Pages

  • Home
  • Tumblr
  • linked
facebook linkedin twitter youtube

Rumah Dialektika

    • About Me
    • Renjana
    • Cerita Pendek
    • Opini
    Ketika air itu sampai ke ceruk yang memisahkan antara kolam dan sunyi, daun yang berjatuhan di sisa musim hujan itu sedikit tertumpuk di perbatasan. Adalah perbatasan antara jalannya ke sungai atau tertinggal di kolam. Daun itu berada di perbatasan pada rembesan yang langsung ke tanah. Tak ayal, banyaknya sampah menumpuk di sana. Mereka tak kuasa menahan laju tenangnya air.

    Musim hujan sudah melewati puncak. Tak salah jika air mengalir dengan deras. Bukankah sama dengan semua rasa yang pernah terpendam? Ah apa itu, aku menjadi seolah-olah korban dari ketidakmampuanku mencerna sinyal Semesta. 

    Melihat awan mendung di kaki langit sebelah barat mengisyaratkan kegundahan. Ah bolehlah saya sedikit menitip asa yang masih berkecamuk. 

    Alasan Melepaskan

    Suatu ketika perasaanku tidak terkalahkan melawan arogansi. Entah dalam bentuk apapun. Pada suatu ketika, gugurnya bunga yang kelopaknya berbentuk seperti lonceng berdiameter sekitar 6 mm ini dan dengan mudah akan jatuh dari dahan setiap saat bila angin bertiup.

    Pernah aku berpikir, ah indah. Tapi rasa yang ada di dada tak mau kunjung lepas. Pada seseorang yang menyadarkanku untuk melepasnya karena status rendah diri dalam hatiku yang menguasainya. 

    Kita pernah merasa tak mampu, padahal belum melakukannya. Atau sekedar mengkhayal memilikinya dalam genggaman meski hal itu tak mudah didapat. Dia bak orang yang tak kenal apa itu rasa, tapi kamu dibuat bertekuk lutut bahwa kamu menggilainya. Ahh, kejam memang orang yang sedang jatuh cinta itu! 

    Dia adalah orang yang tidak mau diikat. Entah dengan pertemanannya, entah dengan jejak langkah kota yang dia seberang, entah pulau mana yang akan dia sambangi, entah dengan perempuan berhijab mana yang akan dipilihnya di sisa hidupnya kelak. Mencerna itu semua membuatku kerdil. Aku tak sanggup. Bahkan tak mampu. 

    Berharap menyukai dalam diam saja aku sudah bersyukur. Terima kasih Tuhan, kamu berikan perasaan ini padaku. Dan Kau kirimkan perasaan ini kepada seseorang yang normal dan tidak begundalan. Ahhh, sedih tampaknya. 

    Beberapa tahun lalu, lingkaran pertemananku menyukai seseorang dengan tampang bakal dan aku ikuti langkah mereka. Seru saja. Bak seperti dongeng di novel. Yang biasa ditulis Mia Arsjad tentang Inov, pahlawan november. Meski Mia harus menuliskan karakter Inov dengan karakter yang sangat nakal. Pecandu narkoba yang berjuang untuk memperbaiki dirinya sendiri. Atau pada sosok yang dibuat Orizuka tentang gambaran anak sekolahan. 

    Lucu juga. Buku bacaan bisa memengaruhi paradigma berpikirku untuk melakukan hal yang sama. Ketika aku sudah dewasa, aku tak tahu lagi harus membuat karakternya bak novel sastra atau bagaimana. Tapi lingkaran pertemananku menyadarkanku untuk menemukan "orang baik". 

    Syukurlah aku menemukanmu. Satu diantaranya milyaran manusia bumi ini yang hatiku pilih. Ah, sepertinya bukan lagi hati. Tapi logikaku yang memilihmu. 

    **

    Aku bukan orang yang hangat. Dari banyaknya karakter, aku memilih untuk menjadi egois. Kenapa? Pilihan itu sangat menyenangkan untuk aku lakukan. 

    Aku tak tahu cara untuk menghibur orang. Yang aku tahu, aku lebih suka menghindar dari kesendirian. Sedih. Atau menelepon orang untuk berbagi sambatan, meski aku tidak berada di posisi yang sama ketika teman membutuhkanku. Dasar aku! 

    Diantara banyaknya kerumunan aku lebih menyukai menikmati dalam diam. Aku tidak menyukai percakapan yang berliku-liku untuk mendiskripsikan bagaimana hidupku berjalan. Atau aku lebih menyukai ada satu orang yang mendengarkan aku berkomentar mengenai apa yang aku lihat. 

    Itulah kenapa aku tidak semenyenangkan itu. Pahamilah. 

    **

    Maka aku juga harus tahu diri. Ketika perasaanku bermuara padamu, aku tahu itu salah. Ah tidak. Tuhan sungguh adil memberikan rasa ini untuk aku kelola. Padahal logika dasarku selalu mengatakan, itu tak akan bertahan lama. Maksudku, rasaku. Suatu waktu aku harus melepasnya. Ketika waktu itu datang. Aku akan melihatmu dari kejauhan. Menjemput bidadari yang kamu pilih. Menjemput pilihan hidup yang menyenangkan. 

    Kamu tahu, aku bukan orang semenyenangkan itu. Pahamilah. Melihatmu, bertukar pesan, atau melihatmu punya opini lain yang kontradiksi dengan apa yang aku pikirkan, membuatku sedikit lega. 

    Terima kasih Tuhan, sudah menitipkan rasa ini. Aku berjanji akan melepasnya ketika waktu jatuh temponya datang. Tapi Tuhan, ini perasaan yang membuatku senang. Bisakah bertahan lebih lama lagi. 

    Aku mohon! 

    Alasannya klise, aku adalah wanita yang kedinginan. Lelaki itu begitu hangat. Tak mungkin jurang perbedaan yang begitu besar membuat dia harus menetap. Ataukah dia ingin terjebak dalam ritme hidupku yang membosankan? 

    ***
    13.47
    27 april 2020
    Libur kerja 2 hari 

    Baru Sadar Bahwa Selama ini Aku Kedinginan

    Continue Reading
    Di malam yang sesunyi ini aku berpikir tentang menjadi perempuan di luar sana. Perempuan yang menjadi tulang punggung keluarga. Mengorbankan harkat martabatnya untuk tetap berdiri digdaya. Perempuan yang berambisi menaklukkan ketakutannya dengan apapun usahanya. Perempuan yang tak kenal kata menyerah dan berjuang walau cintanya hanya bertepuk sebelah tangan. Eh! 

    Tak banyak perempuan mempunyai hak istimewa mengecap sedikit ilmu di bangku kuliah. Tak banyak perempuan yang melonggarkan daya pikirnya karena keterbatasan ruang. Tak banyak perempuan yang mampu mengeluarkan analisanya karena berbenturan paham patriarki. Tak banyak suara perempuan berkumandang karena takut ditiban jeruji tangan kecemasan. 

    Untuk kondisi yang tidak aku alami, aku sangat beruntung sekali. Lahir, besar dan tumbuh di lingkungan berpendidikan. Besar dan tajam di aktivitas yang menumbuhkan gerak nalar. Aku tahu, tidak semua perempuan memperoleh strata yang sama seperti yang aku miliki. 

    *

    Pada suatu ketika ada seorang perempuan. Umurnya mungkin lebih dari 30-an. Mendekati 40 kok sepertinya masih terlalu belia jika ku katakan demikian. Aku bertemu dengannya di perhelatan pesta demokrasi. Kala itu, negara ini menyelenggarakan pesta demokrasi 5 tahunan yang beranggaran 25,56 triliun. Angka fantastis untuk menghemat pesta memilih pemimpin, memang. 

    Perempuan itu datang dengan rambut yang dikelabang. Menutupi uraian panjangnya surai miliknya. 

    Dia masuk ke bilik pencoblosan berbarengan dengan aku dan ibuku masuk juga. Tapi, nampaknya dia dibuat kebingungan dengan banyaknya pasang foto para calon anggota DPR. Kemudian kertas DPRD. Belum lagi kertas kecilnya DPD. Berlapis lapis. 

