 (1)
    • ►  2014 (25)
      • ►  Nov 2014 (1)
      • ►  Oct 2014 (2)
      • ►  Jun 2014 (1)
      • ►  May 2014 (2)
      • ►  Apr 2014 (6)
      • ►  Mar 2014 (3)
      • ►  Feb 2014 (7)
      • ►  Jan 2014 (3)
    • ►  2013 (12)
      • ►  Dec 2013 (7)
      • ►  Oct 2013 (2)
      • ►  May 2013 (1)
      • ►  Jan 2013 (2)
    • ►  2012 (12)
      • ►  Dec 2012 (3)
      • ►  Nov 2012 (2)
      • ►  Jun 2012 (2)
      • ►  May 2012 (2)
      • ►  Jan 2012 (3)
    • ►  2011 (14)
      • ►  Dec 2011 (3)
      • ►  Nov 2011 (11)

    Labels

    Artikel Ilmiah Bincang Buku Cerpen Curahan Hati :O Essay harapan baru Hati Bercerita :) History Our Victory Lirik Lagu little friendship Lomba menulis cerpen :) Memory on Smaga My Friends & I My Poem NOVEL opini Renjana Review Tontonan Story is my precious time Story of my life TravelLook!

    Follow Us

    • facebook
    • twitter
    • bloglovin
    • youtube
    • pinterest
    • instagram

    recent posts

    Powered by Blogger.

    Total Pageviews

    1 Minggu 1 Cerita

    1minggu1cerita

    Follow Me

    facebook Twitter instagram pinterest bloglovin google plus tumblr

    Created with by BeautyTemplates | Distributed By Gooyaabi Templates

    Back to top