25 Tahun?

7:02 PM

Twenty Three! 

Di usiaku yang 23 aku justru dibuat berpikir keras. Apa yang akan aku lakukan nanti. Ketika aku lulus kuliah. Ketika aku mengendalikan sepenuhnya arah hidupku.

Aku dibuat sengsara secara psikologis. Tidak tahu harus memilih mana diantara banyaknya pilihan. Ditekan secara mental pada pilihan hidup yang-harusnya sudah aku pilih jaman aku kuliah--tapi tidak jadi gegara aku merasa tertekan.

Menjadi anak perempuan dan anak pertama membuat beban hidupku bertambah. Menjadi suatu perbandingan. Merasa "ini yang pertama". Kami (orang tuaku dan aku) memaklumi. Ini usia pertama mereka menghadapi anak baru kencurnya. Dan ini usia yang sama denganku menjadi pembuka jalan pada keluarga ini. 

Ketika aku ngeyel bertindak sesukaku, ibuku dibuat menyerah.

Toh pada hakikatnya aku yang memegang kendali, bukan. Mereka mengarahkan dan aku yang akan bertanggung jawab pada pilihanku. 

Sampai di titik ini. 

Umur dua puluh lima tahunku!

Mereka tak lagi merecokiku untuk melakukan hal yang aku tidak ingin ambil. Meskipun itu adalah cita-citaku sejak awal. Yaitu kuliah! Oke buang dulu harapan mereka sekarang, aku merasa tidak membutuhkan instansi pendidikan formal. Aku merasa nyaman dengan mengembangkan hal yang membuatku senang.

Ya. Rumusnya adalah membuatku senang. Bahagia. Tanpa membuat banyak orang sengsara. Toh memang seperti itu kan harusnya. 

Episentrumnya harus dia AKU. Pada 2 tahun sebelumnya, episentrum selalu berpusat pada orang tuaku. Mereka yang menjadi sentral dalam mengendalikan anak-anaknya. Aku mau sekolah dimana, aku akan kuliah dimana, aku mau ngapain. 

Flashback beberapa tahun sebelumnya! 

Ingat betul aku bagaimana aku nangis-nangis pas jaman kelulusan SD. Inginku masuk ke SMP Negeri 1 Surakarta. Ya, sekolah favorit kotaku. Bahkan aku mencapai di nilai yang lebih dari cukup untuk ikut berkompetisi dalam pendaftaran. Belum juga daftar, nilaiku belum aku taruhan, penolakan itu justru datang. 

Ya. Dari bapakku. Bapak berharap aku melanjutkan tradisi bersekolah di sekolah Islam. Agar terbentuk aqidahku dan ilmu pengetahuan agamaku. Okee! Aku penuhi. Tapi nanti kalau aku SMA, aku yang harus menentukan kemana aku harus sekolah. 

Selesai SMP, nilaiku aku pertandingkan untuk masuk ke sekolah negeri. Pada masa itu memang jaman-jamannya sekolah bertaraf internasional. Sekolah yang aku tuju pun juga pakai label itu. 

Perjanjian saat SD dulu aku tagih. Aku mendaftar ke sekolah negeri dan menjadi favorit di kota. SMA Negeri 3 Surakarta, alasanku mendaftar adalah aku menyukai sekolah dengan banyak orang chinnese. Iyaa, pas jaman SMP aku tergila gila dengan bau bau Korea dan Cina. Aku pikir akan menjadi momentum yang tepat dengan latar belakang itu memilih SMA Negeri 3.

Pada suatu pagi, ketika aku hendak mengambil hasil pengumuman diterima atau tidaknya. Bapak sudah berpesan di motor. "Nanti kalau kamu gak diterima, langsung daftar SMA Al-Islam." 

Kesel! Padahal kalau aku tidak keterima, aku mau menguji peruntunganku di sekolah negeri lain, yaitu mantan sekolahnya Ibuk. SMA Negeri 4! Akhirnya! Aku mendapatkan apa yang aku inginkan, aku diterima. Sampai pada momentum aku lulus SMA. 

Sampai berlanjut kemudian berlanjut! Banyak hal yang membuatku ketergantungan dengan keputusan sentral orang tua. Kemudian pada pilihan hendak melanjutkan kuliah juga. Tidak hanya S1, bahkan lulus sarjana pun keinginan mereka untuk membuatku lanjut kuliah masih ada.

*

Umur 25 tahun aku menghabiskan waktuku bersama keluarga. Mereka tidak lagi sekaku sebelum-sebelumnya. Setiap minggu kami habiskan untuk keluar rumah. Sepaket 5 orang lengkap. Entah renang, nyewa villa di TW atau kemana pun. Kita semakin kuat saja boundingnya. 

Pun di usia ini aku ingin menjadikannya sebagai tahun aku menikmati hidup. Karena usia ini aku memilih banyak hal,  ada rasa kepuasan di sana. Aku merasa bahagia tanpa harus terkekang. Aku menerapkan prinsip-prinsip yang membuatku jauh lebih kuat. Jauh lebih hidup. Jauh lebih berkarakter. 

Aku tidak mau diganggu dengan gaya pakaianku. Aku tidak ingin diganggu dengan filosofis berpikirku. Aku tidak ingin diganggu kapan aku harus cuci piring. Aku tidak perlu diganggu harus memutuskan kapan aku akan menikah (Ya, padahal orang tua sudah berpikir ke arah sana). 

Karena aku tegas memberi mereka pernyataan, "Aku tidak mau diganggu, kapan dan bagaimana aku harus hidup." Oke, mereka memahami itu. Aku cukup senang, karena bagiku dan aku juga menegaskan pernyataan lain bahwa "semakin aku dikekang, semakin aku murka." 

Begitu!

Jadi apa makna yang aku bisa ambil, aku menyukai waktuku dihabiskan dengan melakukan hal yang aku suka. Tidak menghubungi satupun teman karena tidak ingin ada kebisingan (thanks to corona virus). Menonton banyak film, mendengarkan banyak musik, seharian untuk bermimpi alias tidur. Ketika melakukan semuanya aku merasa senang, kenapa tidak?

Oiya sekaligus keterlambatanku, aku suka membuat dan membesarkan blog yang berisi grundelan pada apapun ini tetap hidup, tumbuh berkembang, sampai beranak pinak suatu saat nanti. Mungkin cringe karena Nabila di tahun 2030 akan menertawakan hal ini. 

Eh tapi blog, kita akan berteman jauh lebih lama kan ya! Jangan sampai bosan. 

Mencintaimu selalu, 
Umur 25 tahunku. 
11 april 2020
Besok ulang tahun bakso-ku, hauwah hahaha! 

(*)


*) ketiga hal diatas salah satu dari sekian banyak variabel yang aku sukai, jadi kenapa enggak. Karena enak! 

You Might Also Like

1 Comments

  1. Selamat menikmati tahun 25 nabilaa. Salam kenaal ya 😁😁😁 oiya happy belated birthday juga, semogaa senantiasa bahagia dan sukses selaluu, aamiin ☺️

    ReplyDelete