    Ibuku yang berada di sebelahnya memberikan instruksi. Coblos partai dan nomor urutnya. Beberapa kali kertas yang berhasil dicoblos membuat si mbak ini masih merasa bingung. Aku tidak tahu, dia memang benar-benar tidak tahu mekanisme pencoblosan. Atau dia tidak tahu mana calon wakil rakyat yang dipilihnya. Atau kebingungan perihal seperti apa yang membuatnya tampak begitu kentara. 

    Dari tampilannya kalau aku boleh menilai (iyaa kan, semua yang kita lihat adalah bentuk visual), terlihat bahwa memang dia kurang berpendidikan. Karena yaa terlihat polos dan memperlihatkan gerak plongah-plongoh. 

    *

    Pada sebuah momentum di akhir perkuliahanku, aku sempat dibuat tercengang pada novel karya Nawal el Shadawi, Perempuan di Titik Nol. Ada yaa, kisah perempuan semenistakan itu. Berjuang agar mengerti titik terang harus melalui rintangan yang aduhai, aku saja tidak bisa membayangkannya. Cerita itu dihadirkan dalam kepedihan dan ketidakadilan dari sudut pandang feminin. 

    Tampak bagaimana si tokoh perempuan itu kemudian "tersadar" pada kehidupan yang selama ini mengukungnya dalam bangunan patriarki yang begitu kuat. 

    Maka tak salah jika dari awal kehidupannya mengenal dunia, dia harus mengalami kejadian "kotor". Bukan karena tingkah dan perilakunya yang mampu menggaet pria, karena ketidaktahuannya. Semuanya terformulasi pada adat dan tradisi bahwa laki-laki-lah pihak yang harus dihormati dan disegani. 

    Entah, aku merasa pandangan demikian membuat runtuh saja. Penceritaannya terlalu dominasi akal perempuan. Jika aku menjadi tokoh perempuan itu, aku tak tahu semenderita apa. 

    *

    Ada bangunan baru lagi ketika kita membicarakan tentang perempuan. Apalagi jika dia pihak ketiga perebut hubungan. Okelah, karena masih anget kabar jedun dan faisal garis kan ya. Yang disebut pelakor. 

    Aku akui, bekerja di media hanya akan menambah daftar pengetahuan yang aku sejatinya tak ingin tahu. Haha, iya salah satunya perempuan yang diberi kelebihan lebih dalam menggaet laki-laki. Aku tidak tahu bagaimana akal dan pikirannya bekerja soalnya memang tidak terjamah dalam lingkungan, tapi fenomenanya nyata. 

    Aku tak sendiri sebenarnya membenci perempuan yang "kegatelan", meskipun itu dalam lingkaran pertemanan. Haha, bahkan aku tidak sendiri, temanku Nasita juga mengungkapkan hal senada. Apalagi karakter kita begitu tegas, lingkaran pertemanan kita jelas, dan kita satu arah dalam karakter. 

    Tapi aku sadar, bahwa orang yang diberi kemampuan lebih dalam "show up" dan "attracting" merupakan buah dan personalnya. Bisa jadi keceriaan yang dia tunjukkan untuk jerawat atau kutil yang sedang dia sembunyikan. Kita tak pernah tahu kehidupan orang, masalah yang dia alami, gesekan emosi yang dia rasakan, bukan?

    Maka penilaianku pada sosok perempuan adalah beragam. 
    *

    Menafsirkan perempuan tidak sebatas pada buah dadanya dan peluk tubuh yang dimilikinya. Menafsirkan perempuan tidak sebatas perawatan wajah yang dimilikinya. Standar kecantikan putih, kulit mulus, badan langsing, tubuh tinggi, maksudku. Menafsirkan perempuan tak harus diartikan dengan gincu merah merona penggoda nafsu syahwat. Lebih dari itu, bahwa perempuan diciptakan sebagai seorang pelindung. Dengan kelemahlembutannya, dengan isak tangis kerapuhannya, dengan ketegarannya. 

    Perempuan adalah harga mahal terciptanya keseimbangan kalau kamu ingin tahu. Dia bisa berdiri sendiri tanpa ada penopang di sampingnya. Bukannya kalimat ini sebuah nada arogansi, tapi menafsirkan perempuan dengan nada lemah adalah bentuk pelecehan dari apa yang sudah terbentuk secara hakiki.

    Doa kita untuk perempuan, semakin tegarlah pundak kalian. Menangislah jika membuat kalian harus melepas air mata, namun jangan lupa untuk bangkit. Aku tahu, kalian pasti tahu tegak berdiri seperti semula dengan wibawa. 

    21 april 2020
    Kartini days
    20.59

    **

    Doa Perempuan di bawah mata malam

    Continue Reading

    Untuk diriku saja,

    Mungkin bil, dunia dibuat kacau balau oleh banyaknya hal yang mengambang dan tak tentu arah gini. Sama seperti masa depanmu. Semakin kamu berpikir pada dunia ini, semakin banyak tangan yang tidak bisa kamu gapai. Toh, hidupmu hanya berkutat pada rebahan saja. Tak banyak membantu. Tapi kamu ikut-ikutan dibuat risau pada banyaknya permasalahan.

    Aku mengingatkanmu untuk jangan begitu, jangan buang energimu untuk memikirkan banyak orang. Bersikaplah egois seperti yang sudah-sudah. Mencintai diri sendiri saja sampai dalam. Menyukai hal yang ingin kamu lakukan. Jangan pedulikan mereka. Tapi semakin lama, semakin kamu merasa nista.

    Manfaatmu tak berbuah. Kamu kesal. Seolah menjadi upil dalam lautan luas. Tak terlihat dan hanya jadi fana. Berbuih dan tidak bekerja sama dengan ombak untuk mengganggu tatanan sistem alam.

    Kamu tidak memiliki kapabilitas untuk merubah. Terlalu pesimistis sebagai generasi muda. Kamu tidak bisa menyuarakan, sebab suaramu sangat serak, untuk berkata 'a-a' saja sudah mendulang hujatan.

    Kamu risau pada generasimu. Generasi yang dikata orang milenial dengan slogan pendobrak, tapi suka membuat blunder. Aku tahu kamu bak antitesis pada suatu hal.

    Pada suatu ketika, kamu tidak ingin disorot, maka suatu ketika kamu menolak untuk ditokohkan pada publikasi surat kabar. Karena kamu tidak mempunyai kapasitas sebagus itu sebenarnya. Atau kamu hanya tengkurap pada rasa kecil hati dan rendah diri?

    Dalih pada suatu hipotesis yang mengatakan, semakin media sosial diserang dengan ketidakbaikan, lebih baik kita banyak sharing dengan hal-hal baik. Tapi kamu tidak lakukan? Karena apa? Semakin kita menunjukkan 'ke-aku-anku' hanya akan menimbulkan masalah pada pertanggungjawaban sosial. Tuaian pujian yang menyebabkan kendornya iman. Ingin berkontribusi, tak dinyana hanya berbuah suatu hal yang kontradiksi.Itukah ketakutanmu, Bil?

    Maka, ketika generasimu hadir bak seperti 'pangeran pembasmi penindasan' yang menawarkan perubahan, inovatif, kreatif, dan lain sebagainya, kamu justru dibuat malu sendiri. Sebut saja orang-orang terpilih yang menjadi stafsus milenial presiden dengan bejibun gelar dan kapasitas mereka, tapi harus terseok jalannya pada konflik kepentingan di sana. Alih-alih membuat klarifikasi bahwa mereka tidak menangani proyek pengadaan, katakanlah proyek pra kerja yang bekerja sama dengan sebuah aplikasi belajar online, mau dilihat pakai penutup mata pun, hal itu tetap saja menimbulkan tanda tanya. Lebih tidak masuk akalnya, ketidakterlibatan bahwa proyek tersebut tidak menjadi agenda, hanya akan menjadi tameng saja, pada sistem oligarki yang semakin nyata.

    Dunia bergerak begitu cepat bil. Pak Yoyok, Manajermu pernah bilang ketika kata 'masa depan bagi generasi orang tua kita itu sama artinya 10-15 tahun ke depan, berbeda halnya dengan masa sekarang. Masa depan bisa saja terbentuk hari esok, kan?'

    Dianggap tidak punya kapasitas untuk menguliti isi, karena ketidakberdayaanmu yang hanya 'sekrup' pada sistem dan peradaban ini. Tak ubahnya hanya berbuah rasa pesimis saja untuk dikelola.

