Belajar dari Suster Katolik Tentang Keputusan Hidup

6:57 PM

Pisang godog pemberian suster

Tanpa tedeng aling-aling, tanggal 23 Januari 2020. Imaf tiba-tiba chat wasap ku.

Aku pingin cerita.

Dan kujawab, oke besok siang kita ketemu. 

Sesingkat itu permintaan Imaf aku kabulkan. Aku tahu dia sudah melewati hari sendu dan tidak menyenangkan. Rasa yang pernah ia titipkan, terenggut pada komitmen. Harga mati memang jika berani ia langkah bak satu langkah saja. 

Seperti burung yang cedera karena sayapnya patah. Momentum pertemuan ini memang bertajuk pada tema penerimaan. Tentang kehidupan yang tidak semulus jalan tol, dan lain sebagainya. 

Kami janjian dan aku datang setelah adzan duhur. Karena sebelumnya, aku harus menunggu bapakku pulang ke rumah terlebih dahulu. Sayang, kalau harus menutup warung fotocopy-ku.

Jadilah, di suatu tempat kos mungil, Mbokde Imaf bercerita menggebu. Tentang temannya yang memiliki bayi dan mengejar-ngejar dosen pembimbingnya untuk konsultasi/bimbingan. Tentang struggle bagaimana dia menutup buku rasa yang sudah dia pendam pada seseorang. Tentang banyak hal. Kami seorang perempuan yang pandai dalam membuat narasi pembicaraan ngalor ngidul tak tentu arah. Dan menikmatinya. 

Hahahahaha. 

Seperti itulah kalau dua perempuan bertemu. Tak butuh dua jam tiga jam buat berbincang, bahkan kalau Tuhan menciptakan 48 jam dalam sehari, pun tak pernah cukup untuk membicarakan segalanya. 

Hari itu, aku sepakat menemani Mbokde seharian. Aku pun diajak untuk bertemu dengan teman karibnya dari S2 yang (istimewanya) seorang suster Katolik. Di sebuah tempat dekat dengan SD Marsudirini, aku disambut oleh suster Katolik sudah tua. Mungkin berusia 50 tahunan. Namun, fisiknya tampak bugar. Ia bahkan sangat gesit dalam berjalan dengan modar mandir mengambil flashdisk atau laptopnya naik turun tangga. 

Aku lebih banyak diam. Pun, aku juga tidak bisa membantu banyak. Aku mendengarkan dua orang yang saling berkonsultasi pada masing-masing jurnal, kemudian membahas Thesis, dan diakhiri dengan keputusasaan si suster yang merasa dia tampak bodoh di kajian ilmu sosiologi. Seperti itu terus. 

Pada jam yang sudah menunjukkan waktu ashar, obrolan Imaf-suster Katolik itu pun sudah mengarah ke hal hal santai. Aku banyak terlibat banyak pada percakapan mereka. Semakin lama, semakin menarik minatku. 

Sang suster menanyakan padaku, "apakah ini pertama kalinya kamu bertemu dengan sosok suster seperti saya?" 

Kujawab saja, iya. Ini pertama kalinya. Maksudku, dalam arti dimana aku banyak berbincang seperti saat ini. Aku banyak melihat suster berjalan di pagi hari di dekat Pasar Gemblegan. Tapi maksudku, aku hanya melihat dari jauh. 

Obrolan semakin menarik, ketika Imaf memancing sejarah suster katolik itu. 

"Bil, suster ini pernah tinggal di Roma loh terus ke Filipina dan Amerika." kata imaf. Aku takjub dong. 

Sang suster bercerita tentang kisah hidupnya yang memutuskan untuk menjadi suster. Pertentangan keluarga terjadi. Dimana keputusan nekadnya itu diambil saat dia tak lama menerima pinangan dari seorang pria. 

" Saya itu seperti diberi wahyu dari Tuhan, mbak. Begitu saja. Memang ini jalan Tuhan yang harus saya ambil." sahut sang Suster. 

Memang kadang tidak masuk di akal logika. Sang Suster harus melepas banyak hal yang menjadi dambaan banyak orang. Menjadi seorang suster katolik berarti kamu harus memiliki tiga prinsip. Adalah kemiskinan, kesucian, dan kemurnian. 

Ia mengabdikan dirinya menjadi biarawan. Hidup jauh dari kemewahan, yang ada justru penuh pas-pasan. Tapi kalau suster bilang, itu bagian dari kemiskinan, salah satu prinsip yang mereka anut. Padahal bisa saja kan dia jadi pengusaha kaya. Apalagi suster ini sedang menjalani proyek sosial buat pemberdayaan umat katolik dengan membuka usaha batik. Omzet bisa ratusan juta sebenarnya. Dan dia ikhlas semua usahanya buat umat. Apalah saya yang masih partikel debu seperti ini. 

Prinsip kemurnian, jelas dia menjaga dirinya selalu dalam lindungan Tuhan. Bayanganku kalau di Islam itu seperti i'tikaf di masjid di sepuluh hari terakhir Ramadhan gtu kali ya. Pokoknya lebih ke banyak banyak mendekatkan diri pada Sang Maha Kuasa. 

Nah yang prinsip terakhir ini yang sering aku galaukan dan justru berbenturan dengan prinsip suster. Menjaga kesucian. Menjadi suster katolik tentu saja harus suci, tidak boleh tersentuh oleh laki-laki. Suster memilih jalan berliku dengan alasan panggilan Tuhan ini daripada harus mengikuti tren kebanyakan orang, masih saja menyisakan kekaguman pada semua keputusan yang dia ambil. 

Seketika aku amaze. Karena aku masih menjadi bagian dari banyak orang yang berpikir pada momentum yang sama. Lahir, sekolah, lulus kuliah, nikah, punya anak, meninggal. Mungkin aku bagian dari ekosistem kebanyakan, dan menolak untuk membentuk tujuan yang berbeda. Suster tidak. 

Ia berpesan pada kami berdua. "Saya membuat keputusan menjadi suster di umur 25 tahun. Sama dengan umur kalian saat ini. Umur seperti kalian, kalian harus tentukan. Menjadi seperti apa kalian di masa depan." 

Tertampar, tertohok, dan speechless. Pasti! 

Ini sudah memasuki bulan februari. Aku sudah berumur 25 tahun lebih 2 bulan. Tetapi pertanyaannya pada keputusan besar apa yang akan aku ambil, ini masalahnya. 

Allah, Allah, Allah, Ya Tuhan kami kuatkan! Aku tidak tahu bagaimana caranya hidup di fase seperti ini. Selain ada kesempatan aku ikut bertarung sambil menguji diri dan berjudi pada hidup ini, aku tak tahu lagi. 


***
Setelah pertemuan dengan suster, kami datang ke Luwes. Kami berdua mencoba untuk refleksi diri. Tentang penerimaan, ikhlas dan takdir Tuhan. Setia-tiba itu menjadi religius. Memang benar ketika manusia menerima apa adanya selalu berakhir tanda tanya. 

24 Januari 2020

potret kecil yang bisa kami bagikan dari pertemuan sore itu.

You Might Also Like

0 Comments