Doa Perempuan di Bawah Mata Malam

6:59 AM

Di malam yang sesunyi ini aku berpikir tentang menjadi perempuan di luar sana. Perempuan yang menjadi tulang punggung keluarga. Mengorbankan harkat martabatnya untuk tetap berdiri digdaya. Perempuan yang berambisi menaklukkan ketakutannya dengan apapun usahanya. Perempuan yang tak kenal kata menyerah dan berjuang walau cintanya hanya bertepuk sebelah tangan. Eh! 

Tak banyak perempuan mempunyai hak istimewa mengecap sedikit ilmu di bangku kuliah. Tak banyak perempuan yang melonggarkan daya pikirnya karena keterbatasan ruang. Tak banyak perempuan yang mampu mengeluarkan analisanya karena berbenturan paham patriarki. Tak banyak suara perempuan berkumandang karena takut ditiban jeruji tangan kecemasan. 

Untuk kondisi yang tidak aku alami, aku sangat beruntung sekali. Lahir, besar dan tumbuh di lingkungan berpendidikan. Besar dan tajam di aktivitas yang menumbuhkan gerak nalar. Aku tahu, tidak semua perempuan memperoleh strata yang sama seperti yang aku miliki. 

*

Pada suatu ketika ada seorang perempuan. Umurnya mungkin lebih dari 30-an. Mendekati 40 kok sepertinya masih terlalu belia jika ku katakan demikian. Aku bertemu dengannya di perhelatan pesta demokrasi. Kala itu, negara ini menyelenggarakan pesta demokrasi 5 tahunan yang beranggaran 25,56 triliun. Angka fantastis untuk menghemat pesta memilih pemimpin, memang. 

Perempuan itu datang dengan rambut yang dikelabang. Menutupi uraian panjangnya surai miliknya. 

Dia masuk ke bilik pencoblosan berbarengan dengan aku dan ibuku masuk juga. Tapi, nampaknya dia dibuat kebingungan dengan banyaknya pasang foto para calon anggota DPR. Kemudian kertas DPRD. Belum lagi kertas kecilnya DPD. Berlapis lapis. 

Ibuku yang berada di sebelahnya memberikan instruksi. Coblos partai dan nomor urutnya. Beberapa kali kertas yang berhasil dicoblos membuat si mbak ini masih merasa bingung. Aku tidak tahu, dia memang benar-benar tidak tahu mekanisme pencoblosan. Atau dia tidak tahu mana calon wakil rakyat yang dipilihnya. Atau kebingungan perihal seperti apa yang membuatnya tampak begitu kentara. 

Dari tampilannya kalau aku boleh menilai (iyaa kan, semua yang kita lihat adalah bentuk visual), terlihat bahwa memang dia kurang berpendidikan. Karena yaa terlihat polos dan memperlihatkan gerak plongah-plongoh

*

Pada sebuah momentum di akhir perkuliahanku, aku sempat dibuat tercengang pada novel karya Nawal el Shadawi, Perempuan di Titik Nol. Ada yaa, kisah perempuan semenistakan itu. Berjuang agar mengerti titik terang harus melalui rintangan yang aduhai, aku saja tidak bisa membayangkannya. Cerita itu dihadirkan dalam kepedihan dan ketidakadilan dari sudut pandang feminin. 

Tampak bagaimana si tokoh perempuan itu kemudian "tersadar" pada kehidupan yang selama ini mengukungnya dalam bangunan patriarki yang begitu kuat. 

Maka tak salah jika dari awal kehidupannya mengenal dunia, dia harus mengalami kejadian "kotor". Bukan karena tingkah dan perilakunya yang mampu menggaet pria, karena ketidaktahuannya. Semuanya terformulasi pada adat dan tradisi bahwa laki-laki-lah pihak yang harus dihormati dan disegani. 

Entah, aku merasa pandangan demikian membuat runtuh saja. Penceritaannya terlalu dominasi akal perempuan. Jika aku menjadi tokoh perempuan itu, aku tak tahu semenderita apa. 

*

Ada bangunan baru lagi ketika kita membicarakan tentang perempuan. Apalagi jika dia pihak ketiga perebut hubungan. Okelah, karena masih anget kabar jedun dan faisal garis kan ya. Yang disebut pelakor. 

Aku akui, bekerja di media hanya akan menambah daftar pengetahuan yang aku sejatinya tak ingin tahu. Haha, iya salah satunya perempuan yang diberi kelebihan lebih dalam menggaet laki-laki. Aku tidak tahu bagaimana akal dan pikirannya bekerja soalnya memang tidak terjamah dalam lingkungan, tapi fenomenanya nyata. 

Aku tak sendiri sebenarnya membenci perempuan yang "kegatelan", meskipun itu dalam lingkaran pertemanan. Haha, bahkan aku tidak sendiri, temanku Nasita juga mengungkapkan hal senada. Apalagi karakter kita begitu tegas, lingkaran pertemanan kita jelas, dan kita satu arah dalam karakter. 

Tapi aku sadar, bahwa orang yang diberi kemampuan lebih dalam "show up" dan "attracting" merupakan buah dan personalnya. Bisa jadi keceriaan yang dia tunjukkan untuk jerawat atau kutil yang sedang dia sembunyikan. Kita tak pernah tahu kehidupan orang, masalah yang dia alami, gesekan emosi yang dia rasakan, bukan?

Maka penilaianku pada sosok perempuan adalah beragam. 
*

Menafsirkan perempuan tidak sebatas pada buah dadanya dan peluk tubuh yang dimilikinya. Menafsirkan perempuan tidak sebatas perawatan wajah yang dimilikinya. Standar kecantikan putih, kulit mulus, badan langsing, tubuh tinggi, maksudku. Menafsirkan perempuan tak harus diartikan dengan gincu merah merona penggoda nafsu syahwat. Lebih dari itu, bahwa perempuan diciptakan sebagai seorang pelindung. Dengan kelemahlembutannya, dengan isak tangis kerapuhannya, dengan ketegarannya. 

Perempuan adalah harga mahal terciptanya keseimbangan kalau kamu ingin tahu. Dia bisa berdiri sendiri tanpa ada penopang di sampingnya. Bukannya kalimat ini sebuah nada arogansi, tapi menafsirkan perempuan dengan nada lemah adalah bentuk pelecehan dari apa yang sudah terbentuk secara hakiki.

Doa kita untuk perempuan, semakin tegarlah pundak kalian. Menangislah jika membuat kalian harus melepas air mata, namun jangan lupa untuk bangkit. Aku tahu, kalian pasti tahu tegak berdiri seperti semula dengan wibawa. 

21 april 2020
Kartini days
20.59

**

Doa Perempuan di bawah mata malam

You Might Also Like

0 Comments