    Kita dihadapkan pada slogan 'cringe' kontribusi nyata untuk bangsa. Itu sama halnya dengan menggelorakan semangat penokohan, yang sebelumnya kamu benci, kan Bil? Benar memang, personal branding itu perlu. Kamu ingin dianggap seperti apa di dunia ini, kamu harus membuat struktur dan citranya. Itu benar. Tapi apa bedanya jika kita hanya mendapat predikat 'generasi inovatif, kreatif, disruptif' dan dianggap sanggup menyelesaikan masalah per-bangsa-an, padahal kita hanya mendulang kemewahan dengan privilese yang kita dapatkan. Katakanlah ketenaran, kepopuleran, atau bahkan pundi-pundi cuan.

    Sepesimis itukah bil, nasib generasimu?

    Seolah dianggap depresi, kamu justru dibuat merana karena tidak memiliki solusi. Temaramnya malam, kamu seolah terlelap Bil, pada privilese yang kamu terima.

    Bil, kamu mungkin tidak merasakan susahnya jadi orang susah. Anak petani dengan daya pikir yang rentan, orang-orang terpinggirkan, atau orang-orang yang berada dalam sistem penindasan. Pola pikirmu masih menjadi 'aku-kamu' bukan lagi 'kita'. Pun, jika sudah terjadi kata 'kita' maka maksimalnya akan membentuk program politisasi yang dimanfaatkan.

    Kita salah untuk tergabung dalam hal ini, hal itu, karena afiliasi. Kita tidak dibebaskan untuk membentuk pola pikir mandiri, karena orang akan menjustifikasi dengan label tertentu. Atau itu yang sedang kamu permasalahkan?

    Generasimu masih miskin pengalaman, tak sok-sokan.

    Bil, aku ingat kamu pernah mengatakan dan entah kamu mengutip dengan kalimat siapa ketika generasimu menduduki jabatan terbaik dalam tatanan kenegaraan. "Sesuci apapun malaikat, kalau sudah masuk sistem Indonesia dia akan jadi iblis."

    Apakah kamu mendeklarasikan menjadi salah satunya? Mungkin kamu tidak memegang peranan penting.  Sebab kamu hanya bertindak di ruang senyap, sepi, nan serba dilematis. Kamu sekelumit partikel yang tidak ada harganya dalam sebuah tatanan sistem ini. Tapi kamu ada.

    Aku tahu, semakin aku menulis kamu semakin dibuat sengsara. Banyak dosamu ternyata. Tak kasat mata sudah tak terbendung. Hanya butiran kotor yang tidak berubah suci dalam kilat. Dimana rasa tanggung jawabmu? Ketika banyak orang yang mengais rejeki begitu susahnya, kamu bak melayang kemana. Jika kamu risau, kebaikanmu dilihat orang dan tidak mau ditokohkan, maka lakukanlah. Atau kalau kamu tidak memiliki jalan kebaikan, lakukanlah hal kecil yang bisa berdampak ke satu dua orang saja. Tanganmu terlalu kecil untuk menjangkau keseluruhan.

    Generasi tua, entah dalam peradabannya atau pemerintahan pun (atau bahkan orang tuamu), mungkin akan mewarisi padamu sifat oligarkhi neolib yang baru. Digerakkan oleh satu dua orang tokoh sentral. Terselubung dan itu nyata. Kamu harus waspada karena kamu bagian dari ampas sistemnya. Semakin hari kamu dituntut untuk menjadi pembeda. Bersaing dengan individu lain sebagai komoditas.

    Mengutip sebuah kutipan dari Margianta yang aku ambil esensinya seperti ini, 'dibalik agenda inovatif-kreatif-disrutif generasimu dimana para aktor itu mempunyai wewenang untuk melibas kepastian kerja dan bahkan memerankan kapitalisme neoliberal. Mereka bak seperti batman, menjadi pahlawan dengan menyelamatkan dunia di malam hari, tapi di siang hari membuat masalah lain yaitu kesenjangan ekonomi.'

    Tak perlu, kamu risau. Bekerjalah secara efektif dan kolektif. Hilangkan 'aku-kamu'-nya. Sudah kukatakan berulang kali, kamu tidak bisa menghapus tatanan dunia ini. Kesampingkan egoismu. Kamu terlalu lama berada dalam zona itu. Semangat bil, adakah satu 'titik' pasti dimana kamu harus merasa optimis daripada nestapa.

    Ini sebuah anekdot yang kadang membuat kita terpingkal-pingkal membaca kisahnya. Nikmati saja alurnya Bil, tanpa harus berpikir begitu keras. 

    Aku,
    sumber kepercayaan dirimu. 
    Dan 3 hari ini fiks dibuai oleh pesona Kang Dong Won ♥️

    09.39
    18/april/2020
    ... ketika kamu dibuat jengkel dengan pemberitaan yang menjengkelkan mengenai stafsus milenial itu.
    Keputusan yang tepat adalah nggrundel dan menulis meski tidak ada pembaca.

    ***
    Landasan filosofis dalam membuat tulisan ini


    Continue Reading
    Hei, akhir akhir ini aku banyak melakukan kekhilafan.
    Aku tahu itu dan aku sadar tapi gak mau benar-benar tersadar. Maafkan aku. 

    Aku sering sekali membuat postingan di blog ini dengan nada angkuh, nada sombong, tahu segalanya, padahal nol ilmuku. 

    Maafkan aku. 

    Aku lupa, episentrum hidup gak melulu tentang hidupku. Tentang duniaku saja. Masih banyak hal yang perlu dikerjakan tanpa melibatkan aku di dalamnya. Tanpa melibatkan rasaku, tanpa melibatkan pikiranku. Iya aku tahu. 

    Bahwa dunia ini akan tetap berputar, ada atau tidaknya aku di dalamnya. Aku selalu menunjukkan ke-aku-anku. Jauh dalam dari rasa bergotong royong, sepadan, dan sepenanggungan. 

    Hidup orang lain gak harus tercermin dari apa yang mereka lakukan saja. Dunia terlalu beranekaragam untuk menjadi satu. Aku lupa akan hal itu. Maafkan aku. 

    Aku tak tahu, se-arogan itu aku pada lingkunganku. Semenyangkan itu aku bersembunyi di balik selimut berbulu. Ataukah salah jika aku mengasingkan diri sebentar saja. Apakah aku mengalami obsesi pada kesendirian. Hingga banyak orang menanyakan, "kamu kenapa?"

    Aku tidak apa-apa. Aku juga tidak menginginkan kamu mengerti juga. Ada kalanya orang mencintai keheningan. Ada kalanya dia menyukai keramaian. 

    Mumpung dunia saat ini sedang tidak hiruk pikuk karena dibuat lengan, apakah salah jika aku mengikuti rotasi yang dibuatnya? Maafkan aku jika aku memilih untuk bersikap egois.

    Ini aku, seorang sagitarius bebas yang tidak menyukai keterkekangan. Meskipun harus berteman dengan sepi. Dan damainya sunyi. 

    Wahai Dunia, tidak bisakah kita hirup kesempatan untuk terus hidup ini dengan baik-baik saja? Kamu semenderita itu kah membuat rotasi begitu lengang? Dan dalam temaramnya malam ini, aku doakan.

    Kamu baik baik saja, percayalah! Dan maafkan semua kesalahan! Aku yang tidak begitu peduli pada lingkunganku, pada dirimu juga.

    Segera berbenah dan segera cepat sembuh! 

    Dari aku, yang menyukai kedamaian ini 😋

    ***
    Dibuat tergila gila dengan Kang Dong Won
    Kalau kamu?
    16 april 2020
    21.45
    Mau tidur


    Continue Reading
    Twenty Three! 

    Di usiaku yang 23 aku justru dibuat berpikir keras. Apa yang akan aku lakukan nanti. Ketika aku lulus kuliah. Ketika aku mengendalikan sepenuhnya arah hidupku.

    Aku dibuat sengsara secara psikologis. Tidak tahu harus memilih mana diantara banyaknya pilihan. Ditekan secara mental pada pilihan hidup yang-harusnya sudah aku pilih jaman aku kuliah--tapi tidak jadi gegara aku merasa tertekan.

    Menjadi anak perempuan dan anak pertama membuat beban hidupku bertambah. Menjadi suatu perbandingan. Merasa "ini yang pertama". Kami (orang tuaku dan aku) memaklumi. Ini usia pertama mereka menghadapi anak baru kencurnya. Dan ini usia yang sama denganku menjadi pembuka jalan pada keluarga ini. 

    Ketika aku ngeyel bertindak sesukaku, ibuku dibuat menyerah.

    Toh pada hakikatnya aku yang memegang kendali, bukan. Mereka mengarahkan dan aku yang akan bertanggung jawab pada pilihanku. 

    Sampai di titik ini. 

    Umur dua puluh lima tahunku!

    Mereka tak lagi merecokiku untuk melakukan hal yang aku tidak ingin ambil. Meskipun itu adalah cita-citaku sejak awal. Yaitu kuliah! Oke buang dulu harapan mereka sekarang, aku merasa tidak membutuhkan instansi pendidikan formal. Aku merasa nyaman dengan mengembangkan hal yang membuatku senang.

    Ya. Rumusnya adalah membuatku senang. Bahagia. Tanpa membuat banyak orang sengsara. Toh memang seperti itu kan harusnya. 

    Episentrumnya harus dia AKU. Pada 2 tahun sebelumnya, episentrum selalu berpusat pada orang tuaku. Mereka yang menjadi sentral dalam mengendalikan anak-anaknya. Aku mau sekolah dimana, aku akan kuliah dimana, aku mau ngapain. 

    Flashback beberapa tahun sebelumnya! 

    Ingat betul aku bagaimana aku nangis-nangis pas jaman kelulusan SD. Inginku masuk ke SMP Negeri 1 Surakarta. Ya, sekolah favorit kotaku. Bahkan aku mencapai di nilai yang lebih dari cukup untuk ikut berkompetisi dalam pendaftaran. Belum juga daftar, nilaiku belum aku taruhan, penolakan itu justru datang. 

    Ya. Dari bapakku. Bapak berharap aku melanjutkan tradisi bersekolah di sekolah Islam. Agar terbentuk aqidahku dan ilmu pengetahuan agamaku. Okee! Aku penuhi. Tapi nanti kalau aku SMA, aku yang harus menentukan kemana aku harus sekolah. 

    Selesai SMP, nilaiku aku pertandingkan untuk masuk ke sekolah negeri. Pada masa itu memang jaman-jamannya sekolah bertaraf internasional. Sekolah yang aku tuju pun juga pakai label itu. 

    Perjanjian saat SD dulu aku tagih. Aku mendaftar ke sekolah negeri dan menjadi favorit di kota. SMA Negeri 3 Surakarta, alasanku mendaftar adalah aku menyukai sekolah dengan banyak orang chinnese. Iyaa, pas jaman SMP aku tergila gila dengan bau bau Korea dan Cina. Aku pikir akan menjadi momentum yang tepat dengan latar belakang itu memilih SMA Negeri 3.

    Pada suatu pagi, ketika aku hendak mengambil hasil pengumuman diterima atau tidaknya. Bapak sudah berpesan di motor. "Nanti kalau kamu gak diterima, langsung daftar SMA Al-Islam." 

    Kesel! Padahal kalau aku tidak keterima, aku mau menguji peruntunganku di sekolah negeri lain, yaitu mantan sekolahnya Ibuk. SMA Negeri 4! Akhirnya! Aku mendapatkan apa yang aku inginkan, aku diterima. Sampai pada momentum aku lulus SMA. 

    Sampai berlanjut kemudian berlanjut! Banyak hal yang membuatku ketergantungan dengan keputusan sentral orang tua. Kemudian pada pilihan hendak melanjutkan kuliah juga. Tidak hanya S1, bahkan lulus sarjana pun keinginan mereka untuk membuatku lanjut kuliah masih ada.

    *

    Umur 25 tahun aku menghabiskan waktuku bersama keluarga. Mereka tidak lagi sekaku sebelum-sebelumnya. Setiap minggu kami habiskan untuk keluar rumah. Sepaket 5 orang lengkap. Entah renang, nyewa villa di TW atau kemana pun. Kita semakin kuat saja boundingnya. 

    Pun di usia ini aku ingin menjadikannya sebagai tahun aku menikmati hidup. Karena usia ini aku memilih banyak hal,  ada rasa kepuasan di sana. Aku merasa bahagia tanpa harus terkekang. Aku menerapkan prinsip-prinsip yang membuatku jauh lebih kuat. Jauh lebih hidup. Jauh lebih berkarakter. 

    Aku tidak mau diganggu dengan gaya pakaianku. Aku tidak ingin diganggu dengan filosofis berpikirku. Aku tidak ingin diganggu kapan aku harus cuci piring. Aku tidak perlu diganggu harus memutuskan kapan aku akan menikah (Ya, padahal orang tua sudah berpikir ke arah sana). 

    Karena aku tegas memberi mereka pernyataan, "Aku tidak mau diganggu, kapan dan bagaimana aku harus hidup." Oke, mereka memahami itu. Aku cukup senang, karena bagiku dan aku juga menegaskan pernyataan lain bahwa "semakin aku dikekang, semakin aku murka." 

    Begitu!

    Jadi apa makna yang aku bisa ambil, aku menyukai waktuku dihabiskan dengan melakukan hal yang aku suka. Tidak menghubungi satupun teman karena tidak ingin ada kebisingan (thanks to corona virus). Menonton banyak film, mendengarkan banyak musik, seharian untuk bermimpi alias tidur. Ketika melakukan semuanya aku merasa senang, kenapa tidak?

    Oiya sekaligus keterlambatanku, aku suka membuat dan membesarkan blog yang berisi grundelan pada apapun ini tetap hidup, tumbuh berkembang, sampai beranak pinak suatu saat nanti. Mungkin cringe karena Nabila di tahun 2030 akan menertawakan hal ini. 

    Eh tapi blog, kita akan berteman jauh lebih lama kan ya! Jangan sampai bosan. 

    Mencintaimu selalu, 
    Umur 25 tahunku. 
    11 april 2020
    Besok ulang tahun bakso-ku, hauwah hahaha! 

    (*)


    *) ketiga hal diatas salah satu dari sekian banyak variabel yang aku sukai, jadi kenapa enggak. Karena enak! 
    Continue Reading

     Mengerikan memang!

    Berbicara mengenai wabah Covid-19 ini. Sah! WHO sudah mendeklarasikan bahwa ini sebuah pandemi, dimana semua negara terkena, kecuali Antartika.

    Oke, aku akan susun kronologi ala-ku secara berurutan mengandalkan ingatan terbatasku.

    Januari, 2020

    Awal kemunculannya di Januari kan, soalnya aku ngobrol sama Mbak Ines yang kebetulan ke Solo. Membicarakan tentang wabah ini. Kita nggosip, bak memikirkan bahwa virus ini buatan. Ada lab di Wuhan China yang bocor atau apa, sampai menginfeksi warganya.

    Dunia internasional menyoroti virus ini. Langsung jadi perhatian dunia, eh jebul sudah merambah ke beberapa negara. Meski, angka kasusnya sedikit.

    Februari 2020

    Bulan Februari, aku sering banget bikin berita mengenai wabah virus corona ini. Lewat perspektif media asing, mengenai China yang dibuat kalang kabut tangani kasusnya.

    Angka kasusnya sudah paling parah. Beberapa negara seperti Amerika, Rusia, Eropa terinfeksi, Bahkan, angka kasus di Jepang dan Korea melesat jauh lebih banyak.

    Akhir Februari, 2020

    Indonesia masih denial, tidak mengakui. Setiap bikin berita, yang aku beritakan, kata menteri ini makan nasi kucing aja sembuh. Pakai doa, ntar virus sembuh. Bahkan warganet di Twitter yang bahkan aku ketawakan adalah =alah kita makan gorengan pakai minyak goreng plus plastik, makan pakai nasi, hal hal menjijikan lainnya,-- aja masih dikasih sehat kok. Imun kita kuat!, gtu katanya.

    Kan, kita dibuat gedek sendiri.

    Dunia sedang kalang kabut, Indonesia malah menertawakan, kan berasa tertawa atas penderitaan orang. Ini juga bukan akhlakul karimah, ya kan.

    Awal Maret 2020

    Tepat tanggal 2, Jokowi selaku Presiden RI mengatakan ada 2 orang yang positif corona. Warga Depok, namun interaksinya banyak dilakukan di Jakarta.

    Panik? Jelas, tak lama kemudian, 2 orang Solo juga kena. Seorang suami istri. Dimana sang suami barusan selesai ikut seminar di Bogor, dan menulari ke istrinya.

    Sekarang

    Aku menulis berita mengenai istri yang terinfeksi itu. Kondisinya sudah sembuh. Namun nahas, suaminya sudah meninggal terlebih dahulu. Selain itu, aku juga dapat info. Sopir dari sang suami istri itu juga terkena. Positif pula. Bahkan sampai meninggal dunia.

    Inilah alasan, aku memberlakukan sistem karantina mandiri. Untuk apa? Cuy, dia warga Grogol dong. Meski Kecamatan Grogol bisa dikatakan lebih luas dari yang kita bayangkan. Tapi kan, deket gtu. Rumahku ke Jembatan Bacem bisa diitung 10-15 menitan.

    Minggu ini, kasus yang terinfeksi virus corona sudah ditotal lebih dari satu juta. Amerika mengalahkan Italia di minggu ini pula. Angkanya lebih fantastis. China, sebagai negara awal terjadinya virus ini bisa menekan di angka 3ribuan orang yang meninggal. Bahkan sekarang sudah 0 kasus. Hanya kasus kambuhan aja dari orang yang sembuh kena infeksi lagi.

    *

    Atur napas!

    Buang!

    Hirup lagi!

    Aku percaya, bahwa pandemi global seperi ini sesungguhnya muncul di seratus tahun sekali. Aku bukan menerawang ala-ala Mbah Mijan atau siapapun ya. Hanya saja menurut apa yang aku baca, memang begitu.

    Di abad 20 tepatnya di tahun 1918, pandemi global itu bernama flu Spanyol. Walaupun asal muasalnya juga bukan dari Spanyol, tapi identifikasi kasusnya memang berada di Negeri Banteng Matador.

    Kita juga dikejutkan dengan virus sebelum corona, misal SARS atau MERS, itu pun inangnya juga dari hewan. Yang masih misteri yaa, si Corona ini. Lewat binatang apakah yang menjadi inang dari tersebarnya virus ini? Kalau pun kelelawar, kayaknya belum 100 persen akurat. Menurutku sih, banyak temuan artikel berita yang belum relevan yang menunjukkan pelaku utamanya adalah kelelawar. Bahkan ada yang bilang trenggiling, loh.

    Wallahualam ya, Soon-lah para ilmuan menemukan kebenarannya.

    *

    Suatu ketika, aku pernah mendengar nada berbicara seperti ini.

    "Tuh Lihat, Negara China yang sombong aja diuji sama Allah dengan dikasih wabah itu. Mau nyingkirin umat islam. Nyesel gak tuh. Allah kalau udah turun tangan nangani orang sombong ya kek gtu."

    Aku langsung maktratap.

    Kalimat itu lebih ke politis sebenarnya, kalau aku nilai.

    Ya nggak kayak gtu dong,  Sama kayak awal Februari lalu pas Jakarta dilanda musibah banjir. Bisa dibilang diksi kalimatnya bakal sama kan. Kalau cuma nyalahin Anies Baswedan yang nggak becus ngurus Kota Jakarta.

    Ya kan? Maksudnya sama kan ya.

    Jakarta juga "diazab" dong sama Tuhan karena jadi kota maksiat, makanya kalau ada hujan selalu banjir.

    Plis deh, kita kan gak perang antara pendukung ini dan pendukung itu. Bukan karena kebijakan ini dan kebijakan itu.

    Allah tuh kalau udah ngasih musibah pasti ada maksud dan tujuannya. Gak melulu mengenai azab dan dosa kan. Iya benar, kita harus introspeksi diri, muhasabah diri, memperbaiki diri sendiri agar lebih kenceng doa dan ibadahnya.

    Apakah hanya berkutat di situ saja? Aku pikir enggak dong. Kita diberi akal gunanya untuk berpikir yang jernih kan. Diberi akal agar lebih peka sama maksud dan tujuan Allah itu seperti apa.

    "Kalau pun banjir datang" maka pembelajaran yang kita terima adalah oh mungkin Allah negur kita karena buang sampah sembarangan. Kita punya banyak dosa di lingkungan tempat tinggal kita ini. Oh berarti kita harus lebih menghargai lingkungan.

    Menghargai energi yang biasa kita pakai. Kalau siang hari, lampu dimatikan. Somtehing like that-lah.

    Sama halnya dengan "wabah corona ini", apa sih dampak positifnya. Oh, Allah ingin kita tetap di rumah. Muhasabah diri, bahwa pertemuan dengan kawan, sanak keluarga ataupun siapapun itu nyatanya punya harga sangat mahal.

    Oh, atau Allah minta kita untuk menjaga bumi. Toh penelitian mengatakan kalau selama wabah corona ini berlangsung, lapisan ozon di Antariksa justru menutup. Itu artinya Allah minta agar bumi ini mengobati dirinya sejenak. Pun ini hanya pandemi yang terjadi seratus tahun sekali, gtu mungkin kata Allah buat kita.

    Coba kita sikapi hal-hal yang diberi Allah untuk kita dengan memandang dan berpikir yang bijak. Tidak separatis dan menggolongkan seolah olah terdapat stratifikasi iman.

    "Itu azab buat orang yang nggak beriman."

    Atau,

    "Azab buat orang kafir."

    Tutup mulut kalian dan introspeksi diri. Bahwa manusia tidak ada yang namanya lebih tinggi. Bukankah kita sama di mata Tuhan kita. Jangan saling klaim, bahwa aku lebih tinggi imannya dibandingkan orang kafir sana, Meski aku beriman tapi aku merusak bumi, atau hal lain.

    Berpikirlah bahwa apa yang terjadi di bumi ini adalah bagian dari kita. Mau kita benar, suci, kotor ataupun najis sekalipun, kita memegang kendali pada sekitar.

    Bukankah sebaik baik manusia yang memberikan manfaatnya. Tidak hanya gelora mengenai iman tapi nol akhlaknya dalam memperlakukan manusia, hewan, lingkungan, bahkan makhluk Allah lainnya.

    Buatlah sebuah diksi yang merangkul, mengajak pada sudut pandang iman dan ilmiah. Biar kita tidak terjebak dalam zonasi islam, kafir, komunis atau siapapun. Ayolah, kita berjuang bersama.

    Kita tanggapi hal baik ini dengan cara yang baik. Kalau mau berbicara negara komunis, liberal, bahkan nasionalis sekalipun, virus corona sudah mengancam seluruh dunia. Tinggal mau apa enggak buat menyelesaikannya.

    Sekaligus buat ng-challange apakah pemimpin negara tersebut becus ngurus rakyatnya atau tidak. Oops!

    *

    Benar!

    Kita tidak ada alasan untuk menyalahkan ikan yang berenang. Aku paham, aku tahu, dan aku sadar. Bahwa manusia adalah makhluk egoistis yang diciptakan. Pada satu momentum mereka tidak akan berhenti menghujat karena merasa dirinya paling benar. Sama halnya aku disini yang merasa risih dengan beberapa zonasi orang saling menyalahkan, mengkafirkan, ini negara komunis, liberalis, islam atau apapun.

    Dunia sudah bergerak sesuai kodratnya. Kita? Jadilah sebaik-baik manusia. Sebaik baik makhluk yang berpikir.

    Mungkin unggahan ini akan nol pembaca, and i dont care. Mungkin sedikit bacotan akan menghidupkan nalar berpikirku, itulah alasan mengapa aku menulis ini.

    Mari sikapi, apapun kondisinya, mau banjir, mau corona, mau gunung meletus, atau apapun yang terjadi di masa depan, ingatlah bahwasanya kita numpang buat berjalan di bumi Allah ini. Semangatilah dan bersikap baiklah pada sesama. Lingkungan lebih luas ini. 

    Jangan lupa doakan, orang-orang yang sedang berjuang, menghidupi keluarganya, menyelamatkan nyawa pasien positif corona, atau orang orang di seluruh jagad raya yang memiliki kondisi dan masalahnya masing-masing.

    Wahai masyarakat dunia, kita bisa melewati ini semua kan ya!

    *

    Cheer up!
    sat night'
    04/04/2020
    20.57

    Continue Reading
    Bagaimana aku memakai pakaian? Mungkin tidak akan kalian pedulikan. Tapi aku akan menjawabnya dengan jawaban filosofis yang pernah ada.

    Begini... 

    Kita sepakat bahwa apa yang kita tampilkan selalu berkaitan mengenai citra diri kita. Sepakat atau tidak sepakat! Jadi, menurutku jangan pandang seseorang berdasarkan penampilannya, bagaikan bualan. Kenapa? Ya, setiap orang akan melihat tampilannya terlebih dahulu mendahului otaknya yang bekerja bukan? 

    Misal ketika bertemu dengan orang baru atau teman lama yang kita refleks lihat adalah apa yang akan dia pakai, bukan? 

    Oke baiklah, lupakan. 

    Kita kembali pada mazhab yang aku anut saja, haha. 

    Dekade ini bisa dikatakan tahun dimana "ghirah" atau semangat dalam mempelajari agama menjadi semangat komunal yang tidak hanya digiatkan oleh beberapa kelompok. Tapi masif. Masya Allah. Tabarakallah. 

    Hal itu pula juga sejalan dengan meningkatnya brand berbasis "syariah", ya kan. You named it! Semua kosmetik berbau halal dan Syari. Tidak hanya itu sampo rambut juga. Yang paling kelihatan ya dalam segi penampilan. Yap, masalah baju pun juga tidak kalah mencuri perhatian.

    Semangat ini bagus, tapi lama kelamaan aku berada di titik "jengah" dimana ada sedikit klaster yang berkaitan mengenai penyakit iman juga, Kadang! Apalagi hal ini dikatakan orang yang masih dalam posisi "semangat-semangatnya buat hijrah". 

    Semangat untuk tampil "hijrah" ini lambat laun menjengkelkan. Bagaimana tidak, aku yang masih pakai celana, dan baju ala kadarnya itu kini mendapatkan stigma yang sedikit menjengkelkan saja. Tapi toh aku tidak peduli. Semakin aku peduli, maka aku semakin berpikir bukan. Yaa nggak mungkin juga sih, aku gak peduli. Buktinya aku membuat tulisan ini, haha. 

    Kenapa menjengkelkan? Perempuan seperti aku- yang pakai jins, celana ketat, baju kedodoran, apalagi baju yang beberapa bagian sedikit sobek (dan bahkan aku juga gak peduli), apalagi selama 5 tahun lebih mungkin aku berpakaian tanpa menyetrika bajuku, dan aku dengan lantang mengatakan : aku tidak peduli!- ini dinilai masih memiliki iman yang lemah. Karena tidak memperlihatkan akhlak Syari sama sekali. Bahkan blass! 

    Seolah-olah jawaban kasarnya yang bisa menjadi konklusi adalah pakaian itu juga menunjukkan kadar iman juga. Begitu mungkin bahasa yang sederhana. 

    Tapi kan, kadar iman setiap orang siapa yang tahu? Ya kan. Kita toh bukan cenayang yang tahu segala hal. Hanya manusia yang super julidiun aja kan ya yang sok tahu. 

    Pandangan orang dengan memandang rendah pada pakaian itu kadang juga kurang bijak (kalau boleh nyinyir). Sebenarnya ini aku rasakan betul, mengingat lingkungan pertemananku berada di orang-orang ngaji. Yang you know what I mean lah, semuanya serba memakai pakaian dengan label "syariah". 

    Kenapa aku tidak mengikuti jejak mereka? 

    Alasannya sederhana. Aku merasa tidak nyaman. Dan itu berasa seperti bukan aku. Tapi kan kamu bisa berubah? Iya betul. Setiap manusia bisa berubah. Tapi dalam akal dan algoritma berpikirku aku tidak merasakan sebuah urgensi aku harus mengenakan label yang sama. 

    Bahkan aku terlalu liberal mengatakan label syariah yang akhir-akhir ini menjadi trend hanya "komoditas kapitalisme". Haha! Ekstrem memang. Yaa memang gitu kan faktanya. 

    Benar, dalam firmannya Allah memerintahkan untuk perempuan menutup rambut sampai dada, berpakaian tidak longgar, dan tidak menyerupai laki-laki. Aku memang tidak benar-benar mengikuti itu, jujur. Menutup dada? Iya aku lakukan mesti pakai kerudung tipis paris. Bahkan kadang memakai yang ketat, tapi aku tidak mepet badan juga keleus. Masih normal dan layaklah sebagaimana yang dianjurkan. Menyerupai laki-laki juga aku pikir tidak. 

    Meskipun sudah memenuhi semua kaidah dan kriteria seperti itu. Aku memang menilai diriku berada di rata-rata. Tidak ingin mendapat nilai lebih dengan memanjangkan lebih panjang, memakai yang jauh lebih longgar macam abaya atau dress syariah, dan sering memakai celana. 

    Masih dalam perdebatan juga, kalau memakai celana bisa dikategorikan sebagai "menyerupai laki-laki". Karena toh, laki-laki yang seperti apa? Karena laki-laki di Arab bahkan berpakaian seperti abaya, tidak pakai celana alias pakai rok, kan yaaa. Berarti kalau aku pakai dress syariah pun juga bisa dikatakan menyerupai laki-laki di Arab, kan ya. 

    Aku gak mau memperdebatkan sebenarnya, hanya ngasih sedikit inside saja mengenai tafsir dari ayat tersebut. 

    Aku memang terkesan agak ndableg, tapi aku punya landasan teori sendiri. Ya dong, dalam segala hal yang kita lakukan entah itu suka atau tidak suka terhadap sesuatu haru dikaji dulu berdasarkan falsafah hidup dan prinsip masing-masing. Sama dengan perkara sederhana seperti berpakaian ini.

    *

    Dalam 3 tahun dari tahun 2017 sampai 2020 ini, aku tidak pernah sekalipun membeli baju. Alasannya tidak masuk dalam mazhab hidupku. Haha. Aku berpendapat bahwa setiap kali aku membeli baju, harus ada baju di almariku yang harus keluar. Masalahnya itu!

    Dari sejak kuliah aku tidak pernah membeli baju, Kalau pun beli berarti itu pas lebaran. Aku pakai apa? Baju kuliahnya ibuku. Atau semua isi lemarinya yang pantas aku pakai, aku pakai. Semuanya. Bahkan aku jago mix and match perpaduan semua baju ibuk itu dan pede luar biasa aku pakai di kampus. Dan alhamdulillah-nya teman tidak ada yang komplen.

    Karena anak sejarah gtu loh. Dia gak akan macem-macem dengan memandang rendah apa yang kamu kenakan. Wong kita kuliah pakai sandal gunung aja, lolos kok. Plus pakai kaos oblong dengan celana sobek sobek di lutut. Sudah legenda. 

    Saat kerja? Most of my pants = bapak. Iyaaa pakai celananya bapak jaman be-li-au awal kerja, dimana masih sangat kurus ya kan, dan beberapa celana yang sudah lama bapak tidak pakai. Maka jatahku untuk memakainya.

    Prinsip hidupku adalah minimalist-hedonist epicurus. Perpaduan ekstrem memang. Haha. Tapi memang tepat dengan karakter orang yang tidak suka didekte kayak aku gini.

    Nah, dalam berpakaian sendiri aku mengandalkan prinsip ekstrem minimalist. Yaaa apalagi ibuk tidak mau "membuang" baju lamanya dan baju lama bapak. Berharap nanti anaknya yang akan pakai. Betul. Sekali. Sekarang, aku korban dari fesyen lama kedua orang tuaku. 

    Gak jadi masalah lah buat anak sejarah. 

    Kita sudahi saja, kalian pasti capek membaca. Aku capek mengetiknya. Yah walaupun satu dua orang pengunjung, kenapa enggak buat nggrundel masalah ini. 

    Jadikan apa yang kalian pakai mencerminkan kebahagiaan kalian! Berpakaianlah yang menyenangkan untuk diri kalian. Yang cantik, rapih, penuh pesona.

    Itu aja!


    **
    April 08
    20:30 ke 21:00

    Dengan dipublikasikan di tanggal 9, tepat aku membuat berita ilmuan Harvard ditangkap karena bekerja sama membuat dan menciptakan corona. 

    Besok. kerja. Wfh lagi. 
    Nonton Lee dong wook di Wild Romance
    Disambi bikin tulisan ini. 
    Continue Reading
    The Wind Blows - The All American Reject mengalun 

    Pada langit sore hari yang sedang kutitipkan rindu. Momen tepat untuk sedikit mengorek apa yang tertinggal di masa lalu kan. Sembari menunggu waktu hari Rabuku yang kerja kemudian "gak ngapa-ngapain" ini.

    Mungkin begitu alunan nada-nada sumbang. Begitu tidak membuat gairah untuk mendengar. Tapi telinga tidak bisa tersumpal. 

    *

    Berganti lagu Sweet Arizona - East Love 

    Jika mengharubiru kalau kata Senior di Intisari adalah memporakporandakan. Maka tepat istilah itu akan datang di suatu momen, kamu merindukan seseorang begitu depresinya.

    Aku mendapatkan penggalian kalimat yang aku akan kopas isinya apa. Tentang perasaan bertepuk sebelah. Mengenai kenangan yang sudah lama kamu ingin buang. 

    "Aku rasa langit senja akan merekah jingga jika ku sudahi kebiasaanku bertahun - tahun menyimpan rasa suka yang sama." by dandelion jatuh. 

    Berbicara pada jarak yang bermil-mil jauhnya, pasti membuat kita dibuat cemas. Bagaimana kabarnya? Apakah dia baik-baik saja? Di musim hujan ini apakah keadaannya sehat? 

    Itukah kecamuk pikiran yang kadang menghantui perasaan kita. Apalah daya, ya kan ya. Kita bukan cenayang yang punya kemampuan lebih dalam melihat orang yang tidak terdeteksi dalam jangkauan jarak. 

    Jika jarak itu hanya sejengkal kita menatapkan mata kita, pasti tidak akan seberat ini. 

    *

    Clouds and Thorns - Everything is Possible Now

    Oh, whoa, oh, let's dream out loud (let's dream)
    'Cause all we know
    Has been turned upside down
    Everything is possible now
    Ooh, ooh, ooh, ooh, ooh, ooh


    Lewat lagu ini aku dibuat percaya. Pada keyakinan yang kembali aku teguhkan. Bukan lagi pada bisikan, aku berani berteriak lantang. Mengatakan : 

    Hei, pada gemerlapnya sinar lampu sore yang dibiarkan menyala bertahap, maka akan aku titipkan sedikit bisikan. Ekspose sedikit berlebihan pada perasaan yang digantung dalam jarak yang tiada hari tak sanggup untuk ditahan. 

    "Mas, kita bertemu dalam doa saja ya." 


    **

    Sore, adzan maghrib berkumandang
    Tepat jam 17.45
    08 April 2020
    8 tahun EXO debut, kalau kata adekku. 
    Ah sudahlah ya. 
    Memasuki hari ke-26 KLB Virus Corona 
    Continue Reading

    Hahaha!

    Hei april, yang kalau dikata bulannya para bintang Taurus. Semoga kita selalu dilindungi yaaa sama kekuatan Tuhan Yang Maha Esa. Dilapangkan jalan rejekinya di tengah wabah corona ini.

    Huft, lama sepertinya prediksi paranormal bahkan para pakar. Yaaa, kita jalani ajaa kondisi ini. Ini bulan baru, harusnya dengan semangat dan optimisme baru. Ya kan!

    Bismillah yaaa, 

    Untuk mengisi kegabutan selama #dirumahaja sebenarnya aku menghabiskan waktu dengan nonton film atau drama sih. Selain kerja loh yaa, meski dirumah kan ada we-ef-ha, so setelah kewajiban selesai dituntaskan kita beranjak ke hal hal yang menyenangkan. Sekaligus sesi membunuh waktu sampai ngantuk.

    Ada rekomendasi film menurutku yang musti banget kalian tonton selama masa karantina mandiri ini. Iyaaa, masa mengarantina ini atas kesadaran kita sendiri, bukan pemerintah yang tak cukup budget buat lakukan lockdown. Oke bersiaplah gaes~

    Eits, aku akan beri rating pribadi di masing-masing film ya. Menurutku bagus apa enggaknya. Ya sori, kalau film yang harusnya favorit kalian, harus dinilai kurang atau bahkan melebihi ekspektas, Its about my opinion, ajah!

    1. The Swindlers


    Yup, film ini dari Oppa Hyun Bin. Film ini menceritakan penipuan yang dilakukan penipu. Paham gak? Namun, aku spoiler dikit ya, dari awal jalan cerita sampai menjelang akhir emang kawanan penipu ini mengincar "bos" penipunya. Namun, tak disangka endingnya justru mereka mengincar jaksa penuntut yang pernah diduga bersekutu dengan "bos" penipunya.

    Seru sih. Menegangkan. Asli, aku nonton film ini setelah lulus kuliah di tahun 2018 lalu. Tapi nonton lagi pun masih seru kok.

    Dari angka 1 sampai 5, aku akan beri angka 4.

    Kenapa?

    Aku suka cara penyajian yang membuat aku berdebar-debar, haha. Aku rasain bener. Dari awal cerita yang awalnya "mencari bos pencuri" ternyata hanya ecohan ke langkah awal yaitu "sang jaksa". Distraksi alur yang aku salut dan diluar tebakan para penonton.

    2. The Dude In Me


    Asliiiiii! Ini film bikin ngakak dari awal kemunculannya. Hahaha! Aku dikasih film ini sama teman kantorku, Hayu di akhir tahun 2019 lalu. Aku nonton malamnya, malah jadi hiburanku. Terpingkal-pingkal ngakak.

    Ceritanya tentang seorang anak SMA yang gendut dan di sekolah sering jadi bahan bullyan. Pada satu momen, dia sok-sokan, pasang badan untuk ngelindungi cewek yang dia taksir. Si cowok itu disuruh ngambilin sepatu si cewek  yang digantung di tiang. Ngepas aja dipasangnya di pinggir atap sekolah kan. Jadi satu inci bergerak udah auto jatuh.

    Nah, pas deh momennya. Si cowok itu alhasil jatuh ke jalan tapi tepat yang berada di bawah adalah seorang gengster.. Nah, bapak kepala gengster yang ditakuti gitu ketimpa deh sama bocah lugu SMA yang jadi bullyan itu. Mereka berdua bertukar kepribadian. Si gengster jadi anak culun SMA yang sering di bully. Si anak SMA yang culun jadi ketua gengster.

    Film ini aku beri rating 3,5!

    Kenapa? Ini seru bikin ngakak. Hanya saja, aku tidak menyukai pada momen-momen dimana alur ceritanya menjadi sedikit lambat. Tapi, asli, ini film bikin ngakak. Karena perpindahan karakter yang jelas-jelas kentara yaa!

    3. Miss and Mrs Cop


    Jujur, aku baru aja nonton film ini tuh kemarin. Kemarin banget (noted: tertanggal 3/4/2020)! Yah, karena pada hakikatnya aku menyukai genre film atau drama yang berbau bau crime, comedy, and action ya.

    Ceritanya tentang ibu polisi yang senior, dia pernah ditakuti as woman police, gtu. Karena emang karisma yang dibangunnya, yang selalu bisa menangkap penjahat kelas kakap. Tapi, setelah bertahun kemudian, dia ditempatkan di sebuah kantor pelayanan. Yang tentu saja, dia hanya sebagai polisi dengan tugas pelayanan, nggak lagi berkecimpung di dunia kriminal.

    Nah, adik iparnya sendiri, si mbak Shin Se Kyung ini adalah anggota di tim kriminal. Karena suatu kesalahan, dia pun ditempatkan satu kantor sama mbak iparnya. Nah, dari sanalah dia mendapatkan kasus mengenai pengedaran narkoba jenis baru, yang merembet ke pencabulan, pemerkosaan gtu gtu. Jiwa perempuannya terpanggil kan, yes. Dua orang ini pun akhirnya bersatu menangkap si penjahat,

    Film ini sendiri, aku akan beri rating 3!

    Ceritanya menarik sebenarnya. Tapi kek kurang greget gtu menurutku hahaha. Aku hanya kurang sepakat dengan sedikitnya keterlibatan Soo Young di film itu yang berperan jadi hacker ya. Padahal bisa dioptimalkan saja. Nggak harus jadi cameo. Pas momen-momen penting, dia nggak ada. Kek kurang seru aja sih, menurutku.

    4. Extreme Job



    Parah Asli! Mencengangkan, hahaha. Aku nonton ini sebenarnya udah agak lama gtu. Tapi masih ingat di memori. Mengenai sebuah tim kepolisian yang koplak sih. Tim ini itu bertugas bagian pemberantasan narkoba. Jadi mereka akan mencari gengster-gengster pengedar narkoba.

    Tapi caranya enggak banget. Pada satu momen, untuk memata-matai geng yang mereka duga menjual narkoba, mereka harus membeli restoran usang untuk berjualan. Sekali mendayung satu, dua, tiga pulau terlampaui, niatnya gtu kali ya.

    Eh jebul, restonya malah laris. Dari kelarisan inilah membuat gengster itu pun memesan makanan dari resto ini. So, mereka bisa mendekat dengan cara "indah" ini untuk menangkap para pengedarnya.

    Genre film ini memang comedy, action gtu kali ya. Jadi ketololan para anggotanya yang membuat jalan ceritanya semakin menarik. Cocok ditonton saat #dirumahaja , ya kan ya.

    Syalala, aku beri rating 4!

    5. Exit



    Sungguh dibuat penasaran setengah mati sama film ini, awalnya. Wal hasil, baru kesampaian nonton beberapa hari yang lalu. Karena pernah ya, kapan gtu bikin berita mengenai cantiknya Yoona foto bareng sama Dian Sastro di Festival Film Macau apa ya, aku lupa. Pokoknya, sebelum corona menyerang bumi. Yoona dipilih karena mewakili film barunya ini, Exit.

    Apaagi berduet sama Jo Jung Suk lagi, ya kan. Ngefans sama ahjushi ini pas main drama di Oh My Ghost sebenarnya.

    Ceritanya sebenarnya sangat sederhana. Mengenai masnya yang pengangguran ini harus menghadiri pesta anniversary orang tuanya, yang ke berapa gtu. Mereka pesan tempat yang 1,5 jam jauhnya dari rumah mereka.

    Nah, selesai perayaan, nyanyi-nyanyi, joget-joget, syalala-syalili, kota yang dimana mereka menyelenggarakan pesta perayaan itu terjadi musibah. Ada sebuah ledakan gas kimia yang bagi siapa menghirupnya, malah sesak napas, auto mati gtu. Itu gas beracun yang diledakkan seorang ilmuan buat balas dendam ke perusahaan farmasi. Tapi asap dari gasnya itu nyebar sampai ke penjuru kota menyebabkan orang dilanda kepanikan.

    Ceritanya hanya sesederhana, bagaimana satu keluarga itu keluar dari jeratan asap gas itu dengan terus berlari ke atap gedung. Wal hasil, dua orang (Jungsuk sama Yoona) tertinggal karena beban helikopter yang mengangkut gak kuat.

    So, mereka berjuang sendiri buat keluar dengan cara mereka. Yaitu memanjat dari satu gedung ke gedung lain. Yang bikin menegangkan karena suasana yang diciptakan sih, kalau jatuh auto death, gtu.

    Film ini aku beri rating 3. Hm, karena memang alurnya lambat yaa, hanya dibuat menegangkan dari detik ke detik keputusan apa yang akan mereka ambil agar membuat mereka berdua ini survive.

    *

    Begitulah, deretan rekomendasi film yang bisa kalian tonton ulang. Sebenarnya ada lagi sih misal confidential assignment dari ahjusi Hyun Bin lagi, Midnight runners dari park seo jun. By the way, aku malah dibuat penasaran sama film Park Seo Jun yang arwah gentayangan itu, The Divine Fury, nah itu. Kapan kapan, kalau punya nyali buat nonton sajah.

    Aku gak begitu ahli dalam mereview film, jatuhnya malah spoiler karena pendapat pribadi. Sorry, i dont know how to be reviewer. Haha, aku hanya pingin menulis tentang ini, sekaligus merekam apa saja hal yang bisa aku ambil dalam tontonanku. Biar sedikit ada faedahnya, haha!

    *

    Its, sat night
    04/04/2020
    -i.wanna.spam.another.post.soon.its.about.government.and.corona-
    Haha!

    Have a good day, at #dirumahaja
    ,
    Nabila


    Continue Reading
    Newer
    Stories
    Older
    Stories

    About Me!

    About Me!

    Arsip

    • ►  2023 (1)
      • ►  Jan 2023 (1)
    • ►  2021 (34)
      • ►  Aug 2021 (1)
      • ►  Jul 2021 (3)
      • ►  Jun 2021 (3)
      • ►  May 2021 (4)
      • ►  Apr 2021 (8)
      • ►  Mar 2021 (6)
      • ►  Feb 2021 (4)
      • ►  Jan 2021 (5)
    • ▼  2020 (64)
      • ►  Dec 2020 (4)
      • ►  Nov 2020 (4)
      • ►  Oct 2020 (4)
      • ►  Sep 2020 (4)
      • ►  Aug 2020 (5)
      • ►  Jul 2020 (6)
      • ►  Jun 2020 (6)
      • ►  May 2020 (5)
      • ▼  Apr 2020 (9)
        • Baru Sadar Bahwa Selama Ini Aku Kedinginan
        • Doa Perempuan di Bawah Mata Malam
        • Ketika Kita Tak Ubahnya Sekrup pada Sistem
        • Hei, maafkan aku!
        • 25 Tahun?
        • Tentang Covid-19 dan Alasan Kita Tidak Bisa Salahk...
        • Filosofis Praktis Tentang Berpakaianku, Aku Tahu K...
        • Ekspose Jarak Pada Perasaan yang Digantungkan
        • Rekomendasi Film Korea Atasi Kegabutan Selama #dir...
      • ►  Mar 2020 (6)
      • ►  Feb 2020 (9)
      • ►  Jan 2020 (2)
    • ►  2019 (12)
      • ►  Jul 2019 (1)
      • ►  May 2019 (4)
      • ►  Apr 2019 (1)
      • ►  Mar 2019 (2)
      • ►  Feb 2019 (3)
      • ►  Jan 2019 (1)
    • ►  2018 (6)
      • ►  May 2018 (2)
      • ►  Apr 2018 (1)
      • ►  Jan 2018 (3)
    • ►  2017 (9)
      • ►  Dec 2017 (1)
      • ►  Nov 2017 (2)
      • ►  Oct 2017 (1)
      • ►  Sep 2017 (5)
    • ►  2016 (3)
      • ►  Sep 2016 (1)
      • ►  Apr 2016 (1)
      • ►  Mar 2016 (1)
    • ►  2015 (7)
      • ►  May 2015 (6)
      • ►  Mar 2015 (1)
    • ►  2014 (25)
      • ►  Nov 2014 (1)
      • ►  Oct 2014 (2)
      • ►  Jun 2014 (1)
      • ►  May 2014 (2)
      • ►  Apr 2014 (6)
      • ►  Mar 2014 (3)
      • ►  Feb 2014 (7)
      • ►  Jan 2014 (3)
    • ►  2013 (12)
      • ►  Dec 2013 (7)
      • ►  Oct 2013 (2)
      • ►  May 2013 (1)
      • ►  Jan 2013 (2)
    • ►  2012 (12)
      • ►  Dec 2012 (3)
      • ►  Nov 2012 (2)
      • ►  Jun 2012 (2)
      • ►  May 2012 (2)
      • ►  Jan 2012 (3)
    • ►  2011 (14)
      • ►  Dec 2011 (3)
      • ►  Nov 2011 (11)

    Labels

    Artikel Ilmiah Bincang Buku Cerpen Curahan Hati :O Essay harapan baru Hati Bercerita :) History Our Victory Lirik Lagu little friendship Lomba menulis cerpen :) Memory on Smaga My Friends & I My Poem NOVEL opini Renjana Review Tontonan Story is my precious time Story of my life TravelLook!

    Follow Us

    • facebook
    • twitter
    • bloglovin
    • youtube
    • pinterest
    • instagram

    recent posts

    Powered by Blogger.

    Total Pageviews

    1 Minggu 1 Cerita

    1minggu1cerita

    Follow Me

    facebook Twitter instagram pinterest bloglovin google plus tumblr

    Created with by BeautyTemplates | Distributed By Gooyaabi Templates

    Back to top